Lebih Dari Plester part 7

Jumat, 18 Mei 2012

Lebih Dari Plester part 7


"Operasinya berhasil!" ujar seorang lelaki paruh baya yang baru saja keluar dari sebuah ruangan.

"Benarkah Dok?" ujar lelaki yang lain tak percaya.

"Ya, semangatnya memang patut diacungi jempol. Itu adalah salah satu faktor ia bisa bertahan hingga sampai saat ini. Pak Alvin beruntung memilikinya." kata lelaki yang pertama yang adalah seorang dokter.

Lelaki yang dipanggil Pak Alvin itu tersenyum. Mengusap dadanya lega. "Ya, saya memang beruntung. Terimakasih dok! Oh iya, saya boleh bertemu dengan anak saya?" tanya Pak Alvin.

"Tentu saja. Tapi saya harap Pak Alvin tidak terkejut kalau sampai dia lupa sesuatu tentang dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Operasi pengangkatan tumor di otaknya membuat sedikit banyak ingatan dalam memorinya hilang." jelas sang dokter.

Pak Alvin mengangguk. Tak apa. Bukan hal buruk baginya. Yang terpenting adalah kesehatan anaknya. Bahwa gadis kecilnya telah berhasil menaklukan satu lagi penyakit dari dua penyakit yang bersemayam dalam tubuh ringkihnya. Dua penyakit itu yang memaksa gadis itu meninggalkan semuanya. Kota dan seluruh kenangan di dalamnya. Termasuk pemuda cerobohnya.

Kini, dari bibir Pak Alvin tak berhenti terlontar ucapan terimakasih untuk sang dokter yang telah tiga tahun menemani perjuangan gadis kecilnya. Dalam hatinya lantunan syukur tak henti ia panjat untung sang pemilik hidup.

Pak Alvin bergegas memasuki ruangan. Hendak menemui putrinya. Berharap bahwa kenangan pahitlah yang hilang. Hanya menyisakan kenangan indah yang telah dipahatnya selama hampir 17 tahun ia menjejak bumi.

***

Gabriel melemparkan jaket yang baru saja ia lepas dari tubuhnya ke sembarang tempat. Langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Hendak melepas lelahnya selepas mengantar Ify pulang.

Ify? Gabriel tersenyum. Entah mengapa hatinya tergelitik saat mengingat nama gadis polos sok tahu itu. Pemuda itu memejamkan mata. Berharap di tidurnya nanti, sang gadis akan datang menghadiahkannya mimpi terindah.

Beberapa detik saja matanya tertutup, Gabriel langsung membelalakan mata. Ekor matanya tertumbuk pada rak yang ada di samping meja belajar. Tadi ia mendapati Ify tengah mengamati koleksi boneka dinosaurusnya. Gabriel tersenyum penuh arti. Tanpa bisa ditebak, ia mencelat dari kasur. Mengambil salah satu boneka. Berlari keluar kamar.

Gabriel sudah sampai di sana. Tempat di mana orang tuanya sedang asyik bercengkrama. Gabriel menghampiri mereka.

"Loh, Gabriel? Kirain udah tidur. Ada apa Nak?" tanya Mama.

"Tolong bungkusin ini ya Ma!" Gabriel memberikan sebuah boneka dinosaurus yang dibalut kaos berwarna merah muda.

Mama menatap boneka itu bingung. Lalu menatap Papa. Yang ditatap menggeleng samar. Lantas beralih menatap Gabriel. "Untuk apa?"

"I-Ify." ujar Gabriel agak segan.

Mama akhirnya mengerti. Mengurai kerutan di keningnya. Baiklah. Dengan senang hati. Tentu saja ini adalah hal yang baik. Ya, gadis polos itu memang hebat. Sebelumnya, mana pernah putranya itu memberikan salah satu dari boneka kesayangannya kepada orang lain. Jangankan memberi, untuk mengizinkan seseorang menyentuhnya saja ia enggan. Dan sekarang, Ify perlahan mengembalikan keramahan putranya. Mama mengangguk.

"Makasih ya Ma. Aku tidur dulu. Malam Ma, Pa!" Gabriel melengos pergi. Melanjutkan prosedur tidurnya yang belum sempat dijajaki.

***

Jalanan kota masih lumayan lengang. Tak ada sesak kendaraan yang biasa menghantarnya ke sekolah. Gabriel memang sengaja berangkat sedini mungkin. Agar ketika ia tiba di sekolah nanti, ia menjadi orang kedua yang datang ke sekolah setelah Pak Indra, satpam sekolahnya. Juga agar rencananya tak diketahui siapa-siapa.

Benar. Sekolahnya memang masih sepi. Hanya Pak Indra yang didapatinya di pos satpam yang tengah menyesap secangkir kopi. Gabriel bergegas menuju kelasnya.

Ketika ia sudah mencapai kelas, tergesa ia menghampiri mejanya. Mengeluarkan sebuah kotak cantik berhiaskan pita merah menyala. Kotak itu ditemukannya di atas meja belajarnya pagi tadi kala pertama ia membuka mata. Kotak itu pula yang membuatnya semangat mengarungi tiap detik untuk hari ini.

Gabriel menyimpannya di atas meja. Celingak-celinguk ke sekitarnya. Memastikan bahwa tidak ada satu pasang mata pun yang menyaksikan semua yang dilakukannya. Gayanya sudah seperti secret admirer di film yang pernah ditontonnya. Ternyata memang, diam-diam Gabriel mengagumi kepolosan gadis itu.

Setelah itu, Gabriel memutuskan pergi. Matahari yang mulai meninggi, mengindikasikan bahwa teman-temannya akan segera datang. Kalau ia tetap di sana, mereka pasti akan mencurigainya.

Kini, Gabriel memilih menyendiri di taman belakang sekolah. Mengamati lalu lalang kendaraan di sepanjang jalan. Sambil merenungi apa yang telah diperbuatnya.

Tiba-tiba ia merasa telah melupakan sesuatu. Namun rasa itu ditepisnya kuat-kuat. Biarkan. Biarkan penantian semu itu hanya mengurung hatinya. Karena lamat-lamat, jiwa dan raganya telah berhasil meloloskan diri.

***

Ify membekap mulutnya ketika ia terhenyak mendapati sebuah kotak cantik di atas mejanya. Awalnya, ia mengira bahwa kotak itu bukan ditujukan padanya. Namun ia membaca sebuah kertas memo di atas kotak yang mengatakan bahwa kotak itu diperuntukan kepadanya. Ify mengetukan telunjuknya pada cuping hidungnya. Hari ini bukan ulang tahunnya.

Ify mengerjap. Entah mengapa, bisa-bisanya ia berpikir bahwa yang ada di dalam kotak itu adalah bom. Tapi, di sekolahnya tidak ada teroris. Anaknya Amrozi juga tidak bersekolah di sana. Lalu mengapa bisa ada bom di atas mejanya.

Ify terkesiap ketika sebuah tangan lembut menyentuh bahunya. Ify melirik pemilik tangan itu. Oik.

"Itu apa?" Oik menunjuk kotak itu.

"Bom." ujar Ify setengah berbisik.

Oik mengerenyit. Mana mungkin ada bom. Gadis berambut sebahu itu meraih kotak itu, setelah berhasil terlepas dari cegahan Ify. Oik meyakinkan Ify bahwa tak ada bom atau benda berbahaya lainnya di dalam kotak.

Oik membuka kotak itu. Matanya yang kecil membelalak ketika melihat isi kotak itu. Ia menggeleng tak percaya.

Dan gadis polos itu langsung mengambil kotak itu dari tangan Oik. Gesit ia meraih isi kotak itu. Boneka dinosaurus yang sangat menggemaskan. Ify tersenyum. Memeluk erat sang boneka.

Oik masih belum benar-benar percaya. Ia tahu siapa yang memberikan boneka itu pada Ify. Pasti. Siapa lagi kalau bukan pemuda ceroboh itu. Ya, apa yang dilakukan pemuda itu memang adalah sebuah kecerobohan. Tak tahukah ia, bahwa hati Ify mungkin saja tersentuh karenanya?

"Ya ampun Oik! Ini boneka yang aku lihat kemarin di kamar Gabriel. Iya. Pasti ini dari dia." ujar Ify. Gadis itu masih memeluk dinosaurusnya.

Oik tersenyum miring. Setengah ia mati ia memaksakan diri. Kabar ini harus segera diberitahukan pada sahabatnya.

Wajah Ify nampak berseri-seri. Setelah memeluknya, ia menciumi sang boneka.

***

Rio menyandarkan tubuhnya yang berlumur peluh pada tiang gawang. Setelah berkali-kali ia menendang bola dengan segenap tenaga. Ditambah emosi yang sedari tadi entah mengapa membuncahi logikanya.

Rio sadar, tidak seharusnya seperti ini. Ia tidak berhak.

Apa? Apanya yang tidak berhak? Cemburu maksudnya? Rio terkekeh. Mana mungkin Rio cemburu saat Ify mendapatkan hadiah boneka dari Gabriel.

Tapi kalau bukan cemburu, apa namanya? Kalau hatinya seakan terbakar saat Ify terus menerus bercerita tentang Gabriel. Apalagi sekarang, Gabriel perlahan melunak pada Ify.

Rio kini sendiri. Menikmati nafasnya yang terengah-engah.

Lalu tak berapa lama, gadis yang membuatnya kacau itu datang. Membawakan sebotol air mineral untuk Rio. Gadis itu duduk di samping Rio.

"Kapan-kapan, aku boleh kan main bola sama kamu?" tanya Ify. Membukakan botol air mineral untuk Rio. Menyerahkannya pada pemuda itu.

Rio melirik Ify. Gadis yang dilirik itu mengerjapkan mata.

Rio meraih botol air mineral. Menenggak isinya. Lalu mengusap habis buliran keringat yang bergelayut pada wajah tampannya.

"Makasih ya!" ujar Rio.

Memang seharusnya, ia tidak seperti itu. Toh, kedekatan Ify dan Gabriel yang mulai terjalin, tak membuat gadis itu menjauh darinya. Ia masih bisa mendapatkan perhatian Ify dengan caranya sendiri. Itu sudah cukup baginya.

***

Ify mencubiti boneka dinosaurus yang sudah menjadi miliknya. Sesekali ia terkikik, mengingat wajah Gabriel yang lucu ketika ia memastikan bahwa memang Gabriel yang memberikan boneka itu. Dan ia juga teringat, saat ia membisikan kata terimakasih tepat pada telinga Gabriel. Membuat wajah pemuda itu berubah memerah.

Sekali lagi Ify memeluk bonekanya.

Ketika Ify mengurai pelukannya, ia menemukan sebuah kalung cantik berwarna perak. Ify memperhatikan kalung itu dengan seksama. Dan ia juga mendapati sebuah nama dengan huruf yang dibuat bersambung terukir pada bandulnya. Ify memicingkan mata. Mencoba membacanya.

"S-Si... Si... Sivia?" Ify menatap langit-langit kamarnya.

***

Bersambung

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari