Lebih Dari Plester part 6A
Hidup bukan melulu tentang satu. Ada banyak hal yang harus dilakoni dalam hidup. Tak sekedar menanti. Hingga penantian itu malah mengundang mati. Mati rasa. Tuna akan sentuhan cinta.
Mungkin, Gabriel tidak sepantasnya memperlakukan Ify seperti itu. Ia bisa bersikap manis, seperti apa yang dulu selalu ditunjukkannya ketika sang gadis plester masih ada dalam raihannya. Lalu sekarang, buat apa ia masih menanti kembalinya gadis itu? Kalau pada akhirnya ia hanya bisa menyakiti orang lain. Dan apakah gadis itu memberikan jaminan bahwa dirinya akan pulang? Tidak, bukan?
Cinta. Karena Gabriel mencintainya? Ah, bahkan ia telah lupa bagaimana rasanya mencintai. Hatinya yang keras, dibekukan oleh segala keyakinan yang tidak berakar. Kalau Gabriel mencintai gadis itu, ia akan berusaha menjadi Gabriel yang hebat. Bukan Gabriel yang jahat.
Lalu sebenarnya, apa yang membuat Gabriel seangkuh ini?
Gabriel memutuskan untuk pulang di jam kedua. Ia meminta izin dengan mengatakan bahwa kepalanya sakit. Seperti mau pecah. Ya, ia tidak berbohong. Batok kepalanya memang terasa pening. Dijejali segala tetek bengek tentang insiden tadi pagi yang tidak penting. Tentang gadis menyebalkan yang telah mencuri plester berharganya. Belum lagi dengan ucapan Oik yang memukuli kepalanya dengan berjuta martil. Sangat tidak penting.
Ha? Tidak penting? Munafik. Kalau semua itu tidak mungkin, mengapa ia bisa sepusing ini? Dan mengapa ia dihantui rasa sesal terhadap Ify? Ia menyesal telah menyakiti gadis itu.
Sesal itu semakin menampar dirinya ketika ia mendapati Ify yang duduk di sebelahnya meringis kesakitan sembari memegangi robekan pada kulit bawah matanya. Tangan yang digunakan untuk memegang luka itu berlumuran darah. Beberapa tetes sampai mendarat pada bukunya. Ify seperti sedang menghukum dirinya sendiri. Ia tidak berniat mengobati luka di wajah cantiknya. Membiarkan luka itu mengering dengan sendirinya. Kepingan darah mengerak di sekelilingnya.
Sepanjang jam pelajaran, Gabriel tak mengurai kepalan tangannya. Itu semata-mata agar ia tak tergeletak akibat sesak yang mencekat dadanya. Ditambah mual ketika sesuatu seperti sedang mengoyak perutnya. Maka pulang dan tak melihat siluet Ify lagi adalah cara yang paling tepat untuk mengobati segala kekacauannya.
Gabriel sudah memasuki komplek perumahannya. Sepi. Saat ini memang masih jam sekolah dan jam kerja. Jadi, tak banyak orang yang berkeliaran. Ia bisa bernafas lega. Karena nyatanya, emosinya selalu terpacu ketika bertemu dengan seseorang, entah karena apa. Untuk pertama kalinya, ia ingin pindah ke tempat lain yang tidak ada manusianya.
Dan hatinya tiba-tiba mencelos ketika ia menemukan dua anak lelaki dan perempuan tengah bermain sepeda. Sepertinya, mereka tengah bolos dari kewajibannya sebagai pelajar.
Namun Gabriel sama sekali tak peduli dengan hal itu. Ia hanya merasa, anak lelaki dan perempuan itu seperti visualisasi dari dirinya dan gadis plesternya dulu. Kenangan itu terlalu indah untuk dibuatnya tameng dari penantiannya selama ini. Dadanya semakin perih. Ia memutuskan untuk pergi dan tak lagi memperhatikan kedua anak itu. Mengumpat dalam hati.
Kalau masa lalu itu hanya membuatnya sakit, mengapa ia masih memegang kukuh sang masa lalu? Harusnya, ia kubur dalam-dalam. Membiarkannya mati bersama onggokan luka yang telah membusuk saking lamanya. Mengenaskan.
***
"Fy, beneran lukanya ga mau diobatin?" tanya Rio. Memastikan untuk kesekian kali.
"Bener Rio keceee!" kata Ify gemas. Ia menutup resleting tasnya. "Mau antar Ify ke rumah Gabriel ga?"
Rio hampir tersedak mendengar ucapan Ify. Untuk apa gadis itu ke rumah Gabriel? Rio berdecak. Ify sama saja dengan masuk ke mulut buaya kalau begitu jadinya. "Mau ngapain?"
"Ada urusan. Mau ga?" Ify memelas. Membuat Rio mau tak mau menuruti permintaannya.
"Tapi gue ga tanggung jawab ya kalau lo diapa-apain lagi sama Gabriel!" kata Rio. Berjalan berdampingan dengan Ify menuju tempat parkir. Di sana ia menyimpan motornya.
"Tenang. Nanti aku yang bakalan apa-apain dia. Haha..." Ify tertawa. Tawa yang renyah.
Rio meneguk ludah. Maksudnya, Ify akan balas dendam pada Gabriel? Rio berdecak. Menggeleng samar. Ternyata, dibalik tubuh mungilnya, Ify mempunyai keahlian bela diri. Karate atau silat mungkin. Ya, kalau Ify tidak mempunyai keahlian itu, mana mungkin ia berani balas dendam pada Gabriel yang ganas seperti monster. Mulai sekarang, ia akan berhati-hati pada Ify. Takut-takut ia yang akan dijurus oleh gadis itu.
"Ayo Rio!" Ify menepuk punggung Rio sesaat setelah ia naik ke motor Rio.
"Eh... iya!" Rio buru-buru menancap gas. Semoga di tengah jalan, Ify tidak mengeluarkan salah satu jurus andalannya. Paranoid tak jelas menghantui benak Rio.
Rio akhirnya sampai dengan selamat di pelataran sebuah rumah mewah dengan nuansa klasik. Ify segera turun dari motor Rio. Menatap bingung pada Rio yang wajahnya nampak aneh, seperti ketakutan.
Lantas Ify hanya mengangkat bahu ketika Rio berpamitan pulang. Berdalih bahwa ia harus mengantar sang mama ke supermarket.
Kini, tinggalah Ify sendiri di sana. Ia mengumpulkan amunisi keberaniaannya untuk memantapkan niat hatinya. Ify menghela nafas. Bergegas menuju pintu masuk yang berwarna coklat keemasan. Ify mengetuk pintu itu.
Sayup-sayup dapat didengarnya derap kaki teredam dari dalam rumah. Beberapa saat, pintu di hadapannya terbuka. Didapatinya seorang wanita yang masih nampak elegan dengan umurnya yang sudah tidak muda lagi. Wanita itu tersenyum. Menyambut baik kedatangan Ify.
"Mamanya Gabriel ya? Gabrielnya ada? Boleh saya ketemu?" tanya Ify.
Wanita yang memang adalah mama Gabriel itu mengangguk samar. Menautkan kedua alisnya. Lupa, kapan terakhir kali teman perempuan sang putra menyambangi kediamannya. Beberapa lama ia tertegun.
"Mamanya Gabriel, halo Mamanya Gabriel!" Ify menggerakan telapak tangannya di depan wajah Mama Gabriel.
"Eh..." Mama Gabriel terkesiap. Ia tersenyum. Ini tentunya kabar baik. "Ada ada. Yuk ke dalam!" Mama Gabriel mempersilakan Ify masuk. Ify mengekorinya dari belakang. Duduk di sebuah sofa berwarna merah marun.
"Nama kamu siapa, Nak?" Mama Gabriel menyusupkan rambut Ify ke belakang telinga. Entah mengapa, ia sangat senang ketika pertama kali melihat siluet Ify. Ditambah wajahnya yang cantik, juga pembawaannya yang ceria. Mama Gabriel juga merasa sudah sangat dekat dengan Ify. Tanpa disadari, ia telah menyayangi gadis itu dengan segala kepolosannya.
"Aku Ify. Oh ya, Gabrielnya mana? Sakit ya? Aduh, padahal PR buat besok banyak banget. Kalau Gabriel sakit, dia pasti ga bisa kerjain PRnya." Ify mengulum bibir.
Wanita paruh baya di hadapannya terkikik pelan. Ify adalah gadis yang lucu. Suatu hari nanti, apabila putranya meminta restu atas hubungan istimewanya dengan Ify, ia akan langsung memberikan restu itu. Lengkap dengan doa dan harapan agar semuanya selalu baik-baik saja.
"Bisa kok! Kan Ify yang ngajarin." ujar Mama Gabriel. Tersenyum.
Ify membuka mulutnya. Mengerutkan kening.
"Yuk ke kamar Gabriel!" wanita itu meraih tangan Ify yang masih ternganga. Menariknya menyusuri anak tangga. Hingga akhirnya mencapai sebuah ruangan.
Dalam ruangan itu, seorang pemuda masih menekuri kisah hidupnya. Lebih tepatnya, kisah masa lalu yang harusnya ia biarkan berlalu.
***
Bersambung
*
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari