Selapang Sang Rembulan part 5

Sabtu, 12 November 2011

Selapang Sang Rembulan part 5


"Lo kan sahabat Rio, bantu gue deketin dia dong!" Setelah tiga hari yang lalu kalimat penuh harap tersebut ia dengar dari Shilla, sahabatnya sendiri. Apalagi saat mengatakannya, Shilla memasang wajah yang memelas. Maka Sivia tak mau membuat Shilla kecewa. Shilla sudah mempercayainya. Ia harus menjaga kepercayaan itu. Dengan caranya sendiri, Sivia bertekad membantu mewujudkan keinginan sahabat kentalnya.



Lalu kini, di minggu pagi yang cerah ini, Sivia akan memulai aksinya. Ya, Sivia sudah menyusun sebuah rencana besar tadi malam. Dan pagi ini, ia siap merealisasikannya.



Mobil berwarna silver yang membawa Ayah, Bunda dan Bang Sion itu sudah tak terlihat lagi. Sudah menghilang di ujung pandangan. Sivia menarik nafas. Tersenyum penuh arti. Lantas menutup gerbang berwarnakan putih di hadapannya. Sejurus kemudian berlari memasuki rumah lalu menuju kamar tidurnya di lantai dua.



Ia membuka dengan kasar pintu kamarnya. Mengambil ponsel yang tergeletak di meja belajar. Lalu menuliskan segurat pesan singkat yang berisikan "Gue sakit perut. Di rumah ga ada siapa-siapa. Gue sendirian. Tolongin gue!" Dan setelah pesan tersebut selesai ia tulis, ia segera mengirimkannya ke dua deretan nomor yang berbeda. Satu untuk konsumennya. Dan satu lagi untuk sasaran aksinya.



Laporan bahwa pesan tersebut telah terkirim dan dipastikan telah diterima oleh para korbannya, membuat senyum di wajah Sivia mengembang seketika. Ia bersorak gembira. Menyimpan ponselnya kembali ke tempat semula. Lantas meloncat girang ke atas tempat tidur. Menarik selimut seraya terus tersenyum. Memejamkan kedua mata indahnya. Lalu mulai mencoba terlelap dalam nafas teratur. Senyum manisnya masih terpatri, seperti enggan untuk pergi.



*



Pemuda yang hanya mengenakan kaos kumal dan celana pendek yang tak kalah kumal itu masih berbaring di atas tempat tidurnya yang empuk. Dengan mata tertutup, ia meraba-raba nakas tempat tidurnya untuk mengambil ponselnya yang tiga detik lalu bersuara, penanda sebuah pesan baru saja diterima. Lantas setelah ia berhasil meraih ponselnya, ia mulai membaca pesan tersebut.



Tiba-tiba, pemuda itu melonjak bangun dari tidurnya. Terperanjat sekaligus tak percaya dengan isi pesan tersebut. Ia pasti salah baca. Tadi ia membacanya setengah sadar. Maka tergesa ia mengucek matanya. Membaca ulang pesan tersebut. Memastikan bahwa apa yang ia baca tadi tidak benar adanya.



Sial. Dengan nyawa yang sudah terkumpul sepenuhnya, dengan mata yang sengaja ia picingkan, isi dari pesan itu sama persis dengan apa yang dibacanya tadi. Pemuda itu langsung mengacak rambutnya. Wajah kalut langsung tertoreh pada tiap inci ketampanannya. Ia berdecak. Terburu-buru pergi ke kamar mandi.



*



Gadis berkulit putih itu langsung bangkit dari duduknya selepas mengetahui isi pesan yang baru ia terima. Tanpa membuang waktu, ia mengambil tas selempangnya yang tersampir di balik pintu. Lantas keluar dari kamarnya.



"Mau kemana Kak?" tanya seorang bocah laki-laki yang mengenakan kemeja coklat dengan gambar domba kecil di bagian dada kirinya.



Gadis itu kemudian menghentikan langkahnya yang tergesa saat bocah tersebut menghampirinya. Dia tersenyum tipis. Sementara sang bocah menatap heran pada kakak tersayangnya. Tak biasanya kakaknya itu pergi di minggu pagi seperti ini. Mau jogging? Sudah terlambat. Main? Kakaknya tak pernah main sepagi ini. Bocah itu mengerutkan kening.



"Sivia sakit. Aku mau lihat keadaannya. Kamu tolong bilang ke mama ya, Ray!" ujar gadis itu seraya menepuk bahu adiknya yang berambut gondrong.



Kemudian, setelah gadis itu melihat adiknya mengangguk menyanggupi, ia melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Dan dengan rasa khawatir yang mendera hatinya, ia berlari keluar dan pergi ke tempat tujuannya.



*



Pemuda dengan kemeja putih bergaris itu keluar dari jaguar hitamnya. Terburu-buru ia masuk ke dalam rumah yang sudah ada di hadapannya. Ia membuat langkah yang cepat, berkejaran dengan detak jantungnya yang bertalu tak menentu. Seutas pesan yang ia terima tadi, membuat hatinya ketar-ketir setengah mati. Bagaimana tidak? Sivia. Sahabat manisnya sedang sakit. Dan dia sendirian. Maka pemuda itu teramat mencemaskan sahabatnya. Hanya satu yang ada di fikirannya kini. Keadaan Sivia.



Pemuda itu tak butuh waktu yang lama untuk mencapai kamar Sivia. Ia sudah hafal betul seluk beluk rumah yang cukup besar ini. Maka ia langsung mendorong pintu yang ada di hadapannya. Ia mendapati Sivia tengah berbaring lemah di ranjangnya. Ia segera menghampiri Sivia.



Hatinya mencelos seketika, kala ia melihat wajah Sivia yang pucat pasi. Keringat dingin bergulir membasahi pelipisnya. Bibirnya bergetar. Sesekali meringis kesakitan seraya memegangi perutnya.



"Maaf gue telat, Vi!" ujar pemuda itu. Ia mengulurkan tangannya. Meraba kening Sivia untuk mengetahui suhu tubuhnya. Dan Tuhan. Sivia panas. Benar-benar menyedihkan. Pemuda itu menggigiti bibir bawahnya. Seakan merasa bahwa dialah yang membuat Sivia seperti ini.



"Maaf ya Rio! Gue terpaksa minta lo ke sini. Ayah, Bunda sama Bang Sion tadi pagi pergi ke Bandung. Bi Lilis juga ga tau kemana." jelas Sivia. Ia kembali meringis.



"Ga pa-pa Vi! Lo kan sahabat gue, bahkan gue udah anggap lo adik gue sendiri." Rio mengelus rambut Sivia yang cukup basah.



Sivia tersenyum. Menatap nanar lalu berkata "Makasih ya, Yo!" dengan suara bergetar.



Rio mengangguk lalu menyunggingkan senyum tipis. Ah, kasihan sekali sahabatnya ini. Seharusnya, di hari libur seperti ini, ia bisa menikmatinya dengan tawa renyah dan ocehannya yang mengganggu. Tapi saat ini, dia hanya bisa tergolek lemah. Bahkan mungkin, untuk mencapai kamar mandi pun, ia akan kesulitan.



Kalau saja Tuhan mau untuk diajak kompromi, ia akan meminta Tuhan untuk menukar posisinya dengan Sivia. Ia rela merasakan sakit yang teramat, asal Sivia dapat tersenyum. Asalkan Sivia ceria layaknya biasanya. Ia bersedia. Sungguh. Ini karena ia sangat menyayanginya. Tentu saja. Ia sudah bersahabat sejak lama dengan Sivia. Bahkan ketika masih kanak-kanak, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Mereka sangat dekat bagaikan pasangan adik-kakak. Dan itu terus berlangsung hingga mereka dewasa seperti saat ini. Hanya saja, semenjak tiga bulan yang lalu, hubungan mereka sedikit merenggang. Perceraian orang tua Rio membuat sikapnya berubah. Dia menjadi lebih murung dan tak seterbuka dulu. Lalu akhirnya, Rio pun terkesan menjauh dari Sivia. Namun sesungguhnya, tak ada sedikit pun niat di hatinya untuk menjauh. Ia tetap menyayangi sahabat manisnya. Sampai nanti. Sampai waktu yang tak ada batasnya.



"Gue buatin sup wortel ya? Lo kan paling suka sama wortel. Pasti, sup wortel bisa buat perut kamu lebih mendingan." ujar Rio lantas bergegas menuju dapur.



Sivia menoleh ke seluruh penjuru kamar. Memastikan bahwa Rio sudah benar-benar tak berada di kamarnya lagi. Kemudian ia mendesah lega. Senyum miring terlukis pada wajah cantiknya. Korban pertamanya telah berhasil ia pancing sehingga terjerat dalam jebakannya. Ia hanya tinggal menunggu korban terakhirnya yang pasti dengan mudah akan masuk dalam jebakan yang sama. Setelah itu, Sivia bersorak. Merayakan kemenangan atas rencana besarnya yang berjalan sempurna.



"Sivia..." khayalan Sivia seketika memudar saat seorang gadis yang baru saja menyembul dari balik pintu menyebut namanya. Sivia segera membenahi posisinya. Kembali berakting seperti tadi.



"Shilla!" ucap Sivia teramat pelan. Suaranya hilang tersapu angin.



Setelah menutup pintu, Shilla berjalan menuju tempat Sivia tengah berbaring.



"Lo kenapa?" tanya Shilla dengan menyisipkan nada cemas di antaranya.



"Perut gue Shil! Aww... aduuuh!!" Sivia meringis. Kedua tangannya meremas-remas perut.



Shilla menelan ludah. Ia tak pernah melihat Sivia meringis kesakitan seperti ini. Ia jadi tak tega melihatnya. Hatinya juga ikut merasakan sakit. Shilla menggeleng-gelengkan kepala. Menggenggam tangan sahabatnya yang berlumur keringat. Mencoba menguatkan.



"Shil, gue mau sup. Tolong ambilin ke dapur ya!" pinta Sivia.



Shilla mengangguk cepat. Tersenyum dan mulai melaksanakan permintaan Sivia. Ia melangkah menuju pintu lantas membukanya. Pada akhirnya, siluetnya pun menghilang di balik pintu.



Dan bagaikan mercon yang terkena sengatan api, Sivia langsung melejit. Bangkit lantas berjingkrak-jingkrak di atas tempat tidur. Ia tak peduli kalau jingkrakkannya akan membuat berantakan tempat tidurnya. Lalu nanti Bunda akan mengomelinya. Disusul Ayah yang pasti akan mendukung Bunda sepenuhnya. Pada akhirnya ia akan mendapat cemoohan telak yang menyebalkan dari Bang Sion. Tapi, apalah arti semua itu dengan pencapaian gemilangnya pagi ini. Ya, rencana besarnya, berjalan lancar. Sivia menepuk dadanya dengan bangga lantas tertawa lepas.



*



Aroma menggoda yang bersumber dari panci di atas kompor itu menyeruak ke seisi ruang. Suara bergolak dari dalam panci pun mulai terdengar. Menghasilkan irama yang menggemaskan. Terdengar juga bunyi ketukan yang diciptakan oleh pisau yang beradu dengan tatakan. Rio, pemuda bertubuh jangkung itu tengah memotong-motong wortel. Dilanjutkan setangkai daun seledri yang akan lebih menambah aroma menggoda pada sup yang tengah ia buat.



Gadis yang baru saja menginjakkan kakinya di ruang tersebut langsung terkesiap melihat siapa yang menjadi pengisi ruang sebelum ia datang. Itu pemuda penggelitik hatinya. Tiba-tiba, darahnya seakan berhenti mengalir. Tubuhnya bergetar tak terkendali. Shilla mendesah tak kentara. Mencoba menetralisir perasaan yang membuncah di hatinya. Dan desahan itu ternyata terhembus angin lantas menelisik gendang telinga pemuda di depannya. Pemuda itu berhenti melakukan pekerjaannya. Menoleh ke arah tempat Shilla sedang mematung.



Shilla cuma bisa melongo, saat pemuda itu mengibaskan rambut yang menghalangi matanya. Sejenak Shilla terpana. Pemuda itu benar-benar tampan. Dengan gaya rambutnya dan juga celemek yang dikenakannya. Dia terlihat lebih menawan.



"Shil, bantuin gue sini!" ujar Rio.



Shilla mengerjap. Dia buru-buru menunda keterpanaannya. Segera melakukan sesuatu yang lebih penting dibandingkan sekedar mengagumi ketampanan sang pemuda. Walau dalam hatinya, pemuda itu memang lebih penting dari segalanya.



Rio dan Shilla saling bekerja sama. Mereka menjelma menjadi tim pembuat sup yang solid. Rio yang memasukkan potongan wortel serta bumbu-bumbu. Shilla yang mengaduk-aduk sup dalam panci. Mereka pasangan yang cocok. Ya, walau hanya dalam kapasitas membuat sup. Tapi Shilla berharap, dalam hal lain yang lebih besar pun, mereka bisa menjadi pasangan yang baik serta serasi.



*



Rencana besar yang dirancang Sivia semalaman suntuk sudah 90 % berjalan. Kedua korbannya telah masuk ke dalam jebakan mematikan yang ia buat. Hanya tinggal menunggu waktu saja.



Dan menunggu adalah hal yang menyebalkan bagi seluruh penghuni bumi. Termasuk Sivia. Dia jenuh harus terus menerus berdiam diri di kamarnya. Berpura-pura sakit. Ah, di kamar tidak asyik. Dia mau main keluar. Membeli eskrim atau hanya sekedar berkeliling komplek. Maka Sivia keluar dari kamarnya. Mengendap-ngendap seraya menoleh ke kanan kiri. Memastikan bahwa keadaan aman dan memungkinkannya untuk melarikan diri dan bersenang-senang di luar rumah.



Ah ya. Sivia memang pintar. Tiap pergerakannya sangatlah licin. Buktinya, sekarang ia sudah berada di luar rumahnya dan sejurus kemudian mengambil langkah seribu. Menjauhi rumahnya dan membiarkan orang yang menghuninya berdua menikmati tiap detik kebersamaan yang diharapkan oleh salah satu diantaranya.



Sivia melangkah dengan ceria. Lengkungan senyum manis tertoreh pada wajah cantiknya. Sesekali ia bersenandung. Kadang terkekeh kala ekspresi merona yang pasti Shilla tampilkan saat sedang bersama Rio. Ah dunia memang indah, saat kita dapat berguna bagi sesama terlebih bagi sahabat.



Langkah Sivia terhenti, saat suara khas yang sudah familiar di telinganya terdengar dari seberang jalan.



"Heh becaknya gue!"



Sivia mengerutkan kening. Menelan ludah lantas memasang ekspresi ketakutan. Aduh, ia pasti akan dikerjai habis-habisan oleh pemuda pemilik suara menyebalkan tadi. Ia menghela nafas lalu menoleh ke arah sumber suara.



Sivia lantas terperanjat saat sebuah tangan kokoh menyambar tangannya. Kemudian ditariknya tangan Sivia menuju seberang jalan. Terpaksa membuat Sivia, harus mengekorinya.



"Ish, Odong-odong nyebelin. Apaan coba ngajakin gue ke sini!" Sivia menghempaskan lengan yang dipegang oleh sang pemuda. Ia meringis kesakitan. Cengkraman pemuda itu erat sekali. Sivia mengulum bibir.



Gabriel -pemuda itu- terkekeh lalu duduk di sebuah bangku kayu yang ada di samping seorang tukang rujak. "Makan rujak yuk!" ajak pemuda itu dengan polos. Tak sedikit pun merasa bersalah atas apa yang dilakukannya pada Sivia. Ia malah mengerjapkan matanya beberapa kali.



"Ga mau!" tolak Sivia ketus. Ia mengulum bibir. Merutuk dalam hati.



"Mau aja deh! Mang, rujaknya dua." ujar sang pemuda sambil tertawa menyeringai. Lantas menarik tangan Sivia untuk duduk di sebelahnya.



Sementara Sivia terus saja merutuk. Dasar Gabriel autis. Jelas-jelas ia menolaknya mentah-mentah. Tapi, tetap saja melakukannya. Sivia berdecak. Rutukan masih terus ia gumamkan pelan.

"Nih!" Gabriel menyodorkan sebungkus rujak pada Sivia. Sebenarnya, Sivia malu juga harus menerima rujak itu. Tapi, dilihat-lihat, rujaknya cukup menggiurkan juga. Dan akhirnya, meskipun hatinya terus merutuk dan bibirnya terus dikerucutkan, Sivia menerimanya lantas membuat suapan pertamanya.

Gabriel melirik ke arah gadis becaknya. Ia menggeleng melihat Sivia tetap melahap rujak pemberian darinya, walau dengan muka yang sangat terpaksa. Namun justru, ekspresi yang seperti itu terkesan lucu dan mengesankan. Membuat hati Gabriel semakin terkesima.

"Odong-odong sayang Becak!" Gabriel berbisik pelan tepat di telinga Sivia. Sejenak, Sivia terbuai pada kalimat penuh ketulusan yang diciptakan pemuda menyebalkan di sampingnya. Maka ia menunduk. Tersenyum jengah. Tersipu malu.

*



Bersambung

*

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari