Selapang Sang Rembulan part 7

Sabtu, 12 November 2011

Selapang Sang Rembulan part 7


Kala rasa menggelitik itu memenuhi tiap inci relung jiwa, takkan ada yang bisa mengenyahkan keajaibannya. Memupus kilauan bercak yang terpajang menyempurnakan kekosongan yang belum terjawab. Menetralisir adiksi yang terlarut bersama udara yang memadati sang kuota. Mencegah kemana desauan angin 'kan membawanya. Maka biarkanlah! Biarkan ombak itu berlari memburu tepi. Biarkan katak-katak itu menyenandungkan nyanyian kecilnya di atas teratai. Biarkan Sang Rembulan menjaga lelapnya Bumi malam ini. Juga malam lain. Dan malam-malam mendatang yang tak selalu terhindar dari kelam.



***

Shilla melepaskan sabuk pengaman yang tersampir di tubuhnya. "Thanks ya Yo!"



Shilla memutar kepalanya ke kanan. Mendapati pemuda di belakang setir itu sama sekali tak bergeming dengan ucapan Shilla barusan. Padahal, Shilla berharap kalau pemuda itu akan menoleh padanya. Paling tidak, hanya untuk memamerkan lengkung senyum khas miliknya. Namun kali ini, Shilla harus mengurut dada. Pemuda itu tak mengindahkan kehadirannya. Ia malah mengetukkan jemarinya ke atas kemudi. Fikirannya jauh mengembara.



Akhirnya, Shilla memutuskan keluar dari mobil. Setelah ia menutup pintu mobil, ia membalikkan badannya. Mengangkat tangan. Membuka mulut. Dan...



Pemuda itu melesat pergi sebelum Shilla sempat mengucapkan sesuatu. Pemuda itu seakan tengah terburu-buru untuk pergi ke suatu tempat. Pantas saja sepanjang perjalanan tadi, pemuda itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Sekedar bergumam saat Shilla bertanya. Ia seakan tak menginginkan adanya Shilla di sampingya. Mungkin, ia juga terpaksa mengantarkan Shilla. Ya, hanya untuk membuat Sivia tidak kecewa saja.



Shilla menunduk dalam. "Hati-hati Rio!" Ia mengucapnya begitu pelan, nyaris tak terdengar. Kalau pun ia berbicara dengan keras, atau berteriak sekali pun, pemuda itu tak akan bisa mendengarnya. Jaguar hitamnya telah menghilang dari pandangan. Ia pergi dengan membawa hatinya yang sama sekali tak menyiapkan setitik pun ruang untuk dapat tersentuh olehnya. Membentang sekat yang akan sangat sulit untuk merapat. Hatinya sakit. Lebih menyakitkan dibandingkan ketika ia melihat adegan beberapa saat yang lalu. Kali ini, menyesakkan.



***

Sivia menelan suapan buburnya yang terakhir yang ia dapat dari Gabriel. Ah ya. Dengan telaten, pemuda itu menyuapi Sivia bubur yang dimasak oleh Bi Lilis. Gabriel menyimpan mangkuk kosong ke atas nampan yang ada di atas meja. Ia lalu menyodorkan segelas air putih pada gadisnya. Lantas Sivia pun meminum air itu hingga tersisa tiga perempatnya. Gabriel menyimpannya kembali ke atas nampan. Beralih mengambil sebuah obat.



Sivia memperhatikan Gabriel yang meraih obat. Obat yang tadi diberikan oleh dokter yang datang memeriksanya. Pasti obatnya pahit. Iih,,, Sivia tidak suka. Ia bergidik ngeri.



Gabriel mengeluarkan pil obat yang harus Sivia telan. Tapi nampaknya, Sivia enggan meminumnya. Ia malam membekap mulutnya dengan telapak tangan seraya menggelengkan kepala. "Ga mau!"



Gabriel mengerutkan kening. Sivia itu gadis umur berapa sih? Disuruh minum obat saja raut wajahnya ketakutan seperti melihat mahluk halus. Gabriel menggelengkan kepala.



"Ayo minum obat dulu!" ujar Gabriel.



"Gue ga mau Odong-odong!" Sivia menepis tangan Gabriel yang hendak menyuapinya obat.



"Eh..." Gabriel mengerjap. Sepertinya ia harus segera mengeluarkan jurus terjitunya untuk membuat Sivia agar bersedia meminum obat. Ia tersenyum miring. Sivia bergidik.



Dan inilah jurus yang dimaksud. Gabriel mendekatkan wajahnya pada wajah Sivia. Sedikit menggeser posisi duduknya agar lebih nyaman untuk 'melakukan'nya.



Sivia menahan nafas. Apa lagi coba yang akan diperbuat Gabriel? Sivia jadi takut. Takut wajahnya akan menampilkan segores tinta merah merona. Takut jantungnya yang kini memompa darah lebih kuat akan meloncat keluar dari tempatnya. Takut tembok kemunafikannya runtuh. Apalagi saat ia menangkap seutas cahaya dibalik bola coklat melelehkan milik pemuda yang sudah berada sangat dekat dengannya. Ia takut Gabriel tahu, bahwa sebenarnya ia juga menyimpan rasa yang sama seperti apa yang menggelayuti hati Gabriel sejak lama.



Gabriel sekali lagi lebih mendekatkan wajahnya. Lantas ia terdiam saat mendapati sorot kilauan tajam dari manik mata gadisnya. Kilaunya yang lebih cantik dari sinar sang rembulan. Kilauan yang lebih berharga dibandingkan butir mutiara sekali pun. Gadis ini sungguh mempesona.



Gabriel segera mengerjap. Ia segera tersadar akan keterpesonaannya. Ia menunda sejenak keterpanaannya. Karena ia yakin, masih banyak waktu untuk hanya sekedar mengaguminya. Bahkan mungkin, untuk merengkuh seluruh kehidupannya. Ia kembali pada tujuan awalnya.



Gabriel mendesis pelan. "Kalo ga minum obat, gue cium!" Gabriel tersenyum menyeringai.



Apa? Gabriel menyebalkan! Sivia mendorong Gabriel agar menjauh darinya. Ia lebih baik menelan sekarung obat yang pahit, daripada dicium oleh Gabriel. Ih, Sivia mendengus kesal.



"Jadi, pilih yang mana? Kalau lo tetep ga mau minum obat, berarti lo pengen kan dicium ama gue? Haha!" Gabriel mengerlingkan matanya jahil.



"Ihhh, Gabriel centiiiiiilll...! Iya, gue minum obatnya!" ujar Sivia pada akhirnya.



Gabriel tertawa puas. Ia mengambil obat. Mendekatkannya pada mulut Sivia yang takut-takut membuka. Perlahan, mulutnya meraih obat. Lantas ia berusaha menelan obat yang begitu pahit terasa di lidahnya. Matanya terpejam. Wajahnya menggemaskan.



Gabriel menyerahkan gelas berisi air putih untuk membantu Sivia menelan obat, dan untuk menghilangkan rasa pahitnya.



Maka Sivia segera meneguk air tersebut sampai habis. Fiuhh, obatnya tidak enak. Coba saja obat itu rasanya seperti permen, Sivia mau terus sakit. 'Kan biar bisa terus makan obat rasa permen. Tapi sayang, obat yang baru saja ia telan sama sekali tidak seperti permen yang manis dan enak. Ih, Sivia jadi tidak mau sakit lagi.



"Sekarang, tidur gih!" kata Gabriel.



Sivia cuma melongo. Gabriel perhatian sekali padanya. Seperti Bunda. Omong-omong, kenapa Bunda, Ayah serta Bang Sion belum juga pulang ya? Padahal hari sudah sore. Ah, Sivia ingin mereka pulang. Agar pemuda tengil ini segera menghilang dari hadapannya. Lebih baik ia ditemani ledekkan Bang Sion yang membuat hatinya dongkol. Daripada harus bersama dengan pemuda yang terus memamerkan senyum dan menatapnya lekat-lekat. Kadang, juga melirik dengan cukup 'nakal'. Sivia sebal pada Gabriel. Dia selalu saja membuat bibirnya manyun. Dia selalu membuat Sivia tersipu. Dia selalu saja mengundang getaran hebat dalam tubuhnya. Dia yang selalu memacu aliran darah lebih cepat dari seharusnya. Dan dia yang selalu menempati ruangan istimewa di hatinya.



Tak lama, terdengar suara ketukan pada pintu kamar Sivia. Sejurus kemudian, kepala Bi Lilis menyembul dari balik pintu. Ia menunduk. Meminta izin untuk masuk. Maka setelah Sivia mengatakan "Masuk aja Bi!" Bi Lilis melangkah menghampirinya.



"Barusan Ibu telepon. Beliau bilang, baru bisa pulang besok. Soalnya, masih ada yang urusan." ujar Bi Lilis takzim.



Sivia mendengus sebal. Ada urusan apa sih mereka di rumah orangtuanya Bang Sion? Jangan-jangan, Bang Sion akan tinggal bersama orangtuanya di Bandung. Kalau begitu, siapa yang akan menjadi rivalnya saat bermain ular tangga? Tapi tunggu. Lalu siapa yang akan menemaninya malam ini? Tak mungkin pemuda ini. Sivia menggeleng-gelengkan kepala.



"Bi, saya boleh temenin Sivia kan? Saya udah janji sama Rio." Gabriel memelas. Memohon agar wanita paruh baya itu memberikan izin.



Tadi, Rio sempat menelpon Bi Lilis untuk membiarkan Gabriel menginap dan menjaga Sivia malam ini. Itu sebagai hukuman karena telah membuat Sivia sakit, katanya. Bi Lilis nampak berfikir. Sepertinya akan lebih baik jika Nona-nya dijaga oleh Gabriel. Ia yakin Gabriel akan menjaga Sivia dengan baik. Lagipula, ia sudah mengenal Gabriel sejak lama. Dan juga, ia tahu kalau Sivia menyukai Gabriel. Jelas saja. Sivia kan sering cerita mengenai Gabriel padanya. Ya, walaupun tidak terang-terangan mengatakan kalau dia memeliki rasa untuk Gabriel. Tapi paling tidak, dengan topik yang selalu dijadikan bahan cerita Sivia adalah Gabriel -entah itu bagaimana ia menjahili Gabriel atau pun sebaliknya-, Bi Lilis mampu memperkirakannya.



Bi Lilis mengangguk seraya tersenyum.



"Tapi Bi..." Sivia menghentikkan ucapannya ketika Gabriel buru-buru angkat suara.



"Aku disuruh Rio lho! Elo mau Rio marah?"



Sial. Sivia paling tidak bisa menolak kehendak sahabat kerennya itu. Rio. Bagaimana pun juga, dia adalah sahabat yang selalu melindunginya. Meskipun ia terkesan menutup diri dari jamahan Sivia, tapi Sivia yakin, Rio tetaplah sahabatnya. Sahabat keren layaknya Superman. Ia sangat menyayangi Rio. Maka Sivia tak bisa mengelak. Terpaksa mengangguk. Pasrah harus menghadapi 'cobaan' yang dihadiahkan Tuhan. Gadis berlesung pipi itu melipat tangannya di depan dada. Memanyunkan bibirnya.



Bi Lilis menahan tawa saat melihat ekspresi Nona-nya. Lalu membungkuk permisi untuk beranjak keluar kamar.



Gabriel tersenyum. Ia sangat bahagia. Ia diberi kesempatan untuk menemani gadis-nya semalaman. Rio tahu sekali apa yang diinginkannya. Bi Lilis juga sangat pengertian. Lantas ia pun melirik Sivia yang tengah menggerutu pelan. Sepertinya ia tengah merutuki Rio, Bi Lilis atau mungkin Gabriel sendiri.



Sivia bisa menangkap dari sudut matanya bahwa Gabriel sedang memperhatikannya dengan senyum khasnya yang menyebalkan. Maka Sivia pun menoleh. Menatap tajam pada Gabriel. Lalu menghardiknya.



"Apa lo?"



Gabriel hanya terkekeh. Ia seperti berada di atas angin.



***

Pemuda itu membanting pintu jaguarnya. Setelah itu melangkah kakinya menuju pintu masuk sebuah rumah mewah yang baru saja ia datangi. Lantas setelah berdiri tepat di depan pintu, ia mengetuk pintu tersebut.



Tak berapa lama, suara langkah kecil terdengar mendekati pintu. Pemuda itu sudah tidak sabar untuk bertemu dengan gadis-nya. Ia mencium setangkai mawar yang ia beli di toko bunga langganannya sebelum ke tempat ini.



Pintu terbuka. Gadis cantik yang mengenakan baju terusan lengan pendek berwarna putih yang membukakannya. Dia gadisnya. Gadis Si Pemuda. Gadis yang nampak sangat manis dengan rambut ikalnya yang terhias jepitan beludru putih. Sejenak membuat pemuda itu hanya bisa melongo.



"Aku kira, kau tak akan datang." ujar gadis itu. Tatapannya nanar.



"Aku fikir, kamu tak akan menungguku." timpal Sang Pemuda.



"Aku selalu menunggumu Rio!" ujar gadis berdagu runcing itu dengan penekanan pada kata kedua dan terakhir.



"Dan aku akan datang untukmu Ify." ujar Rio. "Gaharu." Rio menambahkan.



Gaharu. Sejenis kayu yang harum baunya. Ya, bagi Rio, seperti itulah Ify. Gadis cantik yang mempesona, namun begitu tegar dan lapang. Maka dari itu, Rio memanggilnya Gaharu.



Ify tersenyum. Tersanjung saat pemudanya memanggilnya Gaharu.



"Apa kau mengizinkanku masuk ke rumahmu?" tanya Rio.



"Tentu." Ify melengos. "Bahkan aku mengizinkanmu masuk dan tinggal di hatiku."



Rio melangkahkan kakinya untuk masuk ke kediaman gadisnya yang selalu saja seperti ini, sepi. Sama layaknya tempat tinggalnya. Ia segera mensejajarkan posisinya dengan Ify. Merangkulnya. Lantas berjalan beriringan.



Mereka berdua sampai di sebuah ruangan yang berwarnakan biru langit. Dinding-dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan wajah cantik Ify. Dan perlu diketahui, bahwa yang menciptakan lukisan-lukisan itu adalah Rio. Pemuda itu memang pandai menggoreskan cat beraneka warna pada kanvas. Dan dari sekian banyak karya yang telah ia ciptakan, keindahan gadisnya selalu jadi objek utama. Ruangan itu beralaskan karpet. Di sudut kiri, berdiri sebuah lemari besar yang berisikan buku-buku koleksi Ify. Gadis itu sangat gemar membaca. Maka tak heran dia selalu mendapatkan posisi tiga besar di kelas.



Akhirnya mereka duduk bersila. Menghadapi sepiring puding coklat yang sudah tersedia di sana.



"Mungkin pudingnya sudah basi. Aku membuatnya tadi pagi. Sore ini, kita makan angin aja!" ujar Ify seraya menyingkirkan piring berisi puding itu ke pinggir.



Rio terkekeh lucu. Ify memang tak berniat melawak. Lagipula, ucapannya bukanlah sebuah lelucon. Namun Rio selalu saja terkekeh atau sekedar tersenyum selepas Ify berucapnya. Caranya mengeluarkan setiap kata sungguh berbeda. Unik. Lucu. Apalagi dengan nada bicaranya yang manja. Aksen bahasanya begitu lembut. Menggelitik hati.



"Aku membawa mawar untukmu." ujar Rio seraya menyerahkan setangkai mawar merah yang masih segar.



Ify meraihnya. Mencium dan menghirup aromanya. Wangi sekali. Menenangkan. Ia sangat suka aroma mawar. Namun ia jauh lebih suka dengan aroma maskulin alami yang menyeruak dari tubuh pemuda tampan di hadapannya. Bahkan ia membutuhkan aroma itu untuk mengikis rasa sepi yang sering menjuntai di relung kalbunya.



"Kecantikan mawar itu tak mengalahkan kecantikanmu." sekali lagi Rio menyanjung gadisnya. Itu memang benar. Rio tidak sedang menggombal seperti kebanyakan lelaki hanya untuk membuat pasangannya terbang. Namun itu memang sebuah kenyataan yang tak dapat terbantahkan. Ify memang cantik. Bahkan sangat cantik bagi Rio. Ia sangat mencintainya.



Maka jangan harap ada setitik pun celah untuk siapa pun masuk dan tinggal di hatinya. Karena cinta gadisnya telah bersemayam memenuhi tiap sudut hatinya. Tak ada tempat untuk cinta yang lain. Cintanya hanya satu. Yaitu Ify.



***

Sivia membuka kedua matanya. Entah mengapa ia bisa terjaga dari tidurnya. Padahal biasanya, ia tidur seperti orang mati. Ia melirik jam di dinding. Benda penunjuk waktu itu menunjukkan pukul 23.12 WIB. Sudah larut malam. Ia lantas melirik pemuda yang sudah terlelap dengan posisi duduk. Kepalanya tenggelam di atas tempat tidur. Dan yang baru Sivia sadari, tangannya digenggam erat oleh kelima jari milik pemuda itu. Sivia tidur diiringi tautan tangan penuh kasih sayang yang diberikan Gabriel. Pemuda yang telah memenuhi janjinya pada Rio untuk menemani dan menjaga Sivia. Pemuda yang sabar menghadapi rengekkan Sivia saat ia meminta untuk dibuatkan coklat hangat sebelum tidur. Pemuda yang dengan telaten melayani kehendak Sivia yang aneh-aneh. Tadi saja, Sivia menyuruhnya menjadi badut. Jadi, terpaksalah ia harus mewarnai hidungnya dengan lipstik merah milik Bi Lilis, lalu bertingkah konyol seperti badut. Tapi semuanya Gabriel lakukan dengan senang hati. Tentu saja. Karena gadisnya yang meminta. Kalau saja Sivia memintanya untuk mencabuti rumput di lapangan seakbola sekalipun, ia akan melakukannya. Semuanya tak apa dibandingkan seulas senyum yang pasti akan selalu membuat hatinya berbunga.



Sivia jadi heran sendiri. Padahal dirinya selalu bersikap tidak baik padanya. Selalu menolak mentah-mentah kebaikan yang hendak diberikan Gabriel. Tapi pemuda itu tak pernah marah padanya. Apa dia tidak sakit hati diperlakukan seperti itu? Ia jadi merasa bersalah atas sikapnya. Tapi semua yang dilakukan Sivia semata-mata hanya untuk menutupi letupan perasaan yang merayapi hatinya. Tak ada maksud lain. Apalagi maksud untuk menyakitinya. Menyakiti pemuda yang telah mengindahkan hidupnya.



Sivia mendesah tak kentara. Mengangkat tangannya yang bersatu dengan tangan sang pemuda. Lalu mengecupnya hangat. Sivia agak lama melakukannya. Ia seperti menikmati tiap detik saat bibir manisnya menyentuh punggung tangan sang pemuda. Lalu pada akhirnya, ia menyimpannya di dada. Agar pemuda itu merasakan bahwa hatinya tak pernah diam saat dia hadir disisinya.



Sivia kembali terlelap dalam nafas beraturan.



***

Pemuda itu bergerak-gerak. Beberapa saat kemudia ia mendongakkan kepala. Melihat wajah gadisnya yang nampak begitu manis ketika tertidur. Ia mendapati tangannya yang digenggam oleh Sivia. Ia tersenyum. Pelan-pelan melepaskan tangannya dengan hati-hati. Takut apa yang dilakukannya akan mengusik tidur gadisnya. Ia lantas mengusap puncak kepala Sivia lembut. Lalu bangkit dari tempat duduknya. Berjalan keluar menuju balkon kamar Sivia.



Balkon kamar Sivia menghadap ke arah barat. Mungkin kalau senja tiba, ia akan bisa melihat mentari yang hendak pulang ke persembunyian dengan semburat merah kekuningan yang menawan. Namun saat ini gelap. Arloji di pergelangan tangan kirinya masih menunjukkan pukul 02.53 WIB. Dan kelamnya langit terkikis oleh Sang Rembulan yang sudah condong ke arah barat. Bentuknya bulat sempurna. Sungguh mempesona.



Gabriel tak melakukan apa-apa. Ia hanya berdiri seraya terus menatapi tiap kilauan sang rembulan. Ah, hanya melakukan itu saja sudah membuat hatinya begitu tenang.

Dan tanpa ia tahu, Sivia kembali terbangun dari tidurnya. Dia merasa ada sesuatu yang menghilang. Ternyata jemari hangat itu telah terlepas dari kungkungan tangannya. Pemuda empunya jemari itu pun kini sudah tidak ada di kamarnya. Kemana dia?



Sivia menuruni tempat tidurnya. Sekarang, kondisinya sudah tidak semenyedihkan kemarin. Buktinya kini ia mampu melangkahkan kakinya.



Sivia mengerutkan kening. Memicingkan mata mendapati pintu kamar yang menghubungkannya ke balkon terbuka. Pencuri kah? Atau mungkin Gabriel tengah berada di balkon? Tapi, untuk apa? Sivia berjalan menuju balkon.



Benar saja. Pemuda berbadan tegap itu tengah mematung di balkon. Matanya tertuju pada rembulan yang menggantung di kegelapan malam. Nampaknya, Gabriel juga menyukai bulan, seperti dirinya. Ia lantas menghampirinya. Ikut berdiri di samping kanannya.



"Aku cari kamu." ujar Sivia. Ikut menatapi bulan yang sangat menawan.



"Eh..." Gabriel terkesiap. Ia baru menyadari gadisnya ikut bergabung bersamanya. Ia menoleh pada Sivia. Gelagapan membuka mulutnya.



"Kalau mau lihat bulan, kenapa ga ajak aku? Aku juga suka bulan." ujar Sivia. Ia tersenyum kecil.



"Eh... maaf!" ia menggaruk belakang telinganya. "Ke dalam lagi yuk!" Gabriel melengos hendak pergi. Sampai akhirnya lengan kokohnya dicekal oleh lengan lembut Sivia. "Eh..." Lagi-lagi Gabriel terkesiap. Ia membalikkan badannya.



"Tetap disini sampai bulan pergi!" pinta Sivia.



Gabriel mengangguk. Kembali ke posisinya yang semula. Menghadap bulan yang masih benderang. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda saat berada di sisi Sivia.



"Kenapa kamu mau repot-repot jagain aku?" tanya Sivia. Ia bersikap tak seperti biasanya. Mungkin kini, perlahan dia telah berusaha memangkas sedikit demi sedikit menara kemunafikannya. Ia telah berani membuka hatinya. Membiarkan pemuda disampingnya masuk dan mengisi seluruh ruangan kosong di hatinya.



Gabriel nampak terkejut. Sesaat ia tertegun mendengar pertanyaan Sivia. Pertanyaan pembuka dari kejujuran-kejujuran yang akan segera terkuak. Ia bingung juga harus menjawab apa.



"Selain karena Rio." Sivia menambahkan, karena Sivia tahu Gabriel akan memberikan alasan tersebut.



"Emm..." Gabriel menggigit bibir. Entah apa yang harus dikatakannya. Hati kecilnya memintanya untuk mengungkapkan segalanya. Ya, mungkin itu yang harus dilakukan Gabriel.



Gabriel menghela nafas. Mengumpulkan keping-keping keberanian. Lantas ia berkata...



"Karena hati aku."



Sivia terkekeh. Memutar tubuhnya menghadap Gabriel. Lantas Gabriel pun ikut menghadap Sivia.



"Hati kamu? Bukannya hati kamu dulu ga suka sama aku?" tanya Sivia sarkatis.



"Hati bisa berubah. Sekarang, hatiku sangat menyukaimu. Bahkan mencintaimu." ujar Gabriel. Ia menatap Sivia dengan tatapan yang meneduhkan.



"Berarti nanti, hatimu juga akan berubah lagi?" tanya Sivia retoris. Ia seakan tengah mencari sebuah kepastian yang akan memantapkan hatinya.



Gabriel terperanjat. Ia tak menyangka Sivia akan melontarkan pernyataan tersebut. Ia menggelengkan kepala.



"Aku harap takkan pernah. Karena aku juga merasakan hal yang sama denganmu." Sivia melompat merengkuh tubuh kokoh pemuda di hadapannya. Dan Gabriel pun sigap menangkapnya.



Gabriel membelai lembut rambut hitam nan panjang gadis dalam dekapannya. Ia serasa terbang melayang menembus angkasa saat kini gadis yang dulu seakan sulit untuk ia raih, sekarang berlari menghampirinya. Bahkan kini terkungkung di balik kedua tangannya.



Sementara Sivia juga tak kalah berbahagianya. Ia tersenyum. Menghirup aroma tubuh kokoh pemudanya yang seakan menjadi adiksi untuk tiap jengkal sukmanya. Mengadu dentuman berirama dari jantung keduanya. Memadu rasa cinta yang telah berbaur dalam kemahaindahan. Sivia meruntuhkan tembok yang selama ini selalu menghalangi dirinya untuk membuka gerbang di hatinya. Memusnahkannya lantas berdoa pada yang Maha Esa, agar harapannya selalu terjaga dan takkan teronggok mati.



Mereka pun mengurai pelukannya. Kembali menghadap ke arah bulan. Bulan yang jadi saksi bisu atas jalinan cinta yang mereka sulam dengan ketulusan.



Gabriel melingkarkan lengan kanannya pada pinggang Sivia. Sementara Sivia menyandarkan kepalanya pada bahu pemuda yang telah 'resmi' menjadi pemudanya. Pemuda berhati lapang. Selapang Sang Rembulan.



***



Bersambung.



***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari