Selapang Sang Rembulan part 2
Rembulan bercahaya, karena meneruskan sinar yang dipancarkan oleh matahari.
*
Cakka sedang memesan dua mangkok bakso dan dua gelas es jeruk. Sementara Shilla, gadis cantik yang ia bawa -setengah- paksa tengah duduk sambil mengerenyit tak mengerti. Memangnya rapat ekskul dance dilaksanakan di kantin? Mana bisa. Gadis itu berdecak.
Lalu Cakka, ditemani seorang pelayan kantin menghampiri Shilla dengan membawa pesanannya.
"Makasih ya!" ujar Cakka selepas sang pelayan meletakkan pesanannya di meja. Pelayan itu mengangguk. Lalu bergegas pergi.
Cakka kemudian duduk di sebrang Shilla. Tersenyum manis. Lalu berujar setelah melihat kerutan kebingungan pada kening gadis yang -entah mengapa- selalu membuatnya berbunga, "Gue cuma mau mereka berduaan aja kok!"
Dan Shilla pun mengerti. Dia mengurai kerutan keningnya. Terkekeh lucu. Lantas meraih sendok untuk melahap baksonya. Dan Cakka pun juga ikut melakukannya.
Lalu, sambil menyantap makanannya, Shilla mulai membuka pembicaraan. Hatinya tergelitik menanyakan suatu hal. Penting sekali untuknya. Karena ini, mengenai hatinya. "Dia ga sekolah?"
Cakka mendelik. Mengerutkan kening tak mengerti. Dia? Siapa? Sahabatnya yang duduk sendirian di belakangnya? Ah, kenapa gadis cantik ini menanyakannya? Peduli apa dia padanya? Bukankah selama ini, dia tak acuh saja. Bahkan, sekedar menyapanya saja dia tak pernah. Lalu, apa maksud dari pertanyaannya? Entah.
"Kenapa? Kangen?"
Dan pertanyaan Cakka baru saja langsung menghantamnya. Telak. Sehingga Shilla terkejut lantas tersedak. Lalu secepatnya mengambil es jeruk dan langsung meminumnya.
Setelah Shilla cukup tenang, karena nyatanya hatinya ketar-ketir setengah mati saat mendengar pertanyaan Cakka, dia mencoba menjawabnya. "Gue... Gue..." Sial. Shilla gugup sekali. Sampai dia hanya bisa terbata-bata bicara.
"Udah, ga pa-pa!" kata Cakka tersenyum. Walau hatinya, kini diliputi perasaan asing yang rasanya cukup menyakitkan, mengetahui bahwa Shilla ternyata mempedulikan dia. Dia yang Cakka yakini akan menjadi batu sandungan yang bisa membuat semua rencana memenangkan hati gadis di hadapannya gagal.
*
Sementara di tempat lain, Sivia tengah merutuk. Mengomel sendiri sambil melangkahkan kaki. Ah, apa-apaan tadi? Gabriel itu menyebalkan. Masa dia mengerjainya seperti itu. Sivia kan jadi malu. Tunggu. Kenapa pula dia harus malu? Dia kan tak mempunyai rasa apa-apa pada Gabriel. Lalu, kenapa bisa pipi mulusnya merona? Ah, entah. Sivia jadi pusing sendiri. Sekarang, hanya makananlah yang dapat menghilangkan pusingnya. Maka bergegaslah ia menuju kantin.
Langkah Sivia terhenti saat melihat di salah satu meja terdapat Cakka dan Shilla. Oh, jadi ini yang namanya ekskul dance. Berduaan makan bakso. Sivia berdecak. Mengulum bibir. Berkacak pinggang lalu menghampiri mereka.
"Enak bener yang rapat sambil makan bakso!" cibir Sivia sambil duduk di samping Shilla, lalu merangkul gadis yang nampaknya ikut bersekongkol dengan Gabriel dan Cakka untuk mengerjainya.
Shilla dan Cakka berhenti mengunyah. Mereka diam. Saling bertatapan beberapa detik. Lalu menoleh ke arah Sivia. Dan akhirnya tertawa melihat wajah Sivia yang terlihat sebal.
Sivia mendengus kesal. Mengambil mangkok berisi bakso milik Shilla tanpa permisi. Lalu memakannya.
"Kesel sih kesel, tapi ga usah ngambil makanan orang dong!" cibir Shilla sambil mendelik lucu pada sahabatnya.
"Berisik! Lo mau lo yang gue makan?" ancam Sivia yang terus melaksanakan prosedur menjarah bakso milik Shilla. Yang diancam malah semakin tertawa terbahak-bahak.
"Lo berdua nyebelin tahu! Kaya Gabriel beserta vesvanya!" ujar Sivia.
Dan pemuda yang Sivia sebut kini datang. Duduk di samping Cakka dan berhadapan tepat dengan Sivia.
Sivia hanya meneguk ludah, mendapati Gabriel menatapnya tajam sambil memamerkan senyuman mautnya. Dan entah kenapa, dia merasa dia mulai menyukai keduanya. Sivia mengerjap. Mengusir rasa aneh yang baru saja menyentuh hatinya.
"Kalian berdua cocok juga kalau pacaran!" celetuk Cakka sambil tersenyum dan menaik turunkan kedua alisnya.
Mendengar itu, Sivia langsung berhenti mengunyah. Menautkan dua alisnya. Memicingkan mata lalu bergidik geli.
"Wah, bener tuh kata Cakka. Kita pacaran aja yuk Vi!" ujar Gabriel santai sambil tersenyum menggoda.
"Apa?" Sivia menggeleng-gelengkan kepala. Gila sekali Gabriel. Dia tahu itu adalah caranya untuk merebut hatinya. Tapi, apa tidak ada cara lain yang lebih romantis? Tunggu. Apa ternyata diam-diam Sivia juga mengharapkan lebih dari apa yang Gabriel lakukan. Entah. Tapi Sivia berusaha menyangkalnya.
"Yuk pacaran yuk!" ujar Gabriel makin antusias. Matanya mengerjap nakal.
"Lo gila Yel!" kata Sivia sambil mendengus dan kembali mengunyah makanannya yang masih tertahan di dalam mulutnya. Dia berusaha bersikap 'biasa' saja. Tak ingin terlihat bahwa hatinya merasa gugup yang luar biasa, saat tiap kata yang dituturkan Gabriel ternyata memiliki sejuta makna tak teraba mulai merayapi hati kecilnya.
Dan ini adalah awal dari semuanya. Awal dari pembuktian betapa hati mereka lapang seperti sang rembulan.
*
Gadis cantik berdagu runcing itu melangkah masuk menuju sebuah rumah yang bisa dikatakan mewah. Sambil menggigit bibir, dia melangkah ragu. Mencari seseorang yang mendiami rumah mewah tersebut. Setelah ia tahu bahwa di ruang tamu, dia tak berhasil menemukan siapa yang dicarinya, gadis itu memutuskan untuk kembali melangkah menuju suatu tempat yang ia yakini akan ada seseorang yang selalu saja membuatnya khawatir.
Dan kini, di kamar yang terdapat di lantai dua, gadis itu bisa menemukannya. Seorang pemuda tampan bergigi gingsul. Pemuda yang sejak lama mengisi relung jiwanya. Pemuda yang kali ini terlihat sangat berantakan. Dia memakai kaos oblong dan celana pendek kumal. Wajahnya kusut. Rambutnya berantakan. Dan matanya merah berkantung.
Ify -gadis itu- mendesah. Menutup pintu kamar perlahan. Mendekati pemuda itu yang tengah berdiri termangu sambil menyentuh kaca jendela.
Ify berhenti tepat di sampingnya. Menatap penuh kepedulian terhadap pemuda yang tak jarang membuat ia bingung sendiri akan tingkahnya. Ify mendapati sesuatu yang aneh di mata pemuda-nya. Meskipun sebenarnya, dua pelihat sang pemuda menatap kosong, tapi tepat di bola coklatnya, ada cahaya yang menyala. Cahaya kekecewaan. "Hari pertama, udah ga masuk!" cibir Ify pelan.
"Gue ga peduli!" ujar pemuda itu tanpa minat, walau sesungguhnya, ia ingin sekali bercerita tentang seluruh beban hidupnya pada gadis yang kehadirannya selalu membuatnya lebih tenang.
Ify tersentak. Dia menyentuh pipi sang pemuda dengan kedua tangannya. Menatapnya lekat-lekat. Berujar penuh kesungguhan. "Gue peduli!"
Pemuda itu menunduk. Bergetar mendengar kalimat yang dilontarkan oleh gadisnya. Kalimat yang sangat sederhana. Namun terselip ketulusan di dalamnya.
Ify melepaskan tangannya. Membuka resleting tasnya. Mengeluarkan dua buah buku catatan. Lalu meletakannya di atas meja kecil di sudut ruangan.
"Ini catatan fisika sama matematika. Salin ya! Besok lo harus sekolah! Kita semua nungguin lo!" ujar Ify lantas melangkah menuju pintu.
"Termasuk lo?" suara bariton itu akhirnya mengeluarkan tanya yang membuat hati Ify lega. Lantas Ify pun menoleh. Tersenyum manis. Mengedipkan mata sekali sambil mengangguk. Dan pemuda di ujung sana, juga ikut menyunggingkan senyum. Senyum yang telah lama hilang dari wajah tampan sang Pemuda. Senyum yang selalu menahan Ify untuk tetap mempedulikan segala tentangnya.
*
Malam ini indah. Bulan sempurna berbentuk bulat. Ditemani bintang-gemintang yang berkedip-kedip menggemaskan. Sivia sangat suka malam seperti ini. Maka ia pun menyaksikan keindahan seluruh ciptaan Tuhan itu di bukit kecil di belakang rumahnya.
Ia duduk bersila sendiri beralaskan hamparan rumput hijau. Menggosok-gosok telapak tangannya. Lantas melakukan kebiasaannya. Bercerita pada bulan. Sivia fikir, bulan baik. Dia akan selalu setia dan tak pernah bosan mendengar jutaan ceritanya. Dia juga yakin, bulan tidak cerewet. Dia akan mampu menjaga seluruh ceritanya agar tak ada satu pun penghuni di dunia ini yang mengetahuinya.
Maka, sambil menatapi lekat-lekat tiap pancaran sinar sang rembulan, dia bercerita semuanya. Semua isi hatinya. Tentang perasaan asing yang tiba-tiba menyalip hatinya. Tentang perasaan yang selalu saja membuncah dan menjalari tiap centi pembuluh darahnya. Bulan mendengarnya. Mendengar sebuah kejujuran dari seorang gadis cantik ini. Kejujuran yang akan menjadi jembatan untuk menyebrangi tiap rintangan kemunafikan. Dan semoga kejujuran itu, juga tak hanya ia ungkapkan pada bulan. Tapi juga pada pemuda yang telah menyusupkan perasaan itu tepat pada hati kecilnya.
Dan, tanpa disadari, pemuda itu kini tengah duduk berselonjor kaki di samping Sivia entah dari kapan. Dia ikut memandangi sang rembulan. Berharap bahwa bulan akan membocorkan semua yang ia ketahui tentang apa yang diceritakan oleh Sivia.
Kemudian, seakan hembusan angin yang melewati tengkuknya membisikkan segalanya. Segala yang diketahui oleh bulan. Lalu dia pun tersenyum. Menoleh ke arah Sivia. Bahkan, dari samping pun dia tetap terpesona akan kesempurnaan Sivia. Tak ia dapati setitik pun cela di sana.
Gabriel menghela nafas. Melirik bulan sebentar. Lalu berbisik tepat di telinga kanan Sivia. "Bumi dan bulan, tak bisa dipisahkan."
Sivia terkesiap. Menyadari bahwa di bukit kecil ini, dia tak sendiri. Dia ditemani pemuda yang selalu mendukung perasaan asing itu agar terus menguasai hatinya. Pemuda yang menjadi topik utama ceritanya malam ini pada bulan. Gabriel.
Setelah memejamkan mata sesaat, ia menoleh ke arah datangnya suara. Dan dia terkejut, saat wajah Gabriel hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. Dua pelihat mereka saling beradu. Mereka sama-sama merasakan nafasnya tercekat. Terlebih Sivia yang memang tak pernah menang saat beradu tatapan dengan Gabriel. Dan begitu juga Gabriel. Dia seakan luluh kala menatapi tiap bening yang disuguhkan oleh mata indah gadis pujaannya.
Sivia mengerjap. Memindahkan fokus tatapannya dari mata elang Gabriel. Lalu dengan suara bergetar berkata, "Tapi bumi, tak membutuhkan bulan!"
Pada akhirnya, Sivia pun pergi bersama seluruh kebohongannya. Dia belum berani berkata jujur pada Gabriel. Saat ini, dia hanya jujur pada bulan. Bulan yang kini masih lekat ditatapi penuh harap oleh pemuda yang ia tinggalkan sendirian. Bulan yang setiap saat akan menghalangi Sivia untuk terus menyangkal dan mengusir perasaan asing itu agar tidak terus-menerus merayapi tiap sudut hatinya.
*
"Nih! Gue ketemu dia di depan!" Pricilla memberikan dua buku catatan bersampul coklat pada Ify.
Ify tersenyum. Menghela nafas lega. Akhirnya dia menuruti permintaannya kemarin.
"Lo kemarin ke rumahnya?" tanya Pricilla lalu mulai melangkah bersama Ify menuju kelasnya.
"Dia ga bakalan sekolah kalau gue ga kaya gitu!" ujar Ify ringan sambil memasukkan buku catatannya ke dalam tas.
"Dia emang selalu butuh lo!" Pricilla mendesah. "Karena dia, selalu dan terlalu mencintai lo."
Ify berhenti melangkah. Dia tertegun mendengar ucapan Pricila. Seperti itukah pemuda-nya? Dia selalu membutuhkannya. Ify merasa tertohok karenanya. Dia tahu, dia sering tak berada di sisinya saat pemuda-nya teramat kacau dan butuh kehadirannya untuk sekedar membuatnya tenang. Dan hatinya mencelos saat Pricilla mengatakan bahwa pemuda-nya selalu mencintainya. Ify serasa ditampar. Dia sadar, dia bahkan sama sekali tak pernah menganggap adanya cinta di antara mereka. Ify menganggap seluruh kepedulian dan perhatian yang di berikan olehnya hanya sekedar sebuah kewajibannya sebagai seorang sahabat. Tanpa ia tahu, bahwa di setiap helaan nafas pemuda-nya terselip seuntai harapan. Harapan yang ia sandarkan padanya. Ify merasa sangat bersalah. Dia orang yang jahat.
Pricilla ikut berhenti. Menyadari Ify sudah tertinggal beberapa langkah darinya. Ia menoleh. Mendapati sahabat baiknya sedang mematung. Dia mendesah lalu menghampiri Ify. Meraih tangannya. Mengangkat dagu runcingnya, lantas berkata "Berubahlah! Maka lo adalah perempuan paling beruntung di dunia ini."
Ify mendengar baik-baik nasihat Pricilla. Dia mengangguk mantap. Dia akan berubah. Dia akan berusaha untuk menjadi perempuan beruntung itu, dengan hadir dalam tiap detik keterpurukan pemudanya, dengan selalu membalas perasaan cinta tulus pemudanya. Itu janjinya dalam hati.
*
Bersambung
*
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari