Bongkahan Hati yang telah Pergi

Senin, 12 Desember 2011

Bongkahan Hati yang telah Pergi


Kehilangan, sesuatu yang menyakitkan, tapi berusahalah agar sakit itu ikut hilang. Dan yakinlah, dengan cara-Nya sendiri Tuhan akan menyembuhkan sakit itu.
*

Hujan. Masih terdengar tangisan alam itu di luar. Meski hanya gerimis yang menimpa bumi, tapi tetap saja mampu menciptakan dingin yang menusuk tulang, apalagi angin ikut mendesah.

Seperti halnya alam, gadis cantik itu juga tak henti-hentinya menumpahkan tangis, menguras air mata, seakan ingin mengalahkan sang gerimis. Tapi sesungguhnya bukan itu alasan gadis cantik itu menangis. Dia menangis, karena hanya itu yang dapat ia perbuat. Ya, tak ada lagi. Bahkan untuk sekedar menghela nafas saja ia merasa berat.


Kulit yang kunging langsat, wajah yang sangat cantik, rambut hitam panjang yang terurai, ditambah gaun putih anggun yang ia kenakan, menambah kesempurnaannya saja. Tapi, lihatlah! Matanya bengkak sebesar bola pingpong. Dia terlalu lama menangis, menangisi sesuatu yang hilang dari dirinya.

Dia hanya meratap. Berdiri menatap jendela. Menyentuh embun yang dihadirkan gerimis pada kaca jendela. Dan tentunya terus menangis.

Ini, sudah larut malam. Dan di ruang yang remang karena hanya di sinari lampu tidur, gadis itu masih menangis.

Akhirnya, gadis itu mundur menjauh dari jendela, lalu berbalik dan mendekati tempat tidurnya. Dia bersimpuh dilantai, menunduk sampai air matanya jatuh ke lantai. "harusnya, sekarang kamu ada di sini!" ucapnya pelan dengan suara bergetar.

Sivia-gadis itu-mendongak, menelusuri tempat tidurnya, lalu meraih benda yang sama sekali tak asing baginya. Seketika memorinya berputar, memori akan masa yang lalu, masa yang indah itu.
*

"Ih, kamu!" Sivia berdecak kesal, menampik boneka monyet yang di berikan Gabriel.

"Kenapa?" tanya Gabriel tak mengerti.

"Kamu, kalau mau ngasih aku boneka, mikir dulu dong! Lah ini, ngasih aku boneka monyet. Ga romantis banget sih!" Sivia menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis fikir dia bisa jatuh cinta pada pemuda yang tak romantis ini.

"Abisan kamu, ngatain aku jelek mulu! Ya udah, aku kasih kamu boneka jelek ini aja, biar tiap hari kamu inget terus sama aku." ujarnya "Nah, kalau kamu kangen sama aku, peluk aja boneka ini, pasti dia bakalan penggil aku, dan aku bakalan ada buat kamu" Gabriel menyerahkan boneka itu.

"Haha, pinter juga kamu nyari kembaran kamu!" Sivia menelusuri wajah boneka itu. Lucu juga. Bagaimana kalau dia memberinya nama? "Jelek" katanya mantap.

"Ih, kamu mah ngehina aku mulu!" Gabriel mengulum bibir.

"Yeh, siapa juga yang ngehina kamu, sekarang yang dapat panggilan jelek itu bukan kamu, tapi boneka ini. Iya kan, jelek?" Sivia bertanya pada benda mati yang ada di tanganya. Lalu menggerakkan tangannya untuk membuat kepala sang boneka mengangguk. "Iya" kata Sivia lagi.

Gabriel hanya menggeleng. Melihat tingkah gadisnya yang macam orang bodoh. Bicara dengan boneka. Gabriel tersenyum lalu mendaratkan tangannya di puncak kepala Sivia, lalu mengacaknya gemas.
*

Sivia mengerjap. Menghentikan rekaman kejadian yang tiba-tiba berputar di otaknya. Sivia tahu, itu masa lalu. Dan tak kan ada masa lalu yang terulang lagi.

Sivia beralih menatapi benda mati yang di pegangnya. Dialah saksi bisu, betapa indahnya masa itu.

Sivia menelusuri mata bulat dan berwarna coklat milik boneka itu. Bulat? Coklat? Bukankah itu adalah pelihat milik seseorang yang telah membuatnya begini.

Gadis itu kemudian memeluk sang boneka. Erat sekali. Mungkin kalau boneka itu hidup, dia akan susah untuk bernafas, saking eratnya pelukan Sivia. Gadis itu memejamkan mata, kembali mebiarkan kristal bening itu jatuh. Dia begitu meresapi pelukannya terhadap benda yang tak bernyawa itu.

Lama sekali gadis itu melakukannya dalam diam. Dia tersadar, membuka mata dan melepaskan pelukannya. Dia kembali mempelototi mata sang boneka. Dan dengan suara yang makin bergetar, dia mulai berujar. "Jelek! Kamu!" Sivia menunjuk tepat ke arah muka benda tak berdosa itu. "kenapa? Kenapa sekarang kamu ga bisa panggil Gabriel seperti biasanya? Kenapa? Lihat! Aku sendiri, tak ada Gabriel, tak ada, dia pergi." racaunya.

Sivia mencengkram tubuh sang boneka lalu mulai meracau lagi "jelek, cepat panggil Gabriel! Dasar bodoh! Kamu tuli ya? Ayo panggil dia! Kalau tidak, mau aku bunuh kau?" seketika Sivia melempar sang boneka tanpa perasaan. Membuat boneka malang itu tersungkur di sudut ruangan. Mengenaskan.

Terdiam. Apa yang baru saja ia lakukan? Macam orang gila saja. Ya, orang itu membuat Sivia gila. Sivia mengepalkan tangan, lalu sejurus kemudian menghantam lantai. Aw, pasti sakit sekali. Tapi, tak sebanding dengan sakit hati yang ia rasakan, karena bongkahan pelengkap hatinya, pergi untuk selamanya.

"Aaaaa..." Sivia berteriak. Memecah kesunyian malam. Membuat sang hujan yang sempat terlelap kembali terjaga, lalu turun lagi ke bumi.

Sivia bangkit dari duduknya. Berjalan sempoyongan menuju sudut ruangan. Dia berjongkok. Membenahi posisi si 'jelek'nya yang terbalik. "maaf ya!" ujarnya kemudian bangkit lagi dan berjalan menuju meja panjang di dekat jendela.

Dia membisu. Melihat apa saja benda-benda yang diam manis di atas meja itu. Sivia tahu benar, semua benda itu erat kaitannya dengan si pemilik bongkahan hati yang telah pergi itu.

Sivia menggerakan tangannya. Mengambil sebuah kotak persegi berwarna hitam. Dia membukanya lalu meraih isinya. Tak begitu berharga sebenarnya, hanya kartu-kartu bergambar yang dibuat olehnya. Dia teringat, betapa dulu dia paling suka membuat kartu lucu seperti ini, ditemani pemilik bongkahan yang selalu ada di sampingnya. Sivia menyimpan kartu-kartu itu di dadanya. Memejamkan mata dan menangis. Ya, kalau saja menangis dapat membuat pemilik bongkahan hati itu kembali, maka dia rela menangis selamanya, hingga air mata yang ia punya habis tak bersisa. Kering.

Dan toh, menangis hanyalah menangis. Tak akan ada yang kembali. Begitu juga Gabriel. Pemilik bongkahan hati itu pergi, menimbulkan cacat di hati Sivia. Ya, bongkahan yang dia bawa terlalu besar, menyisakan bongkahan kecil hatinya yang berkeping-keping. Berantakan. Gadis itu tak tahu bagaimana menyusun kembali bongkahan hati itu lagi. Karena, meski nanti bongkahan hati itu tersusun, akan ada bongkahan yang hilang. Bongkahan yang Gabriel bawa ke peradaban abadi yang takkan kembali.

Maka, dengan sisa tenaganya, gadis itu berusaha bertahan dengan bongkahan hati yang tinggal separuh. Dia membuka mata lalu melempar kartu-kartu lucu nan menggemaskan itu ke udara, hingga kartu-kartu itu terbang dan akhirnya terhempas ke dasar. Berantakan. Sama halnya dengan hatinya. Menyedihkan.

Gadis itu kembali berbalik, mendekati meja kecil di sudut ruangan, lalu bersimpuh di hadapannya. Dia menatapi lekuk sebuah kue tart cantik dengan lilin angka 17 di atasnya. Lalu akhirnya tersenyum getir.

Sivia meraih si 'jelek' yang sedang terduduk di sudut ruangan dekat meja kecil itu, lalu mendudukannya diatas meja menghadap kue tart. Lalu mengusap lembut pipi si 'jelek'

Sivia mengambil sebuah korek lalu menyalakan lilin cantik itu. Kini bukan hanya lampu tidur yang menerangi ruangan itu, tapi juga sang lilin.

"Sebentar lagi ya yel" ujarnya "oh ya, malam ini aku cantik kan? Lihat, aku pakai gaun yang kamu pilih. Tapi..." Sivia menggigit bibir "gaunnya udah kusut, tapi aku ga peduli, karena sekarang suda ada kamu di sini"

Sudah ada. Apa mungkin? tentu tidak. Pemilik bongkahan itu tak mungkin ada disini, saat ini. Sivia hanya meracau. Bicara sendiri pada si jelek, seperti tadi. Tapi kali ini terlihat lebih menyedihkan. Tragis.

Pukul 00.00. Hari berganti. Dan itu tandanya, hari yang Sivia tunggu tiba. Hari ulang tahunnya yang ke 17.

"Yel, udah saatnya. Kita nyanyi bareng yuk!" Sivia menghela nafas, bertepuk tangan menghasilkan ketukan irama. "Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you." Sivia bersenandung dengan suara parau dan di iringi rintikan air mata yang tak pernah surut.

"Sekarang waktunya tiup lilin, tapi sebelum itu, aku mau buat permintaan dulu" Sivia menghela nafas, lalu mengangkat tangannya dan mulai bertutur. "Tuhan, di hari ulang tahunku ini, aku hanya minta sesuatu yang sangat kecil, tapi penting bagiku, aku sangat mencintai Gabriel, aku menyayanginya, aku membutuhkannya, aku ingin dia selalu ada di sampingku. Maka dari itu Tuhan, izinkanlah dia untuk selalu disini, kembalikan dia. Dan apabila engkau enggan mengembalikannya, izinkan aku ikut bersamanya." Lalu Sivia meniup lilinya dengan sangat khusyuk.

"Yel, kamu dengar kan permintaanku barusan? Aku mau kamu selalu ada di sini. Jangan pergi ya. kalau kamu pergi, ajak aku juga"

Sivia meraih pisau, memotong kue dengan sangat fasih, lalu meletakan potongan kue di atas piring "potongan pertama ini, buat kamu" Sivia meletakkan piring berisi kue di hadapan benda mati yang ia ajak bicara sedari tadi. Yang ia kira Gabriel.

"Ayo makan yel!" sementara si lawan bicara, hanya bisa terdiam. Tentu. Karena memang dia tak bisa melakukan apa-apa. "Kok kamu ga makan sih? Kamu marah ya sama aku?" kata Sivia meraih si jelek, lalu menatapinya penuh harap. "Maaf ya yel, jangan marah. Aku sayang sama kamu!" Sivia lalu memeluk si jelek.

Sakit. Itu yang saat ini Sivia rasa. Kehilangan bongkahan hati yang tak kan pernah kembali. Dia lemah hanya dengan separuh hati. Menara pertahanannya runtuh tanpa tiang. Hidupnya hancur. Tuhan, bantu dia!

Gadis itu masih memeluk benda yang ia harap berubah menjadi sang pemilik bongkahan hati. Tapi nyatanya, berapa lama pun, dia memeluknya, dia tak kan pernah berubah. Gadis itu akhirnya melepas sang boneka dan beralih menggigiti kepala sang boneka. Kasihan. Bukan. Bukan bonekanya, tapi sivia. Gadis itu tak ingin sendirian. Gadis itu ingin dia kembali.

Pelampiasannya berhenti. sekarang sivia malah memeluk lututnya sendiri. Menangis makin deras. Menggigiti bibir makin kencang. Dan akhirnya tergulai tak berdaya.

Dengan sisa tenaganya, dia mengambil secarik kertas, potongan fakta pahit yang harus ia terima. "Seorang pemuda, di temukan tak bernyawa di rumahnya. Di duga dia adalah korban perampokan." Betapa hancurnya hati Sivia mengetahui hal itu. Karena pemuda yang di maksud adalah Gabriel. Sang pemilik bongkahan hati itu pergi, satu hari sebelum ulang tahunnya. Dia pergi, membawa bongkahan hati, yang tak kan mungkin ia kembalikan lagi.

Kini, Sivia hanya bisa tergolek lemas. Menghela nafas-nafas terakhir. Sambil menggenggam secarik koran tadi. Menunggu malaikat itu datang menjemput ke keabadian.

Dan, pada akhirnya Sivia tak sanggup bertahan hanya dengan separuh hati. Maka Tuhan mengabulkan permintaanya agar ikut bersama Gabriel ke alam yang berbeda. Sivia menghembuskan nafas terakhir. Lalu genggaman tangannya pun terbuka. Membiarkan secarik koran itu ikut tergolek bersamanya. Sivia pergi, menyusul Gabriel, untuk menyempurnakan kembali bongkahan hati yang telah ia curi.

The end!