Lebih Dari Plester part 3
Gadis itu membuka
matanya setelah seberkas sinar menusuk melalui jendela. Masih dalam
keadaan berbaring, ia menengok ke kanan dan kiri. Tempat yang sama.
Ruang yang sama. Belum berubah sejak tiga tahun lamanya. Ia mencengkram
selimut bergambar dinosaurus yang selalu melindunginya setiap malam
ketika ia terlelap. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Putus asa. Sampai
kapan ia harus tinggal di sana? Di tempat yang paling membosankan
seluruh dunia. Ia ingin pulang ke kotanya yang lama.
Gadis itu kemudian menyibak selimutnya. Turun dari tempat tidurnya. Berjalan dengan ringkih menuju jendela. Melihat keadaan di luar dari sana. Ia mendesah. Walau kota yang sekarang didiaminya adalah kota yang bersih, ia tetap lebih menyayangi kotanya yang lama dengan segala yang ada di sana. Lagi-lagi ia mendesah. Kapan ia bisa menjejakan kaki di kotanya? Menghirup udara sekaligus polusinya? Ia menyentuh kaca. Sendu menatapi mobil-mobil berlalu lalang jauh di bawahnya. Ya, dari tempat ia berdiri, yaitu lantai lima belas, mobil-mobil itu layaknya semut yang sedang mencari gula. Kecil sekali.
Sang gadis terlalu sibuk dengan dunianya, sampai-sampai ia tak mendengar suara ceklekan pintu yang baru terbuka, pertanda seseorang baru saja masuk ke ruangan itu. Seorang pemuda yang nampak lebih tampan dengan seragam sekolahnya. Pemuda itu tersenyum. Ikut berdiri di samping gadis itu.
"Morning, cantik!" sapa pemuda itu.
"Eh..." gadis itu terkesiap. Wajahnya masih kental menyisakan sendu.
"Kenapa? Are you OK?" tanya pemuda itu. Menangkap ada yang tidak beres pada setiap jengkal kecantikan gadis itu.
"Cakka, aku..." gadis itu berdecak. Lidahnya tiba-tiba kelu.
Pemuda yang dipanggil Cakka itu mengangguk. Tanpa gadis itu menjelaskan lebih detail tentang apa yang membuatnya sendu sepagi ini, ia sudah hafal betul. "Kangen Jakarta ya?"
Gadis itu menunduk. Cakka telah lebih dari setahun lamanya menemani harinya yang sangat memilukan. Pemuda itu bisa jadi pelipur hatinya ketika lara. Dan mungkin, Cakka juga sudah amat mengenalnya.
"Sebentar lagi ya! Kamu pasti bisa. Don't give up cantik!" ujar Cakka menyemangati.
Ada rasa haru pada hati gadis itu. Ya, ia tak boleh menyerah. Ia tak boleh membiarkan perjuangannya selama tiga tahun itu sia-sia. Ia mendongak. Mengangguk mantap.
"Aku sekolah dulu ya! See you!" Cakka melengos pergi. Meninggalkan gadis itu bersama harapannya untuk hari ini. Semoga keadaannya membaik. Dan semoga ia tidak menerima e-mail yang telah beberapa kali hanya menyesakan hati. Itu bisa membuat kondisinya semakin buruk.
***
Rio berlari sekencang mungkin menuju kelasnya. Hari ini, ia bertekad untuk mengakhiri keterlambatannya datang ke sekolah. Telinganya hampir pecah setiap mendengar koaran guru yang mengajar di jam pertama. Ia juga sudah bosan membersihkan toilet. Setiap hari bergaul dengan bakteri dan sebangsanya. Namun sepertinya, ia gagal lagi. Bel sudah berteriak sejak lima menit yang lalu. Mampus! Rio mendengus. Sampai jumpa toilet! Ujarnya miris dalam hati.
Namun air mukanya langsung berubah ketika Rio sampai di kelas. Belum ada guru. Rio melompat kegirangan. Lalu berteriak, membuat seisi ruangan langsung menatap aneh padanya.
"Aaaaaa... Rio kece hari ini ga terlambat. Ah, betapa kecenya gue!"
"Huuuu..." semua penghuni kelas menyorakinya.
"Syirik aja kalian sama yang kece!" Rio memutar bola mata. Masih menyisakan sengalan di antara nafasnya. Ia lalu melangkah menuju mejanya di pojok belakang.
Langkah Rio terhenti ketika ia sampai di meja Gabriel dan Ify. Rio melirik Gabriel yang sedang membaca. Rio berdecak. Heran mengapa Gabriel gemar berteman dengan buku yang tebalnya keterlaluan itu. Sejurus kemudian, ia melirik Ify. Gadis itu sangat manis dengan bando berwarna kuning. Rio tersenyum. Ini saatnya untuk beraksi.
"Hai Ify! Aku mau tagih sesuatu nih." ujar Rio. Mengangkat kedua alisnya secara bergantian.
"Aku punya hutang ya?" Ify menggaruk kepalanya. Wajahnya sangat lucu ketika sedang berfikir.
Rio terkekeh. "Elo hutang salaman sama gue. Eh, lo masih inget kan sama gue?"
"Umm..." Ify memicingkan mata, memperhatikan wajah Rio. Matanya langsung membelalak ketika ia teringat sesuatu. "Aku inget. Kamu Rio kece, kan? Yuk salaman!" Ify mengulurkan tangannya. Senyum ceria tersungging di wajahnya.
Rio langsung menyambar uluran tangan Ify. Lama ia tak segera melepaskan tangan halus Ify.
Sementara Gabriel mendelik tidak suka. Dasar cewek centil! Gabriel mencibir dalam hati. Dia sekarang tahu mengapa kemarin ia meminta Bu Winda agar membiarkan gadis itu duduk bersamanya, karena gadis itu ganjen. Gabriel bergidik ngeri. Rio juga. Mau-maunya menggoda Ify. Playboy. Mereka memang cocok.
Baru ketika Oik datang, kedua tangan mereka terlepas. Gadis berambut pendek itu mengabarkan bahwa Bu Ira berhalangan masuk, sehingga ia memberikan tugas mengerjakan soal yang ada di buku kerja siswa.
Rio melangkah menuju tempat duduknya. Ia tidak akan mengerjakannya. Nanti saja. Ia bisa mencontek pada Gabriel, sahabatnya yang jenius.
Ternyata, Gabriel tak sejenius yang disangka Rio. Ia nampak kebingungan ketika melihat soal-soal yang harus dikerjakannya saat itu juga. Tentang trigonometri. Gabriel kurang menguasai materi itu. Ia melirik teman-temannya. Sama sepertinya, mereka juga kebingungan. Bukan bermaksud menyombongkan diri, ia saja yang juara kelas tidak bisa, apalagi yang lain?
Yang lain? Salah satu di antara yang lain itu ada yang mampu mengerjakan soal itu. Bahkan dalam waktu yang singkat. Dialah Ify. Gadis yang duduk bersama Gabriel.
Gabriel cuma bisa melongo melihat Ify yang dengan mudah memecahkan soal-soal tersebut. Ify nampaknya akan jadi saingan barunya. Gabriel mengerutkan kening. Sepertinya, ia harus belajar untuk tidak berbuat yang kurang baik pada Ify. Ify mungkin gadis centil, tapi ia juga gadis yang pintar. Ia harus mencuri ilmu gadis itu.
"Fy..." ujar Gabriel tertahan.
"Hmm..." jawab Ify pendek, masih berkutat dengan pekerjaannya.
"Ajarin gue, boleh?" pinta Gabriel dengan agak ragu.
Ify menyimpan pensilnya. Melirik Gabriel. Ia mengangguk. Mengerjapkan mata. Tentu saja. Ia senang bisa membagi ilmunya pada Gabriel.
Ify mulai menjelaskan bagaimana pemecahan dari soal-soal itu pada Gabriel. Gabriel memperhatikan dengan seksama. Walau awalnya, dengan setengah hati, namun entah mengapa, saat ia melihat lesung pipi Ify, hatinya seutuhnya bersedia melakukan itu.
Oik yang ada di belakang mereka lekat mengamati. Ia tidak boleh membiarkan semuanya menjadi lebih kacau. Ify tidak boleh dianggap remeh.
***
Bersambung
*
Gadis itu kemudian menyibak selimutnya. Turun dari tempat tidurnya. Berjalan dengan ringkih menuju jendela. Melihat keadaan di luar dari sana. Ia mendesah. Walau kota yang sekarang didiaminya adalah kota yang bersih, ia tetap lebih menyayangi kotanya yang lama dengan segala yang ada di sana. Lagi-lagi ia mendesah. Kapan ia bisa menjejakan kaki di kotanya? Menghirup udara sekaligus polusinya? Ia menyentuh kaca. Sendu menatapi mobil-mobil berlalu lalang jauh di bawahnya. Ya, dari tempat ia berdiri, yaitu lantai lima belas, mobil-mobil itu layaknya semut yang sedang mencari gula. Kecil sekali.
Sang gadis terlalu sibuk dengan dunianya, sampai-sampai ia tak mendengar suara ceklekan pintu yang baru terbuka, pertanda seseorang baru saja masuk ke ruangan itu. Seorang pemuda yang nampak lebih tampan dengan seragam sekolahnya. Pemuda itu tersenyum. Ikut berdiri di samping gadis itu.
"Morning, cantik!" sapa pemuda itu.
"Eh..." gadis itu terkesiap. Wajahnya masih kental menyisakan sendu.
"Kenapa? Are you OK?" tanya pemuda itu. Menangkap ada yang tidak beres pada setiap jengkal kecantikan gadis itu.
"Cakka, aku..." gadis itu berdecak. Lidahnya tiba-tiba kelu.
Pemuda yang dipanggil Cakka itu mengangguk. Tanpa gadis itu menjelaskan lebih detail tentang apa yang membuatnya sendu sepagi ini, ia sudah hafal betul. "Kangen Jakarta ya?"
Gadis itu menunduk. Cakka telah lebih dari setahun lamanya menemani harinya yang sangat memilukan. Pemuda itu bisa jadi pelipur hatinya ketika lara. Dan mungkin, Cakka juga sudah amat mengenalnya.
"Sebentar lagi ya! Kamu pasti bisa. Don't give up cantik!" ujar Cakka menyemangati.
Ada rasa haru pada hati gadis itu. Ya, ia tak boleh menyerah. Ia tak boleh membiarkan perjuangannya selama tiga tahun itu sia-sia. Ia mendongak. Mengangguk mantap.
"Aku sekolah dulu ya! See you!" Cakka melengos pergi. Meninggalkan gadis itu bersama harapannya untuk hari ini. Semoga keadaannya membaik. Dan semoga ia tidak menerima e-mail yang telah beberapa kali hanya menyesakan hati. Itu bisa membuat kondisinya semakin buruk.
***
Rio berlari sekencang mungkin menuju kelasnya. Hari ini, ia bertekad untuk mengakhiri keterlambatannya datang ke sekolah. Telinganya hampir pecah setiap mendengar koaran guru yang mengajar di jam pertama. Ia juga sudah bosan membersihkan toilet. Setiap hari bergaul dengan bakteri dan sebangsanya. Namun sepertinya, ia gagal lagi. Bel sudah berteriak sejak lima menit yang lalu. Mampus! Rio mendengus. Sampai jumpa toilet! Ujarnya miris dalam hati.
Namun air mukanya langsung berubah ketika Rio sampai di kelas. Belum ada guru. Rio melompat kegirangan. Lalu berteriak, membuat seisi ruangan langsung menatap aneh padanya.
"Aaaaaa... Rio kece hari ini ga terlambat. Ah, betapa kecenya gue!"
"Huuuu..." semua penghuni kelas menyorakinya.
"Syirik aja kalian sama yang kece!" Rio memutar bola mata. Masih menyisakan sengalan di antara nafasnya. Ia lalu melangkah menuju mejanya di pojok belakang.
Langkah Rio terhenti ketika ia sampai di meja Gabriel dan Ify. Rio melirik Gabriel yang sedang membaca. Rio berdecak. Heran mengapa Gabriel gemar berteman dengan buku yang tebalnya keterlaluan itu. Sejurus kemudian, ia melirik Ify. Gadis itu sangat manis dengan bando berwarna kuning. Rio tersenyum. Ini saatnya untuk beraksi.
"Hai Ify! Aku mau tagih sesuatu nih." ujar Rio. Mengangkat kedua alisnya secara bergantian.
"Aku punya hutang ya?" Ify menggaruk kepalanya. Wajahnya sangat lucu ketika sedang berfikir.
Rio terkekeh. "Elo hutang salaman sama gue. Eh, lo masih inget kan sama gue?"
"Umm..." Ify memicingkan mata, memperhatikan wajah Rio. Matanya langsung membelalak ketika ia teringat sesuatu. "Aku inget. Kamu Rio kece, kan? Yuk salaman!" Ify mengulurkan tangannya. Senyum ceria tersungging di wajahnya.
Rio langsung menyambar uluran tangan Ify. Lama ia tak segera melepaskan tangan halus Ify.
Sementara Gabriel mendelik tidak suka. Dasar cewek centil! Gabriel mencibir dalam hati. Dia sekarang tahu mengapa kemarin ia meminta Bu Winda agar membiarkan gadis itu duduk bersamanya, karena gadis itu ganjen. Gabriel bergidik ngeri. Rio juga. Mau-maunya menggoda Ify. Playboy. Mereka memang cocok.
Baru ketika Oik datang, kedua tangan mereka terlepas. Gadis berambut pendek itu mengabarkan bahwa Bu Ira berhalangan masuk, sehingga ia memberikan tugas mengerjakan soal yang ada di buku kerja siswa.
Rio melangkah menuju tempat duduknya. Ia tidak akan mengerjakannya. Nanti saja. Ia bisa mencontek pada Gabriel, sahabatnya yang jenius.
Ternyata, Gabriel tak sejenius yang disangka Rio. Ia nampak kebingungan ketika melihat soal-soal yang harus dikerjakannya saat itu juga. Tentang trigonometri. Gabriel kurang menguasai materi itu. Ia melirik teman-temannya. Sama sepertinya, mereka juga kebingungan. Bukan bermaksud menyombongkan diri, ia saja yang juara kelas tidak bisa, apalagi yang lain?
Yang lain? Salah satu di antara yang lain itu ada yang mampu mengerjakan soal itu. Bahkan dalam waktu yang singkat. Dialah Ify. Gadis yang duduk bersama Gabriel.
Gabriel cuma bisa melongo melihat Ify yang dengan mudah memecahkan soal-soal tersebut. Ify nampaknya akan jadi saingan barunya. Gabriel mengerutkan kening. Sepertinya, ia harus belajar untuk tidak berbuat yang kurang baik pada Ify. Ify mungkin gadis centil, tapi ia juga gadis yang pintar. Ia harus mencuri ilmu gadis itu.
"Fy..." ujar Gabriel tertahan.
"Hmm..." jawab Ify pendek, masih berkutat dengan pekerjaannya.
"Ajarin gue, boleh?" pinta Gabriel dengan agak ragu.
Ify menyimpan pensilnya. Melirik Gabriel. Ia mengangguk. Mengerjapkan mata. Tentu saja. Ia senang bisa membagi ilmunya pada Gabriel.
Ify mulai menjelaskan bagaimana pemecahan dari soal-soal itu pada Gabriel. Gabriel memperhatikan dengan seksama. Walau awalnya, dengan setengah hati, namun entah mengapa, saat ia melihat lesung pipi Ify, hatinya seutuhnya bersedia melakukan itu.
Oik yang ada di belakang mereka lekat mengamati. Ia tidak boleh membiarkan semuanya menjadi lebih kacau. Ify tidak boleh dianggap remeh.
***
Bersambung
*
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari