Selapang Sang Rembulan part 4

Sabtu, 12 November 2011

Selapang Sang Rembulan part 4


Cinta itu indah.
Dan kejujuran yang mengindahkan.

*

Sivia tengah berjalan beriringan dengan Shilla menuju kantin untuk menyusul sahabatnya yang sudah terlebih dulu ke sana. Di setiap langkah yang Sivia buat, ia terus saja merutuki tentang sikap Bu Winda yang selalu saja menyuruhnya membawakan setumpuk buku tugas anak-anak ke ruangannya. Bu Winda tak tahu saja, buku-buku itu berat. Lagi pula, jarak dari kelasnya ke ruangan Bu Winda itu jauh. Sivia lelah. Maka dari itu dia mengulum bibirnya seraya menghentakkan kakinya kesal.

"Emang, murid di kelas cuma gue ya? Tiap nyuruh apa-apa, selalu sama gue. Kan ada Zahra yang jenius itu. Atau Ify yang ketua kelas. Gue cuma rakyat jelata di kelas. Tapi kenapa gue terus yang disuruh sama Bu Winda? Eh ga ding, bukan cuma Bu Winda. Semua guru malahan. Ya Tuhan, fans gue banyak bener!"

Sedangkan Shilla hanya berdecak. Lantas tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sudah terbiasa mendengar rutukan Sivia mengenai perlakuan para guru terhadapnya. Tapi toh, Sivia tetap bersikap manis dan menyenangkan di hadapan mereka. Nah, itulah yang tidak diketahui Sivia. Sikapnya itulah yang membuat guru-guru menyukainya. Tak heran mereka sering menyuruh Sivia macam-macam. Dan air muka Shilla seketika berubah. Tiba-tiba terlintas di benaknya niat untuk mengatakan suatu hal, mengenai hatinya.

Lalu ocehan Sivia terhenti saat Shilla dengan ragu menggumamkan namanya. Sivia heran. Ia mengerutkan kening. Kenapa Shilla berani memotong ocehannya? Bukankah biasanya dia melengos saja. Kenapa dengan Shilla? Lantas Sivia menoleh. Memicingkan matanya mendapati Shilla yang memasang wajah penuh kegelisahan.

"Kenapa?"

Shilla meraih tangan Sivia. Menariknya untuk duduk di bangku yang terbuat dari beton di depan ruangan yang tengah mereka lalui. Setelah keduanya duduk, Sivia masih memicingkan matanya, lalu ditambah kedua alisnya saling bertaut. Shilla hanya menunduk dalam.

Sivia semakin tak mengerti saja dengan sikap Shilla. Tadi dia baik-baik saja. Lalu kenapa pula sekarang ia jadi seperti itu? Sivia mendesah sambil terus menunggu penjelasan dari sahabatnya.

Kesetiaan Sivia untuk menunggu berbuah. Shilla menarik nafas. Menghembusnya perlahan. Kemudian berujar, "Ga ada yang larang gue buat jujur, kan?"

Sivia menggeleng pelan sambil tersenyum jengah. Aduh, Shilla itu aneh. Mana ada seseorang hendak berkata jujur dilarang. Memang siapa yang mau melarangnya? Polisi? Sivia berdecak.

Maka Shilla melontarkan pertanyaan yang kedua, yang justru membuat Sivia semakin tak mengerti. "Gue ga salah kan kalau cinta sama seseorang?"

Pertanyaan Shilla semakin aneh. Jelas saja mencintai seseorang bukanlah suatu kesalahan. Toh rasa cinta itu ditanamkan oleh Tuhan dalam hati manusia. Mana mungkin itu adalah hal yang salah.

Dan akhirnya Shilla mengeluarkan kalimat berikutnya. Kalimat pencerah dari keanehan yang diciptakan olehnya. Sekaligus kalimat yang membuat Sivia terkejut.

"Gue cinta sama Rio." Shilla mengucapnya seraya menunduk.

Dan Sivia hanya bisa terbelalak. Mulutnya terbuka. Tak percaya sedikit pun pada kalimat kejujuran yang sahabatnya buat.

Sebenarnya, Sivia adalah tipe gadis yang mudah percaya pada ucapan sahabatnya. Terlebih pada Shilla. Namun, mengingat kedekatan antara Shilla dan Cakka, hal itu serasa aneh dan sulit dipercaya. Sivia kira, Cakka-lah pemuda yang dicintai oleh Shilla. Dan kini, kalimat kejujuran yang terucap dari mulut manis gadis bersuara lembut itu mematahkan perkiraan Sivia. Ternyata, Rio-lah pemuda yang berhasil mencuri hati Shilla.

"Vi..." Shilla mendongak. Meletakkan dua tangannya pada bahu Sivia. Menatapnya penuh harap. Lantas ia mengguncang bahu sahabatnya. Lalu berkata "Lo kan sahabat Rio, bantuin gue deketin dia dong!" dengan nada memelas.

"Emm..." Sivia menggigit bibir. Menimbang dan berfikir. Ia mau saja langsung mengangguk mengiyakan permintaan Shilla. Tapi, entah mengapa, dia merasa ada yang salah dari ini semua. Dari perasaan Shilla. Sivia mengerjap. Kenapa dia berfikir seperti itu? Bukankah tak ada yang salah dengan perasaan bernama cinta? Itu kan yang selama ini ia tahu. Jadi, rasa cinta Shilla untuk Rio pun bukan sebuah kesalahan.

"Gimana?" tanya Shilla penuh harap. Ya, ia berharap bahwa Sivia akan membantunya. Meskipun Sivia menyebalkan, tapi kalau soal jodoh-menjodohkan, Sivia jagonya. Maka Shilla sangat mengharapkan anggukan Sivia.

Sivia itu bukanlah gadis yang tega melihat sahabatnya sendiri memelas. Maka meski ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, ia mengangguk lantas tersenyum.

"Huaaaa... makasih ya Siviaaaa!" Shilla melonjak. Menghambur memeluk Sivia. Dia senang. Sivia memang sahabatnya yang paling baik.

Dan tanpa Shilla tahu, Sivia masih terus memutar otak. Mencari dimana letak kesalahan itu terjadi. Dan matanya pun terpejam. Dalam hati berkata "Gue harap, gue yang salah!"

*

Gadis berkulit kuning langsat itu tengah menyusuri koridor sekolah sendirian. Lantas ia menghentikan langkah kaki mungilnya saat kini ia sudah berada tepat di depan sebuah ruangan bercat biru muda. Ia menoleh ke kiri dan kanan, seperti memastikan. Lalu tangan kanannya ia gerakkan untuk memegang kenop pintu. Menghela nafas. Dan akhirnya memutar kenop pintu tersebut. Membuat kini ia bisa masuk ke ruangan yang menyeruakkan aroma obat-obatan. Ruangan favoritnya. Ruang UKS.

Kepalanya terlebih dulu menyembul dari balik pintu. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang. Tak ada siapa-siapa. Maka ia mulai membuat langkah pertamanya memasuki ruangan tersebut. Mendesah sepelan mungkin. Lalu mulai mendekati sebuah tirai yang berwarna senada dengan cat ruangan tersebut.

Gadis itu mengulurkan tangannya. Meraih tirai dengan ragu. Berniat untuk membukanya. Namun sebelum itu, ia menoleh ke belakang. Masih sama. Tak ada siapa-siapa. Dan akhirnya setelah menghela nafas, ia benar-benar membuka tirai tersebut. Sehingga kini, kedua mata indahnya dapat menangkap siluet pemuda yang tengah duduk memunggunginya di atas ranjang. Pemuda yang mempunyai tempat istimewa di hatinya. Pemuda-nya.

Pemuda itu sepertinya menyadari bahwa seseorang kini telah ikut bersamanya menjadi pengisi ruang. Dan kini, desauan angin menyapa tengkuknya. Membuat ia yakin, orang itu telah berada tepat di belakangnya. Ia kemudian menghirup udara di sekitarnya. Merasakan bahwa udara yang masuk memenuhi rongga pernafasannya terkontaminasi oleh aroma khas yang sangat ia sukai. Aroma melon memabukkan yang selalu saja membuat kerja akal sehatnya terganggu. Aroma Gadisnya. Lantas ia pun menyunggingkan senyuman manisnya. Mendesah lega dan berujar pelan, "Gue yakin lo bakalan ke sini."

Dan gadis manis itu pun tersenyum. Lega mendengar suara lembut bak bisikan malaikat yang keluar dari bibir mungil pemudanya. Kemudian, masih dengan senyumannya, ia melangkah menghampiri sang pemuda. Berjinjit lalu ikut duduk di samping pemuda itu.

"Hati gue yang bawa gue ke sini." ujar gadis itu seraya mendaratkan kepalanya pada bahu kokoh sang pemuda.

Sementara sang pemuda kini meraih salah satu tangan gadis-nya. Membiarkan jemari mereka saling bertaut untuk beberapa saat. Menggenggamnya erat. Merasakan betapa lembut telapak tangan gadis-nya selalu mampu memaksanya masuk menuju dunia penuh mimpi. Dunia indah dengan jutaan bunga-bunga beragam warna. Dunia yang diciptakan gadis-nya. Dan pemuda itu selalu berharap ia takkan pernah tersisihkan dari dunia itu. Dan harapan terbesarnya adalah, dunia itu hanya tercipta untuknya.

Dan ternyata, kejujuran memang selalu menjadi hal terindah dari seluruh keindahan di muka bumi ini. Maka dengan tulus, pemuda itu menciptakan kejujurannya. "Gue cinta sama lo, Fy!"

Maka yakinlah, meski hanya mereka berdua yang menghuni ruangan tersebut, sesungguhnya jutaan penghuni langit tengah mengintipnya. Menyaksikan betapa dua insan itu tengah menggenggam sebuah anugerah Tuhan, yang bahkan sering terabaikan oleh mahluk Tuhan yang lain. Dan sesungguhnya, para penghuni langit itu tengah membangun keterpanaan yang begitu hebat akan kejujuran sang pemuda.

Lalu memangnya, penghuni langit saja yang terpana? Gadis itu bahkan lebih dari itu. Hatinya sungguh bergetar. Berloncatan meminta untuk keluar dari tubuhnya. Lalu ia pun membalas genggaman tangan pemudanya dengan lebih erat. Memejamkan mata. Kembali tersenyum.

Dan gadis itu tak mau terus menerus terkungkung oleh jerat kemunafikan. Maka kini ia berontak. Menggeliat keluar dari jeratan itu, lantas ia pun membuat sebuah kejujuran. Walau kini, ia hanya mengucapnya dalam hati. Tapi paling tidak, setelah hatinya, bibirnya pun akan ikut mengucapkan kejujuran itu suatu saat nanti.

"Gue juga cinta sama lo, Yo!"

Maka gadis itu tak perlu takut, karena walau suara hatinya tak terdengar oleh telinga sang pemuda, pemuda itu yakin bahwa gadisnya juga merasakan hal yang sama. Karena kini, genggaman tangan itu bukan hanya sekedar menariknya masuk ke dunia itu, tapi juga mengajaknya untuk menari di antara jutaan bunga-bunga berwarna-warni. Dan seluruh pasang mata yang tak pernah lelah mengintai mereka tengah berseru-seru mengeluarkan kalimat sanjungan. Dan sampai nanti, merekalah yang akan menjadi saksi bahwa cinta dan kejujuran adalah sesuatu yang indah dan mengindahkan.

*

Siang ini lebih terik dari biasanya. Bola kuning yang telah berada di puncak kepala itu mengeluarkan sinarnya dengan sangat superior. Membuat wajah cantik gadis yang tengah berdiri di depan gerbang sekolah itu berbingkai keringat. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala sehingga rambutnya yang dikuncir dua menari menggemaskan. Ia berdecak. Heran kenapa si kuning itu tidak merasa kasihan dengannya. Gadis itu kan kepanasan.

Maka Sivia -gadis itu- membuka resleting ransel birunya. Memasukkan tangannya untuk mengambil sesuatu. Lalu sejurus kemudian ia mengeluarkan sebuah handuk kecil berwarna putih. Ini dia yang Sivia butuhkan. Maka ia pun mendaratkan handuk tersebut untuk menghapus buliran-buliran peluh yang bergelayut lucu di wajahnya.

Tanpa ia tahu, pemuda tengil dengan vespanya yang cukup nyentrik itu sudah diam manis di hadapannya. Bertopang dagu memandangi tiap gerak Sivia. Terlebih kini Sivia tengah menghapus keringat di lehernya dengan dagu terangkat. Dia terlihat sangat cantik. Dan sang pemuda hanya bisa terpesona akan kecantikan alami gadis pujaannya.

Sivia akhirnya berhenti melakukan prosedur membersihkan keringat, saat ia mendapati Gabriel tengah menatapnya. Tatapan itu. Tatapan menyebalkan. Maka Sivia mengulum bibir dan mendengus kesal.

"Hai tukang becak!" kata Gabriel sambil melambaikan tangannya.

Aduh, Gabriel menyebalkan. Dia seperti ingin mengulang kejadian memalukan di kelas tadi. Memancing Sivia untuk bersikap ceroboh lagi. Lalu Sivia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain meneguk ludah. Dan Gabriel bersorak merayakan kemenangan hatinya. Tidak. Sivia tak akan bersikap seperti itu lagi.

"Pakai handuk itu, kaya tukang becak tahu! Eh ga deh, mirip becaknya! Untung aja cantik! Ahaha!" ujar Gabriel seraya tersenyum menggoda. Lantas ia menjawil pipi Sivia dengan nakal. Membuat pipi Sivia kini merona. Sivia tersipu.

Sivia bergidik geli. Dasar Gabriel centil. Sivia mengulum bibir. Kesal, tapi ekspresi mukanya justru terkesan lucu. Membuat Gabriel tak tahan untuk tidak menjawil pipi Sivia yang lain. Dan kini Sivia menutup seluruh wajahnya. Tak mau semburat merah itu terlihat oleh Gabriel. Bisa kacau kalau sampai hal itu terjadi. "Gabriel odong-odong nyebeliiiin!" Sivia merengek, menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dan Gabriel tak bisa menahan tawanya. Perutnya sakit melihat tingkah gadis-nya. Tapi, melihat keadaan Sivia yang sudah sangat 'menyedihkan', Gabriel menghentikan seremoni mengerjai Sivia. Ia berhenti tertawa lalu mengatur nafasnya.

"Pulang yuk! Bang Sion ga akan jemput lo!" ujar Gabriel.

Sivia menggelengkan kepala cepat. Menolak mentah-mentah tawaran Gabriel. Masih terus menutupi wajahnya.

"Kalau ga pulang, pipinya gue colek lagi ah!" ujar Gabriel terkekeh.

Lantas Sivia mengerjap. Pipinya? Tidak. Ia bisa pingsan lama-lama. Maka ia mengintip dari sela jari-jarinya. Menelan ludah mendapati Gabriel tengah memamerkan senyum 'nakal'nya. Dan, pada akhirnya dengan sangat terpaksa, Sivia meloncat naik ke atas vespa menyebalkan Gabriel. Mempertaruhkan tembok kemunafikannya, demi keselamatan pipinya.

Dan entah siapa yang menyuruhnya, entah dapat dorongan dari mana, Sivia melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk tubuh Gabriel. Ia melakukannya tanpa sadar. Perlakuan nakal Gabriel memang mengacaukan akal sehatnya. Tapi Gabriel tak peduli. Ia nyaman dengan posisi tersebut. Hangat. Ia bisa merasakan betapa lingkar tangan Sivia seperti mengisyaratkan bahwa gadis itu tak ingin kehilangannya. Dan ia juga bisa mendengar detak jantung Sivia yang bersahutan mengetuk hatinya. Lantas ia tersenyum. Dan sebelum ia melajukan vespanya, ia bergumam pelan. "Kita cocok ya, odong-odong sama becak!"

*
bersambung
*

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari