Tidak Butuh Judul [7]
Tok... tok... tok... Rio mendesah kentara setelah mengetuk
pintu yang ada di hadapannya. Ia menunggu dengan gusar pintu itu terbuka.
Menyiapkan diri ketika seseorang yang entah mengapa sejak tadi pagi
dipikirkannya menyembul dari sana.
“Eh, Kak
Rio. Ada apa?” tanya Ify sesaat setelah membuka pintu. Agak terkejut mendapati
Rio di sana.
Rio
menggaruk tengkuknya. Tersenyum menyeringai. “Gue... Emm...” pemuda itu
menggigit bibir. Lupa tujuan utamanya bertamu pada apartemen sang tetangga.
Ify
memandangi wajah Rio dengan bingung. “Iya, Kak?”
Rio tersenyum
sekali lagi. “Hari ini lo mau ngapain?”
“Hari ini
aku mau buat kue sih,” tukas Ify.
Rio sontak
membelalakan matanya. “Nah! Gue ke sini mau lihat lo buat kue. Boleh?”
Ify
mengangguk pelan. “Boleh sih! Ya udah yuk masuk, Kak!” gadis itu menyingkir.
Memberi jalan pada Rio.
Pemuda itu
melangkah masuk. Melintasi Ify dan berjalan mendahului ke dapur. Sementara Ify
mengekorinya dari belakang setelah sebelumnya menutup kembali pintu
apartemennya.
Rio
langsung mengambil posisi duduk di belakang meja makan. Sedangkan Ify bergerak
ke arah seberang lain meja. Kemudian kembali berkutat dengan adonan kue yang
tadi sempat ditinggalkannya ketika terdengar bunyi ketukan pintu.
Rio
mengamati setiap gerak-gerik Ify dengan seksama. Cara gadis itu memecahkan telur,
mencampur teriga, menuangkan adonan ke dalam loyang, hingga gerakan kecil saat
gadis itu menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga atau mengusap peluh
di dahinya.
Dan sejak
saat itu, Rio tahu semuanya tak lagi sama. Ada sesuatu yang berbeda. Setidaknya
itulah yang dirasakan oleh seorang Rio. Setelah pagi itu ia menemukan dirinya
sendiri di kamar apartemen gadis itu, banyak hal dalam dirinya yang berubah.
Rio memang
tidak lantas menjadi pemuda ramah yang mengumbar senyum kepada semua orang yang
ditemuinya. Ia masih jadi Rio si senior yang disegani di kampus. Aksen
bicaranya juga masih sama. Terdengar angkuh dan pongah. Tapi ia tidak sekasar
dulu. Tidak pernah lagi membentak-bentak orang.
Tidak pernah lagi bersikap sok berkuasa.
Rio sadar
mengapa dirinya bisa berubah. Sedikit banyak karena Ify. Gadis yang dulu selalu
diperlakukan buruk olehnya, yang tiba-tiba hanya dalam kurun waktu kurang dari
satu hari satu malam bimsalabim meniupkan angin segar dalam hidupnya.
Menurut
Rio, Ify gadis yang baik. Oh kalau tidak baik dia tidak akan sudi menolongnya
malam itu, membebat lukanya, membuatkannya sup, dan mengingatkannya tentang
pelajaran masa kecilnya. Ify juga gadis yang pintar. Rio suka mengobrol
dengannya. Apalagi tentang disney. Sudah tiga sabtu malam yang pemuda itu
habiskan bersama Ify hanya untuk mengobrol panjang lebar di cafe dekat
apartemen mereka.
Ify membuat
Rio seperti hidup kembali setelah sebelumnya ia dibunuh oleh Sivia. Rio memang
tidak mencintai Ify seperti ia mencintai Sivia. Tapi Ify bisa jadi teman
untuknya. Ia bisa melakukan apa saja bersama gadis itu. Menonton film terbaru
atau hanya sekadar memutar koleksi DVD disney milik Ify. Membuat kue (tentunya
hanya Ify yang membuat, Rio sebagai tim icip saja). Datang ke pameran lukisan.
Baru-baru ini, Ify juga mengajaknya untuk ikut mengajar di sebuah sekolah
pengabdian. Jangan salah kaprah ya! Meskipun galak, kalau pada anak-anak, Rio
bisa juga bersikap manis. Ify juga memberikan Rio teman baru. Kadang, dia turut
pula bergabung dalam kegiatan-kegiatan menyenangkan Rio dan Ify. Namanya
A...A... Siapa ya? Ah, Rio memang paling susah kalau mengingat nama orang.
Kalau tidak salah sih Arifin.
Rio
menyadari sesuatu, bahwa kehadiran Ify dalam hidupnya membuat ia perlahan
melupakan sakit hatinya terhadap Sivia. Sedikit demi sedikit ia mulai belajar
menerima, bahwa Sivia mungkin memang bukan yang terbaik untuknya. Meskipun
sampai sekarang ia masih tidak rela Sivia jatuh ke dalam pelukan lelaki yang
tidak lebih baik darinya.
Satu yang
membuat Rio nyaman berteman dengan Ify adalah setiap kali melihat gadis itu, ia
seperti melihat mamanya. Apalagi ketika gadis itu tengah memasak. Benar-benar
duplikat mama. Ia jadi tidak tahan untuk memeluknya dari belakang. Eh?
Rio memang
tidak mencintai Ify seperti dirinya mencintai Sivia. Tapi bersama Ify semuanya
terasa begitu mudah. Dengan gadis itu, ia temukan lagi dirinya yang
sesungguhnya.
***
Ify sedang
menunggui angkot, ketika tiba-tiba seseorang datang mengejutkannya. Sudah
beberapa hari ini, semua yang terjadi memberikan efek kejut terhadapnya.
“Ke
kampus?” tanya Rio.
“Iya, Kak.”
ujar Ify seraya membenahi rambutnya yang berkibar-kibar tertiup angin.
“Naik apa?”
“Angkot.”
tukas Ify singkat.
“Bareng ya?
Mobil gue masuk bengkel nih!” ucap Rio dengan nada menyesal.
Ify cuma
bisa melongo ketika mendengar bahwa Rio hendak menaiki angkot juga bersamanya.
Sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu sudi untuk naik angkutan sejuta
umat itu. Mungkin dia tak tahu bahwa di dalam angkot banyak sekali
manusia-manusia ajaib, dari ibu-ibu yang membawa sekarung sayuran hingga
bapak-bapak yang rajin sekali membawa ayam berjalan-jalan. Ify tidak yakin Rio
akan bertahan.
Lima belas
menit kemudian barulah Ify tahu bahwa dugaannya salah. Rio bisa bertahan hingga
kampus. Ia kuat bergumul dengan penumpang angkot yang lain. Sepanjang
perjalanan, pemuda itu asyik bercerita. Tidak Ify dengar keluhan meluncur dari
mulut pemuda itu.
Semuanya terlalu
mengejutkan untuk bisa Ify terima begitu saja. Dua hari yang lalu, ia menemukan
Rio terbujur di depan apartemennya. Esoknya, ia menghabiskan semalaman untuk
mengobrol bersama pemuda sombong itu. Kemarin, dia berkunjung ke apartemennya,
menemaninya membuat kue. Lalu sekarang, tiba-tiba entah mendapat wangsit dari
mana, pemuda itu berangkat bersama Ify dengan menaiki angkot. Karena mungkin
kalau bukan Rio, tidak akan sebegini ajaib kelihatannya.
Ada sesuatu yang
berbeda. Setidaknya itulah yang dikatakan Alvin padanya. Ify sendiri tidak tahu
apa yang berbeda itu. Ia merasa semuanya masih sama. Ia masih jadi Ify yang
dulu. Yang masih mau menjadi sahabat untuk Alvin. Mendengar semua curahan hati
pemuda itu. Mendukungnya penuh untuk semua yang ingin ia raih. Apa yang berbeda?
Tapi yang
dimaksud Alvin bukan tentang sikap Ify terhadapnya. Ify memang tidak berubah.
Masih menjadi sahabat terbaiknya. Namun nyatanya, Ify bukan hanya jadi sahabat
untuk Alvin seorang. Untuk Rio, senior yang dulu selalu membully mereka pun
ternyata.
Sejak malam
itu, Ify tahu bahwa dirinya dan Rio telah membuat ikrar tak terdengar. Tentang
hubungan mereka setelah itu. Mereka akan melupakan semua hal buruk yang telah
berlalu. Akan dimulai sebuah kisah baru di mana tidak akan ada peperangan lagi.
Mereka melakukan gencatan senjata.
Ify tidak
tahu bahwa efek patah hati bisa sebegitu hebatnya. Bisa membuat Rio si sombong
perlahan berubah membaik. Dia mulai merubah tabiatnya. Tidak lagi berkata dan
bersikap kasar. Seperti tidak pernah mengenalnya sebelum ini, Ify menemukan Rio
yang baru. Yang baik dan menyenangkan.
Ya, menurut
Ify, Rio tidak buruk-buruk amat. Pemuda itu tidak keberatan kalau Ify menumpang
mobilnya saat berangkat ke kampus. Terkadang, Rio juga menunggui Ify selesai
kuliah. Mereka akan pulang bersama. Rio juga tidak menolak untuk menemaninya ke
supermarket. Dan di sana, Rio akan membantu mendorong troli. Terakhir, Ify
mengajak pemuda itu untuk ikut mengajar di sebuah sekolah pengabdian. Tak
disangka seorang Rio mau berurusan dengan anak-anak. Padahal kan dia galak.
Selain
baik, Rio juga cukup menyenangkan. Seleranya kurang lebih sama dengan Ify.
Sama-sama menyukai disney. Ify bisa mengobrol sampai larut malam di cafe dekat
apartemennya bersama pemuda itu. Kadang, mereka pergi ke bioskop untuk menonton
film terbaru. Atau hanya sekadar menonton koleksi DVD disneynya. Rio juga suka
menemaninya membuat kue. Dan banyak hal lagi yang mereka lakukan bersama.
Tentunya
bukan Ify dan Rio saja berdua. Ada Alvin di antara mereka. Awalnya Alvin agak
risih dengan keberadaan Rio, tapi akhirnya ia terbiasa juga. Terbiasa dengan celetukan-celetukan
Rio yang asal, perintah anehnya yang harus dituruti (waktu itu pernah Alvin
tidak ingin makan, tapi dipaksa harus makan oleh Rio), dan tingkah-tingkah
ajaibnya. Satu hal yang masih belum bisa ia terima dari seorang Rio. Pemuda itu
selalu salah memanggil namanya. Padahal kan nama Alvin tidak susah diucapkan.
Alvin. Alvin. Alvin. Arifin. Eh?
Ify senang
berteman dengan Rio. Sama halnya ketika ia berteman dengan Alvin.
***
Derasnya
hujan yang disertai petir membuat Ify, Rio dan Alvin menunda kepulangan mereka.
Ketiganya memutuskan untuk menunggu hujan reda di sebuah bangunan sederhana
yang biasa mereka sebut Sekolah Cilik, tempat ketiganya mengajar.
Sementara
Alvin bermain-main bersama seorang anak bernama Ina yang tidak mau pulang
sebelum pengajar pulang, Ify dan Rio duduk di dekat jendela. Memandangi
miliyaran tetes tangisan alam yang turun sore itu.
“Hari ini
hari jadi gue yang pertama sama Sivia. Andai gue ga putus sama dia,” ucap Rio
lirih.
Ify
terkesiap. Ia tahu bahwa malam itu ketika dirinya menemukan Rio terkulai tak
berdaya, itu semua karena Sivia. Tapi sejak saat itu pula, Ify tidak pernah
mempertanyakan. Bagi Ify, itu sama sekali bukan urusannya. Dan sore ini, entah
ada angin apa, tiba-tiba pemuda itu mengungkitnya.
“Malam itu,
gue hampir mati gara-gara Sivia. Kalau
ga ada lo, mungkin sekarang gue lagi ngelihatin Sivia sama cowok barunya dari
surga.” Rio mendengus kasar. Sakit sekali ketika harus mengucapkan nama itu.
Ify
tersenyum tipis. Ia bisa mendengar kesedihan pada setiap kata yang terlontar
dari mulut Rio. Dan pemuda itu tidak main-main. Bahwa memang malam itu, Rio
benar-benar sekarat.
“Malam itu
gue minum terlalu banyak. Gue mabuk berat, tapi gue maksain buat nyetir.
Akhirnya gue nabrak trotoar. Gue kira saat itu gue udah mati. Tahunya gue
selamat. Gue mau balik ke apartemen. Tapi gue udah ga kuat. Akhirnya gue jatuh.
Pas gue buka mata, gue pikir udah di surga. Tahunya gue di kamar lo. Gila ya!
Tuhan aja sebegitunya mempermainkan gue. Dia dua kali bikin gue hampir mati, tapi
selalu ga jadi.” Rio terkekeh pelan. Seraya nanar menatapi hujan. Jauh dalam
lubuk hatinya, ia ingin berlari ke sana. Kemudian menangis sepuasnya. Karena
mungkin hanya hujanlah yang mampu mengkamuflase kepahitannya.
“Kak,
sebenarnya malam itu Kakak ngelakuin sesuatu ke aku.” cicit Ify pelan.
Rio sontak
menoleh pada Ify. Sesuatu? Oh ayolah! Ia tidak ingat apa pun juga! Coba, hal
apa yang mungkin dilakukan seorang laki-laki mabuk pada seorang perempuan? Rio
meneguk ludah. “Apa?”
“Kakak...
Kakak muntahin baju aku. Dan nyebelinnya, abis muntah, Kakak ga bangun-bangun.
Mau ngomel juga percuma.” Ify mengerucutkan bibir. Berpura-pura marah.
Rio
tertegun sejenak. Kemudian sejurus berikutnya tawanya meledak. Lucu sekali
melihat ekspresi marah Ify. Pemuda itu mengangkat tangannya. Lalu tanpa sadar
mengacak rambut Ify. Membuat gadis itu mengerang sebal.
Ify sudah terbiasa
dengan perlakuan-perlakuan Rio. Bukan kali pertama pemuda itu mendaratkan
telapaknya pada kepala Ify. Terlalu sering bahkan. Tiap sedang gemas dengan apa
yang dilakukan Ify, Rio akan menepuk kepala gadis itu. Kadang, Rio juga
menjawil caping hidung Ify yang mungil kalau gadis itu tengah kepedasan.
Habisnya lucu. Banyak butiran keringat di sana. Dan Ify menganggap itu semua
adalah bentuk ekspresi Rio atas tingkahnya. Kalau Alvin akan berbicara panjang
lebar untuk menggodanya, Rio justru menggunakan tangannya.
Pun dengan
Rio. Pemuda itu menganggap semua
perlakuannya terhadap Ify tidak ada yang istimewa. Ia biasa melakukan hal itu kepada teman-teman
perempuannya. Meskipun ia tak menyadari bahwa sebelum ini ia tidak pernah
memiliki teman perempuan yang hampir setiap hari bersamanya. Memberikan
kenyamanan yang tidak pernah ia rasakan.
Tapi tidak
dengan Alvin. Pemuda itu tahu ada sesuatu di antara Ify dan Rio yang mungkin
mereka sendiri belum menyadari. Sesuatu yang lamat-lamat merubah semuanya. Ify
yang sekarang lebih banyak bercerita tentang pengalamannya menghabiskan waktu
dengan Rio, dan Rio yang selalu ingin ikut ke mana pun Ify pergi. Alvin juga
sadar, bahwa Ify sudah tidak pernah lagi mengangkat telepon dari Gabriel ketika
mereka bersama. Mungkin Ify lupa dirinya ini siapa dan statusnya apa. Bahkan
dulu, meskipun Ify adalah sahabat Alvin satu-satunya, pemuda itu selalu menjaga
jarak. Karena ia tahu, ada pemuda lain nun jauh di sana yang tengah
mempercayakan hatinya pada Ify.
Namun Alvin
tidak memiliki hak apa-apa. Tidak bisa pula mengatur Ify harus apa. Ia pikir
Ify sudah cukup dewasa. Hanya saja sesekali Alvin bertanya tentang Gabriel pada
Ify. Dan gadis itu bilang baik-baik saja. Oke. Berarti memang semuanya
baik-baik saja. Dirinya saja yang terlalu khawatir.
***
Bersambung