Lebih Dari Plester part 5

Jumat, 11 Mei 2012

Lebih Dari Plester part 5



Kalau saja ia bisa mengalahkan bayangan masa lalunya, ia bisa menata masa depannya dengan baik. Bukan seperti ini. Jiwa raga dan hatinya terjebak.

***

"Selesai!" Ify mendesah sesaat setelah mengerjakan PR-nya. Ia merentangkan tangannya. Menggeliat untuk menghilangkan pegal-pegal di tubuhnya akibat terlalu lama duduk membungkuk. Hampir tiga jam ia tidak berjingkat dari kursinya. Berkutat dengan beberapa buku tebal miliknya.

Gadis itu kemudian melirik sebuah kacamata yang telah patah menjadi dua. Tiga minggu sebelum ia menempati rumah barunya itu, kacamata itu terjatuh dan tak sengaja terinjak oleh temannya. Hingga kini, nasib kacamata itu menjadi sangat menyedihkan. Tergeletak pasrah di atas meja. Patah menjadi dua bagian. Ify menatap nanar. Matanya berkaca-kaca. Namun ia menahan kuat-kuat agar air matanya tidak terjatuh. Ia tak mau menyakiti sepasang mata kesayangannya dengan menangis.

Ify menggerakkan tangannya untuk meraih kacamata itu. Ia mengamatinya dengan seksama. Ify bisa menerima dengan ikhlas benda yang telah lama membantu penglihatannya itu rusak. Mungkin Tuhan mau agar ia tak bergantung lagi pada benda yang mungkin sekarang sudah tidak berguna lagi itu. Dan itulah sebabnya ia tidak memperbaiki kacamatanya. Ia juga menolak ketika mamanya hendak membelikan kacamata yang baru untuknya. Baginya, itu tak akan membantunya banyak.

"Ify, jangan lupa minum obat sayang!" sayup-sayup terdengar suara dari lantai satu. Ify tahu itu suara mamanya. Ini memang sudah jadwalnya sang mama mengingatkannya untuk meminum obat. Obat yang secara medis dapat membuatnya bertahan lebih lama dengan penyakit mematikan yang bersemayam dalam tubuh mungilnya.

"Iya Ma!" sahut Ify. Mengambil satu kaplet dari masing-masing botol obatnya. Ada tiga buah. Dan itu rutin diminumnya tiga kali sehari.

Ify menelan bulat-bulat tiga kaplet sekaligus. Menutupnya dengan seteguk air putih. Awalnya, ia paling anti dengan obat-obat. Apalagi alasannya kalau bukan karena rasanya pahit. Namun sekarang, ia bahkan tak bisa merasakan rasa pahit itu. Lidahnya telah kehilangan kesensitifannya dalam mengecap rasa pahit.

Ify kemudian melepas ikat rambutnya. Membiarkannya terurai. Ia bersyukur, penyakit itu tak membuat rambutnya rontok dan akhirnya botak seperti dalam sinetron-sinetron. Dari kecil, Ify sangat menyayangi rambut hitam nan legamnya.

Ify menguap, mulai mengantuk. Ia melirik weker birunya. Pukul sembilan lebih lima menit. Waktunya ia tidur. Menghempaskan tubuhnya pada tempat tidurnya yang empuk. Menarik selimut bergambar dora. Salah satu tokoh kartun favoritnya.

Baru saja Ify akan menekan saklar untuk mematikan lampu kamarnya, ia mendapati sebuah buku di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia baru ingat, ia belum sempat membaca buku itu. Tadi ketika ia hendak membacanya, Mama terlebih dahulu menyuruhnya makan. Ify mengambil buku itu. Baiklah. Sebelum tidur, ia akan membaca buku itu. Lagipula, kantuknya belum mencapai level tertinggi. Ify mengubah posisinya menjadi duduk dengan kaki berselonjor.

Ify mulai membuka buku itu. Di lembar pertama, ia menemukan gambar dinosaurus. Dan gambar dinosaurus lainnya ia dapati pada lembar kedua, ketiga, dan seterusnya. Ify mengangguk. Mengambil kesimpulan bahwa Gabriel menyukai dinosaurus. Ify juga mengerenyit. Kenapa Gabriel bisa menyukai dinosaurus? Padahal menurut Ify, dinosaurus tidak keren. Malah menyeramkan. Kucing dan kelinci lebih lucu.

Entah di halaman ke berapa, secarik kertas tempat dikristalkannya sebuah kenangan yang biasa dibilang foto, terjatuh ke pangkuannya. Ify mengerutkan kening. Menggapai foto itu. Foto Gabriel dengan seorang gadis. Di pojok kiri bawah, terdapat tanggal diambilnya foto itu. 5 juni 2009. Itu berarti, 3 tahun yang lalu. Ify terkikik. Pantas saja wajah Gabriel nampak berbeda. Di foto itu, ia tampak berseri. Senyum lebar membingkai wajah tampannya. Lantas, kini Ify bertanya-tanya dalam hati. Siapa gadis cantik itu? Adiknya? Atau... Ify mendesah kecewa. Pacarnya? Ify merasa dadanya perih seketika, entah karena apa.

Untungnya, perih itu tak bertahan lama. Karena setelahnya, Ify menemukan sebuah benda lain selain foto dalam sela kertas-kertas berwarna kusam itu. Plester kuning bergambar dinosaurus. Ify berdecak. Semuanya serba dinosaurus. Pantas saja Gabriel galak. Ya karena dia seperti dinosaurus.

Dan entah bagaimana awalnya, ia mempunyai ide dengan plester itu. Ia berjalan menuju meja belajarnya untuk mengambil kacamatanya yang patah. Ia tersenyum. Merekatkan kembali potongan kacamata itu dengan plester dinosaurus yang tadi ditemukannya. Senyum Ify semakin merekah ketika lilitan plester itu justru mempercantik kacamatanya. Ify meloncat kegirangan. Besok, ia bisa mengenakan kacamatanya lagi ke sekolah.

Ify tidak memikirkan akibat atas apa yang dilakukannya. Ify yakin, Gabriel tidak akan marah padanya hanya karena ia mengambil plester itu. Ify juga yakin plester itu tak seberapa penting bagi Gabriel. Pemuda itu pasti masih punya banyak. Lain kali, Ify juga akan meminta beberapa plester pada Gabriel. Habis, warna dan gambarnya lucu.

Dan Ify tak pernah tahu bagaimana plester itu menjadi benda paling berharga untuk Gabriel. Plester terakhir yang diberikan gadis itu padanya. Plester yang selalu mengukuhkan pertahanannya untuk tetap menunggu hingga detik ini.

Dan mungkin, dengan plester itu tak lagi ada dalam raihannya, penantian itu akan berakhir. Suka atau tidak.

***

"Pagi Ify cantik!" sapa Rio.

"Wah, Rio kece ga terlambat hari ini. Makin kece deh!" Ify tertawa menyeringai. Membetulkan posisi kacamatanya yang agak merosot.

Rio terkesiap. Baru menyadari gadis itu nampak berbeda dengan kacamata yang dikenakannya. Ify tidak terlihat culun dengan penampilannya. Ia malah terkesan polos dan manis.

"Kacamatanya keren tuh!" Rio memainkan alisnya.

Ify tertawa. "Iya dong!"

Obrolan ringan di pagi itu akhirnya terhenti ketika Gabriel masuk kelas dan menghampiri Ify serta Rio. Wajahnya tanpa ekspresi.

"Gue baru ingat, buku gue ketinggalan. Lo banting kemana Yo?" tanya Gabriel langsung. Ia tak mau berbasa-basi.

Rio menggaruk kepalanya. Buku? Ah, ia tak tahu bagaimana nasib buku itu setelah dilemparkannya kemarin. "Gue ga tahu!" ujar Rio santai.

"Lo tahu kan buku itu penting banget buat gue?" pekik Gabriel. Ia mengangkat kerah kemeja Rio. Tangannya sudah terangkat di udara. Kalau menyangkut benda yang ada kaitannya dengan gadis plesternya, ia tak akan segan memukul siapa pun. Tak terkecuali Rio, sahabat kentalnya.

Kepalan tangan itu lima centi lagi mencium wajah Rio, dan akhirnya berhenti pada jarak tersebut, saat Ify mengatakan "Stop!" dengan agak berteriak. Gabriel dan Rio bersamaan menatap Ify. Yang ditatapi segera merogoh sesuatu dari dalam tasnya.

"Buku ini, kan?" Ify menunjukkan buku yang baru dikeluarkannya dari dalam tas.

Gabriel secepat kilat merebut buku itu dengan kasar. Menatap bukunya. Setelah itu beralih menatap tajam pada Ify. "Lo baca isinya?" tanya Gabriel menyelidik.

Ify mengangguk perlahan. Takut melihat mata Gabriel yang memerah.

"Elo nemuin apa aja?" tanya Gabriel lagi.

"Foto..." Tubuh Ify mengejang.

"Cuma itu? Atau ada yang lain? JAWAB!" Gabriel berteriak. Membuat Ify semakin ketakutan. Hingga ia tak bisa mengatakan apa-apa.

"Lo apa-apaan sih Yel?" ujar Rio. Tidak terima sahabatnya itu membentak Ify.

"Lo ga usah ikut campur!" Gabriel mendesis. Matanya tetap menatap tajam pada Ify.

Sampailah ketika matanya menangkap sesuatu yang mengganjal pada kacamata yang baru pertama dikenakannya di sekolah barunya. Plester dinosaurusnya.

"Itu apa?" Rio menunjuk kacamata Ify. "Itu apa? Itu plester gue, kan? JAWAB ALYSSA SAUFIKA!"

Ify menggigit bibirnya. Kalu seseorang sudah mengucapkan nama lengkapnya, itu berarti orang itu sudah sangat marah terhadapnya. Maka nyalinya semakin menciut. Bahkan hanya untuk sekedar mengangguk saja ia tak berani.

Tanpa Ify menjawabnya, Gabriel sudah tahu bahwa plester itu memang miliknya. Ia mengambil kacamata yang masih dikenakan Ify dengan kasar. Kuku jarinya yang tajam merobek kulit bawah mata Ify. Gabriel langsung melepas plester itu. Hingga kacamata Ify terbagi dua kembali. Ia melempar kacamata itu pada Ify. Lantas pergi setelah bergumam, "Lo ga berhak ngelakuin itu. Ga pernah berhak."

Gabriel tak peduli. Ia membiarkan Ify meringis kesakitan dengan luka di bawah matanya. Semakin sakit ketika kacamatanya kembali bernasib menyedihkan. Kini, ia tak bisa lagi menahan air matanya. Tangis itu terlalu deras untuk dicegah. Pada akhirnya, kristal bening itu bersatu padu dengan darah yang keluar seiring kulitnya yang robek.

Lebih daripada itu, hatinyalah yang jauh lebih sakit.

"Ify, lo berdarah. Lo nangis? Pasti sakit ya? Kita ke UKS yuk! Obatin luka lo." Rio menyentuh wajah Ify.

"Ga pa-pa kok. Ini hukuman buat Ify, karena Ify udah nyuri plesternya Gabriel." Ify tersengal di antara ucapannya.

"Gue boleh peluk lo?" dan Rio tidak menunggu jawaban dari Ify. Ia langsung memeluk Ify tanpa segan. Telapak tangannya mengusap lembut puncak kepala Ify. "Jangan nangis. Tolong!" pintanya dalam hati.

Ify pun tidak menolak pelukan Rio. Dari awal ia menjadi salah satu siswa di sekolah itu, ia telah banyak mendapatkan kucuran kebaikan Rio.

Oik, gadis yang menjadi penonton dari setiap adegan dari drama memilukan itu pun tahu bahwa Rio bisa membantunya untuk menjaga Ify, sementara ia mengawasi Gabriel. Oik bukan gadis yang jahat, yang akan melakukan apa pun agar Gabriel tetap menunggu kedatangan gadis plester itu lagi. Termasuk menyakiti Ify yang sebenarnya tidak tahu menahu tentang semua masalah ini. Kini, gilirannya yang beraksi.

***

Oik menemukannya di sana. Di taman belakang sekolah. Permukaan tanahnya yang berada di atas, membuat pemandangan dari tempat ini menjadi sangat menarik. Walau hanya atap-atap rumah penduduk serta bentangan jalan tol. Gabriel paling suka menghabiskan waktu di sana. Kali ini pun sama. Pemuda itu tengah terduduk, menatap jauh menerawang. Buku kesayangannya ada di tangan kanan. Plester berharganya ia genggam di tangan kiri. Hatinya masih menyimpan keyakinan itu.

"Bentar lagi bel. Rio udah tobat. So, lo ga mau kan jadi titisan Rio? Dihukum bersihin toilet." ujar Oik. Ia berdiri beberapa langkah di belakang Gabriel.

"Mau apa lo? Gue ga akan bail ke kelas kalau cewek itu masih ada." Gabriel masih tetap menatap lurus ke depan. Sisa-sisa emosi masih membuncahi logikanya.

"Gue cuma mau bilang, cewek itu jauh lebih hebat dari yang lo kira. Makanya, lo jangan terlalu benci sama dia. Karena kalau suatu saat nanti lo suka sama dia, semuanya bakalan kacau." Oik melipat kedua tangannya di depan.

Gabriel terkekeh. Suka? Pada gadis itu? Tidak mungkin. Gabriel bisa memastikan bahwa dirinya tak akan jatuh cinta pada gadis menyebalkan itu. Ia bisa menjaga hatinya dengan baik.

Omong kosong. Menjaga plesternya saja ia tidak bisa. Apalagi menjaga hati yang tak pernah pasti. Bukankah pemuda itu pemuda yang ceroboh?

"Ayolah, dia ga mau lo jadi orang jahat. Dia ga mau lo nyakitin orang lain." kata Oik.

"Apa?" Gabriel berbalik dan menghampiri Oik. "Kenapa emang? Dia juga nyakitin gue. Terus kenapa gue ga boleh nyakitin orang lain?" Gabriel mengguncang tubuh Oik.

"Lo ga tahu apa-apa."

"Terus, apa yang lo tahu? Lo tahu kenapa dia pergi? Lo tahu sekarang dia ada di mana? Lo tahu kapan dia kembali?" Gabriel memberondong Oik dengan pertanyaan yang selama ini menjejali otaknya.

"Lo ga tahu bagaimana dia jadi orang yang paling sakit." Oik berusaha tenang.

"Kalau gitu, kasih tahu gue!"

"Nanti Yel. Nanti lo bakalan tahu." Oik menepuk pundak Gabriel.

"Nanti sama sekarang apa bedanya sih?" Gabriel mendesah frustasi. Ia menendang kerikil yang ada di ujung sepatunya.

"Dan lo juga harus tahu, kenapa waktu terbagi menjadi tadi, sekarang atau nanti." Oik melengos.

Sementara Gabriel terduduk di tanah. Apa yang akan didapatnya nanti? Nanti itu kapan? Kapan dia kembali?

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari