Lebih Dari Plester part 1

Jumat, 04 Mei 2012

Lebih Dari Plester part 1


"Aaaa... Gabriel! Tendang bolanya! Ayo! Ayo! Aaaa..." sorak sorai suara para penonton yang kebanyakan adalah para siswi itu membahana dari pinggir lapangan. Bisa ditebak, mereka sedang menyaksikan pertandingan sepakbola. Satu nama yang paling sering menjadi subjek jeritan histeris para gadis itu dimiliki oleh pemuda di tengah lapangan yang mengenakan kaos putih bernomor punggung 10. Pemuda yang juga mengenakan ban kapten di lengan kirinya. Ia menjadi arjuna lapangan yang menjadi pujaan hampir semua gadis di sekolahnya. Gabriel Stevent.

Gabriel kini mendapatkan bola. Ia membawa bola hingga ke daerah lawan. Dengan lincah melewati setiap pemain lawan yang menghadang tubuh jangkungnya. Kemampuannya dalam mengolah si kulit bundar sudah tidak bisa diragukan lagi. Itulah sebabnya mengapa ia terpilih menjadi kapten. Selain karena ia memiliki jiwa kepemimpinan yang mempuni.

Kini, Gabriel sudah berada di kotak pinalty. Hanya tinggal satu pemain belakang dan satu penjaga gawang yang ada di hadapannya. Dan sepertinya, Gabriel tak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Dengan satu sentuhan cantik, ia menendang bola. Sang bola meluncur masuk ke dalam gawang. Gol. Gol kedua yang dicetaknya pada pertandingan kali ini.

Seketika, histeria para penonton semakin membuncah. Gelak tawa riang menyambut gol cantik yang dilesakan oleh sang pangeran lapangan terdengar di mana-mana. Jadilah mereka menjerit sejadi-jadinya.

"Aaaaa... Gabriel! Kereeen banget! I love you deh!" seorang gadis nampak tak malu-malu mengungkapkan isi hatinya. Masa bodoh. Ia tak peduli. Bukan hanya dirinya saja yang menyukai Gabriel. Yang lain pasti juga sama sepertinya.

Tiba-tiba, di menit kesekian, Gabriel terjatuh. Ia memang menjadi sasaran empuk para rivalnya. Ia tampak meringis kesakitan. Lututnya terluka. Darah mulai menetes dari sana. Sementara para penggemar Gabriel, ketar-ketir setengah mati. Takut terjadi apa-apa dengan idolanya.

Gabriel ditandu ke pinggir lapangan oleh petugas kesehatan. Ia terpaksa alfa beberapa menit dari pertandingan itu sementara lukanya diobati. Saat seorang gadis hendak membalut luka pada lutut Gabriel dengan sebuah plester, Gabriel langsung menepisnya dengan kasar. Membuat plester itu terbang entah kemana. Dan gadis tadi hanya bisa melongo. Apa salahnya?

"Jangan obatin gue!" Gabriel mendesis. Menatap nyalang pada semua yang mengerubunginya.

"Tapi kalau ga diobatin, nanti infeksi." gadis tadi mencoba melakukan pembelaan. Sekali lagi meraih plester yang hendak akan ditempelkannya pada luka di lutut Gabriel.

"Gue bilang jangan obatin gue! Ngerti ga sih lo?" Gabriel berkata keras. Hampir membentak.

Gadis itu meneguk ludah. Salahkah dirinya yang berniat baik untuk menolong Gabriel? Matanya mulai berkaca-kaca. "Maaf!" ia bercicit pelan.

Gabriel membuang wajahnya. Berjingkat meninggalkan lapangan. Tak peduli pada gadis lembut yang hampir menangis itu. Juga pada semua orang yang menatap kepergiannya. Walau dengan langkah terpincang-pincang, Gabriel tetap pemuda yang mempesona. Punggungnya mulai menghilang. Pertandingan tetap dilanjutkan, meski tanpa gocekan sang pangeran lapangan.

Sementara itu, Gabriel menyusuri koridor kelas yang nampak lengang. Mungkin, hampir seisi sekolah sedang memenuhi lapangan. Kalau begitu, baguslah. Ia bisa menenangkan hatinya yang kacau setelah insiden beberapa menit yang lalu. Ia mengepalkan tangannya. Cih. Ia tak butuh plester murahan tadi. Ia punya banyak plester dinosaurus yang jauh lebih hebat dari plester tadi. Ya, ia bisa menagihnya pada gadis plesternya suatu hari nanti. Ia meyakini hal itu.

Darah segar dibiarkannya mengalir dari lututnya. Tak peduli semakin banyak butiran-butiran merah yang melumuri kakinya. Biarkan. Ia membiarkan baret luka itu tetap kentara. Karena ia percaya, nanti, ketika gadisnya kembali, luka itu akan secepatnya terobati. Sekaligus dengan luka-luka yang telah tiga tahun menjejali harinya.

Gabriel tiba di ruang kelasnya. Ia mendesah. Benar. Tak ada seorang pun disana. Bagus. Itu yang ia mau. Gabriel kemudian duduk di kursinya. Menumpukan kedua tangannya di atas meja. Menenggelamkan wajah tampannya di sana.

Dalam kondisi hatinya yang kalut, didukung oleh situasi yang sunyi seperti saat ini, ia selalu ingin menangis. Namun sudah beberapa kali, meskipun dipaksakan, ia tetap tak bisa menangis. Tangis yang bahkan dulu menjadi teman di setiap debar jantungnya. Kini ia sudah tak bisa. Mungkin, air matanya telah habis tanpa sisa.

Pemuda itu memejamkan mata. Ia memegangi dada lapangnya. Entah sampai kapan rasa sesak itu menyelimuti seluruh bagian hatinya. Mungkin sampai gadis itu kembali. Atau mungkin selamanya, karena gadis itu tak pernah kembali.

Sayup-sayup Gabriel mendengar derap langkah yang kian mengeras. Pemilik langkah itu mendekat. Berhenti di depan meja dimana Gabriel menelungkupkan wajahnya.

"Gabriel..." ujar orang itu. Suaranya sangat lembut.

Gabriel mengangkat wajahnya. Menatap tanpa ekspresi pada orang itu yang ternyata adalah gadis berambut pendek dengan poni yang menggemaskan.

"Jangan bantu gue lagi! Udah terlalu sering." Gabriel memalingkan wajahnya. Memilih menatap papan tulis daripada wajah imut gadis itu.

Gadis itu berdecak. Merogoh saku kemejanya. Mengeluarkan sebuah sapu tangan dan meletakannya di atas meja.

"Paling tidak, lo bersihin darahnya aja." ujar gadis itu. Lantas melengos pergi.

Gabriel melirik benda yang tergeletak pasrah di atas meja. Bukan plester. Gabriel mendesah. Menoleh dan mendapati gadis itu hampir menghilang di ambang pintu. Gabriel berseru cepat. "Oik!" ia memanggil nama gadis itu. Oik Ramadlani.

Oik menoleh. Menangkap Gabriel yang tengah tersenyum padanya. Pemuda itu mengangkat sapu tangan yang diberikannya. Setelah Gabriel mengucapkan terimakasih, Oik tersenyum. Membalasnya dengan kalimat singkat, "Anytime!" Setelah itu ia benar-benar pergi.

Gabriel menggunakan sapu tangan itu untuk membasuh darah pada lututnya yang masih menyisakan luka. Ia akan tetap membiarkannya.

***

"Tadi Gabriel main sepakbola. Dia jatuh. Lututnya berdarah. Dia ga mau diobatin. Dia cuma mau kamu. Dia nunggu kamu. Sampai kapan kamu siksa dia terus?"

Gadis cantik itu menatap nanar pada monitor di hadapannya. Ia baru saja menerima e-mail yang lagi-lagi membuat hatinya mencelos. Laporan tentang peristiwa yang terjadi hari ini di antah berantah. Di kota yang telah lama tak ia dengar kebisingannya. Ia sangat merindukan kota itu. Terutama pemuda cerobohnya. Dari e-mail yang beberapa menit lalu dibacanya, ia bisa menyimpulkan bahwa pemuda itu masih tetap sama. Ceroboh.

Gadis itu menutup laptopnya, ketika seorang lelaki berkemeja putih masuk ke dalam kamarnya.

"Kapan semua ini selesai Ayah?" tanya gadis itu.

"Ayah mohon kamu bersabar!" Lelaki yang dipanggil ayah itu duduk di tempat tidur sang gadis. Menarik gadis itu masuk ke dalam pelukannya.

"Tetap tunggu aku Gabriel!" ujar gadis itu dalam hati.

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari