Lebih Dari Plester part 9
Ketika genggaman tangan mengendur, sang masa lalu mulai mengabur. Dan kenangan lamat-lamat terkubur.
***
Sivia mengemasi barang-barangnya ke dalam kardus. Persiapan sebelum kepindahannya lusa nanti. Ia akan segera kembali ke kota tersayangnya. Mengorek masa lalu yang telah raip dari ingatannya. Ia hendak menemukan siapa sebenarnya dirinya. Karena semenjak ia terbebas dari tumor ganas menyebalkan itu, ia merasa ada yang hilang dari dirinya, entah apa.
Cakka, pemuda yang diam-diam mencintai Sivia itu setia menemani Sivia. Membantu berkemas. Dan mendengarkan semua ocehan gadis itu. Kebanyakan Sivia membicarakan sekolah. Ya, ia tak sabar untuk kembali ke sekolah. Setahun lamanya ia terpaksa menjalani home schooling. Tidak ada teman. Tidak ada jajan di kantin. Tidak ada pemilihan ketua OSIS. Tidak ada pensi. Hanya ada guru yang setiap harinya bergantian menyambangi apartementnya. Sivia bosan.
Sebenarnya, Cakka sedikit terganggu dengan topik pembicaraan yang dipilih Sivia. Melulu tentang kepindahan mereka. Ah, nyatanya ia memang masih enggan kembali ke kota tersayangnya. Bukan. Bukan ia tidak merindukan sahabat-sahabatnya di sana. Tapi, karena ia terlalu berat untuk menjejakan kaki di atas pijak di mana masa lalunya pernah ia onggok sampai mati. Ia tak mau masa lalu itu berbalik memburunya. Menjebaknya seumur hidup. Sehingga pengasingan dirinya dalam waktu yang cukup lama akan berbuah sia-sia. Jadi, untuk apa selama ini ia melarikan diri? Kalau pada akhirnya, ia akan terjerat perangkap dari masa lalu?
Namun Cakka tak mau menyela. Ia tahu rindu sang gadis akan kota tersayangnya teramat besar. Sama seperti ia yang diam-diam masih meneteskan sang rindu dalam hati. Walau ia telah menemukan gadis lain yang jauh lebih indah dari masa lalunya. Sekedar merindu akan sentuhan debu.
"Kamu udah urus kepindahan kamu, kan? Mami Papi kamu gimana?" tanya Sivia. Menutup kardus terakhir dengan lakban.
"Udah. Mereka ga keberatan kok. Kalau urusan mereka udah selesai di sini, mereka juga bakalan nyusul." jelas Cakka.
Sivia mengangguk. Berjingkat dari duduknya. Dan berjalan menuju jendela. Dari sana, ia dapat melihat pemandangan kota yang sangat tertata. Pemandangan yang sangat berbeda dengan kota tersayangnya. Ia masih ingat, ketika ia berada di lantai tertinggi gedung milik sang Papa, hanya bangunan-bangunan berdesakan yang didapatinya. Begitu pula ketika ia menghabiskan senja di atap gedung milik sang Papa yang lain. Ah, apa pun itu, kota tersayangnya tetap jauh lebih baik. Paling tidak, di sanalah ia menoreh berjuta kenangan selama tiga belas tahun hidupnya. Termasuk kenangan yang tak bisa diingatnya.
"Kka, aku masih penasaran lho sama Oik, Gabriel dan Ify. Mereka siapa ya? Jangan-jangan, mereka adalah orang-orang yang penting buat aku." Sivia menebak-nebak. Otaknya bekerja keras untuk menemukan ingatan tentang mereka yang dinyananya adalah sosok-sosok dari masa lalunya.
Cakka memilih diam. Walau sedikit banyak, ia tahu siapa mereka. Merekalah salah satu alasan Sivia untuk tak pernah menyerah dari penyakit-penyakit yang bersarang dalam tubuhnya. Namun Cakka tetap diam. Diam dan menunggu apa yang terjadi pada gadis manis itu.
Dan tiba-tiba, pening hebat menyerang kepala Sivia. Ia memegangi kepalanya. Lantas terduduk di lantai.
Cakka segera menghampiri Sivia. "Kamu ga pa-pa?" tanya Cakka. Kecemasan terdengar dari suaranya.
"Sakiiittt Kka!" Sivia meringis kesakitan. Ia hampir menitikan air mata.
"Udah Vi!" Cakka menarik Sivia masuk ke dalam pelukannya. Menyalurkan kekuatan lewat lingkar tangannya. Lantas mengecup ubun-ubun Sivia. Seakan dengan itu, rasa sakit yang melanda gadis yang dicintainya itu bisa sedikit berkurang.
"T-tapi..." Sivia mencengkram lengan Cakka. Saking erat, hingga berbekas warna merah. Menunjukan betapa sakit yang menghujami Sivia sungguh tak bisa ditahannya sendiri.
"Kalau kamu ga bisa ingat tentang mereka, berarti mereka emang ga penting." ujar Cakka. Berbohong.
Cakka bukannya egois. Sehingga ia terkesan menutupi fakta yang ada. Lalu memangnya, salah jika ia berkata seperti itu? Mereka memang tidak penting, bukan? Mereka hanyalah sedikit bagian dari masa lalu Sivia. Masa lalu yang selalu tertinggal jauh di belakang. Jadi, untuk apa Sivia menyakiti dirinya dengan berusaha mengingat mereka? Ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar hal itu. Sivia harus menyusun bagaimana masa depan yang akan dipijaknya.
Cakka bukan pula tak menyayangi Sivia. Sungguh. Tanyakan pada sang langit bahwa ia benar-benar mencintai Sivia. Ia tak ingin Sivia sakit. Hanya mencoba mengingat saja, sakit yang dirasa begitu luar biasa. Apalagi lebih dari pada itu. Cakka tak bisa sedikit pun membayangkan.
Maka melenyapkan masa lalu Sivia adalah misinya. Ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya terhadap masa lalunya yang pahit. Walau belum sepenuhnya berhasil.
"I love you!" bisik Cakka. Meletakan dagunya di atas kepala Sivia.
Sementara Sivia berhenti meringis. Gadis itu menikmati setiap inci kehangatan yang terkuar dari pelukan Cakka.
***
Sudah larut malam. Tetapi Ify masih menekuri buku jumbonya. Ia telah menyelesaikan sepertiga bagian buku jumbo. Waktu tidurnya telah lewat dua jam yang lalu. Maka, pantaslah jika beberapa kali ia membekap mulutnya. Menguap. Ia memang tak terbiasa terjaga sampai larut. Ia mengikuti wanti-wanti raja dari sebuah aliran musik yang menjadi ciri khas negaranya. Begadang jangan begadang.
Entah di halaman berapa, Ify menemukan sebuah pembatas buku berbentuk dinosaurus. Ify mengamatinya dengan seksama. Dan ia mendapati sebuah nama di sana. Ditulis dengan menggunakan huruf sambung. Dan nama itu sama dengan nama yang terukis pada bandul kalung yang ditemukannya di dalam baju merah muda yang dikenakan boneka dinosaurusnya.
"Sivia siapa ya?" tanya Ify lebih kepada dirinya sendiri.
"Hoaaammm!" Ify lagi-lagi menguap. Bahkan lebih lebar. Sudahlah! Ify menyimpulkan, Sivia adalah nama sebuah merk. Dan ia memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya malam ini.
Ify menyimpan pembatas buku itu di dalam sebuah kotak beledu. Membiarkan benda menggemaskan itu menjadi teman seuntai kalung cantik yang telah menjadi penghuni kotak beledu lebih dahulu. Lantas, meletakan kotak beledu itu di atas buku jumbo. Kotak yang nanti akan diisi dengan visualisasi dari setiap memori.
Dan akhirnya, Ify menarik selimut. Tepat pukul dua belas malam, ia terlelap ditemani remang lampu kamar. Ya, ia membiarkan lampu kamarnya tetap menyala. Mengacuhkan himbauan banyak orang mengenai penghematan energi. Ia tidak peduli. Karena nanti, ia mungkin tak bisa lagi menikmati cahaya seterang apa pun, walau matanya tak lagi terpejam.
Biarkanlah!
***
"Di dalam sini, ada dua file." Ify mengangkat sebuah flashdisk. "File A, buat dua. File B, buat seribu. Besok, udah selesai ya, Mas!" Ify menyerahkan flashdisk tersebut.
Mas yang mengenakan kaos hitam itu mengangguk. Mengerti akan titah pelanggan paling pagi yang mendatangi toko percetakan miliknya.
"Makasih ya, Mas!" Ify tersenyum. Bergegas kembali ke mobilnya. Melanjutkan perjalanan ke sekolahnya yang sempat tertunda akibat merampungkan rencana besarnya. Gadis itu selalu memiliki banyak kejutan. Kali ini entah untuk siapa.
***
Rio menyeruput jus jeruk milik Oik tanpa permisi. Lantas duduk di samping gadis itu.
"Kebiasaan lo ga pernah berubah ya?" Oik merebut kembali minumannya. Meneguknya sampai habis.
"Elo ternyata masih ingat kebiasaan gue." ujar Rio.
Oik hampir saja tersedak ketika mendengar ucapan Rio. Tiba-tiba, sisa atas rasa yang masih dijaganya baik-baik dalam hati itu menggeliat. Memaksanya untuk menatap wajah tampan Rio. Tak sengaja menumbuk manik mata harimau Rio. Magisnya masih sama. Mencengkram. Sejenak ia terpana.
Oik terkesiap, ketika Rio berkata, "Gue ke sana ya!" dan melengos pergi. Hatinya ketar-ketir setengah mati.
Sepeninggal Rio, Oik merutuki dirinya sendiri. Mengapa ia masih bisa terpesona pada setiap lekuk profil wajah tampan itu? Harusnya tidak boleh. Bukankah ia sudah tidak berhak?
Gadis itu mendesah. Sebisa mungkin, menekan egonya. Ia tidak mau jatuh ke dalam lubang yang sama. Karena nyatanya, Oik masih terkungkung di sana. Dalam lubang yang disediakan Rio untuknya. Lubang yang dulu dijejali rasa bernama cinta. Namun kala sang cinta diambil kembali oleh pemiliknya, tinggalah lubang hampa. Di mana ada Oik terkulai tak berdaya.
Rio sudah kembali. Dengan segelas susu hangat di tangannya. Asap tipis mengepul dari sana. Oik berusaha terlihat biasa.
"Nih!" Rio menyerahkan susu tersebut pada Oik. Dan duduk kembali di samping Oik.
"Elo juga masih ingat sama minuman kesukaan gue." Oik tersenyum. Langsung menenggak susu itu sampai habis. Menyisakan setetes saja pada ujung bibir mungilnya.
"Jelas gue ingat. Lo kan masih kecil, pasti kesukaannya susu." Rio mencibir.
Oik mempelototi Rio. "Gue udah gede Rioooo!" mengulum bibir.
"Udah gede, tapi masih kaya bocah!" Rio menyentuh sudut bibir Oik.
Oik segera menepis tangan Rio. Membuang muka. Ia bertekad mempersempit ruang, agar sisa cintanya tak kembali mengembang.
"Ik, gue kok ga pernah lihat lo sama cowok. Elo..." Rio menghela nafas. Berhati-hati melanjutkan. "Elo... Belum bisa lupain gue ya?"
Oik terhenyak. Hampir mencelat dari tempat duduknya. Ia menoleh pada Rio. Pemuda itu tetap menawan seperti biasa.
"Kalau iya, gue mau minta maaf. Gue udah nemuin pengganti lo." Rio menunduk.
Oik tersenyum menyeringai. Meraih dasi yang terpasang asal pada kemeja Rio. Memasangnya ulang.
"Elo jangan khawatir! Gue ga apa kok!" ujar Oik seraya mengatur panjang dasi.
Rio menatap Oik sendu. Tahu bahwa gadis itu masih belum mampu melupakan kisah masa lalu mereka.
"Gue baik-baik aja kok!" Oik melakukan tarikan terakhir untuk menyempurnakan bentuk dasi Rio.
"Selesai! Nah, kalau gini kan kece. Kata Ify kan, elo Rio kece." kata Oik.
Dan dengan gerakan tak terduga, Rio menghambur memeluk tubuh mungil Oik. "Gue mau peluk lo. Buat yang terakhir." kata Rio sebelum Oik meronta minta dilepaskan.
Maka Oik hanya bisa pasrah. Ia menikmati setiap dentum jantungnya yang berirama. Tanpa disadarinya, luruhlah semua rasa yang mengerak pada setiap jengkal dinding hatinya. Suatu hal yang telah lama diharapkannya. Terwujud lewat pelukan hangat terakhir dari pemuda bermata harimau itu.
Kini, kisah klasik mereka benar-benar mencapai penghujung. Walau di antara mereka telah lama tak berstatus apa-apa.
***
bersambung
***
Sivia mengemasi barang-barangnya ke dalam kardus. Persiapan sebelum kepindahannya lusa nanti. Ia akan segera kembali ke kota tersayangnya. Mengorek masa lalu yang telah raip dari ingatannya. Ia hendak menemukan siapa sebenarnya dirinya. Karena semenjak ia terbebas dari tumor ganas menyebalkan itu, ia merasa ada yang hilang dari dirinya, entah apa.
Cakka, pemuda yang diam-diam mencintai Sivia itu setia menemani Sivia. Membantu berkemas. Dan mendengarkan semua ocehan gadis itu. Kebanyakan Sivia membicarakan sekolah. Ya, ia tak sabar untuk kembali ke sekolah. Setahun lamanya ia terpaksa menjalani home schooling. Tidak ada teman. Tidak ada jajan di kantin. Tidak ada pemilihan ketua OSIS. Tidak ada pensi. Hanya ada guru yang setiap harinya bergantian menyambangi apartementnya. Sivia bosan.
Sebenarnya, Cakka sedikit terganggu dengan topik pembicaraan yang dipilih Sivia. Melulu tentang kepindahan mereka. Ah, nyatanya ia memang masih enggan kembali ke kota tersayangnya. Bukan. Bukan ia tidak merindukan sahabat-sahabatnya di sana. Tapi, karena ia terlalu berat untuk menjejakan kaki di atas pijak di mana masa lalunya pernah ia onggok sampai mati. Ia tak mau masa lalu itu berbalik memburunya. Menjebaknya seumur hidup. Sehingga pengasingan dirinya dalam waktu yang cukup lama akan berbuah sia-sia. Jadi, untuk apa selama ini ia melarikan diri? Kalau pada akhirnya, ia akan terjerat perangkap dari masa lalu?
Namun Cakka tak mau menyela. Ia tahu rindu sang gadis akan kota tersayangnya teramat besar. Sama seperti ia yang diam-diam masih meneteskan sang rindu dalam hati. Walau ia telah menemukan gadis lain yang jauh lebih indah dari masa lalunya. Sekedar merindu akan sentuhan debu.
"Kamu udah urus kepindahan kamu, kan? Mami Papi kamu gimana?" tanya Sivia. Menutup kardus terakhir dengan lakban.
"Udah. Mereka ga keberatan kok. Kalau urusan mereka udah selesai di sini, mereka juga bakalan nyusul." jelas Cakka.
Sivia mengangguk. Berjingkat dari duduknya. Dan berjalan menuju jendela. Dari sana, ia dapat melihat pemandangan kota yang sangat tertata. Pemandangan yang sangat berbeda dengan kota tersayangnya. Ia masih ingat, ketika ia berada di lantai tertinggi gedung milik sang Papa, hanya bangunan-bangunan berdesakan yang didapatinya. Begitu pula ketika ia menghabiskan senja di atap gedung milik sang Papa yang lain. Ah, apa pun itu, kota tersayangnya tetap jauh lebih baik. Paling tidak, di sanalah ia menoreh berjuta kenangan selama tiga belas tahun hidupnya. Termasuk kenangan yang tak bisa diingatnya.
"Kka, aku masih penasaran lho sama Oik, Gabriel dan Ify. Mereka siapa ya? Jangan-jangan, mereka adalah orang-orang yang penting buat aku." Sivia menebak-nebak. Otaknya bekerja keras untuk menemukan ingatan tentang mereka yang dinyananya adalah sosok-sosok dari masa lalunya.
Cakka memilih diam. Walau sedikit banyak, ia tahu siapa mereka. Merekalah salah satu alasan Sivia untuk tak pernah menyerah dari penyakit-penyakit yang bersarang dalam tubuhnya. Namun Cakka tetap diam. Diam dan menunggu apa yang terjadi pada gadis manis itu.
Dan tiba-tiba, pening hebat menyerang kepala Sivia. Ia memegangi kepalanya. Lantas terduduk di lantai.
Cakka segera menghampiri Sivia. "Kamu ga pa-pa?" tanya Cakka. Kecemasan terdengar dari suaranya.
"Sakiiittt Kka!" Sivia meringis kesakitan. Ia hampir menitikan air mata.
"Udah Vi!" Cakka menarik Sivia masuk ke dalam pelukannya. Menyalurkan kekuatan lewat lingkar tangannya. Lantas mengecup ubun-ubun Sivia. Seakan dengan itu, rasa sakit yang melanda gadis yang dicintainya itu bisa sedikit berkurang.
"T-tapi..." Sivia mencengkram lengan Cakka. Saking erat, hingga berbekas warna merah. Menunjukan betapa sakit yang menghujami Sivia sungguh tak bisa ditahannya sendiri.
"Kalau kamu ga bisa ingat tentang mereka, berarti mereka emang ga penting." ujar Cakka. Berbohong.
Cakka bukannya egois. Sehingga ia terkesan menutupi fakta yang ada. Lalu memangnya, salah jika ia berkata seperti itu? Mereka memang tidak penting, bukan? Mereka hanyalah sedikit bagian dari masa lalu Sivia. Masa lalu yang selalu tertinggal jauh di belakang. Jadi, untuk apa Sivia menyakiti dirinya dengan berusaha mengingat mereka? Ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar hal itu. Sivia harus menyusun bagaimana masa depan yang akan dipijaknya.
Cakka bukan pula tak menyayangi Sivia. Sungguh. Tanyakan pada sang langit bahwa ia benar-benar mencintai Sivia. Ia tak ingin Sivia sakit. Hanya mencoba mengingat saja, sakit yang dirasa begitu luar biasa. Apalagi lebih dari pada itu. Cakka tak bisa sedikit pun membayangkan.
Maka melenyapkan masa lalu Sivia adalah misinya. Ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya terhadap masa lalunya yang pahit. Walau belum sepenuhnya berhasil.
"I love you!" bisik Cakka. Meletakan dagunya di atas kepala Sivia.
Sementara Sivia berhenti meringis. Gadis itu menikmati setiap inci kehangatan yang terkuar dari pelukan Cakka.
***
Sudah larut malam. Tetapi Ify masih menekuri buku jumbonya. Ia telah menyelesaikan sepertiga bagian buku jumbo. Waktu tidurnya telah lewat dua jam yang lalu. Maka, pantaslah jika beberapa kali ia membekap mulutnya. Menguap. Ia memang tak terbiasa terjaga sampai larut. Ia mengikuti wanti-wanti raja dari sebuah aliran musik yang menjadi ciri khas negaranya. Begadang jangan begadang.
Entah di halaman berapa, Ify menemukan sebuah pembatas buku berbentuk dinosaurus. Ify mengamatinya dengan seksama. Dan ia mendapati sebuah nama di sana. Ditulis dengan menggunakan huruf sambung. Dan nama itu sama dengan nama yang terukis pada bandul kalung yang ditemukannya di dalam baju merah muda yang dikenakan boneka dinosaurusnya.
"Sivia siapa ya?" tanya Ify lebih kepada dirinya sendiri.
"Hoaaammm!" Ify lagi-lagi menguap. Bahkan lebih lebar. Sudahlah! Ify menyimpulkan, Sivia adalah nama sebuah merk. Dan ia memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya malam ini.
Ify menyimpan pembatas buku itu di dalam sebuah kotak beledu. Membiarkan benda menggemaskan itu menjadi teman seuntai kalung cantik yang telah menjadi penghuni kotak beledu lebih dahulu. Lantas, meletakan kotak beledu itu di atas buku jumbo. Kotak yang nanti akan diisi dengan visualisasi dari setiap memori.
Dan akhirnya, Ify menarik selimut. Tepat pukul dua belas malam, ia terlelap ditemani remang lampu kamar. Ya, ia membiarkan lampu kamarnya tetap menyala. Mengacuhkan himbauan banyak orang mengenai penghematan energi. Ia tidak peduli. Karena nanti, ia mungkin tak bisa lagi menikmati cahaya seterang apa pun, walau matanya tak lagi terpejam.
Biarkanlah!
***
"Di dalam sini, ada dua file." Ify mengangkat sebuah flashdisk. "File A, buat dua. File B, buat seribu. Besok, udah selesai ya, Mas!" Ify menyerahkan flashdisk tersebut.
Mas yang mengenakan kaos hitam itu mengangguk. Mengerti akan titah pelanggan paling pagi yang mendatangi toko percetakan miliknya.
"Makasih ya, Mas!" Ify tersenyum. Bergegas kembali ke mobilnya. Melanjutkan perjalanan ke sekolahnya yang sempat tertunda akibat merampungkan rencana besarnya. Gadis itu selalu memiliki banyak kejutan. Kali ini entah untuk siapa.
***
Rio menyeruput jus jeruk milik Oik tanpa permisi. Lantas duduk di samping gadis itu.
"Kebiasaan lo ga pernah berubah ya?" Oik merebut kembali minumannya. Meneguknya sampai habis.
"Elo ternyata masih ingat kebiasaan gue." ujar Rio.
Oik hampir saja tersedak ketika mendengar ucapan Rio. Tiba-tiba, sisa atas rasa yang masih dijaganya baik-baik dalam hati itu menggeliat. Memaksanya untuk menatap wajah tampan Rio. Tak sengaja menumbuk manik mata harimau Rio. Magisnya masih sama. Mencengkram. Sejenak ia terpana.
Oik terkesiap, ketika Rio berkata, "Gue ke sana ya!" dan melengos pergi. Hatinya ketar-ketir setengah mati.
Sepeninggal Rio, Oik merutuki dirinya sendiri. Mengapa ia masih bisa terpesona pada setiap lekuk profil wajah tampan itu? Harusnya tidak boleh. Bukankah ia sudah tidak berhak?
Gadis itu mendesah. Sebisa mungkin, menekan egonya. Ia tidak mau jatuh ke dalam lubang yang sama. Karena nyatanya, Oik masih terkungkung di sana. Dalam lubang yang disediakan Rio untuknya. Lubang yang dulu dijejali rasa bernama cinta. Namun kala sang cinta diambil kembali oleh pemiliknya, tinggalah lubang hampa. Di mana ada Oik terkulai tak berdaya.
Rio sudah kembali. Dengan segelas susu hangat di tangannya. Asap tipis mengepul dari sana. Oik berusaha terlihat biasa.
"Nih!" Rio menyerahkan susu tersebut pada Oik. Dan duduk kembali di samping Oik.
"Elo juga masih ingat sama minuman kesukaan gue." Oik tersenyum. Langsung menenggak susu itu sampai habis. Menyisakan setetes saja pada ujung bibir mungilnya.
"Jelas gue ingat. Lo kan masih kecil, pasti kesukaannya susu." Rio mencibir.
Oik mempelototi Rio. "Gue udah gede Rioooo!" mengulum bibir.
"Udah gede, tapi masih kaya bocah!" Rio menyentuh sudut bibir Oik.
Oik segera menepis tangan Rio. Membuang muka. Ia bertekad mempersempit ruang, agar sisa cintanya tak kembali mengembang.
"Ik, gue kok ga pernah lihat lo sama cowok. Elo..." Rio menghela nafas. Berhati-hati melanjutkan. "Elo... Belum bisa lupain gue ya?"
Oik terhenyak. Hampir mencelat dari tempat duduknya. Ia menoleh pada Rio. Pemuda itu tetap menawan seperti biasa.
"Kalau iya, gue mau minta maaf. Gue udah nemuin pengganti lo." Rio menunduk.
Oik tersenyum menyeringai. Meraih dasi yang terpasang asal pada kemeja Rio. Memasangnya ulang.
"Elo jangan khawatir! Gue ga apa kok!" ujar Oik seraya mengatur panjang dasi.
Rio menatap Oik sendu. Tahu bahwa gadis itu masih belum mampu melupakan kisah masa lalu mereka.
"Gue baik-baik aja kok!" Oik melakukan tarikan terakhir untuk menyempurnakan bentuk dasi Rio.
"Selesai! Nah, kalau gini kan kece. Kata Ify kan, elo Rio kece." kata Oik.
Dan dengan gerakan tak terduga, Rio menghambur memeluk tubuh mungil Oik. "Gue mau peluk lo. Buat yang terakhir." kata Rio sebelum Oik meronta minta dilepaskan.
Maka Oik hanya bisa pasrah. Ia menikmati setiap dentum jantungnya yang berirama. Tanpa disadarinya, luruhlah semua rasa yang mengerak pada setiap jengkal dinding hatinya. Suatu hal yang telah lama diharapkannya. Terwujud lewat pelukan hangat terakhir dari pemuda bermata harimau itu.
Kini, kisah klasik mereka benar-benar mencapai penghujung. Walau di antara mereka telah lama tak berstatus apa-apa.
***
bersambung
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari