Selapang Sang Rembulan part 3

Sabtu, 12 November 2011

Selapang Sang Rembulan part 3


Lima menit lagi bel masuk berbunyi. Namun suasana di kelas XI IPA 1 masih saja ribut. Sivia-lah biangnya. Gadis cerewet itu tengah heboh bercerita mengenai permainan ular tangganya semalam melawan kakak sepupunya, Bang Sion. Pricila dan Febby mengangguk sok mengerti. Padahal, tak sedikit pun cerita dari Sivia yang mereka pahami. Sivia bercerita terlalu cepat. Seperti ibu-ibu yang memarahi suaminya karena ketahuan selingkuh dengan janda kembang. Tapi Sivia tak peduli. Mengerti atau tidak, asal ia didengarkan, itu cukup. Maka Sivia bersemangat bercerita.

"Eh, Bang Sion sampai kapan tinggal di rumah lo?" tanya Febby selang setelah Sivia bercerita bahwa dirinya menang telak, 5-0. Prestasi yang membanggakan, mengingat biasanya dialah yang selalu jadi bulan-bulanan kepiawaian Abangnya dalam arena ular tangga.

"Sampai gue bosen main ular tangga sama dia, dan sampai dia bosen main ular tangga sama gue." jawab Sivia santai.

Mendengar Sivia menjawab dengan wajah polos -tapi menyebalkan-, Febby mengerenyit. Tak mengerti dengan jawaban Sivia. Lantas ia menoleh pada Pricilla. Lalu dengan dagu terangkat menatapnya dengan tatapan Sivia-ngomong-apa-sih-. Yang ditatap menjawabnya dengan mengangkat bahu. Pricilla juga tidak mengerti. Tanya saja Tuhan, kenapa Dia menciptakan gadis yang polosnya berlebihan.

Febby pun mendesah. Menoleh lagi pada Sivia dan berkata "Gue serius Siviaaaaa!" dengan gemas. Ingin sekali ia menjawil lalu meremas pipi tembem sahabatnya yang sungguh menyebalkan.

"Gue juga serius Febbyyyyyy!" kata Sivia tak kalah gemasnya. Febby ini, masa tidak percaya bahwa Sivia itu benar-benar serius. Lihat. Sivia sampai mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. Sumpah. Kurang apa lagi coba? Aduh, Febby itu kadang-kadang oon. Sivia mengerjapkan mata beberapa kali.

Febby mendengus kesal. Dari sisi mana coba jawaban Sivia itu bisa dibilang serius? Maka Febby memutar bola matanya lalu bergumam pelan, "Seriusnya aja kaya gini, gimana bercandanya?" Dan akhirnya menenggelamkan wajah di atas meja. Memilih untuk tidak meladeni Sivia. Makan hati tahu.

Sivia mengerutkan kening. Heran. Bisa-bisanya Febby hengkang dari dunia sejuta ceritanya dan lebih memilih menyibukkan diri dalam dunianya. Dunia tindihan ransel. Febby tidak seru. Berbeda dengan Pricilla yang kini malah menarik tangannya sambil memintanya melanjutkan kronologis bagaimana dia bisa menjadi jawara dalam kancah permainan ular tangga semalam. Tuh kan, Pricilla memang seru. Lantas Sivia makin heboh dan semangat bercerita, walau pendengarnya hanya tersisa Pricilla seorang.

Salah. Bukan hanya Pricilla yang jadi pendengarnya. Tapi pemuda yang tengah duduk sambil melipat kedua tangannya itu juga jadi pendengarnya. Bukan hanya itu. Tapi pemuda 'tengil' itu juga memperhatikan tiap gerak-gerik Sivia. Berdecak dan menggelengkan kepala melihat mulut Sivia yang tak henti berbicara. Terkekeh lucu mendengar cerita konyol Sivia. Ah ya, akhir-akhir ini pemuda itu memang gemar sekali melakukan semua itu. Kadang dia jadi malu sendiri, kalau mengingat betapa dulu ia tak sedikit pun menyukai gadis cerewet-nya. Bahkan terkesan terganggu oleh keberadaannya. Tapi entah mengapa hatinya berubah dan justru malah menganggap kecerewetannya adalah sesuatu yang menarik. Gabriel berucap jujur dalam hati. Dan setelahnya, bibirnya dan seluruh raganya akan membuat kejujuran juga.

Merasa diperhatikan, Sivia menghentikan celotehannya. Ia memicingkan mata, menyisir seluruh penjuru kelas. Dan dia tersentak lantas membelalakkan kedua matanya saat mendapati bahwa Gabriel-lah pelakunya. Gabriel sedang apa? Melihatnya seperti itu. Memangnya Sivia itu badut ancol? Sebenarnya Sivia merasa senang juga diperhatikan oleh Gabriel. Tapi tak usah lekat-lekat seperti itu. Nanti Sivia malu. Pipinya sensitif tahu. Tunggu. Kenapa Sivia harus malu? Bukankah ia tak pernah merasa malu kalau ia diperhatikan lelaki lain? Mungkin Sivia juga mulai menyukai pemuda itu. Tidak. Sivia membuat penyangkalan dalam hati. Maka Sivia mengerjap lalu menggelengkan kepala.

Dan untuk menghilangkan rasa malunya, ia mempelototi Gabriel segarang mungkin, tapi terkesan lucu. Dan yang dipelototi tak sedikit pun merasa takut. Dia malah tersenyum. Melambaikan tangan dan berkata "Hai!"

Sivia menelan ludah melihat tingkah Gabriel. Seharusnya dia itu takut. Bukan malah menggodanya seperti itu. Nanti Sivia semakin malu. Maka Sivia menggelengkan kepala cepat.

"Heh!" hardik Sivia seraya bangkit berdiri dari kursinya. Dan dengan berkacak pinggang dia mengeluarkan kalimat yang akan menggelitik si pemilik busur untuk segera melesakkan anak panah. "Genit banget sih lo! Terus, maksudnya apa coba liatin gue kaya gitu? Suka?"

Terkejut seketika Gabriel mendengarnya. Gadis itu benar-benar menantangnya untuk segera menancapkan panahnya. Maka ia berdiri dan tersenyum miring.

Dan anak panah itu resmi melesak menuju sasaran tembak saat Gabriel menjawab tantangan gadis cerewet-nya dengan ucapannya.

"Siapa bilang gue suka sama lo? Gue itu cinta sama lo!" ujar Gabriel lantang penuh kejujuran. Disertai ketulusan.


Telak. Panah itu kini meninggalkan busurnya atas perintah pemiliknya dan menancap tepat pada sasaran, yaitu hati gadis yang kini hanya bungkam tak percaya. Sivia seakan dilemparkan geranat. Mengejutkan. Dan ia kini tak bisa berucap sepatah kata pun, walau bibirnya bergerak-gerak berusaha keras berkata.

Hatinya kini buncah oleh perasaan asing yang telah cukup lama menyentuh hatinya. Dan nyatanya, tanpa sang pemilik hati sadari, perasaan itu kian mengembang tak terkendali. Bahkan mulai menguasai jiwanya. Menghambat aliran darah pada pembuluhnya. Membuat akal sehatnya tak dapat ia gunakan dengan baik. Dan kesemuanya itulah yang membuat mulutnya bergerak tanpa suara.

Maka seluruh penghuni kelas pun ikut terdiam. Terpana takjub pada kejujuran pemuda tampan itu. Dan mereka menyaksikan drama mengenai kejujuran hati itu dengan seksama. Menanti kelanjutannya dengan hati bergetar dan jutaan tanda tanya mengenai apa yang nanti akan diungkapkan oleh gadis berlesung pipi itu. Kejujurankah? Atau... penyangkalan dari sebuah kejujuran, kemunafikan.

Sementara Gabriel menatap gadis yang berdiri sekitar dua meter darinya dengan penuh kesungguhan. Meyakinkan gadis cerewet-nya agar segera keluar dari balik tembok kemunafikannya. Agar ia tak ragu menjaga anak panah yang sudah tertancap di hatinya. Dan lantas menghambur padanya dengan kejujuran.

Percayalah. Dan kalimat itu terus ia rapalkan dalam hati. Kalimat bukti bahwa dirinya tak pernah main-main mengenai hatinya. Dan dia juga berharap, gadis itu takkan terus bersembunyi dalam tamengnya.

Sepolos apa pun Sivia, dia tahu benar mana kesungguhan dan mana bualan. Dan sayangnya, Sivia menangkap jelas kesungguhan itu. Cahaya yang menyala di bola mata coklat milik pemuda itulah buktinya. Lalu Sivia seakan bisa mendengar rapalan kalimat itu. Hati kecilnya mendengarnya.

'Percayalah'

'Percayalah'

'Percayalah'

Dan sejuta kalimat yang sama bergantian mengetuk hatinya. Terngiang dalam fikirannya. Maka Sivia membalas tatapan itu. 'Jangan! Jangan menatapku seperti itu!' Dan lagi lagi, penyangkalan terjadi.

Dan setelah penyangkalan 'kecil' itu terjadi, Sivia mendapat amunisi baru untuk menciptakan jutaan penyangkalan baru. Membangun tembok kemunafikannya makin kokoh berdiri. Sivia mengerjap lantas berkata, "Gue... gue..."

Sial. Sivia mengumpat dalam hati. Mulutnya kaku. Kalimatnya tercekat di rongga tenggorokkan.

Para penonton sudah mulai gemas menantikan apa yang berikutnya terjadi. Maka mereka serempak mengeluarkan kalimat-kalimat penyemangat yang terkesan menggoda.

"Cieeee, Si Tengil sama Si Cerewet nih! Yuhuuu!" dimulai dari Cakka yang mengeluarkan godaannya sambil mengedip-ngedipkan mata.

"Wes wes wes, Sivia sama Gabriel so sweet banget! Mauuuuu!" selanjutnya Pricilla yang tak mau melewatkan untuk menggoda sahabatnya.

Lalu diikuti seluruh penghuni kelas -kecuali dua gadis- yang bersahutan mengeluarkan 'dukungan' untuk dua pelakon drama itu.

Pemuda yang menjadi salah satu pelakon itu pun tetap dengan sikapnya. Tersenyum. Menatap tajam. Meyakinkan.

Sementara lawan mainnya mulai dilanda rasa gugup. Dan kegugupan itu tak bisa ditutupi oleh Sivia. Terlihat dari pipinya yang menorehkan semburat merah menggemaskan.

Sivia menggelengkankan kepala seraya menutup telinganya. Ia tak mau mendengarkan semua godaan yang dilontarkan oleh teman-temannya. Ia tak mau pipinya semakin memerah. Ia tak mau tembok kemunafikkan yang sudah susah payah ia bangun runtuh. Praktisnya, ia tak mau mengungkapkan kejujuran.

"Lo semua nyebelin!" cibir Sivia lalu sejurus kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas kursi, lalu akhirnya menutupi wajahnya yang merona dengan kedua telapak tangan.

Maka membahanalah gelak tawa di seluruh penjuru kelas. Lucu melihat tingkah Sivia yang tersipu.

Sementara semuanya tertawa mendapat hiburan yang menyegarkan yang disuguhkan oleh Gabriel dan Sivia, ada dua gadis yang tidak ikut dalam euforia kehebohan hiburan tadi. Mereka berdua gelisah. Gelisah karena pemuda yang sama yang sampai saat ini masih juga belum memasuki kelas.

Shilla, salah satu dari dua gadis tersebut tak bisa duduk tenang. Ia melirik ke meja baris ke-dua yang berada di ujung ruangan. Tempat itu masih kosong. Penghuninya belum juga datang. Lalu Shilla melirik pintu kelas. Begitu seterusnya. Ia melakukannya bergantian. Shilla takut pemuda itu terlambat. Dan Shilla juga takut kalau kemungkinan terburuk terjadi, yaitu dia takkan datang di hari kedua semester genap ini.

Shilla mendesah kemudian bergumam pelan, "Masa dia ga sekolah lagi sih!"

Gumaman yang -menurut Shilla- pelan itu, nyatanya masih tetap saja bisa menyapa dan masuk ke lubang telinga teman sebangkunya, Febby yang masih asyik tertawa. Dan Febby pun akhirnya menghentikan tawanya. Ia melirik Shilla. Mengerutkan kening menangkap ekspresi kekhawatiran yang sangat kentara pada wajah cantik Shilla.

"Dia siapa?" tanya Febby menyelidik.

"Hah..." Shilla terkesiap. Terburu-buru menggelengkan kepalanya. Tersenyum jengah. Dan berusaha tidak menunjukkan kegelisahannya.

Sesungguhnya, Shilla ingin sekali berbagi cerita mengenai hatinya yang bergetar saat memikirkan pemuda itu. Tentang hatinya yang selalu berdebam-debum kala berada di dekat pemuda itu. Tapi, Shilla fikir belum saatnya. Nanti-nanti saja. Walau kita tak pernah tahu, nanti-nanti itu justru akan membuat segalanya menjadi rumit, lebih rumit dari rumus trigonometri. Shilla sama seperti Sivia, tidak mau jujur. Namun setidaknya, Shilla lebih baik, dia tidak membuat penyangkalan-penyangkalan tak berguna dalam hatinya.

Febby hanya mengangguk. Lalu sejurus kemudian kembali melanjutkan tawanya yang terpotong oleh gumaman Shilla.

Dan gadis lainnya yang juga dilanda kegelisahan yang sangat hebat -melebihi Shilla-, adalah Ify. Gadis yang duduk di samping Sivia itu terus saja mengetukkan jari-jarinya ke atas meja. Menggigiti bibirnya. Menatap penuh harap ke arah pintu kelas.

Kekhawatiran Ify terus mengembang, kala jarum kecil di dalam jam tangannya terus berdetak. Tak mempedulikan siapa pun yang kalah oleh ketukan iramanya. Maka Ify tak bisa menghilangkan rasa gelisah yang terus merayapi hatinya.

Hei, tak bisakah Ify bersikap biasa saja? Toh Pricilla tadi mengatakan bahwa pemuda itu sudah berada di lingkungan sekolah. Tidak. Kalau menyangkut pemuda-nya, Ify tak bisa bersikap biasa. Rasa pedulinya terhadap pemuda itu sungguh besar.

Maka Ify mendesah. Merogoh tasnya. Mengambil ponselnya. Menuliskan segurat pesan yang akan ia kirimkan pada pemuda-nya.

"Gue nungguin lo!"

Segurat pesan yang hanya terdiri dari satu kalimat -pendek pula- itu sangat ampuh untuk meredakan kegelisahannya. Karena, dua puluh detik setelah pesan itu ia kirimkan, menyembullah seorang pemuda tampan dari balik pintu, pemuda yang kehadirannya sangat diharapkan oleh Ify -juga gadis dibelakangnya-. Ify tersenyum lega.

Suasana pun seketika berubah. Kegaduhan yang terjadi tiba-tiba lenyap saat terdengar sebuah suara lembut yang khas berdeham. Maka seluruh pasang mata tertuju ke arah sumber suara -termasuk Sivia yang melepaskan telapak tangan dari wajahnya-. Semuanya membelalak tak percaya. Pemuda tampan itu datang.

"Ehem..." sekali lagi pemuda yang berdiri gagah di ambang pintu itu berdeham.

Semuanya terkesiap dan serempak mengucap satu nama, "RIO!"

Pemuda bernama Rio itu pun tersenyum. Senyuman manis yang mampu membuat hati setiap gadis meleleh. Terlebih kini dua sahabatnya menghambur memeluknya, membuat senyuman itu terlukis lebih lama menghiasi bingkai wajah tampannya.

"Akhirnya lo sekolah juga!" ujar Cakka sambil mengacak rambut Rio.

"Bego! Lo bikin kita kangen tahu!" Gabriel memukul bahu Rio pelan.

Mereka saling berpelukan. Mengikis kerinduan yang tercipta di hati masing-masing ketiga pemuda tampan itu.

Sivia mendengus. Kesal dengan adegan berpelukkan yang dipertunjukkan oleh Rio, Gabriel dan Cakka. Sivia sebenarnya senang Rio akhirnya masuk sekolah lagi. Apalagi Rio adalah sahabatnya sejak duduk di bangku TK dan dia sudah menganggap Rio adalah kakaknya. Dia hanya kesal pada salah satu pemuda itu. Maka ia pun mencibir, "Sok romantis! Pelukannya itu loh!"

Mendengar cibiran Sivia, mereka bertiga mengurai pelukannya. Menatap tajam pada gadis yang dengan polos memainkan kunciran rambutnya.

Cakka mendelik pada Gabriel. Mengedikkan kepala. Memberi isyarat agar Gabriel segera membereskan gadis cerewetnya. Gabriel tersenyum miring. Mengangkat jempol lantas menghampiri Sivia. Sementara Rio hanya bisa mengerutkan kening. Dia tak tahu apa-apa. Tidak sekolah sehari saja membuatnya ketinggalan sesuatu yang penting yang terjadi antara Gabriel dan Sivia. Ia menyesali diri.

Dan Sivia mulai merasa ketakutan. Ah, Gabriel pasti akan mengerjainya seperti kemarin. Aduh, Sivia pasti malu lagi. Bagaimana ini!

Setelah Gabriel menginjakkan kakinya tetap di depan meja Sivia, ia menggebrak meja. Membuat Sivia menelan ludah dan rasa takutnya bertambah.

Gabriel mendekatkan wajahnya pada wajah Sivia. Tersenyum lantas berkata, "kenapa? Cemburu?" Lalu Gabriel menjawil pipi merah Sivia.

Dan perasaan asing itu sungguh sangat menyebalkan. Dia mencegah Sivia untuk menghindar dari jawilan nakal Gabriel. Sivia hanya bisa menelan ludah.

"Sini, biar lo gue peluk!" bisik Gabriel sambil mengedipkan salah satu matanya.

Dan sekarang, Sivia berhasil melawan perasaan asing itu. Ia mendorong wajah Gabriel yang teramat dekat dengannya. Lalu akhirnya, "Mamaaaaa!" ia berteriak lalu menenggelamkan wajahnya di atas meja sambil meracau.

"Gabriel jelek, nyebelin, centil, bau, kaya odong-odong!"

Gabriel terkekeh lantas mengacungkan jempol pada Cakka. Semuanya kembali tertawa.

"Udah Yel, kasihan!" kata Cakka lalu melangkah menuju tempat duduknya. Gabriel pun mengikuti Cakka.

Rio menggelengkan kepala. Dan sebelum ia menyusul dua sahabatnya, ia melirik gadisnya. Memastikan bahwa gadis itu benar-benar mengharapkan kedatangannya. Dan Rio tersenyum, saat menangkap gadisnya tengah tersenyum padanya. Tanpa tahu, gadis di belakang gadisnya juga tersenyum, membalas senyuman sang pemuda yang sebenarnya bukanlah untuknya.

*
bersambung
*

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari