Kisah Juni (Seonggok kisah yang kembali terabaikan)

Selasa, 29 November 2011

Kisah Juni (Seonggok kisah yang kembali terabaikan)


Sudah selarut ini, dan aku belum bisa terlelap dalam nafas satu-satu. Aku tidak menderita insomnia. Aku masih terjaga, karena bayangmu seolah mengganjal mataku. Kau menari-nari dengan riang dalam benakku. Berlari. Melompat. Meniup gelembung. Menerbangkan merpati. Aku selalu senang melihatmu melakukan sesuatu yang aneh. Namun, masihkah rasa senang itu ada kala ku dapati kau melakukannya bersamanya? Bersama gadis ingusan yang sangat beruntung itu.

Hey Juni! Ingatkah kau padaku? Iya, aku. Gadis bodohmu. Gadis cengengmu. Gadis gendutmu. Gadis hujanmu. Kau lupa? Ah, kau menyebalkan. Pasti gadis itu adalah keponakannya Romi Rafael, jadi ia bisa menghipnotismu untuk menghapusku dari benakmu.

Baiklah, akan ku ceritakan kembali tentang kita. Ya, aku dan kamu. Juga hujan yang berperan penting dalam kisah ini.

Kamu pasti bingung kan kenapa aku memanggilmu Juni? Padahal, namamu bukan Juni. Aku memanggilmu Juni, karena rasa asing itu diselipkan Tuhan di hatiku pada bulan juni. Ya, kala sore berhujan di penghujung bulan Juni.

Saat itu, aku hendak pulang. Namun hujan harus mencegahku. Aku berteduh di sebuah pos ronda. Dan saat itu, ada kamu. Kamu yang sungguh tampan dengan peci putih, baju koko yang dibalut jaket merah dan sebuah sarung. Kau hendak berangkat ke mesjid nampaknya. Aku tersipu. Entah mengapa, merasa canggung saat kau menatap ke arahku.

"Kau mau pulang?" tanyamu saat itu.

Aku mengangguk.

"Cepat pulang! Anak gadis tak pantas masih berada di luar sendirian." kamu melepas jaketmu. Lalu melemparnya tepat di wajahku.

Aku sempat terkejut. Saat itu aku berfikir kalau kau memang tak berniat menolongku. Iya, aku dan teman-temanku tahu bahwa kau memang seorang pemuda yang teramat dingin. Apalagi terhadap lawan jenis. Namun pada saat kau mengatakan, "Pakai jaketku! Aku tak mau kamu kenapa-napa." dengan nada angkuhmu yang seperti biasa, dapat ku tangkap, kau menyisipkan nada cemas di antaranya. Hal itu ku artikan sebagai tanda kepedulianmu padaku.

Dan sesungguhnya, setiap tetes air hujan yang jatuh menerpa bumi adalah sebuah cara untuk menghantarkan rasa itu agar menempati tempat terindah dalam ragaku. Yaitu hatiku.

*

Aku suka kamu. Menyukai aksen bahasamu yang tak pernah berbasa-basi. Telak menuju sasaran. Menyukai sikapmu yang sangat dingin, namun entah karena apa, selalu menghangatkan relung jiwaku. Menyukai kamu yang sederhana. Dan menyukai hobbymu yang cukup unik. Manyun. Ah, kau selalu saja mengerucutkan bibirmu. Saat kau melamun. Kesal. Mendengarkan penjelasan guru. Bahkan pada saat hujan pertama kita pun, kamu tengah manyun. Sungguh menggemaskan.

Dan ternyata, kau hanya menunjukkan kegemaran anehmu itu hanya padaku. Di hadapanku. Tentu saja. Mungkin, kau malu mengulum bibirmu di depan yang lain. Kau kan terkenal karena gayamu yang cool. Kan tidak lucu seorang se-cool kamu tertangkap sedang manyun.

Namun kau tak pernah menjaga gengsimu di depanku. Kamu manyun semaumu. Dan karena frekuensi melihat manyun khasmu, membuatku tergerak untuk mengikuti jejakmu. Manyun. Dan karena aku adalah gadis yang tak memikirkan apa kata orang, maka aku pun mengerucutkan bibir kala aku ingin melakukannya. Terutama, saat aku merindukanmu.

Manyun yang selalu kau hadiahkan untukku, aku terjemahkan sebagai isyarat, bahwa kamu memang menganggapku 'berbeda' dari yang lain. Walau manyun menunjukkan seseorang tengah merasa sebal, namun manyun lucumu adalah pertanda bahwa kamu menyukai kehadiranku dalam tiap helaan nafasmu.

*

Cinta ada untuk saling melengkapi. Cinta tercipta untuk saling menyempurnakan. Aku percaya, cintamulah yang mengindahkan.

Aku sangat gemar berfoto. Bergaya di depan kamera. Aku banci kamera. Sedangkan kamu sangat menyukai fotographi. Senang mengkristalkan kenangan yang tak mungkin terulang. Ya, walaupun saat itu kau melakukan kegemaranmu hanya dengan ponsel berkameramu.

Suatu senja, kau berlari menghampiriku dengan wajah yang sumringah. Senyum tipismu tergantikan dengan senyum lebar yang sungguh menawan. Kau mengguncang-guncangkan tubuhku. Lalu menunjukkan sesuatu padaku. Sebuah kamera digital. Kau baru saja mendapatkan benda itu dari ayahmu. Aku ikut senang. Aku memberimu ucapan selamat.

"Kau mau ku potret? Jeprat jepret..." ujarmu.

Aku menautkan kedua alisku. Heran juga saat mendengar tawaranmu. Ah, biasanya kau paling tidak suka melihatku bergaya. Aku sering mendapatimu memutar dua bola matamu dan mencibir pelan saat aku sedang beraksi. Tapi kali ini, kau sendiri yang memintaku untuk jadi objek foto perdanamu dengan kamera barumu.

Kau terlihat salah tingkah. Kau menggaruk belakang telingamu. Lucu sekali.

"Sudahlah Ify! Sekarang, tak ada objek lain yang pantas ku foto selain dirimu!" ujarmu.

Aku tersenyum. Lantas mulai berpose semauku. Ah, aku sangat bahagia. Kau mulai memotretku. Gayamu sudah seperti fotographer profesional. Sangat keren.

Setelah berpuluh potretan, kau pun mengeluh. Lelah dan ingin beristirahat. Namun aku merajuk tak mau berhenti. Masih ada jutaan poseku yang belum diabadikan oleh lensa kamera. Aku mengulum bibir. Memaksamu untuk mengabulkan keinginanku. Dan lucunya, kau bersedia. Kau tak menolak. Walaupun kau melakukannya dengan manyun khasmu. Aku berhasil mengerjaimu.

"Udah ah Fy! Mau pipis. Kebelet!" ujarmu.

"Yah, kok?"

"Kamu mau aku pipis disini?" kau mengedipkan matamu nakal. "Aku titip ini." kau menyerahkan kamera dan ponselmu lantas bergegas menuju toilet umum.

Aku menggelengkan kepala. Lantas melirik ponsel yang ada di tanganku. Aku tersenyum miring. Menekan beberapa tombol. Aku melihat kumpulan foto di ponselmu. Dan aku terkejut saat mendapati banyak sekali fotoku di sana. Kau memotretku dan aku tak tahu itu. Diam-diam kau membekukan tiap kedipan mataku.

Aku tersenyum. Merasa dilambungkan hingga langit ke tujuh. Melesak menuju angkasa. Menari bersama taburan bintang yang bersahaja.

*

Kau itu sangat menyebalkan. Kau gemar menghilang. Membiarkan aku kebingungan mencari keberadaanmu. Tak tahukah kamu, senyummu, tawamu, dan yang pasti manyunmu sudah menjadi kebutuhan pokokku. Kau adiksiku. Lalu kau pergi. Ada bagian di hatiku yang merasakan nyeri yang begitu pilu. Sesak juga ikut mencekat dadaku. Aku menginginkan kamu untuk ada di sampingku setiap waktu. Setitik rindu yang menetes di hatiku semakin menggenang. Meluber dan membanjiri batas penantianku. Aku butuh kamu. Kembalilah.

Dan kala rindu itu sudah tak dapat ditampung lagi olehku, kau berlari menyongsongku. Meminta maaf atas ketiadaanmu. Dan aku membalasmu dengan membuang segudang rindu itu padamu. Menghempasnya bersama harapan-harapan yang kelak suatu hari nanti akan kau wujudkan.

"Kamu jahat! Aku rindu kamu." aku memukul-mukul dadamu. Agar kamu merasakan sesak yang tak terelakkan.

"Maaf!" kau menatap nanar mataku.

Dan satu kata penuh makna itulah yang mampu meluluhkanku. Aku tak bisa marah padamu. Sekalipun kau melakukan kesalahan besar, asal kau meminta maaf, aku akan langsung memaafkanmu.

"Aku suka kamu, Juni!"

"Namaku Gabriel, bukan Juni."

"Biar saja! Yang penting aku suka kamu."

Kau menepuk ubun-ubunku. Sejenak, terpana akan ketampanan wajahmu. Menggetarkan hatiku. Getaran itu berlomba dengan sang jantung yang kian kencang berpacu. Aku suka kamu. Suka suka suka. Kamu tak boleh melarangnya.

*

Ketika itu hari sabtu, kau mengajakku bermain di taman favorit kita. Kau bersama adikmu juga. Adik perempuan yang sungguh menggemaskan. Kulitnya kuning langsat. Berambut hitam dan ikal.

Aku banyak bercerita dengan adikmu. Dia anak yang seru. Tidak malu-malu. Aku suka adikmu.

Kami berdua asyik bercengkrama. Saling melemparkan lelucon yang menggelitik perut. Mengeluarkan guyonan-guyonan menyegarkan.

Aku tak menyadari, bahwa kamu yang tengah duduk di samping kananku merasa terabaikan. Luput dari perhatian. Ow ow, aku tak tahu bahwa kau tengah merutukiku dalam hati.

"Ayo Acha! Kita pulang!" kau menarik lengan adikmu dengan kasar. Lalu bergegas tanpa berkata apa pun padaku. Aku menggaruk kepalaku. Belum mengerti.

"Kamu mau kemana Juni?" aku berteriak.

Dia menghentikan langkahnya. Menoleh padaku. "Aku akan kembali. Tunggu!" ujarmu. Lantas benar-benar pergi. Menghilang di batas penglihatan.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya kau kembali. Sendiri. Tanpa adik manismu. Kau berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Lalu berhenti tepat di depanku.

"Aku ga suka kamu dekat-dekat adikku atau siapa pun itu selain aku." ujarmu langsung.

"Kenapa?" aku mengerutkan kening.

"Aku cemburu. Aku..." kau buru-buru menutup mulutmu. Mengatupkan rahang kuat-kuat. Lalu melengos pergi.

Aku segera berlari menyusulmu. Meraih jemarimu agas tetap tinggal dan tak bergegas kemana-mana.

"Kamu cemburu? Itu tandanya kamu..." kamu tiba-tiba membekap mulutku. Aku hanya bisa megap-megap.

"Jangan cerewet bodoh!" lalu setelah kau mengucapkan itu, kau menjauhkan tanganmu dari mulutku. Membalikkan badanmu hingga membelakangiku.

Aku menghela nafasku yang tersengal. Lantas menggoyangkan bahumu.

"Heh Gabriel, kau suka aku? Ayo jawab! Heh!"

"Cerewet!" ujarmu tetap dingin. Namun dapat ku rasakan, tubuhmu berubah mengejang. Mungkin kau gugup mendapatkan tekanan dariku. Kau terpojok.

Dan sikapmu yang terlihat salah tingkah itu, mengembangkan senyumku. Segala gerak tubuhmu, menandakan bahwa kau memiliki rasa yang sama seperti apa yang sudah tersimpan sejak lama di organ terkrusial dalam tubuhku.

*

Aku bodoh. Aku sering menduga-duga sesuatu yang belum pasti. Menerjemahkan apa yang tersirat. Meramalkan apa yang belum tentu terjadi.

Beberapa minggu setelah kau mengucapkan seuntai kata yang melesak anganku hingga membumbung jauh, kau membantingnya sampai ke dasar jurang tercuram. Kau mematahkan segala asa yang tercipta seiring nafas yang terhela. Kau memupus harapan-harapan yang telah ku terbangkan. Kini semua hilang, tertelan gumpalan awan di langit yang selalu berarak sengit. Awan kelabu yang kau suguhkan bersama pelatuk tajam yang menusuk-nusuk hatiku.

Kau memintaku untuk menemuimu. Namun, aku selalu saja menolak. Aku memang sangat sibuk dengan sekolahku. Dengan duniaku. Sampai-sampai aku kehilangan waktu untuk menikmati senja berhujan seperti biasanya. Aku tak menyangka, segalanya berjalan di luar jalur perkiraan.

Di hari minggu yang mendung, kau memohonku untuk menyisihkan waktu agar bisa menemuiku. Nada bicaramu sangat memelas. Aku tak tega harus menolakmu. Maka aku pun bersedia.

Aku melangkah secara perlahan. Tubuhku disambar getaran hebat yang menohok seluruh organ pentingku. Hatiku mencelos, mendapati kamu tak sendiri. Gadis cantik dengan rambut terurai tengah menggelayutimu dengan mesra. Siapa dia?

"Kenalkan, dia Sivia." kau mendesah. "Pacarku." kau menunduk.

Apa? Apa yang baru saja kau katakan? Katakan bahwa kau tengah bergurau! Katakan bahwa kau hanya tengah membuat lelucon yang sangat tidak lucu. Ayo katakan! Aku berteriak dalam hati. Menjerit. Menyuarakan bahwa aku merasakan pedih yang teramat sangat menyakitkan. Hatiku teriris. Menelan pil pahit yang menorehkan memar-memar mengenaskan.

"Kamu Ify kan? Gabriel sering cerita, dia suka sama kamu..." Sivia tersenyum. "Tapi dulu."

Aku menarik ujung-ujung bibirku. Berusaha untuk tersenyum. Tanpa sadar, setetes buliran bening mengalir meninggalkan pelupuk mataku. Disusul tangisan alam yang tanpa diberi aba-aba langsung menerpaku. Mengkamuflase tangisanku yang kian menderas.

Dan waktu seakan berhenti melaju. Semuanya membeku, termasuk aliran darahku. Maka aku hanya bisa terpaku saat desauan angin menyapu wajahku. Menandakan bahwa kamu dan Sivia baru saja melaluiku. Kalian pergi. Meninggalkan aku yang rapuh di bawah naungan hujan. Membiarkan aku yang bertahan dengan hati yang sungguh mengenaskan.

Tangisku semakin deras. Sedang hujan mulai mereda. Semuanya kini nampak begitu jelas. Aku masih terpaku. Lalu sejurus kemudian, aku menjatuhkan diri. Menundukkan kepala. Terus menangis.

Dan kamu, sang penoreh baret itu kembali menghampiriku. Kini sendiri, tanpa gadismu.

"Bukankah kamu selalu bahagia saat hujan turun?" tanyamu retoris. Mengangkatku untuk lekas bangkit dan berdiri.

"Kamu tahu kan aku menyukaimu?" aku menatap matanya yang berair. Entah karena hujan atau karena yang lain.

"Kau juga tahu kan kalau aku menyukaimu?" kamu menyentuh jemariku. Mengumpulkannya dalam satu genggaman saja.

"Lalu apa yang sekarang kau lakukan? Kau..."

Kau menarikku masuk ke dalam dekapanmu. Menelungkupkan wajah pada dada kokohmu. Dapat ku hirup aroma menenangkan dari tubuhmu. Mendengar detakan jantungmu yang beradu dengan ketukan air hujan yang kembali menderas. Bisa ku rasakan telapak tanganmu tengah menepuk-nepuk puncak kepalaku. Menguatkanku.

"Apa pun yang terjadi, aku tetap menyukaimu. Hatimu milik aku." bisikmu pelan.

*

Lalu setelah itu, apa memangnya yang kau lakukan? Kau benar-benar menjauh. Membangun sekat penghalang yang tinggi menjulang. Tak bisa ku tembus. Sekali pun aku telah mengerahkan seluruh kekuatanku. Tembok itu terlalu kuat berdiri.

Ya, aku benar-benar kehilanganmu. Sikap dinginmu. Tingkah lucumu. Sifat kekanak-kanakanmu. Manyunmu. Semua hilang. Tersapu ombak bersama karang.

Dan ketika tadi siang kita berpapasan, kita hanya diam. Saling bertatapan. Tak bertegur sapa. Melempar senyum pun tidak. Tak ada manyun yang biasnya. Semua berbeda. Bahkan sekarang, kita seperti tak saling mengenal. Padahal sebelumnya, kita adalah satu. Semua berubah.

Kamu jahat. Kamu singgah di hatiku. Mengunci hatiku agar tetap mencintaimu. Lantas setelah kau berhasil, kau pergi dan membuang kunci itu ke palung terdalam hatimu. Dan kini, aku dijejali rasa menyesakkan saat aku tahu bahwa hatimu tak lagi tertuju padaku.

Lalu memangnya, apa yang dapat ku lakukan sekarang? Mengambil kunci itu? Bahkan untuk menyentuh hatimu saja, serasa mustahil untukku.

Dan, pada akhirnya aku hanya bisa terpekur. Kembali mengenang masa indah yang dulu selalu menghiasi tiap langkah kita. Namun kini, semuanya pupus. Berganti dengan tetesan perih yang menampar telak hatiku.

Aku berharap, kisah ini akan berlanjut. Hingga nanti kita mencapai waktu terindah dalam jejak perjalanan kita. Waktu dimana hati kita melebur menjadi sebuah cinta.

***
Tamat
*

Oke, saya curhat. Ahaha, tadinya mau coretan biasa. tapi kok jadi cerpen begindang.
ini kisah saya, semuanya bener2 terjadi, cuma pelukan aja yang enggak, kalau jotos-jotosan, sering.
Ya udah, sekarang tugas kalian, doain saya, biar ga ngenes terus. *eh.

LIKE AMA KOMENT, WAJIB.

*

Bandung Barat, 27 november 2011
Oleh: Sinta Nurwahidah
twitter: @sintaSnap

Salam Pisang Goreng!