Selapang Sang Rembulan part 6

Sabtu, 12 November 2011

Selapang Sang Rembulan part 6


Ketika Sang Amor turun ke bumi. Berkelana mencari sepasang hati yang akan ia titipkan sebuah rasa. Maka pada saat ia menemukannya, ia akan memerintahkan si empunya hati untuk menjaganya. Menjaga rasa yang akan bertahan sangat lama. Atau mungkin segera hilang, tersentuh keluh.



*



Rio tengah menyusuri satu persatu anak tangga. Di belakangnya, Shilla mengekori dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat semangkuk sup wortel hangat, segelas air putih, dan obat yang diambilnya dari kotak P3K. Setelah keduanya berada di ujung tangga, mereka bergegas menuju sebuah kamar dengan pintu jati kokoh di hadapan mereka. Rio memegang kenop pintu lalu segera memutarnya. Sejurus kemudian, pintu terbuka. Ia mempersilakan Shilla untuk masuk ke kamar yang bercatkan biru langit tersebut. Lalu akhirnya, ia pun ikut masuk. Membiarkan pintu tetap terbuka.



Shilla menaruh nampan yang ia bawa di atas meja kecil yang terletak di samping tempat tidur.



Rio bergerak meraih mangkuk berisi sup wortel. Lantas mengambil posisi duduk di tepi ranjang yang ditempati oleh sahabat manisnya yang tengah terlelap dengan balutan selimut bergambar dombanya. Ia lantas menarik selimut tersebut. Berniat untuk menyuapi gadis dibaliknya. Dan ia -juga Shilla- terperanjat saat mendapati hanya sebuah gulinglah yang ada di sana. Tak ada sahabat manisnya. Dia pergi. Tapi kemana? Masakah dengan keadaannya yang payah itu dia bisa melarikan diri? Ck. Rio berdecak.



Shilla segera berlari menuju kamar mandi. Mengecek. Kalau-kalau, sahabatnya ada di sana. Nihil. Shilla tak menemukannya. Lantas ia bergegas menuju ruangan-ruangan yang ada di rumah itu. Tapi tetap saja, dia tak menemukannya di salah satu ruangan yang ia datangi. Maka ia kembali ke kamar itu dengan wajah yang begitu cemas.



Baru saja Shilla akan mengatakan bahwa ia tak berhasil menemukannya di setiap sudut rumah, ia langsung disergap Rio yang bertanya seraya mengguncang-guncangkan tubuhnya. Wajah Rio teramat kalut.



"Sivia ga ada di kamar mandi. Di ruangan lain juga ga ada. Dia mungkin keluar." ujar Shilla.



Ck. Rio berdecak. Ia menghentakkan kakinya ke lantai. Mengacak-acak kepalanya. Bagaimana mungkin Sivia keluar, sementara ia tengah mengalami sakit yang -cukup- menyedihkan. Ia merasa bersalah. Harusnya dia bisa menjaga Sivia. Tak membiarkannya keluar dan menerima hembusan angin yang akan memperburuk kondisi tubuhnya. Rio sangat khawatir pada Sivia, sahabat manisnya.



Sementara kedua sahabatnya tengah ketar-ketir setengah mati mencari keberadaannya, Sivia malah asyik menikmati rujaknya. Walau sesekali ia mengulum bibir karena kesal dengan perlakuan Gabriel yang jahilnya sudah keterlaluan. Tapi toh, Sivia terus saja melahap rujaknya. Rujaknya enak sih! Mana pedas lagi. Sivia kan paling suka yang pedas-pedas.



Tapi Sivia lupa bahwa dari tadi pagi, perutnya sama sekali belum terisi. Maka setelah ia melahap rujak hampir satu porsi, Sivia memegangi perutnya yang mulai terasa sakit. Aduh. Sivia meringis kesakitan. Perutnya serasa dililit rantai besi. Seakan ribuan belati tengah menusuk-nusuk organ pencernaannya. Dan Sivia juga merasakan panas yang membakar organ bagian dalam tubuhnya. Sivia memejamkan kedua matanya. Meraung meminta pertolongan.



Gabriel yang mengetahui ada yang tidak beres pada gadis 'becak'-nya segera memasang ekspresi cemas yang sangat kentara. Bersatu dengan garis ketampanan wajahnya. Dengan panik, ia bertanya...



"Lo kenapa Vi?"



Gabriel menyingkirkan jumputan poni Sivia dan menahannya dengan telapak tangan. Ia melihat wajah Sivia yang berubah menjadi pucat pasi. Keringat sebesar biji jagung mulai menghiasi bingkai manis wajah gadisnya. Tuhan, ada apa dengan Sivia?



"Sakit... sakit peruuut... Aduuuh!" Sivia kembali mengaduh. Perutnya benar-benar sakit. Seakan tengah dilindas truk bermuatkan ber-ton-ton batu. Sakit sekali. Melilit.



Gabriel menggaruk belakang telinganya. "Ya udah, gue anterin pulang yuk!"



Sivia mengangguk lemah. Lantas dituntunnya ia oleh Gabriel menuju vespa yang terparkir di tepi jalan.



Gabriel melompak naik ke atas vespanya. Menghidupkannya. Lalu menyuruh Sivia untuk ikut naik di belakangnya. Kini, dengan perut yang terasa semakin melilit, Sivia tak menolak perintah Gabriel. Tentu saja. Dengan sakitnya, ia melupakan sejenak gengsinya. Sivia naik ke atas vespa Gabriel. Tangan kanannya masih tetap memegangi perutnya. Sementara tangannya yang lain ia lingkarkan pada tubuh pemuda tampan di depannya. Maka setelah vespa melaju, tangan kiri Gabriel menggenggam erat tangan Sivia yang melingkar. Menyisipkan sebuah kasih yang di terkontaminasi rasa cemas lewat tautan kelima jemarinya. Menguatkan sang gadis yang kini tengah menyandarkan kepalanya pada punggung kokoh miliknya. Seraya terus meringis. Menyedihkan.



Dan harusnya dia tak lagi menutupi setiap dentuman perasaan yang bergelung dalam jiwanya. Karena semuanya kentara. Walau tak dapat teraba. Akan tetapi, dalam ombak yang berkejaran lewat bola matanya, semua tak dapat terbantahkan. Rasa itu memburu pemiliknya. Memintanya untuk segera menyibak tiap inci realita.



***



"Jadi, Sivia cuma pura-pura sakit doang?" tanya Rio seraya melonjak bangkit dari sofa empuk yang sebelumnya ia duduki.



Wanita yang mengenakan daster bunga-bunga itu hanya mengangguk. Lantas dengan agak takut -karena melihat ekspresi Rio- berujar "Iya Den Rio. Maafin Bi Lilis ya!"



Rio mendengus kesal. Tega sekali Sivia mengerjainya seperti ini. Ini sama sekali tidak lucu. Tak tahukah ia bahwa dirinya sangat amat mengkhawatirkan keadaannya. Bahkan ia merasa bersalah atas menghilangnya Sivia. Dan ternyata, semuanya hanya akting. Sivia telah benar-benar mempermainkannya. Emosi Rio mulai membuncah sampai ke ubun-ubun kepalanya.



Sementara Shilla hanya bisa menunduk. Ia menelan ludah. Rio kalau marah ngeri juga ya!



Lantas Rio pun memutuskan untuk bergegas. Pergi dan menemui gadisnya daripada harus berada di tempat yang membuat emosinya memuncak tak dapat terkendali. Tanpa mengatakan apa pun pada gadis di sampingnya dan wanita di depannya, ia berlari ke arah pintu keluar.



Shilla hanya mengangkat bahu saat Bi Lilis menatapnya dengan menautkan kedua alis. Tanya saja orangnya.

*

Rio membuka pintu jaguar miliknya. Segera masuk dan duduk di kursi pengemudi. Lalu menutup pintu mobilnya dengan kasar. Ia hendak menghidupkan mesin mobilnya. Dan pemuda yang tengah bernafas secara terengah-engah itu pun menunda untuk melakukan niatnya saat sebuah vesva yang dikendarai oleh seorang pemuda yang sangat familiar dengannya masuk ke pelataran rumah. Dia tak sendiri. Seorang gadis berambut panjang terkulai tak berdaya di punggung sang pemuda. Sivia? Kenapa dia? Rio memicingkan mata.



Gabriel menghentikan laju vespanya. Ia berbalik dan melihat gadisnya yang terlihat semakin menyedihkan. Sivia terus menunduk seraya meremas-remas perutnya. Seakan hal itu dapat membunuh kesakitannya. Rambut hitamnya basah oleh keringat. Membentuk lukisan yang membingkai wajahnya.



Gabriel turun dari vespanya. Lalu meminta Sivia untuk naik ke punggungnya. Ia tahu, Sivia takkan kuat untuk masuk ke rumahnya. Kalau pun kuat, Gabriel takkan tega membiarkannya menyeret tubuhnya sendiri. Maka ia rela meminjamkan punggungnya. Ia rela demi gadisnya.



Sivia mengangkat wajahnya. Menatap Gabriel yang sudah siap dengan posisi untuk menggendong. Mulutnya terbuka. Ragu untuk berbicara.



Gabriel segera menyambar tangan Sivia. Ia tahu, gadis itu akan menolak untuk digendong olehnya. Ia menatap Sivia dengan tatapan lembut meneduhkan. Sivia menggigit bibir. Akhirnya mengangguk dan bersedia untuk digendong oleh Gabriel. Maka sejurus kemudian, Sivia naik ke punggung Gabriel. Dan pemuda itu menoleh ke belakang. Tersenyum manis saat nafas hangat gadisnya menelisik wajahnya.



Dan Sivia mendorong wajah Gabriel. Meski ia sedang sakit, tapi toh hatinya tetap saja bereaksi saat wajah Gabriel berada dekat dengan wajahnya. Hatinya bergetar.



"Odong-odong, cabuuut!" ujar Sivia dengan suara parau.



Gabriel terkekeh. Gadisnya memang unik. Sedang sakit saja, ia masih bisa bergurau. Lantas Gabriel menggeleng dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah.



Sedangkan pemuda dalam jaguar hitam itu terus mengamati gerak-gerik kedua sahabatnya. Sivia yang digendong oleh Gabriel untuk masuk ke kediamannya. Sakitkah Sivia sampai-sampai tak mampu untuk membawa dirinya sendiri? Ah, mungkin Sivia tengah berakting. Seperti apa yang dilakukan gadis itu padanya. Tapi, Sivia kan bukan cewek ganjen yang suka cari perhatian pada cowok. Lagipula, yang menggendongnya tadi adalah Gabriel. Rio tahu Sivia tak menyukai Gabriel dan tak mungkin mau untuk digendong olehnya -tapi Rio tak tahu apa yang tersimpan pada tempat istimewa di hati Sivia-. Sepertinya ada yang tidak beres. Rio terlihat menimbang-nimbang seraya mengetukkan telunjuknya ke atas setir mobil. Bingung. Apa yang harus dilakukannya sekarang?



Akhirnya, setelah pemuda bergigi gingsul itu menghela nafas panjang, ia memutuskan untuk keluar dari mobil kesayangannya. Membanting pintu dengan keras. Lantas berlari dan kembali memasuki rumah Sivia.

*

Shilla mencelat dari tempat duduknya ketika melihat Sivia yang menghilang, datang bersama Gabriel yang menggendongnya. Segera Bi Lilis berlari kecil dan menghampiri keduanya. Wanita yang telah bekerja pada keluarga Sivia semenjak berumur 9 tahun itu pun nampak panik. Mendapati Nona cantik yang ia sayangi dalam keadaan yang menyedihkan.



"Non Sivia kenapa Mas?" tanya Bi Lilis. Ia mengusap peluh yang melumuri pelipis Sivia.



"Jelasinnya nanti ya Bi! Kita bawa Sivia ke kamar dulu ya! Kasihan becakku yang satu ini." ujar Gabriel.



Sivia terkesiap. Aduh. Gabriel itu menyebalkannya tak pernah hilang. Sivia menarik kuping Gabriel. Tapi nampaknya, hal itu bukan membuat Gabriel sakit. Malah ia merasa geli. Ia terkekeh lalu berjalan menuju tangga untuk mencapai kamar Sivia yang terletak di lantai dua.



Sivia menoleh ke belakang. "Aku cuma sakit perut Bi." ujar Sivia pada Bi Lilis yang mengekorinya.



Lantas Shilla hanya berdiri mematung di tempatnya. Mengerutkan kening. Tak mengerti dengan apa yang terjadi pada sahabat kentalnya. Sivia sempat melirik Shilla. Lantas dia mengedipkan matanya jahil sembari tersenyum menyeringai.



Shilla terkejut saat mengetahui pemuda yang beberapa saat lalu bergegas dengan amarah yang membuncah kini kembali masuk ke dalam rumah. Nafasnya sedikit tersengal. Ia menoleh pada Shilla. "Sivia kenapa?" tanya Rio yang dijawab dengan gelengan kepala dan bahu terangkat.



Akhirnya, untuk memastikan apa yang tengah terjadi, mereka berdua pun menyusul pergi ke kamar Sivia.



Gabriel langsung membaringkan Sivia ke atas tempat tidur. Bi Lilis dengan sigap menarik selimut dan membalutkannya ke atas tubuh Sivia.



"Kok Non bisa sakit gini sih?" tanya Bi Lilis. Kecemasan pada garis wajahnya belum sirna.



Gabriel menunduk. "Saya yang salah Bi." Dia mendesah. Menyesal.



Sivia mendelik ke arah Gabriel yang berekspresi lucu baginya. Pasti akan lebih lucu kalau dia mengerjainya. Sivia jadi punya ide nih! Ia tersenyum miring. Sekali-kali gantian dia yang mengerjai Gabriel. Biar adil.



"Aku sakit perut karena disuruh makan rujak ama Gabriel. Padahal, aku belum sarapan Bi." kata Sivia dengan manja. Melirik wajah Gabriel yang semakin lucu dari sudut matanya. Ia mencoba menahan tawanya.



"Maafin gue Vi! Coba aja gue ga maksa elo buat makan rujak. Elo ga akan sakit gini." ujar Gabriel semakin merasa bersalah. Bi Lilis langsung mengusap-usap punggung teman lelaki Nona-nya.

Maka setelah Gabriel berucap, pintu kamar langsung terbuka. Siluet tampan itu menyembul dan masuk ke dalam kamar, beserta gadis cantik yang mengikutinya.



Sivia, Gabriel dan Bi Lilis pun serta merta menoleh ke arak keduanya. Nampak Rio dengan wajah yang pasti akan membuat siapa saja yang melihatnya ketakutan. Dan Shilla yang berada satu langkah di belakangnya.



Rio mendekat pada Gabriel. Ia menatap tajam sahabatnya. Tanpa terduga, ia mengangkat t-shirt yang dikenakan Gabriel. Gabriel langsung terperanjat lantas ia pun berdiri. Membalas tatapan Rio dengan kening yang berkerut. Tak mengerti kenapa Rio tiba-tiba bersikap itu padanya.



"Jadi, elo yang bawa kabur Sivia? Terus, elo ajak dia makan rujak? Dan akhirnya, dia sakit perut? Gara-gara elo, Yel?" tanya Rio bertubi-tubi.



Gabriel pasrah. Tak dapat mengelak. Memang dia yang telah membuat gadisnya seperti ini.



Rio mengepalkan tangan. Mengangkatnya tinggi. Lantas segera mendaratkannya pada wajah Gabriel. Biar ia tahu apa yang dirasakan Sivia.



Namun Sivia segera bereaksi. Ia berteriak -walau tidak keras-. Menghentikan kepalan tangan Rio yang hampir saja menghujam wajah Gabriel. Rio menoleh pada Sivia. Mendapati sahabat manisnya itu tengah menatapnya nanar. Meluluhkan keras hati Rio. Meredam amarah yang sebelumnya begitu membuncah. Ia mendorong tubuh Gabriel. Melengos menghampiri Sivia. Ia duduk di tepi ranjang.



"Apa yang sakit Vi? Perut? Kepala? Apa?" Rio menempelkan telapak tangannya pada dahi Sivia. Agak panas dan berkeringat.



Sivia menunduk. "Maafin gue ya Yo! Gue tadi bohongin elo sama Shilla. Pura-pura sakit. Eh, sekarang gue sakit beneran."



"Iya, ga pa-pa. Jangan ulangi lagi ya! Gue khawatir. Elo itu sahabat gue Sivia. Gue sayang ama elo." Rio mendekap tubuh Sivia. Membelai rambut panjang nan hitam milik sahabatnya. Sahabat kecilnya. Sampai selamanya.



Gabriel terus menunduk. Ah, semuanya karena dia. Kenapa coba dia malah menyakiti Sivia? Bukankah dia sangat mencintai Sivia? Harusnya, ia menjaga Sivia. Gabriel merutuk dalam hati. Ada bagian dari hatinya yang sakit saat ini. Dadanya sesak. Nafasnya tercekat.



Sama halnya dengan gadis yang kini berdiri sejajar dengan Gabriel. Ia juga merasakan sakit pada hatinya. Pedih saat melihat adegan berpelukan di depannya yang seharusnya nampak biasa saja. Tapi sebuah rasa dalam dirinya telah mengubah cara pandangnya. Adegan itu sangat tidak 'biasa', karena dapat membuat hatinya kecewa. Shilla cemburu pada sahabatnya sendiri.



Setelah beberapa saat, Rio mengurai pelukannya. "Gue harus pulang." Rio baru ingat sesuatu. "Ada hal penting."



Sivia mengangguk.



"Jangan khawatir! Kan ada Bi Lilis." Rio melirik Gabriel. "Juga cowok yang udah bikin lo kaya gini, yang bakal jagain lo sampai lo sembuh. Iya kan, Yel?"



"Gue cowok yang bertanggung jawab kok!" ujar Gabriel.



Rio lantas menepuk pelan puncak kepala Sivia. Bangkit dari duduknya. Memberi isyarat pada Bi Lilis untuk menjaga Sivia. Sejurus kemudian, melangkah menghampiri Gabriel. Ia mendekatkan mulutnya pada telinga Gabriel. Berbisik pelan. "Kesempatan lo."



Gabriel terkesiap. Akhirnya menarik ujung-ujung bibirnya.



Rio melirik Shilla. Gadis itu tengah mematung dengan tatapan menerawang. Kenapa dengan dia?



"Mau pulang ga? Bareng gue aja!" tawar Rio.



"Eh..." Shilla mengerjap. Apa tadi katanya? Rio mengajak untuk pulang bersama? Shilla menatap Sivia, seperti seorang putri yang meminta izin pada bundanya. Sivia pun mengedipkan matanya. Mengizinkan Shilla pulang bersama Rio. Bersama pemuda pujaan Shilla. Membiarkannya untuk berdua saja. Takkan ada yang mengganggu. Sekalipun desauan angin, atau mungkin hujan yang tiba-tiba turun. Itu harapan Sivia, yang merupakan harapan terbesar Shilla. Namun harapan sang pemuda, tetap untuk gadisnya.



"Gue pulang deh! Cepet sembuh ya Vi! Jagain ya Yel! Bi Lilis, Shilla pamit ya!" ujar Shilla.



Rio dan Shilla keluar dari kamar Sivia. Berjalan beriringan menuju jaguar hitam yang telah menanti di pelataran rumah.



Bersambung



***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari