Lebih Dari Plester part 8

Jumat, 25 Mei 2012

Lebih Dari Plester part 8


Karena kenangan, hanya masalah mengingat atau melupakan.

***

Gadis berambut pendek itu menggapai kursi rodanya. Ia memang telah dinyatakan sembuh dari tumor otak mematikan itu, namun tubuhnya belum cukup kuat untuk memenuhi keinginannya menikmati udara segar kota itu. Walau ia tahu, udara di kota mana pun tak akan semenyejukkan udara di kota kesayangannya.

Kini, ia tengah berada di taman belakang rumah sakit. Memandang beraneka bentuk awan yang mengarak di setiap bentangan langit. Hal yang selalu dilakukannya hampir setiap senja. Gadis itu hampir tak mengedipkan matanya, ketika ia menemukan awan yang bentuknya mirip dengan dinosaurus. Ia menatap lekat-lekat pada gumpalan awan itu. Dinosaurus? Rasanya, ia tidak asing lagi dengan hewan yang sudah punah jutaan tahun yang lalu itu. Gadis itu mengerutkan kening.

Kepalanya yang masih dibalut perban itu terasa sakit. Pening. Ia memegangi kepalanya. Efek dari terlalu kerasnya ia mengingat-ngingat tentang masa lalunya yang berhubungan dengan dinosaurus.

Dan ketika gadis itu hampir tak sadarkan diri, seorang pemuda datang. Mendekap gadis itu dari belakang.

"Kamu baik-baik aja Sivia?" bisik pemuda itu, tepat pada gadis yang dipanggilnya Sivia.

Sivia meraih tangan sang pemuda yang melingkari lehernya. Menarik sang pemuda agar berpindah ke hadapannya. "Aku baik-baik aja kok! Makasih ya Cakka!" ujar Sivia. Meyakinkan.


"Syukurlah!" hanya itu yang terucap dari mulut Cakka. Ya, ia bersyukur. Bersyukur atas kesembuhan Sivia, gadis yang diam-diam dicintainya. Juga bersyukur karena ingatan Sivia tentang dirinya tidak hilang sejalan dengan lenyapnya tumor ganas itu. Sehari setelah operasi itu, ia datang menemui Sivia. Dan tanpa berpikir keras, Sivia mengetahui namanya. Cakka Nuraga.

Selain Cakka, Sivia juga mengingat sang Papa. Mamanya yang telah tiada. Suster yang merawatnya. Dokter yang mengoperasinya. Dan juga kota kesayangannya.

Lantas, dimanakah ingatan tentang pemuda ceroboh itu? Plester dinosaurus. Entahlah. Mengingat bagian kecil dari ingatan itu saja membuat kepala Sivia berdenyut. Sivia lupa segala tentang masa lalu yang selama ini digenggamnya erat-erat.

Karena ternyata, ingatan tentang pemuda ceroboh dan plester dinosaurus itu adalah kenangan yang menghabiskan banyak ruang dalam otaknya. Sehingga hanya itu satu-satunya kenangan yang dikorbankan untuk ditukarkannya dengan sebuah kesembuhan.

Cakka dan Sivia kemudian terdiam. Hanya diam. Tidak kurang, tidak lebih.

***

"Pagi Gabriel!" sapa Ify ceria. Ia datang bersama boneka dinosaurusnya.

"Hmm..." Gabriel menanggapinya datar. Berkutat dengan buku tebal yang sedang dibacanya.

Ify mengangkat bahu tak acuh. Menyimpan tasnya di atas meja. Duduk di samping Gabriel. Mencuri pandang pada buku tebal milik Gabriel.

Setelah matanya mengerjap beberapa kali, akhirnya Ify mengangguk-angguk. Ia sudah tahu isi buku itu. Harusnya, Ify bisa menebak buku macam itu. Dinosaurus.

Ify melirik wajah Gabriel yang nampak serius membaca. Kemudian ia berdecak. Dasar maniak dinosaurus. Ify mengumpat dalam hati. Lantas ia beralih kembali pada buku super tebal itu. Ikut membaca kata demi kata yang tertulis di sana.

Terlalu asyiknya Ify membaca, sampai-sampai gadis itu tak menyadari bahwa Gabriel tengah menatapnya sinis. Maka akhirnya Gabriel berdeham.

"Eh..." Ify terkesiap. Nyengir menatap Gabriel. "Bukunya seru!" Ify menggaruk belakang telinganya. Mengerjapkan mata.

Gabriel mendesah. Menutup buku itu dengan kasar. "Nih!" Gabriel memberikan buku itu pada Ify. Setengah memaksa agar Ify menerimanya.

"Apa?" tanya Ify tidak mengerti. Suaranya gemetar. Sedikit ketakutan.

"Lo baca buku itu. Dua hari harus udah selesai. Kalau enggak, gue ga mau ngomong lagi sama lo!" ujar Gabriel. Membekap mulut Ify yang hendak memprotesnya. "Lo ga boleh nolak!" kata Gabriel. Final. Tak dapat diganggu gugat.

Maka Ify dengan terpaksa menyanggupinya. Menyimpan buku itu di depan dada. Seakan dengan begitu, sang buku akan menciut hingga ukurannya tak lagi sejumbo kamus bahasa bermilyar kata.

Gabriel mengacak rambut Ify. Ia berjingkat dari kursinya. Sebelum pergi, ia mewanti-wanti.

"Jangan sampai gagal! Oh iya, kacamata lo pakai aja lagi. Risih gue lihat mata lo yang kedip-kedip kaya gitu!"

Ify menunduk. Kacamata? Itu tidak akan membantunya. Ify meninju buku tebal yang ukurannya masih tetap sama. Jumbo.

***

Ify sedang melaksanakan tugasnya. Ditemani amunisi yang dapat mendukung kekuatannya. Ia sudah seperti pejuang kemerdekaan. Dengan sebuah kain putih yang melingkari kepalanya. Semangatnya menggebu ketika pertama mengangkat senjatanya.

Apa yang sebenarnya tengah dilakukan Ify? Bukankah penjajah telah pergi dari bumi pertiwi puluhan tahun yang lalu?

Ah, Ify hanya sedang membaca buku yang diberikan Gabriel. Sendirian di kantin sekolah. Hanya bertemankan semangkuk bakso dan segelas es jeruk. Ya, itu amunisinya.

Untung saja buku itu dilengkapi gambar. Kalau tidak, bisa muntah ia dicekoki bacaan tentang dinosaurus yang memusingkan. Ify lebih suka membaca rumus fisika daripada menyelami seluk beluk dinosaurus.

Namun ini adalah tugasnya, kewajibannya. Suka atau tidak, Ify harus tetap melakukannya. Sekali lagi ia menyeruput es jeruknya.

Gabriel dan Rio yang baru selesai bermain bola mengamati Ify dari kejauhan.

"Lagi ngapain tuh si Ify?" Rio menunjuk Ify. Membersihkan keringat pada wajah tampannya dengan handuk kecil yang dibawanya.

Gabriel hanya terkekeh. Menyesap minuman kalengnya.

Rio mendelik pada Gabriel. Pasti ada yang tidak beres. "Lo kerjain dia?" desis Rio.

Gabriel tersenyum. Kedua alisnya bergantian ia angkat.

"Gila lo!" Rio mendorong bahu Gabriel. "Ayo!" menarik lengan sahabatnya.

Keduanya, menghampiri Ify.

"Ify cantik, lo lagi ngapain?" tanya Rio, sejurus setelah ia duduk di samping Ify. Gabriel mengikutinya.

Ify masih sibuk dengan bukunya. Ia khusuk membaca. Tak menghiraukan suara apa pun yang masuk ke dalam telinganya.

"Fy? Ifyyyyy!" Rio sedikit berteriak. Berharap teriakannya dapat membuyarkan konsentrasi Ify.

Nihil. Ify tetap sibuk dengan bukunya. Membuat Rio gemas dan mencubiti pipinya sendiri. Sementara Gabriel berusaha menahan tawa. Wajahnya merah padam.

Rio menggebrak meja. Ia hampir putus asa. Berbagai cara telah dilakukannya untuk mengalihkan perhatian Ify dari buku jumbo itu. Termasuk dengan membuat wajahnya sejelek badut, dan seseram monster. Namun selalu saja gagal. Rio mengacak rambutnya sebal.

Rio akhirnya tersenyum sumringah. Ketika ia menemukan ide agar Ify tak lagi menekuri buku jumbo ini. Semoga berhasil. Karena kalau ia gagal lagi, ia beikrar akan berlari mengelilingi lapangan upacara. Rio merapal doa dalam hati.

Rio menggerakkan tangannya perlahan-lahan. Hingga sampai menyentuh caping hidung Ify. Rio lalu menjawilnya.

Ify terperanjat. Cepat menepis tangan Rio dari hidungnya. Mempelototi Rio tajam. Yang dipelototi menyuguhkan senyum tanpa dosa. Gabriel terbahak-bahak di sampingnya.

"Aduuuh Rio kece! Jangan gangguin aku! Aku lagi baca buku dinosaurus. Ini tugas dari Gabriel." Ify menatap Gabriel. "Yel, bawa Rio kece pergi!"

Gabriel mengangguk. Menyeret Rio menjauhi Ify. Agar ia tak lagi mengganggu pekerjaan Ify.

Dan Rio akhirnya hanya bisa pasrah. Setelah sebelumnya ia meronta-ronta dari cengkraman Gabriel. Rio menyerah.

Ify melanjutkan tugasnya. Ikat kepalanya yang melonggar, segera ia tarik. Ia siap melaksanakan titah Gabriel.

***

Oik menuliskan semuanya di sana. Dalam satu badan e-mail. Lebih dari sepekan ia tidak memberi laporan. Maka dari itu, akumulasi kejadian selama sepekan yang lalu ditumpahkannya pada e-mail yang akan segera dikirimkannya pada sahabatnya di antah brantah.

Oik menulis tentang Gabriel dan Ify. Gabriel yang melukai Ify di pagi hari. Membuat gadis mungil itu sampai berdarah. Lalu di siang harinya, ia melihat Ify keluar dari rumah Gabriel. Mereka berboncengan. Keesokan harinya, Gabriel memberikan sebuah boneka dinosaurus pada Ify. Oik masih ingat, boneka itu adalah salah satu hadiah yang pernah diterima Gabriel dari gadis plesternya. Dan setelah itu, kedekatan mereka semakin terjalin. Oik sudah tak bisa mengendalikan Gabriel.

Oik berhenti menggerakkan jemarinya. Membaca ulang semua yang telah ditulisnya. Oik mengangguk. Cukup. Pikirnya.

Klik. E-mail terkirim.

Oik mendesah. Ia berbaring di atas tempat tidurnya. Menatap langit-langit kamarnya. Ia berharap, sahabatnya akan segera kembali.

Dan gadis penerima e-mail yang dikirim Oik beberapa saat yang lalu itu pun sama. Ia pun ingin segera kembali. Kembali ke kotanya. Untuk memulai hidupnya yang baru. Ya, itu tujuannya. Karena ia, tak akan meneruskan episode kisah masa lalunya. Ia telah melupakannya.

Gadis itu kini tengah berkutat dengan komputernya. Menjelajahi dunia maya. Lalu entah karena apa, ia tergerak untuk membuka e-mailnya. Satu e-mail yang belum dibacanya. Ia membuka e-mail itu.

Gadis berambut pendek itu langsung memegangi kepalanya. Sakit. Seperti ribuan jarum panas tengah ditusukan pada setiap inci batok kepalanya. Itu yang dirasakannya, ketika ia selesai membaca isi surat elektronik itu. Namun dengan keadaannya yang seperti itu, ia masih menyempatkan diri membaca beberapa e-mail sebelumnya dari pengirim yang sama. Walau pemuda disampingnya, bersikeras melarang.

Oik. Siapa dia? Mengapa ia rajin mengiriminya e-mail hampir setiap hari? Dan mengaga isinya selalu dengan topik yang sama.

Gabriel? Siapa dia? Mengapa dari beberapa e-mail yang telah dibacanya, Gabriel terlukis sebagai pemuda yang penting baginya? Lalu kalau memang Gabriel penting, mengapa ia tidak ingat secuil pun tentangnya?

Lalu Ify? Mengapa ia harus tahu tentang gadis itu? Apa pedulinya?

"Argth!" gadis itu akhirnya menjerit histeris. Menjambak rambutnya sendiri.

"Sivia, kamu kenapa?" tanya Cakka, pemuda yang selalu setia mendampingi gadis itu.

"Sakit Kka! Sakiiittt!" Sivia meringis. Matanya hampir mengeluarkan air menahan rasa sakit.

"Aku di sini!" Cakka mendorong tubuh Sivia agar tenggelam dalam dadanya. Dada yang selalu lapang menerima semua yang hendak disuguhkan gadis itu. Termasuk ringisan, raungan, hingga tangisan.

"Oik, Gabriel dan Ify itu siapa?" tanya Sivia. Tangannya mencengkram kuat lengan Cakka. Begitu kuat, sampai timbul bekas. Ia masih menahan sakit yang teramat.

Cakka memilih mengunci rapat mulutnya. Mungkin memang lebih baik, ia merahasiakan masa lalu sang gadis. Biarkan masa lalu itu enyah dan berhenti menghantui. Cakka mengecup ubun-ubun Sivia.

"Kka, kalau aku pulang ke Indonesia, kamu ikut, ya?" pinta Sivia. Sakitnya mulai mereda.

Cakka mengangguk. "untuk kamu."

Ya, apa pun akan dilakukannya untuk gadis itu. Termasuk meninggalkan kotanya yang sekarang. Dan kembali ke negara asalnya. Negara dengan kota tersayangnya dulu. Kota tempat ia mengubur kenangan yang pernah dirajutnya.

***

Bersambung.

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari