Selapang Sang Rembulan part 1
Selapang Sang Rembulan part 1
*
Marilah sejenak berkaca pada Sang Rembulan. Buka mata kalian. Lihat dan telusuri tiap lekuk cahayanya. Resapi dalam hati. Apa yang dapat kalian ambil darinya? Belum tahu? Tak usah bersedih kawan. Karena gadis dan pemuda itu, dengan segala kekurangan dan kelebihannya masing-masing, akan menunjukkan pada kita semua, mengenai Sang Rembulan. Karena, hati mereka selapang Sang Rembulan.
*
Gadis manis itu sedang berjalan dengan sangat ceria. Selepas turun dari mobil hitam yang mengantarkannya barusan, dia melangkah dengan pasti menuju gerbang sekolahnya. Senyuman lebar terpampang jelas pada wajahnya. Senyuman bahagia. Tentu saja. Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah setelah dua minggu ia melewati liburan akhir semester ganjil.
Gaya gadis itu bisa dibilang culun dan ketinggalan zaman. Lihat saja dua kunciran rambut yang bergoyang-goyang mengikuti irama langkah kakinya. Juga poninya yang menari ke sana kemari. Mungkin, hanya dia satu-satunya gadis yang berani berpenampilan seperti itu ke sekolahnya. Ya, dia berbeda. Apalagi gaya berpakaiannya. Rok hitam kotak-kotaknya selalu ia pasang pas -bahkan di atas- pinggang. Blezer hitamnya pun selalu ia kenakan dengan baik. Empat kancingnya selalu terpasang rapi. Hanya menyisakan bagian atas dasinya yang bermotif garis-garis yang terlihat. Dan dengan menggendong ransel berwarna birunya, dia berjalan dengan penuh kepercayaan diri.
Dia memang tak pernah terganggu dengan penampilannya. Tapi sayang, teman-temannya yang sudah seperti 'pakar fashion' selalu saja mengomentari gadis itu. Kadang, dia bersikap acuh. Tak mau ambil pusing dengan komentar teman-temannya yang -cukup- menyakitkan. Tapi toh, tak jarang pula dia merasa terganggu. Lalu malah menyalahkan teman-temannya yang terlalu cerewet seperti tukang kredit. Dan pada akhirnya, dia kembali bersikap acuh. Tak peduli.
Kakinya kini sudah melewati gerbang. Ia -masih dengan senyumannya- melambaikan tangan pada dua satpam yang tengah menyesap teh manis hangat di depan pos satpam. Dan dua lelaki berumur itu pun ikut melambaikan tangan sambil terus melakukan prosedur menyesap teh. Dan setelah itu, dia melanjutkan langkahnya menuju ruangan kelasnya yang berada di lantai dua.
*
Pemuda berkulit gelap itu berdecak. Menendang ban vesvanya yang entah kenapa tiba-tiba bocor. Sial. Dia bisa terlambat di hari pertamanya masuk sekolah. Dia mengacak rambutnya sebal. Lalu merutuki vesvanya sendiri.
"Elo nyebelin tau!" ejeknya sambil menuntun vesvanya ke bengkel tambal ban terdekat. Ow..ow.. ternyata tak ada yang namanya terdekat. Terlalu lama waktu yang dihabiskan untuk menempuh jarak bengkel terdekat tersebut. Sial. Dia terus merutuk dalam hati.
Keringat sebesar kacang hijau sudah membasahi wajahnya dan kini bergelayut menggemaskan di ujung dagunya. Dia pun mengusap peluhnya dengan blezer lalu berdecak lagi.
Cukup. Berjalan menuju bengkel saja menghabiskan 15 menit waktu berharganya. Dan sekarang, sang montir bilang bahwa ada 4 lokasi pada ban vesvanya yang bocor. Berapa lama lagi waktu yang harus ia habiskan dengan percuma?
Maka, pemuda itu pun beranjak dari tempatnya menuju ke pinggir jalan. Menengok ke arah kiri dan kanan. Mencari seseorang yang bisa ia jadikan tebengan.
Gabriel -pemuda itu- memicingkan mata. Melihat dari kejauhan seorang pemuda yang mengenakan seragam yang sama dengannya, tengah mengendarai motor ninja merahnya. Meski wajahnya tertutup helm berwarna senada dengan ninjanya, Gabriel sangat tahu siapa pemuda tersebut. Cakka. Teman sekelas sekaligus sebangkunya.
"Cakka!" teriak Gabriel.
Sejurus kemudian, Cakka mengerem ninjanya. Lantas menoleh dan melambaikan tangannya.
Dengan senyum lega, Gabriel berlari menghampiri Cakka. Lantas melompat naik di belakang Cakka.
Cakka menggelengkan kepala. Menancap gas. Lalu melanjutkan perjalanannya.
"Gila! Nyebelin banget! Itu vesva ngajak berantem. Masa tiba-tiba bannya bocor! Empat sekaligus lagi! Beneran nyebelin deh!" Gabriel terus merutuki vesvanya. Sementara pemuda yang berada di depannya terkekeh geli mendengar celotehan sahabatnya.
*
Sementara gadis manis tadi yang memiliki nama indah, yaitu Sivia Azizah, sedang asyik berceloteh mengenai liburannya. Menghabiskan waktu bersama kakak sepupunya yang sudah menyelesaikan kuliahnya di luar negri. Mengenai kucingnya yang melahirkan, namun bukannya mengurusi bayinya, si kucing malah pacaran lagi. Mengenai Pak Maman, tukang kebunnya yang selalu ia kerjai bersama kakak sepupunya. Dan mengenai jutaan ceritanya, yang kadang sangat tidak penting untuk diceritakan. Tapi, Sivia cerewet. Dia hanya berhenti bicara, saat guru menerangkan dan tentu pada saat dia terlelap dalam buaian mimpi.
Keempat temannya hanya melongo. Mengerenyit heran. Lalu menelan ludah.
"Udah?" tanya Ify.
Sivia mengedarkan pandangannya. Mendapati ekspresi tertekan pada seluruh wajah teman-temannya. Dan pada saat ia melirik Shilla, dia menangkap isyarat bahwa Shilla sudah pusing dengan cerocosannya. Terlihat dari kening Shilla yang menghasilkan empat kerutan.
Maka Sivia pun menghela nafas, lalu berkata lagi "Sebenernya belum. Tapi..."
Ucapan Sivia terhenti saat seorang pemuda dengan pakaian acak-acakan masuk kelas sambil merutuk.
"Udah deh, udah deh, udah deh! Nyerocos mulu kaya nenek gue lo Vi!" ujar Gabriel.
Sivia menoleh lalu mencibir kedatangan Gabriel. Kenapa dia? Baru datang sudah uring-uringan. Sivia mengerutkan kening lalu melirik Cakka yang berjalan di belakang Gabriel. Dan Cakka hanya menjawab pertanyaan tersirat Sivia dengan bahu terangkat.
Gadis itu akhirnya ingat, apa yang selalu membuat Gabriel seperti itu tiap pagi. Apalagi kalau bukan vesvanya.
"Cieee... yang vesvanya ngadat!" Sivia mencibir sambil terkekeh.
Gabriel menghentikan langkahnya. Menoleh tajam pada gadis ter-cerewet seantero SMA-nya. Lantas menghampirinya.
"Elo..." desis Gabriel. "Nyebelin tahu, kaya vesva gue!"
Lalu Sivia pun tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Lucu juga melihat ekspresi Gabriel. Dan akhirnya, seluruh penghuni kelas pun ikut menertawakan Gabriel.
Menyebalkan. Gabriel mengulum bibir. Berdecak. Menghampiri mejanya. Lalu menghempaskan tubuh di kursinya. Diikuti Cakka yang juga ikut tertawa.
"Kena mulu lo sama si cerewet itu!" ujar Cakka yang kini duduk di sampingnya.
"Dan nanti, dia yang bakalan kena sama gue!" kata Gabriel sambil mendelik ke arah Cakka dan memamerkan senyum menawan andalannya.
Cakka yang sangat hafal tabiat Gabriel langsung menelan ludah. Bertanya tak percaya. "Elo serius?"
"Gue ga pernah main-main soal beginian!" ujar Gabriel ringan sambil membuka tasnya lalu mengeluarkan buku fisikanya.
"Gila!" Cakka menggelengkan kepala. "Pinter banget itu nenek lampir!"
"Gue lebih pintar kali!" kata Gabriel lagi.
Cakka hanya tersenyum dan menepuk pundak Gabriel. "Sukses ya Brader!"
*
Setelah bel istirahat berbunyi. Sivia langsung melejit. Ini dia waktu yang ia tunggu-tunggu. Dimana ia bisa memuaskan perutnya yang sudah berdebam-debum minta diisi.
"Mari makaaan!" pekik Sivia.
Semua teman-temannya yang sudah bisa beradaptasi dengan kecerewetan Sivia bersikap tak acuh. Dan gadis berkacamata yang duduk di pojok depan kelas belum bisa menerima hal itu. Dia merutuk dalam hati. Lalu melengos pergi.
"Gue ga bisa nemenin lo Vi, gue mau telponan sama Hilmi." ujar Pricilla.
"Cieelah, romantisnya!" cibir Ify.
"Ya maklum aja dong! Gue sama Hilmi kan jarang ketemu!"
Keempat sahabatnya pun mengangguk. Mengerti akan hubungan Pricilla dengan Hilmi yang berlangsung dengan hubungan jarak jauh, karena Hilmi harus sekolah di luar kota. Tapi, sejauh ini, hubungan mereka baik-baik saja. Hanya masalah kecil yang kadang mengusik hubungan mereka. Tapi toh, mereka sama-sama dewasa, dan bisa menyelesaikan masalah tersebut. Berbeda dengan sahabatnya, yang bertingkah bagai anak kecil, yang tak pernah mau jujur akan perasaannya. Perasaan yang masih samar, namun akan cepat terungkap.
"Gue juga ga bisa ke kantin, mau main basket!" kata Feby sambil bergegas membawa baju basketnya.
"Gue juga, ada rapat OSIS." kata Ify.
Sivia mengulum bibir. Ketiga sahabatnya menyebalkan. Lalu dia pun melirik Shilla. Ah, dia yakin Shilla bisa menemaninya mengisi perut di kantin.
"Tenang Siviaku, aku akan selalu ada buat kamu!" ujar Shilla sambil mengangkat kedua alisnya.
"Siapa bilang? Ekskul dance butuh lo tau!" kata Cakka yang langsung menarik tangan Shilla untuk pergi dan meninggalkan Sivia yang melongo. Kebingungan.
"Jadi?" tanya Sivia lebih ke dirinya sendiri, karena keempat temannya sudah berada entah di mana.
"Elo sama gue!" ujar Gabriel santai setelah mengunci pintu kelas dan menyisakan mereka berdua di sana.
Sivia menoleh ke sumber suara. Lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Apa-apaan ini? Tak ada siapa pun disini. Sivia meneguk ludah.
Gabriel tersenyum penuh arti. Lantas menghampiri Sivia yang masih duduk di kursinya dengan raut ketakutan yang tertera jelas pada wajahnya.
"Elo mau ngapain?" tanya Sivia.
Gabriel terus melangkahkan kaki menuju tempatnya. Tuhan, Gabriel pasti mau balas dendam.
Gabriel kini sudah berada tepat di hadapannya. Dia mendekatkan wajahnya pada wajah gadis manis yang ketakutan setengah mati. Mengadu dua pelihat mematikannya tepat pada manik mata sang gadis. Dan gadis itu pun merasa nafasnya tercekat. Karena, kini jarak wajah pemuda itu hanya tinggal beberapa centi lagi dari wajahnya yang mulai menorehkan semburat merah.
Gabriel terus mendekat. Tersenyum mempesona tanpa memindahkan tatapan mematikannya.
Lalu seakan terhipnotis, Sivia hanya diam sambil terus menahan nafas. Ia memejamkan mata. Menanti pasrah apa pun yang akan di lakukan Gabriel padanya.
Gabriel mendekatkan bibirnya pada gadis yang diam-diam merasakan buncahan rasa asing dalam hatinya. Ia tersenyum lagi. Lantas berkata "Elo, cantik kalo lagi ketakutan!"
Dan kalimat itu menggelitik hati Sivia. Ia membelalakkan mata. "Mamaaaaa..." Sivia berteriak sambil mendorong penuh tenaga tubuh kokoh Gabriel. Berlari menuju pintu. Membukanya. Lalu keluar entah kemana. Dan tentunya terus berteriak.
Maka Gabriel pun tersenyum puas melihat pencapaiannya barusan. "Kena kan lo!"
*
bersambung
*
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari