Selapang Sang Rembulan part 8
Keindahan cinta memang tak dapat tertanggungkan. Semuanya melebur dalam satu rasa. Cinta. Cinta. Cinta. Sebuah rasa istimewa yang akan melapangkan setiap hati insan di dunia.
***
Sivia tengah berjalan beriringan dengan Pricilla. Ia nampak tengah berceloteh ria. Sepertinya ia tengah bercerita mengenai pengalamannya kemarin. Saat ia menjadi penipu professional. Berpura-pura sakit lantas meminta Rio dan Shilla untuk datang ke rumahnya, dengan tujuan agar mereka berdua bisa menjalin kedekatan yang selama ini serasa sulit untuk terwujud. Lalu setelah itu ia kabur dari rumah. Berjumpa dengan Gabriel yang memaksanya memakan rujak. Kemudian ia sakit perut dan langsung diantar pulang oleh Gabriel. Rio yang mengetahui bahwa ternyata ia telah ditipu oleh Sivia sangat marah. Namun, melihat keadaan Sivia yang sungguh menyedihkan, ia merasa kasihan dan menyuruh Gabriel untuk menjaganya sampai sembuh. Lalu saat menjelang shubuh, Gabriel…
Sivia menghentikan ucapannya. Ia membekap mulutnya tiba-tiba. Akankah ia menceritakan peristiwa ‘terindah’ tadi malam pada sahabat cantiknya ini? Tidak. Sivia menggelengkan kepala. Ia belum siap. Nanti, apa kata Pricilla? Apa kata yang lain? Apa kata dunia? Dia dan Gabriel yang tak pernah akur, hanya dalam rentang waktu satu malam, menjadi sepasang… kekasih? Tidak.
“Kenapa? Gabriel ngapain lo pas mau shubuh?” Tanya Pricilla. Ia memicingkan mata. Menyelidik.
“Eh, dia… dia…” Sivia menggigiti ujung telunjuknya. “Dia bangunin gue,” ucapnya spontan. “Pamit pulang.” Tambahnya lantas tersenyum jengah.
Pricilla menggelengkan kepala. “Kirain, elo diapain ama dia.” Ujarnya santai.
“Emang, elo mau gue diapa-apain ya ama dia?” Tanya Sivia. Ia mendelik tajam pada Pricilla.
Pricilla hanya mengerlingkan matanya nakal. Lantas berjalan mendahului Sivia.
“Pricilla nyebeliiiinnnn!” Sivia merajuk. Bibirnya mengerucut lucu. Lantas memperbesar jangkauan kakinya untuk mengejar Pricilla yang sudah beberapa langkah di depannya.
Kedua gadis cantik itu pun kini telah sampai di depan ruangan kelasnya. Tiba-tiba, Sivia merasakan ada sesuatu yang berbeda pada dirinya saat mendapati pemuda pencuri hatinya itu kini tengah berdiri diambang pintu bersama Cakka, sahabatnya. Sivia merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, seperti saat pertama ia naik tornado di Dufan dulu. Lalu kini, perutnya serasa dijejali buncahan getaran yang membuatnya mual. Nafasnya memburu seketika. Aliran darah berhenti pada satu titik.
Sivia dan Pricilla sudah berada tepat di depan Gabriel dan Cakka. Mereka berhenti sejenak. Pricilla memamerkan senyum manisnya pada dua pemuda di hadapannya. Sementara Sivia hanya menundukkan kepala. Tak berani menerima kenyataan bahwa kini pemuda itu telah berstatus sebagai pemudanya.
“Cakka, Gabriel, kalian berdua sok ganteng deh berdiri di situ!” Pricilla mencibir lalu segera berlalu dan masuk ke dalam kelas.
“Nyeh..” Cakka menyusul Pricilla. Masakah ia yang –menurutnya- setampan Justin Bieber itu dibilang sok ganteng. Padahal kan dia memang ganteng.
Lalu Gabriel terus menerus mengamati profil Sivia dari ujung jempol kaki sampai puncak kepala. Gadis ini, begitu menawan dengan rambut panjang hitam terurainya. Sebuah jepitan beraksen daun menghiasi jumputan rambutnya. Ia tersenyum. Berusaha menahan lengannya yang hendak mengacak rambut gadisnya. Atau hanya sekedar mengusapnya pelan untuk menunjukkan betapa yang terjadi dini hari tadi adalah memang sebuah kejujuran yang sudah tak terelakkan.
Sivia yang merasa sedang dipandangi merasa risih. Ia terburu-buru mengusir segala apa pun yang membuatnya kacau. Lantas ia segera melangkah. Melewati Gabriel yang justru seketika langsung meraih tangannya. Menahannya untuk tak lekas bergegas.
Sivia menoleh ke belakang. Menangkap pergelangan tangannya tertahan oleh lengan kokoh Gabriel. Sejurus kemudian, ia memindahkan focus tatapannya pada wajah tampan Gabriel. Ia tengah tersenyum. Senyum yang dulu sungguh menyebalkan. Lalu sekarang, mengapa senyuman itulah yang justru mampu meredam perasaan bergemuruh dalam hatinya?
Gabriel menggerakkan genggamannya untuk mengumpulkan jemari Sivia yang terurai. Ia tersenyum disertai kehangatan yang menjalari tiap sela jemarinya. Lalu kini, ikut menghangatkan hatinya. Sivia terpana. Terkagum-kagum melihat selaput bening yang dimiliki pemudanya.
Lantas terkesiaplah Sivia kala ia mendengar suara baritone khas yang baru saja melafalkan namanya.
“Sivia,,, udah sembuh?”
“Eh,,,” Sivia mengerjap. Reflex hendak melepaskan tangannya yang tengah berada dalam genggaman hangat Gabriel. Namun Gabriel segera menahannya. Ia memandang Sivia. Mengisyaratkan bahwa sudah tak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Kini semuanya kentara. Antara mereka kini memang terjalin sebuah cerita. Cerita tentang dunia yang hanya ada kejujuran dan kelapangan hati disana.
Sivia mengangguk. Mungkin memang sebaiknya, ia tak lagi harus memunafikkan hatinya sendiri. Toh, ia pun juga mempunyai rasa yang sama dengan apa yang mengendap di hati pemudanya. Bahkan mungkin jauh lebih bersahaja.
“Udah Yo. Thanks ya!” Sivia mengulum senyum tipis.
Lantas mereka bertiga melangkah masuk ke dalam kelas. Rio selangkah di depan. Sedangkan sivia dan Gabriel berjalan beriringan. Jemari mereka tetap saling bertautan. Menegaskan.
Cakka yang menyadari bahwa ketiga sahabatnya baru saja tiba langsung berlari memburu mereka. Mereka? Ah tidak. Ternyata dia hanya memburu satu orang. Satu-satunya gadis diantara dua pemuda tampan. Sivia.
“Sivia, elo ga pa-pa kan? Kata Shilla kamu sakit ya? Ya ampun! Kenapa ga minta tolong ke gue sih? Nanti gue bakalan dating ke rumah lo. Lo ga tahu kan, gue itu calon dokter. Dokter ganteng.” Cakka terus berceloteh. Sesekali ia menjawil pipi ranum Sivia.
Gabriel mengulum bibir. Apa-apaan itu Cakka? Sok khawatir pada Sivia. Bukankah ia pernah bercerita bahwa gadis yang ia sukai adalah Shilla. Lalu mengapa ia begitu mencemaskan keadaan Sivia? Gadis lucu yang telah mutlak menjadi miliknya. Tak boleh diganggu gugat.
“Heh, jangan pegang-pegang cewek gue!” hardik Gabriel. Ia menghentakkan tangannya untuk menangkis tangan Cakka yang lagi-lagi hendak mencubit pipi tembem Sivia.
“Hah?”
Semuanya terperangah. Semua yang mendengar pernyataan lantang yang disuarakan Gabriel. Mulut mereka menganga. Cakka membelalakkan matanya. Rio menautkan kedua alisnya. Ify, Pricilla, Shilla dan Febby bergegas menghampiri mereka.
“Elo ga main-main Yel?” Tanya Cakka tak percaya. Ia mengguncang-guncang bahu Gabriel.
Gabriel tersenyum miring. Ia melirik kea rah tautan jemarinya. Mengisyaratkan agar Cakka dan semuanya mengikuti arah lirikannya.
Kini, banyak pasang itu membulat kala melihat sesuatu yang rasanya seperti mustahil untuk terjadi. Kesepuluh jemari mereka berkumpul. Saling menggengam dengan penuh kehangatan. Mereka menggelengkan kepala. Belum sepenuhnya percaya.
“Sivia, elo udah jadian ama Gabriel?” Tanya Febby antusias. Ia menepuk pundak Sivia.
Sivia hanya diam. Ia bingung mau mejawab apa. Mengiyakan atau menyangkal segala yang diucapkan Gabriel. Ia menoleh kea rah Gabriel. Tegakah ia kalau ia akan menyanggah segalanya? Segalanya yang bahkan kini menjadi satu-satunya yang rasa yang menjadi penguasa? Kembali menjadi munafik. Bertopengkan kebohongan. Lantas menyakiti hati pemuda yang bahkan selalu memberikan seluruh kasih untuknya. Tidak. Mana mungkin ia sejahat itu. Lagi pula, pernyataan Gabriel memang benar adanya. Dan hatinya takkan lagi mampu mengkamuflase rasa itu. Semuanya transparan. Apa yang terlihat mata, adalah perwujudan dari setiap rasa.
Maka Sivia menundukkan kepala. Dalam keingintahuan setiap sosok yang menyaksikannya, ia mengangguk. Lemah seakan pasrah. Namun mantap tak dapat terbantah.
“Huaaaa,,, Siviaaaa…!!!” Febby menghambur memeluk Sivia. Diikuti Shilla dan Ify. Cakka hendak bergabung ke dalam pelukan ketiga gadis itu. Namun segera ditahan Gabriel. Gabriel mengurai genggamannya. Toh, ia masih punya jutaan waktu untuk merasakan kelembutan sela jemari gadisnya. Bahkan mungkin, lebih dari itu.
“Kebiasaan banget Cakka!” ujar Gabriel.
“Naluri playboy sih ah! Jadinya susah!” ujar Rio dan mendorong tubuh Cakka pelan.
Cakka mengulum bibir. Ia menggaruk kepala bagian belakang. Sahabatnya itu kadang memang suka iri padanya. Ya, wajarlah. Secara kan Cakka itu tampan nan rupawan. Banyak gadis yang ingin menjadi kekasihnya. Tapi ia cukup tahu akan hatinya. Akan siapa yang menjadi pemilik cinta yang bergelung di hatinya. Tentulah gadis itu adalah satu-satunya gadis yang selalu saja ada di fikirannya. Gadis yang menjadi salah satu bagian dari adegan berpelukan yang ada di hadapannya. Gadis yang tak pernah tahu akan gemuruh ombak yang selalu saja membuat perutnya mual kala berada di sampingnya. Gadis yang malah mengejar cinta yang lain yang semakin menjauh seiring perjuangan keras yang dilakukan untuk meraihnya.
Pricilla tak berniat ikut terlibat dalam pelukan perayaan tersebut. Ia meletakkan telunjuknya di dagu. Mengangguk-angguk seraya tersenyum miring.
“Jadi ini toh yang terjadi pas mau shubuh!” Pricilla mendelik ke arah Gabriel. “Hebat juga lo pangeran vesva. Haha…”
Sivia buru-buru mengurai pelukannya. Ia mencubit lengan Pricilla sampai gadis berponi itu meringis kesakitan. Sivia mempelototi Pricilla. Yang dipelototi malah mengusap-usap area bekas cubitan. Sesekali terkekeh jahil menggoda sahabatnya.
“Oh, Sivia ditembaknya shubuh ya? Ish ish, sok romantis lo Yel!” Rio ikut mencibir.
“Riooooo… apa-apaan sih! Nyebelin ya kaya Pricilla!” Sivia mengulum bibir. Tuh kan, sekarang ia jadi bahan ledekan teman-temannya. Gabriel sih!
Sementara Gabriel tak berniat sedikit pun membela gadisnya. Biar saja gadisnya menahan malu. Kan kalau malu, wajah Sivia suka berubah warna menjadi merah ranum. Nanti ia bisa menjawil pipi Sivia. Gabriel tersenyum menyeringai.
“Wah Yo, kita berdua nyebelin. Tos dongse!” Pricilla mengayunkan telapak tangannya yang langsung disambut oleh telapak tangan Rio.
“Tostos!” ujar Rio.
Sivia mendengus kesal. Kedua sahabatnya itu keterlaluan. Ia menghentakkan kakinya ke lantai. Menyikut perut Gabriel yang sebagai pacarnya sama sekali tidak berkutik saat Sivia menjadi sasaran kejahilan teman-temannya.
“Heh odong-odong, belain aku napa? Ish!” ujar Sivia.
“Cieee,,, Odong-odong. Belain Becak dongse! Ahahaha!” Pricilla memperagakan gaya Sivia yang manja. Namun malah terkesan berlebihan dan –cukup- menggelikan.
“Ish…” Sivia berdecak. Capek menghadapi teman-temannya yang menyebalkannya sudah mencapai level tertinggi. Mungkin, ini karma ya. Biasanya kan Sivia yang membuat mereka kesal sampai guling-guling di lantai. Sekarang gantian dia yang harus sering mengurut dadanya. Menyabarkan diri dari mahluk-mahluk yang hamper kehilangan warasnya.
“Cieee,,, yang ngambek! Uuuhhh,,, lucu deh!” Gabriel mencubit pipi Sivia. Kena kan dia. Gabriel bersorak bahagia.
“Odong-odong nyebeliiiiiinnnn!!!!!” Sivia berteriak. Membuat seisi kelas diam sejenak. Dan akhirnya bersama-sama menertawakan tingkah lucu dan konyol dari pasangan terfenomenal abad ini. Odong-odong dan Becak.
***
Gadis cantik itu tengah duduk berselonjor kaki di bawah sebuah pohon besar yang berdiri kokoh di taman sekolah. Dipangkuannya tergeletak pasrah sebuah buku –nampaknya novel- bersampul jingga keemasan. Gadis itu tengah melamun. Fikirannya jauh menerawang. Ia sama sekali tak mempedulikan bukunya yang berpindah halaman sendiri dengan bantuan angin. Ada hal yang lebih krusial daripada sekedar menyelesaikan bab-bab dalam buku tersebut. Mengenai hati dan perasaan yang ada di dalamnya. Gadis itu mendesah.
“Gaharu.” Kata itu terdengar begitu indah saat suara baritone itu melapalkannya. Si empunya suara, ikut duduk di sebelah Gaharunya. Ia menekuk kedua lutut.
“Kau menemukanku?” Tanya Gadis itu retoris.
“Aku selalu dapat mengetahui keberadaanmu Ify. Instingku kuat.”
Lalu setelah itu hening. Mereka memang bukan seperti pasangan lain yang seringkali mengungkapkan perasaannya dengan jutaan kata indah atau hanya sekedar gombalan konyol belaka. Mereka lebih senang seperti ini. Menikmati tiap pergeseran jarum jam berduaan tanpa suara. Merasakan keindaham cinta tanpa harus berfikir keras menghasilkan syair-syair cinta memikat seolah sang pujangga. Mensyukuri anugerah Tuhan yang kerap terlupakan.
Dan Rio -pemuda itu- kali ini seperti berada pada titik dimana ia tak lagi nyaman dengan keadaan seperti ini. Ia mendesah kentara. Teramat kentara.
“Sampai kapan kita begini?”
Ify terkesiap. Ia menoleh sejenak. Lantas kembali memalingkan muka ke depan. “Kau bosan?” Tanya Ify sarkatis.
“Aku ingin seperti Gabriel dan Sivia. Tak ada yang ditutu-tutupi. Kita sudah cukup lama begini.” Nada bicara Rio mulai meninggi.
“Intinya,,, kau bosan kan?” Ify menohok kedua mata Rio. Lalu tersenyum miring.
“Bukan. Aku tak pernah bosan melakukan suatu hal bersamamu Gaharu! Tapi,,,” Rio berhenti sejenak. Ia mnghela nafas. Berusaha memperlembut aksen bahasanya. Takut melukai hati Gaharunya. Perlu diketahui, Rio akan mati-matian berusaha agar hati gadisnya tak pernah sedikit pun terluka. “Tapi, kenapa kita tak bisa seperti mereka yang bahkan selama ini pun tak pernah ada tanda-tanda cinta di antara mereka.”
Ify menunduk. Ia merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia tahu Rio sangat marah padanya, namun sekuat tenaga ia tahan untuknya. “Aku bukan Sivia. Dan kamu juga bukan Gabriel. Kita berbeda dengan mereka.”
Rio mengerutkan kening. “Apa bedanya? Kita sama-sama memiliki cinta. Bahkan jauh lebih lama dari mereka”
Ya, tak ada yang berbeda dari ini semua. Lalu kenapa gadis itu selalu teguh pada pendiriannya? Memutuskan untuk tidak ada satu orang pun yang tahu akan hubungan istimewa yang terjalin antara mereka sejak beberapa bulan silam. Apa yang sebenarnya ada di dalam fikiran Gaharunya? Atau dalam hatinya? Rio jadi ragu sekarang. Adakah ia selama ini mengisi relung hati gadis Gaharunya? Atau selama ini, hanya kepalsuan saja? Hanya untuk membuatnya bangkit dari keterpurukkan setelah perpecahan dalam keluarganya? Rio menggeleng. Tidak. Gaharunya tak mungkin sejahat itu. Ia menyingkirkan dugaan konyol yang baru saja mengusiknya.
“kalau kita melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Sivia dan Gabriel, maka aka nada hati yang terluka. Aku tak mau,,,” Ify menunduk. Menggigiti bibirnya.
Ya, itulah alasan Ify menginginkan hubungan istimewa dengan pemudanya dirahasiakan. Karena ia tahu, ada hati lain yang lebih rapuh akan menelan pil kekecewaan apabila mengetahui semuanya. Dan ia tahu, pemilik hati rapuh itu adalah gadis yang rapuh juga. Sahabatnya sendiri. Walau ia tak pernah mendengar langsung dari sahabatnya, ia tahu. Sangatlah tahu. Mata beningnya tak pernah bisa menutupi gejolak yang bergemuruh d hatinya. Gejolak yang kerap membuncah kala sahabatnya itu berhubungan dengan semua yang bersangkutan dengan pemudanya. Entah itu kala ia berhadapan langsung, berbicara langsung, berkontak tubuh langsung, atau hanya kala membicarakannya saja. Bahkan, mendengar nama pemudanya disebut saja, bisa-bisanya membuat gadis rapuh itu terpesona. Ify takkan sampai hati harus menyakiti sahabatnya. Dia gadis yang baik. Hatinya putih dan suci.
Sementara Rio terperanjat. Hati siapa yang dimaksud? Rio benar-benar belum mengerti. Tapi Rio sudah cukup menerima akan alasan itu. Alasan yang mulia. Ia mendesah. Kenapa gadisnya masih saja memikirkan hati orang lain, sementara ia yakin bahwa hatinya sendiri juga tak sepenuhnya nyaman dalam keadaan seperti ini.
Rio melingkarkan lengannya untuk merengkuh tubuh Ify. Ia memberikan gesture lembut sehingga Ify dengan senang hati mendaratkan kepala pada bahu kokohnya. Rio mengusap-usap pelipis Gaharunya. Merasa beruntung memiliki Gahari yang sangat istimewa.
“Aku mencintaimu Ify…”
Kalimat itu pun kini tak sedikit pun berkurang khasiatnya. Tetap memiliki kekuatan magis. Ify selalu saja merasa tenang setelah mendengar kalimat itu terucap dari pemuda yang telah mengubah harinya menjadi lebih indah. Dan Rio sangat tahu apa yang dapat membuncahkan bahagia di hati Gaharunya. Maka ia rela mengucap kalimat itu bermiliyar kali pun, asal Gaharunya tetap tinggal di sisinya.
Maka tanpa mereka tahu, seorang siluet tampan tengah memperhatikan mereka dari kejauhan. Pemuda itu mengepalkan tangannya. Ada perasaan marah di hatinya, bercampur dengan kekecewaan. Namun perasaan yang sedikit lebih banyak dari itu semua adalah kecemasan. Rasa cemas yang ia tujukan untuk gadis pemilik hati yang Ify maksud tadi. Gadis yang sudah berhasil memikat hatinya. Pemuda itu mendengus.
***
Bersambung
***
Hehehe, ngaret yak? Maaf deh! Thanks udah nemenin saya disaat suka maupun duka. #cielahbahasanya. Haa,, pokoknya thanks a lot lah buat semuanya. Terutama buat PRENSINTALICIOUS. #okeguesokartis. haha, becanda doang! Orang saya ga punya prens, pens mah banyak!
Sekian ya cuap-cuap saya! Selamat Tahun Baru aja! Haha #padahalbelum See you in 2012! Muahmuah!
Oleh: Sinta Nurwahidah
fb: 1. Sinta Banget
2. Shinta Nurwahidah
Twitter: @sintaSnap
Salam Pisang goreng!
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari