HUJAN, Kita Dan Mimpi part 19B
“Kita mau ke mana sih Yel?” tanyaku pada Gabriel yang masih terus bersemangat mengayuh sepedanya.
“Ke mana aja boleh!” ujarnya sambil terkekeh.
Aku mengulum bibir. Terkadang, Gabriel itu –sok- misterius. Tapi, tak bisa ku pungkiri, aku menyukai kemisteriusannya. Tentulah. Aku pasti akan menyukai apa pun tentangnya.
Beberapa menit kemudian, akhirnya Gabriel menghentikan kayuhannya. Kami tiba di sebuah butik. Butik yang dimiliki oleh seorang desainer yang cukup ternama.
Aku menautkan kedua alis. Untuk apa Gabriel membawaku ke tempat ini? Apakah dia mau memesan gaun pengantin untuk kami menikah nanti. Ish, apa pula aku ini? Kenapa sampai berfikir sejauh itu? Kami kan masih SMP. Mana mungkin kami menikah. Tapi, sudah dewasa nanti, mungkin saja. Siapa yang tahu. Aku terkekeh.
“Kok senyum-senyum?” Tanya Gabriel.
Aku terkesiap. Menggeleng cepat. Lalu menanyakan apa tujuan dia mengajakku ke tempat ini.
Dan yang ditanya hanya menjawab dengan senyum simpul. Ia meraih lenganku. Menariknya dan membawaku masuk ke butik yang elegant ini.
Kami sungguh beruntung, karena sesaat setelah kami masuk, kami disambut oleh keramahan sang pemilik butik. Seorang wanita yang masih terlihat segar dengan usianya yang sudah tidak muda lagi. Wanita tersebut tersenyum pada kami.
“Siang tante!” sapa Gabriel. Ia mencium punggung lengan si empunya butik.
“Gabriel, kenapa baru sekarang kau datang ke sini? Padahal dari seminggu yang lalu, pesananmu sudah selesai.” Ujar sang wanita. Lantas ia melirik ke arahku. “Eh cantik, siapa namanya?”
“Ini Ify tante. Fy, kenalin, ini tante Zevana.” Tutur Gabriel.
Aku mengangguk. Tersenyum. Lalu bersalaman dengannya.
“Maaf tante. Baru ada waktu. Saya boleh liat pesanan saya?” Tanya Gabriel.
“Tunggu sebentar.” Tante Zevana bergegas mengambil barang yang dimaksud.
Aku menatap Gabriel. Ia terlihat berseri-seri. Sedari tadi, ia tak henti memulas senyum pada wajah tampannya. Aku mengerutkan kening.
“Kamu pesen apa sih?”
Gabriel mengerlingkan matanya nakal. Lalu memalingkan wajah kala Tante Zevana telah kembali bergabung bersama kami. Di lengannya tersampir sebuah setelan jas berwarna putih dan sebuah gaun yang berwarna senada dengan setelan jas tersebut. Gaun yang sangat cantik.
“Ini pesanan kamu.” Tante Zevana menyerahkan jas dan gaun tersebut pada Gabriel.
Kerutan di keningku belum juga terurai. Aneh sekali. Gabriel memesan jas bukanlah sesuatu yang aneh. Tapi gaun cantik itu? Masakah gaun itu untuk dikenakannya. Gabriel itu laki-laki sejati. Untuk mamanya? Ah, mana muat. Gaun itu sepertinya berukuran sama dengan gaun-gaun yang ku punya. Ataukah mungkin untukku? Untuk aku kenakan suatu saat. Untuk aku pakai saat berdiri berdampingan dengannya. Aku menggelengkan kepala. Yang benar saja. Kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali berangan-angan tentangnya? Sama seperti saat dulu ketika aku berada di dekat pemuda lain yang bahkan kini telah sepenuhnya meninggalkan hati dan fikiranku. Atau kini, semuanya memang kembali terulang. De javu. Ya, lalu setelah aku masuk ke dalam dunia angan-angan yang seringkali, menawarkan kebahagiaan, aku kembali dihempaskan. Terabaikan oleh kedatangan atmosfer yang gaya tariknya lebih mengagumkan. Kembali menorehkan baret luka. Lalu mencari kekuatan yang aku tak yakin kali ini dapat menguatkan. Tidak. Penyangkalan terus ku rapal berulang-ulang. Gabriel adalah pemuda berhati malaikat. Jadi, dia takkan pernah menyakitiku. Kapan pun.
“Langsung bungkus aja ya Tante!”
“Kok ga dicoba dulu?” Tanya Tante Zevana.
“Ga usah deh! Nanti aja pas acaranya. Hehe…” Gabriel memamerkan deretan giginya yang rapi.
“Ya udah!” Tante Zevana kini bergegas untuk membungkus dua pakaian mewah tersebut. Lalu setelah selesai, beliau menyerahkannya pada Gabriel.
Gabriel secepat kilat meraih bungkusan tersebut. Ia kemudian menyimpannya di depan dada. Memeluknya erat. Tampak guratan kepuasan pada garis wajahnya. Aku pun ikut tersenyum. Entah mengapa dapat merasakan kebahagiaan yang tengah membuncah di hati pemuda ajaib itu.
***
“Bang, kembang gulanya dua ya!” ujar seorang pemuda
Dua bocah laki-laki yang tengah duduk di atas hamparan rumput seraya asyik menikmati kembang gula berwarna merah mudanya langsung berhenti sejenak. Ia mendelik ke arah si empunya suara. Kakak jelek itu lagi. Fikir mereka. Mau apa lagi dia? Pasti ada yang tidak beres.
“Heh kakak jelek!” hardik Ozy. Deva meneruskan prosedur menikmati kembang gulanya yang sempat terhambat.
Ozy yang merasa diacuhkan langsung mengulum bibir. Ih, kakak jelek tidak asyik. Dia kan mau berantem lagi seperti tadi. Ozy menyikut lengan Deva.
“Aduuhhh,,, Ozy apa sih? Ganggu aja!” Deva mengembungkan pipinya.
“Ih, masa kakak jeleknya ga ngajakin berantem lagi sih?” Ozy berbisik.
“Biarin dongse! Sekarang mah, mending makan kembang gula aja. Tuh, punya kamu udah mulai ciut!” Deva menunjuk kembang gula milik Ozy.
“Huaaa,,, iya deh!” Ozy terburu-buru memasukan kembang gulanya ke dalam mulut. Ia tidak rela hartanya ciut termakan angin.
“Ini mas!” Bapak pedagang memberikan dua buah kembang gula sebesar guling bayi kepada Rio .
Sementara di tempat lain, Sang Aurora masih tetap setia menanti pemudanya. Pemuda pertama yang mengenalkannya pada keindahan cinta. Ia tengah duduk sambil bertopang dagu. Memikirkan Pangeran Mataharinya. Akankah sampai nanti ia juga setia untuk menanti kedatangan sang pemuda yang tengah jauh berkelana? Dan akankah pemuda itu juga kembali untuk tetap menjaga cinta agar pesonanya tetap menjadi yang paling sempurna. Tanpa apa dan siapa pun mengusik. Tetap seperti ini.
Lalu tak lama setelah itu, nyatanya gadis itu langsung menghilangkan segala yang beberapa menit lalu mengganngu fikirannya, kala ia melihat siluet tampan itu tengah berjalan menghampirinya. Dia masih saja terlihat begitu menawan dan mempesona. Apalagi kini, di masing-masing tangannya, ada dua guling berwarna pink. Menggemaskan.
“Kok lama? Kamu buang dimana Ozy dan Deva?” Tanya Keke. Ia tak bisa menutupi rona bahagianya kala pemuda itu sudah benar-benar berdiri tepat dihadapannya.
“Di Bantar Gebang. Ini..” Rio menunduk. Memberikan satu dari dua guling yang dibawanya pada Keke. Keke langsung meraihnya. Dan akhirnya Rio pun ikut duduk di sebelahnya.
“Itu anak orang tauuuu…” Keke mulai mencoba guling pinknya. Umm,,, manis. Keke mencomot kembali gulingnya.
“Manis ya Yo?”
“Manisan kamu.” Rio tak sadar mengucapnya. Walau toh, kalimat itu memang benar adanya. Kesungguhan. Keke memang manis. Sangat manis. Apalagi dengan lengkungan senyum khasnya. Rio masih saja memaku pandangannya tepat pada selaput bening bulat yang dimiliki Auroranya.
Keke terperanjat. Hampir saja ia mencelat dari duduknya. Ia menoleh kea rah Rio . Manangkap pemuda itu tengah menatapinya tajam. Langsung saja matanya ditohok oleh kilauan indah yang terpancar dari kedua bola indah Rio .
“Aku cinta kamu Aurora .” Rio bergumam. Nyaris berbisik. Ikut menghilang seiring terpaan angin yang baru saja melintas.
Namun Keke masih bisa mendengarnya. Tepatnya hatinya. Namun entah karena apa, dalam hatinya justru ia mengucapkan berjuta kalimat penyangkalan. Jangan. Ucapnya. Jangan seperti ini. Jangan buat aku semakin mencintaimu. Karena semakin cinta itu membuncah, maka semakin berat pulalah aku harus melepasmu kala suatu saat rasa itu telah lenyap di hatimu.
Dan Rio amat tahu bagaimana terusiknya hati gadis di hadapannya. Maka ia memberikan tatapan memohon pada Keke. Tolong percaya, cinta ini terlalu besar untuk dienyahkan. Sekali pun tanpa sadar, ada cinta yang yang jauh lebih sederhana yang masih ia simpan di salah satu tempat teristimewa di hatinya.
Keke mengangguk. Berharap tak ada kebohongan dari ini semua. Atau mungkin, kebenaran yang berusaha ditampikkan. Keke tersenyum. Hatinya sudah merasa sedikit lega. Semoga memang hanyalah cintanya yang tetap menjadi gravitasi terkuat tarikannya.
Namun siapa yang tahu, mungkin hanya Tuhan dan monster kecil yang tengah terlelap untuk sementara di hati sang pemuda yang tahu akan kebenaran yang sesungguhnya. Ya, kenyataan bahwa ada pesona yang terlebih dulu mengisi ruang itu. Pesona yang memang tak terlalu memabukkan seperti yang tengah ia kecaa sekarang. Tapi yakinlah, pesona itu tak akan lekang oleh zaman. Tetap menawan sebagaimana mestinya. Dan sesungguhnya, hanya pesona itulah yang benar-benar menjadi tempatnya kembali kala pesona yang lain menguap bersama embun-embun kekecewaan.
***
Gabriel menenggak air mineralnya. Ia terlihat sangat kelelahan. Tentu saja. Mengayuh sepeda dengan aku ikut duduk di belakangnya pasti sangat menguras tenaganya. Apalagi perjalanan kali ini adalah perjalanan yang tidak biasa. Dari sekolah ke butik Tante Zevana. Setelah itu bergegas ke toko bunga milik mamanya, menunjukkan jas dan hujan yang telah terlebih dulu ia ambil dari Tante Zevana pada sang mama. Lantas setelah itu, dia belum juga mau pulang. Pemuda berhati malaikat itu malah membawaku ke sini, ke taman yang rasanya sudah tak asing lagi bagiku. Dulu, bersama Rio aku sering ke sini. Menikmati senja di bawah kokohnya pohon jati. Dan kini, bukan lagi Rio yang ada di sampingku. Dan toh, aku pun tak lagi berharap kalau Rio hadir disini, saat ini. Aku punya Gabriel. Pangeran hujan berhati malaikat. Pemilik senyum lebar nan menenangkan. Empunya tatapan tajam namun meneduhkan. Dan Gabriel jelas jauh lebih bisa membuatku bahagia. Dia selalu menganggapku istimewa. Terlihat dari perlakuannya.
“Kenapa kita ga pulang aja? Kamu kelihatan capek banget!” aku merogoh tasku. Mengeluarkan sebuah sapu tangan lantas memberikannya pada Gabriel.
Gabriel tersenyum. Menggapai sapu tangan berwarna putih tersebut, lantas mengusapkannya pada wajahnya yang telah berlumuran peluh. Kemudian, melirikku.
Aku mengangkat sebelah alis. Menanti apa yang akan terucap dari mulutnya. Pasti kalimat ajaib. Gabriel kan pemuda yang ajaib.
“Aku hanya ingin melihatmu tersenyum Ify. Melihat kamu bahagia…” Gabriel memberikan kembali sapu tangan milikku.
Aku menggeleng. Mendorong lengannya. Biar saja. Biarkan sapu tangan itu menjadi miliknya. Sebagai ucapan terimakasih atas segala keajaiban yang nyatanya selalu mampu menyeka tiap buliran air mata yang menganak sungai di pipiku. Lebih hebat lagi, kesederhanaannya mampu menyulam senyum di wajahku. Senyum bahagia. Dan kali ini pun, aku tersenyum kala mendengar kalimat ajaib yang ia utarakan seperti biasanya. Dengan ketulusan. Lalu senyum ini pun lebih lebar bahkan. Dan senyum ini tercipta karena dan untuknya.
Gabriel mengangkat bahunya. Menggenggam erat sapu tangan yang telah resmi menjadi miliknya. Kemudian menyimpannya ke dalam saku celana.
“Oh iya, jas sama gaun tadi untuk apa? Oke, maksudku gaunnya saja. Kau tak akan memakai gaun itu saat acara tahun baru nanti, kan ?”
“Haa,,,” Gabriel terkekeh. Lalu meraih tas dimana ia menyimpan jas dan gaun tadi. Ia membuka resletingnya. Merogohnya dan mengeluarkan gaun cantik tadi yang telah terbungkus oleh plastic transparan. Ia menatapku sejenak lantas meletakkan gaun tersebut di pangkuanku.
Aku terperanjat. Semakin tidak mengerti. Kembali mencipta kerutan kebingungan pada keningku. Benar-benar tidak tahu apa maksud Gabriel. Mungkinkah gaun itu memang sengaja dipesan Gabriel untukku? Untuk aku kenakan? Untuk aku selaku Putri Pelanginya? Ah iya, mungkin saja. Aku memicingkan mata menatapnya.
“Kamu pakai ya gaun itu di pesta ulang tahunku minggu depan!”
Apa? Jadi gaun itu memang untukku? Aku membuka mulutku. Hendak berkata. Namun serasa tertahan oleh buncahan rasa bahagia.
“Kenapa?” hanya itu yang dapat keluar dari mulutku. Kenapa. Kenapa ia begitu ajaib sehingga aku dapat dengan begitu cepat berpaling dari hati yang lain ke hatinya, pada cintanya? Kenapa ia sangat hebat sampai mampu membasuh luka yang dulu terlihat sangat menyedihkan? Kenapa ia baik dan mau menyusun potongan-potongan hati hingga tersusun rapi kembali, bersusah payah mencari bagian yang hilang, dan pada saat bagian itu telah lenyap tertelan kedap, ia rela menggantikannya dengan ketulusan yang ia punya? Kenapa ia tulus sehingga dengan mudahnya ia menggenngam harapku lantas membumbungnya jauh hingga ke angkasa? Dan kenapa tak dari dulu saja ia hadir dengan segala kesederhanaannya? Tidak. Bahkan dia telah menemani setiap kedipan mataku jauh sebelum pemuda penoreh luka itu mengisi hariku. Ya, aku saja yang tak menyadarinya.
“Karena aku sayang kamu Ify. Hanya kamu.”
Dua kalimat singkat yang ia tuturkan kembali membuatku terpana. Hanya karena aku. Hanya karena dia menyayangiku. Menyayangi dengan caranya sendiri. Cara ajaibnya. Hatiku bergetar. Ini sungguh bukanlah bualan belaka. Ini ketulusan. Aku tahu itu. Ombak yang menari-nari di matanya. Pancaran kelembutan terhadir dari tiap inci lengkung senyumnya. Segalanya kentara.
“Terimakasih Gabriel. Aku…” aku menundukkan kepala. Menggigit bibir. “Aku… kamu Pangeran Hujanku!”
Gabriel tersenyum menyeringai. Menggerakkan lengannya meraih kelima jemariku. Ia kumpulkan menjadi satu. Satu penuh cinta. Ia genggam begitu erat dan hangat, seakan mengikat.
Dan dalam keheningan yang tiba-tiba saja tercipta, sesungguhnya hati kami masing-masing tengah berseru. Saling meyakinkan. Mungkin memang terlalu dini. Kami belum mengerti betul akan semuanya. Namun kami –terutama aku- yakin bahwa perasaan sederhana ini ada untuk menyempurnakan segalanya. Segala yang kadang selalu tercampakkan. Tak pernah merasakan sentuhan ketulusan.
Tiap hela nafas yang kini memenuhi kuota seakan menghantarkan seutas harapan, agar kisah ini, kisah tentang Hujan, Kita -yaitu Pelangi dan Hujan- juga beserta jutaan mimpi yang telah melesak ini akan tetap berjalan semestinya. Tetap sederhana.
***
Bersambung.
Nb: Yeah, cerbung yang umurnya udah 10 bulan ini dilanjut juga! Sempet hopeless kemaren. Tapi, untung aja masih ada yang ngePRENS ama saya. Thanks buat Rizky yang udah ngedesainin tempat saya satu-satunya buat coret-coret.
Dan saya juga mau minta maaf untuk penghuni FB yang udah ngikutin HKDM dari awal brojol. Saya ga ngelanjutin di tempat ia dilahirkan. MAAF. Maaf banget!
Oke, saya kira sekarang tinggal koment aja! Boleh langsung disini, atau di fb saya: Sinta Banget dan Shinta Nurwahidah. Bisa juga di twitter, @sintaSnap
Thank you!
Salam Pisang Goreng!
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari