Lebih Dari Plester part 6B

Sabtu, 12 Mei 2012

Lebih Dari Plester part 6B



Mama Gabriel mengetuk pintu itu. Setelah kata ‘masuk’ samar terdengar dari dalam kamar, Mama memutar kenop pintu dan membukanya. Ify langsung disuguhkan pada sebuah ruangan bercat biru yang sangat rapi dan tertata. Namun tak ada siapa pun di sana. Empunya suara pun entah di mana. Lalu siapa yang tadi bersuara? Jangan-jangan mahluk halus. Kalau Gabriel kan mahluk kasar. Ify terkekeh sendiri.

“Ify masuk aja. Gabriel pasti lagi di balkon.” Mama menunjuk sebuah pintu penghubung kamar dengan balkon yang setengah terbuka. Ify mengangguk mengerti. Mama melengos undur diri.

Ify melangkah perlahan-lahan. Kedua matanya mengerjap-ngerjap. Mengamati setiap benda yang ada di kamar itu. Ify mendapati selimut, bantal serta guling bergambar dinosaurus. Lalu ia melirik meja belajar. Ify mendesah. Untung saja di sana tidak ada benda yang berbau dinosaurus. Kalau sampai didapatinya benda-benda itu di sana, Ify bisa saja mengira bahwa kamar Gabriel adalah museum dinosaurus.

Namun Ify harus meneguk ludah. Ketika ia melihat sebuah rak yang cukup besar yang terdapat di samping meja belajar. Di dalamnya diisi berbagai macam pernak-pernik dinosaurus., kebanyakan boneka. Ify menahan kuat-kuat tangannya untuk tidak bergerak meraih salah satu dari boneka-boneka menggemaskan itu. Ia tidak mau membuat Gabriel marah lagi. Maka ia mengabaikan boneka itu. Melanjutkan langkahnya kembali menuju balkon. Mungkin nanti, kalau Ify memintanya langsung pada Gabriel, ia bisa memiliki salah satu dari boneka itu. Bukan mencurinya seperti kemarin.

Benar kata Mama. Gabriel memang di sana. Berdiri di dekat pagar pembatas. Entah tengah melamunkan apa. Ify agak ragu untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia takut Gabriel akan marah lagi. Namun seketika, Ify kembali memantapkan niatnya ketika ia menatap punggung Gabriel yang nampak murung. Ia yakin, Gabriel pasti punya alasan mengapa ia bersikap kasar kepadanya. Bukan hanya semata-mata ia meneladani idolanya; dinosaurus. Mungkin Gabriel punya masalah. Dan mungkin, Ify bisa membantu menyelesaikannya. Ya, ia pasti bisa. Karena pada hakikatnya, untuk itulah Ify dikirimkan Tuhan pada kehidupan pemuda nelangsa itu. Agar ia tak lagi melakukan hal yang sia-sia. Menunggu masa lalu.

“G-Gabriel…” seru Ify tertahan. Bergerak lamat-lamat menuju pagar pembatas. Berdiri di samping Gabriel.
Pemuda itu terhenyak. Suara lembut yang baru saja menggelitik telinganya membuyarkan seluruh lamunannya. Gabriel menoleh. Mendapati Ify mengerjapkan mata padanya. Wajah polosnya sangat kentara. Pemuda masih menangkap robekan luka yang masih tertera di sana. Hatinya mencelos. Tanpa diminta, bayangan gadis plester yang sedari tadi menjejali benaknya enyah seketika. Tergantikan ulasan senyum dari gadis di hadapannya. Baru kali ini ia menatap lekat-lekat wajah lugu itu. Dan ia baru sadar, bahwa gadis di hadapannya memiliki senyum yang sangat manis. Mempesona.

“Gabriel…” Ify berseru lagi.

Gabriel terkesiap. Membuang pandangannya kembali ke depan. Apa yang telah dilakukannya? Diam-diam ia merutuki dirinya sendiri karena telah terpesona pada siluet gadis itu. Sebisa mungkin, ia tak akan mengulangi hal yang sama.

Wajah Gabriel tiba-tiba memerah. Ketar-ketir setengah mati ia menutupinya. “Apa? Ngapain lo di sini?” tanya Gabriel dengan nada sedater mungkin. Berusaha menutupi kegelisahan yang merayapi hatinya, entah karena apa.Top of For

“Aku…” Ify menghela nafas. “Aku mau minta maaf. Maaf udah nyuri plester kamu. Aku ga tahu kalau plester itu berharga banget buat kamu.” Ify menunduk dalam.

Gabriel berdecak. Setelah ia menenangkan diri di balkon selama lebih dari satu jam, emosinya perlahan teredam. “Makanya, jangan sok tahu!” ujar Gabriel dengan nada masih terdengar datar. Namun kali ini, terkesan dipaksakan.

“Jadi?” Ify menggoyang-goyangkan lengan Gabriel.

Empunya lengan mendelik pada Ify. Ify langsung melepaskan tangannya dari lengan Gabriel. Nyengir seraya bercicit ‘maaf’.

Gabriel kembali memandang lurus ke depan. “Udah gue maafin. Sekarang, lo bisa pergi.” ujar Gabriel. Tersirat ketidaksukaannya terhadap kehadiran Ify. Bukan. Ia bukan tidak suka pada Ify. Ia hanya teringat akan ucapan Oik. Kalau ia sampai menyukai Ify, semua penantiannya selama ini akan kacau. Dan ia juga pasti akan menyakiti gadis plesternya. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa dengan ia bersama gadis itu dalam waktu yang lama, akan membuatnya perlahan menyukai gadis itu. Ia tidak mau dan tidak boleh menyukai Ify. Walau ia tahu, rasa itu tak pernah bisa ditepis. Sehebat apa pun ia.

“Tunggu.” Ify mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Lantas menyerahkannya pada Gabriel.

Gabriel melirik benda tersebut. Lantas berpaling memicingkan mata pada Ify. Apa? Ia menatap bertanya.

“Plester. Aku tahu, sebanyak apa pun plester yang aku kasih ke kamu, itu ga akan cukup. Tapi tolong! Biarin aku membayar kesalahan aku. Meskipun aku ga akan bisa melunasinya.” Ify meraih tangan Gabriel. Meletakkan sekantong plester itu pada telapak tangan Gabriel yang telah dipaksanya untuk terbuka. “Kamu terima ya!” ujar Ify memelas.

Gabriel tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan terpaksa, ia menerima plester tersebut. Kembali membuang muka setelah bergumam ‘terimakasih’ pelan. “Sekarang, lo pergi!” Gabriel tetap tidak menghendaki kehadiran Ify.

“Tunggu! A…” Baru saja Ify membuka mulutnya, Gabriel menyela.

“Apa lagi sih lo?” kata Gabriel dengan agak membentak. Membuat Ify  terhenyak. Tubuhnya gemetar ketakutan.

Pemuda itu mendesah. Lupa. Seharusnya ia tidak boleh bersikap kasar lagi pada gadis polos itu. Peraturan itu dibuatnya sendiri.. “Maaf! Ada apa?” tanya Gabriel. Kali ini nadanya mulai melemah.

Wajah Ify berubah seketika. Matanya yang tak berhenti mengerjap berbinar ceria. Terburu ia merogoh tasnya. Mengeluarkan beberapa buku bersampul coklat miliknya. “Banyak PR buat besok. Mau nyalin?”

Gabriel berdecak. Mengapa dalam keadaan seperti ini saja, Ify masih memikirkan hal kecil seperti PR. Pantas saja ia pintar. “Ayo!” Gabriel menarik lengan Ify ke kamarnya.

Gabriel tidak ingin kalah oleh Ify. Maka dari itu, ia menyalin semua PR lengkap dengan catatan dari mata pelajaran yang ditinggalkannya tadi. Ia memilih mengerjakannya di atas karpet. Agar terkesan santai. Sementara itu, Ify duduk bersila di samping Gabriel.

Sesekali, Ify memberikan penjelasan tentang materi yang belum dimengerti oleh Gabriel. Gabriel mengangguk mengerti. Sepertinya mereka cocok untuk menjadi sepasang sahabat. Atau lebih mungkin. Seperti… kekasih?

Gabriel terkesiap ketika ia tertangkap basah sedang menatap lekat-lekat profil wajah Ify. Sedangkan Ify hanya tertawa menyeringai. Melanjutkan kembali penjelasannya.

Nampaknya memandangi wajah Ify menjadi sesuatu yang menyenangkan. Karena setelah Ify memergokinya melakukan hal itu pun, Gabriel tidak jera. Kini ia melakukannya kembali. Tanpa sadar, ia menciptakan seulas senyum di wajahnya. Entah karena dan untuk apa. Diam-diam, rasa yang dihindarinya berbalik memburunya.

Dan ketika itu, Gabriel kembali menemukan bekas luka cakaran pada wajah Ify. Cakaran tangannya. Hatinya mencelos seketika. Rasa bersalah merayapi dinding hatinya. Ia juga merasa malu. Ify saja yang sebenarnya kesalahannya hanya sebesar biji sawi, berusaha untuk membayarnya. Sementara dirinya? Ah. Lelaki macam apa dia? Lelaki sejati adalah lelaki yang berani mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya dan membayar lunas semuanya.

Gabriel berjingkat dari duduknya. Melengos pergi entah kemana. Ify belum sempat mencegahnya. Ia mengangkat bahu.

Tak lama kemudian, Gabriel kembali dengan sebuah handuk kecil yang terlebih dahulu dibasahinya. Ia duduk kembali di hadapan Ify.

Ify hendak bertanya untuk apa handuk tersebut, ketika Gabriel langsung mendekatkan wajahnya pada wajah Ify. Awalnya, Ify takut Gabriel akan melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya. Namun rasa takut itu seketika sirna, ketika Gabriel membersihkan luka di wajah Ify oleh handuk yang dibawanya. Ia menghapus habis darah yang mengerak di antaranya.

Belum selesai. Gabriel mengambil sebuah plester dari kantong plester pemberian Ify. Plester yang ternyata bergambar dinosaurus juga. Sejenak Gabriel terpana. Ia lalu membukanya. Lantas menempelkannya pada area luka. Sehingga bekas cakaran itu tak lagi kentara.

Ify mengucapkan terimakasih dengan takzim. Matanya terus mengerjap.

Kerjapan itu mengingatkan Gabriel akan sesuatu yang lain yang menyebabkan Ify selalu saja mengerjap-ngerjapkan mata. Mungkin, ia tidak terbiasa melihat tanpa kacamata. Ya, kacamata yang telah dirusaknya menjadi dua.

“Kacamata lo mana?” tanya Gabriel.

“Hah? Eh iya…” Ify mengeluarkan kacamatanya dari saku kemeja. Tanpa bertanya, menyerahkannya pada Gabriel.

Mungkin, hal yang kini akan dilakukannya dapat menebus semua kesalahannya. Gabriel mengambil satu plester lagi dengan gambar yang masih sama –hanya warnanya saja yang berbeda, kali ini ia mengambil yang berwana merah muda. Gabriel menggunakan plester itu untuk menggabungkan kembali kedua bagian kacamata yang terpisah. Sejurus kemudian, ia memasangkannya sendiri untuk Ify. Sempurna. Ya. Gadis itu sempurna cantiknya.

Melihat wajah Ify yang polos, membuat Gabriel tak bisa lagi mengalihkan pandangannya. Bahkan untuk sekedar bekedip saja ia enggan. Telunjuknya menapaki setiap inci wajah Ify. Dari kening, pelipis, pipi, pada akhirnya sampai pada ujung dagu runcing Ify. Wajah Ify membuatnya lupa segalanya. Lupa bahwa sampai saat ini, ia masih terjebak dalam penantian semu.

Dering ponsel membuat keduanya terkesiap. Gabriel menggaruk tengkuknya. Wajahnya memerah; salah tingkah. Sementara Ify langsung meraih ponselnya. Mendapati sebuah pesan dari sang Mama. Memintanya untuk segera pulang.

“Aku harus pulang.” ujar Ify.

“Oke, gue antar lo pulang. Tunggu ya!” Gabriel melengos.

Ify mendesah. Kenapa Gabriel sangat gemar membuatnya bingung? Sekarang, mau kemana lagi pemuda itu? Ify mengulum bibir. Memutuskan untuk bangkit dan mendekati rak dengan banyak sekali boneka dinosaurus di sana. Ify mengamatinya satu persatu. Semuanya lucu. Ia sempat berkhayal dapat memiliki salah satu.

Gabriel datang mengejutkan. Pemuda itu mendapati Ify tengah berada di dekat rak bonekanya. Namun kali ini, ia tidak memarahi gadis itu. Biarkan saja. Toh, ia tidak mengusik benda-benda masa lalunya. Gabriel mengedikan kepala. Mengajak Ify untuk segera bergegas.

Ify mengangguk. Mengikuti langkah Gabriel. Setelah mereka berpamitan pada mama Gabriel, mereka langsung keluar rumah. Gabriel mengambil motornya di garasi. Sementara Ify menantinya di depan gerbang.
Ify langsung melompat naik ke atas motor, ketika Gabriel datang menghampirinya. Tanpa segan berpegangan pada pinggang Gabriel. Setelah itu, barulah Gabriel menancap gasnya. Melaju kencang. Membelah jalanan kota.

Dan semua yang dilakukan oleh Ify dan Gabriel tak pernah terlepas dari intaian mata-mata. Pemuda yang mengantar Ify ke rumah Gabriel tadi ternyata masih di sana. Menanti di sebuah warung nasi goreng. Ia bukan pemuda yang tidak bertanggung jawab. Jadilah ia tidak akan pergi sebelum memastikan sendiri bahwa Ify baik-baik saja. Ia tersenyum. Rasa was-was yang berpendar di hatinya hilang ketika ia melihat Ify tidak disakiti lagi oleh sahabatnya. Bahkan kini, mereka terlihat sangat akrab. Dan pemuda itu tak menyadari, bahwa di samping rasa lega, rasa sesak mendampingi.

Mata-mata yang lain ada di sana. Di balik gerbang rumahnya. Ia mendesah kentara. Bagaimana ini? Bagaimana ia memberitahu gadis plester itu tentang kekecauan yang perlahan mengembang?Bottom of F

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari