Tidak Butuh Judul [8]
Ify dikejutkan oleh kabar bahwa Alvin masuk rumah sakit.
Setelah menyelesaikan perkuliahannya, ia segera pergi ke rumah sakit untuk
melihat keadaan sahabatnya itu.
Dan gadis
itu semakin dibuat terhenyak ketika mendapati kondisi Alvin yang sangat
menyedihkan. Pemuda itu berbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya pucat
pasi. Bercak-bercak merah terlihat di sekujur tubuhnya.
Ify
mengeluh tertahan. Kemudian bergerak memutari ranjang. Mengambil kursi lalu
duduk di sana. Menunggu Alvin membuka mata.
Suara
getaran teredam dari ponselnya membuat Ify terkesiap. Gadis itu mengusap layar
ponselnya, kemudian menempelkannya di telinga.
Ify belum
sempat berkata halo, ketika Rio dari seberang sana memberondongnya dengan
berbagai ungkapan penuh nada ketakutan.
“Fy, lo
harus ke sini sekarang juga! Gue benar-benar butuh lo! Please! Penting banget!
Gawat pokoknya!”
Ify membuka
mulutnya. Hendak memberitahukan bahwa saat ini ia tidak bisa ke mana-mana. Ia
harus menjaga Alvin. Tidak mungkin ia meninggalkan sahabatnya itu dalam keadaan
seperti ini.
Tapi Rio tidak memberi
kesempatan untuk Ify bicara. Pemuda itu begitu mendominasi. Terus menyudutkan
Ify dengan kata ‘gawat’, ‘penting’ dan semua hal yang membuat Ify tidak tahu
lagi harus melakukan apa.
“Please, Fy!
Penting banget! Ini menyangkut hidup dan mati gue!” ujar Rio sebelum ia
memutuskan sambungan teleponnya.
Ify mendengus
kesal. Sialan! Rio pakai senjata menyangkut-hidup-dan-mati pula. Gadis itu melirik Alvin sekilas. Sepertinya
meninggalkan Alvin sebentar tidak akan membuat pemuda itu kejang-kejang. Dan ini juga bukan maunya. Kalau tidak dalam
keadaan mendesak, ia pun takkan pergi.
Rio sepertinya lebih membutuhkannya saat ini. Ia bahkan menaruhkan hidup
dan matinya pada kedatangan Ify.
Gadis itu segera
meninggalkan rumah sakit. Dengan menaiki ojek ia pergi menuju tempat di mana
Rio berada. Mungkin pemuda itu sedang meregang nyawa sekarang.
Ify mengayunkan
kakinya perlahan ketika melihat sosok Rio tengah berdiri di depan sebuah pusat
perbelanjaan. Semakin dekat, Ify bisa melihat bahwa pemuda itu baik-baik saja.
Tidak seperti seseorang yang sedang sekarat. Bahkan air mukanya terlalu tenang
untuk seseorang yang tadi begitu panik meneleponnya.
“Akhirnya lo datang
juga, Fy! Gue butuh lo banget.” ujar Rio sesaat setelah melihat penampakan Ify
muncul di hadapannya.
“Minggu depan,
perempuan yang paling gue sayang ulang tahun. Gue butuh lo buat temenin gue
beli kado. Lo kan cewek, jadi lo pasti bisa bantuin gue pilih kado yang tepat.”
lanjut Rio.
Ify menatap Rio tak
percaya. Jadi, hanya untuk hal sepenting dan segawat ini ia meninggalkan Alvin?
Hanya untuk sebuah kado ulang tahun perempuan yang bahkan Ify tak tahu siapa.
Ify merasa hatinya mencelos seketika. Entah karena keputusannya meninggalkan
Alvin yang ternyata salah, atau karena alasan lain. Ify pun tak tahu. Yang ia
tahu, ada perasaan sakit dalam dadanya yang datangnya entah dari mana.
“Ayo!” Rio meraih
tangan Ify. Hendak menarik gadis itu untuk ikut bersamanya ke dalam gedung
pusat perbelanjaan.
Rio baru sadar
bahwa Ify tidak memberikan respon apa-apa. Gadis itu diam di tempatnya seperti
patung. Kedua matanya menatap begitu tajam. “Kenapa, Fy?”
Ify menepis tangan
Rio dari tangannya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, seakan mengumpulkan
segunung kekuatan untuk memuntahkan semua yang tiba-tiba membuncah dalam hatinya.
“Kak Rio tahu ga
tadi aku lagi apa? Aku lagi jagain Alvin di rumah sakit. Dan aku ke sini,
karena aku pikir kondisi Kakak lebih parah dari Alvin. Tapi apa? Ini yang Kakak
bilang gawat? Yang Kakak bilang menyangkut hidup dan mati tuh begini? Aku ga nyangka
nyawa Kakak seharga kado ulang tahun doang.” ucap Ify sarkatis.
Rio menggeleng
pelan. “Fy, gue ga tahu. Lo tadi ga bilang.”
“Kakak ga kasih aku
kesempatan bicara. Kakak cuma bilang gawat gawat, penting. Omong kosong!” Ify
hampir menangis kalau saja tidak ia tahan kuat-kuat matanya yang memanas. Dari
dulu, ia paling pantang menangis di hadapan orang. Gadis itu menghela napas
lebih dalam. “Kakak kapan sih belajar untuk ga egois? Belajar untuk ga selalu
mikirin diri Kakak sendiri. Kapan Kakak bakalan peduli sama orang-orang di
sekitar Kakak?”
“Fy maaf gue ga
bermaksud kayak gitu. Gue... Gue...” Rio
mengacak rambutnya. Gemas sendiri. Mengapa bibir dan lidahnya harus kelu pada
saat seperti ini?
“Udah deh, Kak! Aku
capek!” ucap Ify pada akhirnya. Kemudian berlalu dari sana. Kembali ke rumah
sakit. Melakukan hal yang jauh lebih penting dari hanya sekadar membeli kado
ulang tahun.
***
Ify memandangi wajah Alvin yang nampak tenang dalam
ketidaksadaran. Terlihat berbeda tanpa kacamata. Bercak merah di wajahnya perlahan
memudar. Pertanda bahwa kondisi pemuda itu mulai membaik.
Tapi keadaan itu ternyata tidak seiring sejalan dengan Ify.
Gadis itu merasa sesuatu yang buruk terjadi pada dadanya. Semakin ia menatap
wajah Alvin, semakin dirasanya sesak mencekat tenggorokan hingga dada. Teringat
selalu pada kejadian beberapa saat lalu ketika dirinya meninggalkan Alvin
sendiri hanya demi permintaan bodoh dari seorang Rio.
Alvin adalah sahabatnya. Pemuda itu selalu ada di setiap
keadaan Ify. Duka atau bahagia, dia ada di sampingnya. Tapi justru dirinya
malah pergi ketika untuk membuka mata saja Alvin tidak bisa. Ia merasa menjadi
seorang pengkhianat.
Rio keterlaluan. Dia selalu memaksakan kehendaknya untuk
jadi kenyataan. Tidak peduli ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu.
Membeli kado untuk perempuan yang dicintainya? Memangnya Ify siapa sampai
dimintai bantuan konyol macam itu?
Ify juga yang kelewat bodoh. Mau saja diminta melakukan apa
pun oleh Rio. Memangnya Rio siapa menyuruh Ify melakukan ini itu? Membeli kado
untuk perempuan yang bahkan tidak dikenal sama sekali olehnya? Oh tolong ya!
Kalau mau minta tolong, yang lebih penting sedikit, boleh? Ify merengut kesal.
Tiba-tiba ingin sekali memberikan tinjuan pada perempuan menyebalkan itu. Dasar
ya! Mau ulang tahun saja harus merepotkan orang.
Arght! Ify mengerang tertahan. Tidak terlalu keras karena ia
tahu di mana dirinya sekarang. Gadis itu kemudian menelungkupkan wajahnya di
tempat tidur. Kemudian menangis di sana. Untuk semua perasaan bersalahnya
terhadap Alvin, dan untuk akumulasi dari kekesalannya pada Rio.
Suara tangisan Ify ternyata berhasil membuat kesadaran Alvin
kembali. Pemuda itu menggerakan matanya. Bersiap untuk perlahan membuka indra
pelihatnya itu.
Alvin dikejutkan oleh penampakan Ify yang tengah menangis
tersedu di sampingnya. Pemuda itu berdecak. Dirinya belum mati. Mengapa pula
harus ditangisi?
Ify mendengar decakan Alvin. Gadis itu kemudian mendongakan
kepala. Lalu mendapati Alvin tengah menjulurkan tangan untuk meraih kacamata
yang ada di atas meja dekat tempat tidur.
"Alvin, kamu udah sadar? Syukurlah!" ujar Ify
dengan riang. Gadis itu menepis air mata terakhir yang jatuh dari pelupuknya.
"Segitu khawatirnya ya sama aku? Sampai nangis begitu.
Tenang, Fy! Aku cuma alergi." ujar Alvin santai setelah mengenakan kembali
kacamatanya.
Ify terkekeh pelan. Memilih untuk tidak meralat ucapan
Alvin. Meskipun ia tahu bahwa tangisan itu bukan sepenuhnya untuk Alvin.
"Tahu dari siapa aku masuk rumah sakit?"
"Ibu kost. Gila ya! Udah tahu alergi udang, masih aja
dimakan. Bebal banget sih!" omel Ify.
"Ga sengaja. Hehe. Abisan enak." tukas Alvin.
Ify memberengut."Katanya mau jadi ilmuwan, tapi sama
udang aja kalah. Payah!" cibir Ify.
Alvin hendak
menimpali. Namun ia urung ketika mendengar ponsel Ify berdering dan gadis itu
langsung menempelkan sang ponsel di telinganya.
“Halo,
Gab!” ucap Ify pelan. Suaranya terdengar agak parau.
“Lagi di
mana, Fy? Tiba-tiba aku khawatir sama kamu.” tukas Gabriel dari ujung telepon.
Diam-diam
Ify menghembuskan napas lega. Entah mengapa sesak di dadanya menghilang
seketika saat mendengar suara Gabriel. “Aku di rumah sakit. Alvin lagi sakit
soalnya.”
“Tapi
kamunya ga apa, kan?” tanya Gabriel lagi, memastikan.
“Aku
baik-baik kok! Serius!” ujar Ify. Hanya saja tadi hatiku sakit sekali.
Diam-diam gadis itu melanjutkan.
“Aku kangen
kamu, Cinta.” celetuk Gabriel tiba-tiba.
Seketika
Ify menitikan air mata. Terharu sekali mendengar seutas kalimat dengan sisipan
panggilan sayang yang diucapkan kekasihnya itu dengan begitu tulus. Kalimat
yang mampu melebur semua perih yang sebelumnya bersarang di dadanya. Sudah lama
ia tidak dibuat menangis bahagia oleh Gabriel. Salahnya juga! Akhir-akhir ini
ia sering melewatkan telepon dari Gabriel karena pemuda itu menelepon di saat
ia tengah bersama Rio. Rio tidak suka kalau Ify mengangkat telepon ketika
sedang bersamanya. Bodohnya lagi, Ify mau saja menuruti permintaan Rio untuk
tidak mengacuhkan Gabriel –mungkin memang bukan begitu maksudnya-.
“Jangan
khawatir! Memangnya aku enggak?” ucap Ify dengan suara bergetar. Air mata
semakin deras mengalir membelah pipi pualamnya.
Ify gemetar
memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas setelah sambungan teleponnya dengan
Gabriel terputus. Gadis itu sesenggukan. Air matanya tak tertahankan.
Alvin
mengerenyit bingung melihat Ify yang tiba-tiba menangis. Ia yakin yang
menelepon Ify barusan adalah Gabriel. Tapi bukankah Ify akan tertawa
terbahak-bahak kalau mendapatkan telepon dari pacarnya itu? Lalu mengapa
sekarang malah sebaliknya?
“Fy,
Gabriel ngapain kamu?” tanya Alvin. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada
hubungan mereka.
“G-Gabriel
panggil aku Cinta.” ujar Ify. Kemudian tiba-tiba tawanya meledak seperti
mercon. Gadis itu tertawa sekaligus menangis.
Alvin
berdecak. “Ya elahhh, kirain apa!”
“Udah hampir
dua tahun pacaran, baru kali ini dia panggil aku Cinta.” Ify memegangi dadanya
yang entah mengapa terasa begitu lapang. Seakan tidak pernah ada kepedihan
tinggal di sana.
“Vin, aku
mau bikin pengakuan. Kamu jadi saksinya ya!” Ify menghirup udara dalam-dalam.
“Aku cinta banget sama Gabriel. Kalau dalam tubuh aku ada ginjal, hati,
paru-paru, jantung, usus, dan organ lainnya, aku tahu ada satu organ yang
namanya Gabriel. Di mana tanpa dia, aku ga akan pernah sempurna.”
Alvin
menatap Ify dengan penuh keterpanaan. Tidak pernah ia mendapati seseorang yang
mencinta sebegitu dalam selain gadis di hadapannya. Dan mungkin kekhawatirannya
selama ini sama sekali tak ada artinya. Lihatlah betapa Ify mencintai Gabriel
sebesar ia mencintai hidupnya! Lihatlah bahwa air mata tadi adalah bukti nyata.
Bahkan hanya dipanggil ‘cinta’ oleh orang yang dicintainya, bisa-bisanya
membuat orang yang tengah jatuh cinta menangis sejadinya.
“Fy, kok
lebay ya?” gurau Alvin. Membuat Ify merengut sejenak. Namun detik berikutnya
gadis itu kembali tertawa.
***
bersambung