Tidak Butuh Judul [8]

Rabu, 20 April 2016

Tidak Butuh Judul [8]


Ify dikejutkan oleh kabar bahwa Alvin masuk rumah sakit. Setelah menyelesaikan perkuliahannya, ia segera pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan sahabatnya itu.
            
Dan gadis itu semakin dibuat terhenyak ketika mendapati kondisi Alvin yang sangat menyedihkan. Pemuda itu berbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya pucat pasi. Bercak-bercak merah terlihat di sekujur tubuhnya.
            

Ify mengeluh tertahan. Kemudian bergerak memutari ranjang. Mengambil kursi lalu duduk di sana. Menunggu Alvin membuka mata.
            
Suara getaran teredam dari ponselnya membuat Ify terkesiap. Gadis itu mengusap layar ponselnya, kemudian menempelkannya di telinga.
            
Ify belum sempat berkata halo, ketika Rio dari seberang sana memberondongnya dengan berbagai ungkapan penuh nada ketakutan.
            
“Fy, lo harus ke sini sekarang juga! Gue benar-benar butuh lo! Please! Penting banget! Gawat pokoknya!”
            
Ify membuka mulutnya. Hendak memberitahukan bahwa saat ini ia tidak bisa ke mana-mana. Ia harus menjaga Alvin. Tidak mungkin ia meninggalkan sahabatnya itu dalam keadaan seperti ini.

Tapi Rio tidak memberi kesempatan untuk Ify bicara. Pemuda itu begitu mendominasi. Terus menyudutkan Ify dengan kata ‘gawat’, ‘penting’ dan semua hal yang membuat Ify tidak tahu lagi harus melakukan apa.

“Please, Fy! Penting banget! Ini menyangkut hidup dan mati gue!” ujar Rio sebelum ia memutuskan sambungan teleponnya.

Ify mendengus kesal. Sialan! Rio pakai senjata menyangkut-hidup-dan-mati pula.  Gadis itu melirik Alvin sekilas. Sepertinya meninggalkan Alvin sebentar tidak akan membuat pemuda itu kejang-kejang.  Dan ini juga bukan maunya. Kalau tidak dalam keadaan mendesak, ia pun takkan pergi.  Rio sepertinya lebih membutuhkannya saat ini. Ia bahkan menaruhkan hidup dan matinya pada kedatangan Ify.

Gadis itu segera meninggalkan rumah sakit. Dengan menaiki ojek ia pergi menuju tempat di mana Rio berada. Mungkin pemuda itu sedang meregang nyawa sekarang.

Ify mengayunkan kakinya perlahan ketika melihat sosok Rio tengah berdiri di depan sebuah pusat perbelanjaan. Semakin dekat, Ify bisa melihat bahwa pemuda itu baik-baik saja. Tidak seperti seseorang yang sedang sekarat. Bahkan air mukanya terlalu tenang untuk seseorang yang tadi begitu panik meneleponnya.

“Akhirnya lo datang juga, Fy! Gue butuh lo banget.” ujar Rio sesaat setelah melihat penampakan Ify muncul di hadapannya.

“Minggu depan, perempuan yang paling gue sayang ulang tahun. Gue butuh lo buat temenin gue beli kado. Lo kan cewek, jadi lo pasti bisa bantuin gue pilih kado yang tepat.” lanjut Rio.

Ify menatap Rio tak percaya. Jadi, hanya untuk hal sepenting dan segawat ini ia meninggalkan Alvin? Hanya untuk sebuah kado ulang tahun perempuan yang bahkan Ify tak tahu siapa. Ify merasa hatinya mencelos seketika. Entah karena keputusannya meninggalkan Alvin yang ternyata salah, atau karena alasan lain. Ify pun tak tahu. Yang ia tahu, ada perasaan sakit dalam dadanya yang datangnya entah dari mana.

“Ayo!” Rio meraih tangan Ify. Hendak menarik gadis itu untuk ikut bersamanya ke dalam gedung pusat perbelanjaan.

Rio baru sadar bahwa Ify tidak memberikan respon apa-apa. Gadis itu diam di tempatnya seperti patung. Kedua matanya menatap begitu tajam. “Kenapa, Fy?”

Ify menepis tangan Rio dari tangannya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, seakan mengumpulkan segunung kekuatan untuk memuntahkan semua yang tiba-tiba membuncah dalam hatinya.

“Kak Rio tahu ga tadi aku lagi apa? Aku lagi jagain Alvin di rumah sakit. Dan aku ke sini, karena aku pikir kondisi Kakak lebih parah dari Alvin. Tapi apa? Ini yang Kakak bilang gawat? Yang Kakak bilang menyangkut hidup dan mati tuh begini? Aku ga nyangka nyawa Kakak seharga kado ulang tahun doang.” ucap Ify sarkatis.

Rio menggeleng pelan. “Fy, gue ga tahu. Lo tadi ga bilang.”

“Kakak ga kasih aku kesempatan bicara. Kakak cuma bilang gawat gawat, penting. Omong kosong!” Ify hampir menangis kalau saja tidak ia tahan kuat-kuat matanya yang memanas. Dari dulu, ia paling pantang menangis di hadapan orang. Gadis itu menghela napas lebih dalam. “Kakak kapan sih belajar untuk ga egois? Belajar untuk ga selalu mikirin diri Kakak sendiri. Kapan Kakak bakalan peduli sama orang-orang di sekitar Kakak?”

“Fy maaf gue ga bermaksud kayak gitu. Gue... Gue...”  Rio mengacak rambutnya. Gemas sendiri. Mengapa bibir dan lidahnya harus kelu pada saat seperti ini?

“Udah deh, Kak! Aku capek!” ucap Ify pada akhirnya. Kemudian berlalu dari sana. Kembali ke rumah sakit. Melakukan hal yang jauh lebih penting dari hanya sekadar membeli kado ulang tahun.

***

Ify memandangi wajah Alvin yang nampak tenang dalam ketidaksadaran. Terlihat berbeda tanpa kacamata. Bercak merah di wajahnya perlahan memudar. Pertanda bahwa kondisi pemuda itu mulai membaik.

Tapi keadaan itu ternyata tidak seiring sejalan dengan Ify. Gadis itu merasa sesuatu yang buruk terjadi pada dadanya. Semakin ia menatap wajah Alvin, semakin dirasanya sesak mencekat tenggorokan hingga dada. Teringat selalu pada kejadian beberapa saat lalu ketika dirinya meninggalkan Alvin sendiri hanya demi permintaan bodoh dari seorang Rio.

Alvin adalah sahabatnya. Pemuda itu selalu ada di setiap keadaan Ify. Duka atau bahagia, dia ada di sampingnya. Tapi justru dirinya malah pergi ketika untuk membuka mata saja Alvin tidak bisa. Ia merasa menjadi seorang pengkhianat.

Rio keterlaluan. Dia selalu memaksakan kehendaknya untuk jadi kenyataan. Tidak peduli ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu. Membeli kado untuk perempuan yang dicintainya? Memangnya Ify siapa sampai dimintai bantuan konyol macam itu?

Ify juga yang kelewat bodoh. Mau saja diminta melakukan apa pun oleh Rio. Memangnya Rio siapa menyuruh Ify melakukan ini itu? Membeli kado untuk perempuan yang bahkan tidak dikenal sama sekali olehnya? Oh tolong ya! Kalau mau minta tolong, yang lebih penting sedikit, boleh? Ify merengut kesal. Tiba-tiba ingin sekali memberikan tinjuan pada perempuan menyebalkan itu. Dasar ya! Mau ulang tahun saja harus merepotkan orang.

Arght! Ify mengerang tertahan. Tidak terlalu keras karena ia tahu di mana dirinya sekarang. Gadis itu kemudian menelungkupkan wajahnya di tempat tidur. Kemudian menangis di sana. Untuk semua perasaan bersalahnya terhadap Alvin, dan untuk akumulasi dari kekesalannya pada Rio.

Suara tangisan Ify ternyata berhasil membuat kesadaran Alvin kembali. Pemuda itu menggerakan matanya. Bersiap untuk perlahan membuka indra pelihatnya itu.

Alvin dikejutkan oleh penampakan Ify yang tengah menangis tersedu di sampingnya. Pemuda itu berdecak. Dirinya belum mati. Mengapa pula harus ditangisi?

Ify mendengar decakan Alvin. Gadis itu kemudian mendongakan kepala. Lalu mendapati Alvin tengah menjulurkan tangan untuk meraih kacamata yang ada di atas meja dekat tempat tidur.

"Alvin, kamu udah sadar? Syukurlah!" ujar Ify dengan riang. Gadis itu menepis air mata terakhir yang jatuh dari pelupuknya.

"Segitu khawatirnya ya sama aku? Sampai nangis begitu. Tenang, Fy! Aku cuma alergi." ujar Alvin santai setelah mengenakan kembali kacamatanya.

Ify terkekeh pelan. Memilih untuk tidak meralat ucapan Alvin. Meskipun ia tahu bahwa tangisan itu bukan sepenuhnya untuk Alvin.

"Tahu dari siapa aku masuk rumah sakit?"

"Ibu kost. Gila ya! Udah tahu alergi udang, masih aja dimakan. Bebal banget sih!" omel Ify.

"Ga sengaja. Hehe. Abisan enak." tukas Alvin.

Ify memberengut."Katanya mau jadi ilmuwan, tapi sama udang aja kalah. Payah!" cibir Ify.

Alvin hendak menimpali. Namun ia urung ketika mendengar ponsel Ify berdering dan gadis itu langsung menempelkan sang ponsel di telinganya.
            
“Halo, Gab!” ucap Ify pelan. Suaranya terdengar agak parau.
            
“Lagi di mana, Fy? Tiba-tiba aku khawatir sama kamu.” tukas Gabriel dari ujung telepon.
            
Diam-diam Ify menghembuskan napas lega. Entah mengapa sesak di dadanya menghilang seketika saat mendengar suara Gabriel. “Aku di rumah sakit. Alvin lagi sakit soalnya.”

 “Tapi kamunya ga apa, kan?” tanya Gabriel lagi, memastikan.
            
“Aku baik-baik kok! Serius!” ujar Ify. Hanya saja tadi hatiku sakit sekali. Diam-diam gadis itu melanjutkan.
           
“Aku kangen kamu, Cinta.” celetuk Gabriel tiba-tiba.
           
Seketika Ify menitikan air mata. Terharu sekali mendengar seutas kalimat dengan sisipan panggilan sayang yang diucapkan kekasihnya itu dengan begitu tulus. Kalimat yang mampu melebur semua perih yang sebelumnya bersarang di dadanya. Sudah lama ia tidak dibuat menangis bahagia oleh Gabriel. Salahnya juga! Akhir-akhir ini ia sering melewatkan telepon dari Gabriel karena pemuda itu menelepon di saat ia tengah bersama Rio. Rio tidak suka kalau Ify mengangkat telepon ketika sedang bersamanya. Bodohnya lagi, Ify mau saja menuruti permintaan Rio untuk tidak mengacuhkan Gabriel –mungkin memang bukan begitu maksudnya-.
            
“Jangan khawatir! Memangnya aku enggak?” ucap Ify dengan suara bergetar. Air mata semakin deras mengalir membelah pipi pualamnya.
            
Ify gemetar memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas setelah sambungan teleponnya dengan Gabriel terputus. Gadis itu sesenggukan. Air matanya tak tertahankan.
            
Alvin mengerenyit bingung melihat Ify yang tiba-tiba menangis. Ia yakin yang menelepon Ify barusan adalah Gabriel. Tapi bukankah Ify akan tertawa terbahak-bahak kalau mendapatkan telepon dari pacarnya itu? Lalu mengapa sekarang malah sebaliknya?
            
“Fy, Gabriel ngapain kamu?” tanya Alvin. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada hubungan mereka.
            
“G-Gabriel panggil aku Cinta.” ujar Ify. Kemudian tiba-tiba tawanya meledak seperti mercon. Gadis itu tertawa sekaligus menangis.
            
Alvin berdecak. “Ya elahhh, kirain apa!”
            
“Udah hampir dua tahun pacaran, baru kali ini dia panggil aku Cinta.” Ify memegangi dadanya yang entah mengapa terasa begitu lapang. Seakan tidak pernah ada kepedihan tinggal di sana.
            
“Vin, aku mau bikin pengakuan. Kamu jadi saksinya ya!” Ify menghirup udara dalam-dalam. “Aku cinta banget sama Gabriel. Kalau dalam tubuh aku ada ginjal, hati, paru-paru, jantung, usus, dan organ lainnya, aku tahu ada satu organ yang namanya Gabriel. Di mana tanpa dia, aku ga akan pernah sempurna.”
            
Alvin menatap Ify dengan penuh keterpanaan. Tidak pernah ia mendapati seseorang yang mencinta sebegitu dalam selain gadis di hadapannya. Dan mungkin kekhawatirannya selama ini sama sekali tak ada artinya. Lihatlah betapa Ify mencintai Gabriel sebesar ia mencintai hidupnya! Lihatlah bahwa air mata tadi adalah bukti nyata. Bahkan hanya dipanggil ‘cinta’ oleh orang yang dicintainya, bisa-bisanya membuat orang yang tengah jatuh cinta menangis sejadinya.
            
“Fy, kok lebay ya?” gurau Alvin. Membuat Ify merengut sejenak. Namun detik berikutnya gadis itu kembali tertawa.

***
bersambung