Tidak Butuh Judul [7]

Rabu, 20 April 2016

Tidak Butuh Judul [7]


Tok... tok... tok... Rio mendesah kentara setelah mengetuk pintu yang ada di hadapannya. Ia menunggu dengan gusar pintu itu terbuka. Menyiapkan diri ketika seseorang yang entah mengapa sejak tadi pagi dipikirkannya menyembul dari sana.
           
“Eh, Kak Rio. Ada apa?” tanya Ify sesaat setelah membuka pintu. Agak terkejut mendapati Rio di sana.

            
Rio menggaruk tengkuknya. Tersenyum menyeringai. “Gue... Emm...” pemuda itu menggigit bibir. Lupa tujuan utamanya bertamu pada apartemen sang tetangga.
           
Ify memandangi wajah Rio dengan bingung. “Iya, Kak?”
            
Rio tersenyum sekali lagi. “Hari ini lo mau ngapain?”
            
“Hari ini aku mau buat kue sih,” tukas Ify.
            
Rio sontak membelalakan matanya. “Nah! Gue ke sini mau lihat lo buat kue. Boleh?”
            
Ify mengangguk pelan. “Boleh sih! Ya udah yuk masuk, Kak!” gadis itu menyingkir. Memberi jalan pada Rio.
            
Pemuda itu melangkah masuk. Melintasi Ify dan berjalan mendahului ke dapur. Sementara Ify mengekorinya dari belakang setelah sebelumnya menutup kembali pintu apartemennya.
            
Rio langsung mengambil posisi duduk di belakang meja makan. Sedangkan Ify bergerak ke arah seberang lain meja. Kemudian kembali berkutat dengan adonan kue yang tadi sempat ditinggalkannya ketika terdengar bunyi ketukan pintu.
            
Rio mengamati setiap gerak-gerik Ify dengan seksama. Cara gadis itu memecahkan telur, mencampur teriga, menuangkan adonan ke dalam loyang, hingga gerakan kecil saat gadis itu menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga atau mengusap peluh di dahinya.
            
Dan sejak saat itu, Rio tahu semuanya tak lagi sama. Ada sesuatu yang berbeda. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh seorang Rio. Setelah pagi itu ia menemukan dirinya sendiri di kamar apartemen gadis itu, banyak hal dalam dirinya yang berubah.
            
Rio memang tidak lantas menjadi pemuda ramah yang mengumbar senyum kepada semua orang yang ditemuinya. Ia masih jadi Rio si senior yang disegani di kampus. Aksen bicaranya juga masih sama. Terdengar angkuh dan pongah. Tapi ia tidak sekasar dulu. Tidak pernah lagi membentak-bentak orang.  Tidak pernah lagi bersikap sok berkuasa.
            
Rio sadar mengapa dirinya bisa berubah. Sedikit banyak karena Ify. Gadis yang dulu selalu diperlakukan buruk olehnya, yang tiba-tiba hanya dalam kurun waktu kurang dari satu hari satu malam bimsalabim meniupkan angin segar dalam hidupnya.
            
Menurut Rio, Ify gadis yang baik. Oh kalau tidak baik dia tidak akan sudi menolongnya malam itu, membebat lukanya, membuatkannya sup, dan mengingatkannya tentang pelajaran masa kecilnya. Ify juga gadis yang pintar. Rio suka mengobrol dengannya. Apalagi tentang disney. Sudah tiga sabtu malam yang pemuda itu habiskan bersama Ify hanya untuk mengobrol panjang lebar di cafe dekat apartemen mereka.
            
Ify membuat Rio seperti hidup kembali setelah sebelumnya ia dibunuh oleh Sivia. Rio memang tidak mencintai Ify seperti ia mencintai Sivia. Tapi Ify bisa jadi teman untuknya. Ia bisa melakukan apa saja bersama gadis itu. Menonton film terbaru atau hanya sekadar memutar koleksi DVD disney milik Ify. Membuat kue (tentunya hanya Ify yang membuat, Rio sebagai tim icip saja). Datang ke pameran lukisan. Baru-baru ini, Ify juga mengajaknya untuk ikut mengajar di sebuah sekolah pengabdian. Jangan salah kaprah ya! Meskipun galak, kalau pada anak-anak, Rio bisa juga bersikap manis. Ify juga memberikan Rio teman baru. Kadang, dia turut pula bergabung dalam kegiatan-kegiatan menyenangkan Rio dan Ify. Namanya A...A... Siapa ya? Ah, Rio memang paling susah kalau mengingat nama orang. Kalau tidak salah sih Arifin.
            
Rio menyadari sesuatu, bahwa kehadiran Ify dalam hidupnya membuat ia perlahan melupakan sakit hatinya terhadap Sivia. Sedikit demi sedikit ia mulai belajar menerima, bahwa Sivia mungkin memang bukan yang terbaik untuknya. Meskipun sampai sekarang ia masih tidak rela Sivia jatuh ke dalam pelukan lelaki yang tidak lebih baik darinya.
            
Satu yang membuat Rio nyaman berteman dengan Ify adalah setiap kali melihat gadis itu, ia seperti melihat mamanya. Apalagi ketika gadis itu tengah memasak. Benar-benar duplikat mama. Ia jadi tidak tahan untuk memeluknya dari belakang. Eh?
            
Rio memang tidak mencintai Ify seperti dirinya mencintai Sivia. Tapi bersama Ify semuanya terasa begitu mudah. Dengan gadis itu, ia temukan lagi dirinya yang sesungguhnya.

***
            
Ify sedang menunggui angkot, ketika tiba-tiba seseorang datang mengejutkannya. Sudah beberapa hari ini, semua yang terjadi memberikan efek kejut terhadapnya.
           
“Ke kampus?” tanya Rio.
            
“Iya, Kak.” ujar Ify seraya membenahi rambutnya yang berkibar-kibar tertiup angin.
           
“Naik apa?”
            
“Angkot.” tukas Ify singkat.
            
“Bareng ya? Mobil gue masuk bengkel nih!” ucap Rio dengan nada menyesal.
           
Ify cuma bisa melongo ketika mendengar bahwa Rio hendak menaiki angkot juga bersamanya. Sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu sudi untuk naik angkutan sejuta umat itu. Mungkin dia tak tahu bahwa di dalam angkot banyak sekali manusia-manusia ajaib, dari ibu-ibu yang membawa sekarung sayuran hingga bapak-bapak yang rajin sekali membawa ayam berjalan-jalan. Ify tidak yakin Rio akan bertahan.
            
Lima belas menit kemudian barulah Ify tahu bahwa dugaannya salah. Rio bisa bertahan hingga kampus. Ia kuat bergumul dengan penumpang angkot yang lain. Sepanjang perjalanan, pemuda itu asyik bercerita. Tidak Ify dengar keluhan meluncur dari mulut pemuda itu.

Semuanya terlalu mengejutkan untuk bisa Ify terima begitu saja. Dua hari yang lalu, ia menemukan Rio terbujur di depan apartemennya. Esoknya, ia menghabiskan semalaman untuk mengobrol bersama pemuda sombong itu. Kemarin, dia berkunjung ke apartemennya, menemaninya membuat kue. Lalu sekarang, tiba-tiba entah mendapat wangsit dari mana, pemuda itu berangkat bersama Ify dengan menaiki angkot. Karena mungkin kalau bukan Rio, tidak akan sebegini ajaib kelihatannya.

Ada sesuatu yang berbeda. Setidaknya itulah yang dikatakan Alvin padanya. Ify sendiri tidak tahu apa yang berbeda itu. Ia merasa semuanya masih sama. Ia masih jadi Ify yang dulu. Yang masih mau menjadi sahabat untuk Alvin. Mendengar semua curahan hati pemuda itu. Mendukungnya penuh untuk semua yang ingin ia raih. Apa  yang berbeda?
            
Tapi yang dimaksud Alvin bukan tentang sikap Ify terhadapnya. Ify memang tidak berubah. Masih menjadi sahabat terbaiknya. Namun nyatanya, Ify bukan hanya jadi sahabat untuk Alvin seorang. Untuk Rio, senior yang dulu selalu membully mereka pun ternyata.
            
Sejak malam itu, Ify tahu bahwa dirinya dan Rio telah membuat ikrar tak terdengar. Tentang hubungan mereka setelah itu. Mereka akan melupakan semua hal buruk yang telah berlalu. Akan dimulai sebuah kisah baru di mana tidak akan ada peperangan lagi. Mereka melakukan gencatan senjata.
            
Ify tidak tahu bahwa efek patah hati bisa sebegitu hebatnya. Bisa membuat Rio si sombong perlahan berubah membaik. Dia mulai merubah tabiatnya. Tidak lagi berkata dan bersikap kasar. Seperti tidak pernah mengenalnya sebelum ini, Ify menemukan Rio yang baru. Yang baik dan menyenangkan.
            
Ya, menurut Ify, Rio tidak buruk-buruk amat. Pemuda itu tidak keberatan kalau Ify menumpang mobilnya saat berangkat ke kampus. Terkadang, Rio juga menunggui Ify selesai kuliah. Mereka akan pulang bersama. Rio juga tidak menolak untuk menemaninya ke supermarket. Dan di sana, Rio akan membantu mendorong troli. Terakhir, Ify mengajak pemuda itu untuk ikut mengajar di sebuah sekolah pengabdian. Tak disangka seorang Rio mau berurusan dengan anak-anak. Padahal kan dia galak.
           
Selain baik, Rio juga cukup menyenangkan. Seleranya kurang lebih sama dengan Ify. Sama-sama menyukai disney. Ify bisa mengobrol sampai larut malam di cafe dekat apartemennya bersama pemuda itu. Kadang, mereka pergi ke bioskop untuk menonton film terbaru. Atau hanya sekadar menonton koleksi DVD disneynya. Rio juga suka menemaninya membuat kue. Dan banyak hal lagi yang mereka lakukan bersama.
            
Tentunya bukan Ify dan Rio saja berdua. Ada Alvin di antara mereka. Awalnya Alvin agak risih dengan keberadaan Rio, tapi akhirnya ia terbiasa juga. Terbiasa dengan celetukan-celetukan Rio yang asal, perintah anehnya yang harus dituruti (waktu itu pernah Alvin tidak ingin makan, tapi dipaksa harus makan oleh Rio), dan tingkah-tingkah ajaibnya. Satu hal yang masih belum bisa ia terima dari seorang Rio. Pemuda itu selalu salah memanggil namanya. Padahal kan nama Alvin tidak susah diucapkan. Alvin. Alvin. Alvin. Arifin. Eh?
           
Ify senang berteman dengan Rio. Sama halnya ketika ia berteman dengan Alvin.

***
            
Derasnya hujan yang disertai petir membuat Ify, Rio dan Alvin menunda kepulangan mereka. Ketiganya memutuskan untuk menunggu hujan reda di sebuah bangunan sederhana yang biasa mereka sebut Sekolah Cilik, tempat ketiganya mengajar.
            
Sementara Alvin bermain-main bersama seorang anak bernama Ina yang tidak mau pulang sebelum pengajar pulang, Ify dan Rio duduk di dekat jendela. Memandangi miliyaran tetes tangisan alam yang turun sore itu.
            
“Hari ini hari jadi gue yang pertama sama Sivia. Andai gue ga putus sama dia,” ucap Rio lirih.
           
Ify terkesiap. Ia tahu bahwa malam itu ketika dirinya menemukan Rio terkulai tak berdaya, itu semua karena Sivia. Tapi sejak saat itu pula, Ify tidak pernah mempertanyakan. Bagi Ify, itu sama sekali bukan urusannya. Dan sore ini, entah ada angin apa, tiba-tiba pemuda itu mengungkitnya.
            
“Malam itu, gue hampir mati gara-gara Sivia.  Kalau ga ada lo, mungkin sekarang gue lagi ngelihatin Sivia sama cowok barunya dari surga.” Rio mendengus kasar. Sakit sekali ketika harus mengucapkan nama itu.
            
Ify tersenyum tipis. Ia bisa mendengar kesedihan pada setiap kata yang terlontar dari mulut Rio. Dan pemuda itu tidak main-main. Bahwa memang malam itu, Rio benar-benar sekarat.
            
“Malam itu gue minum terlalu banyak. Gue mabuk berat, tapi gue maksain buat nyetir. Akhirnya gue nabrak trotoar. Gue kira saat itu gue udah mati. Tahunya gue selamat. Gue mau balik ke apartemen. Tapi gue udah ga kuat. Akhirnya gue jatuh. Pas gue buka mata, gue pikir udah di surga. Tahunya gue di kamar lo. Gila ya! Tuhan aja sebegitunya mempermainkan gue. Dia dua kali bikin gue hampir mati, tapi selalu ga jadi.” Rio terkekeh pelan. Seraya nanar menatapi hujan. Jauh dalam lubuk hatinya, ia ingin berlari ke sana. Kemudian menangis sepuasnya. Karena mungkin hanya hujanlah yang mampu mengkamuflase kepahitannya.
            
“Kak, sebenarnya malam itu Kakak ngelakuin sesuatu ke aku.” cicit Ify pelan.
            
Rio sontak menoleh pada Ify. Sesuatu? Oh ayolah! Ia tidak ingat apa pun juga! Coba, hal apa yang mungkin dilakukan seorang laki-laki mabuk pada seorang perempuan? Rio meneguk ludah. “Apa?”
            
“Kakak... Kakak muntahin baju aku. Dan nyebelinnya, abis muntah, Kakak ga bangun-bangun. Mau ngomel juga percuma.” Ify mengerucutkan bibir. Berpura-pura marah.
            
Rio tertegun sejenak. Kemudian sejurus berikutnya tawanya meledak. Lucu sekali melihat ekspresi marah Ify. Pemuda itu mengangkat tangannya. Lalu tanpa sadar mengacak rambut Ify. Membuat gadis itu mengerang sebal.
            
Ify sudah terbiasa dengan perlakuan-perlakuan Rio. Bukan kali pertama pemuda itu mendaratkan telapaknya pada kepala Ify. Terlalu sering bahkan. Tiap sedang gemas dengan apa yang dilakukan Ify, Rio akan menepuk kepala gadis itu. Kadang, Rio juga menjawil caping hidung Ify yang mungil kalau gadis itu tengah kepedasan. Habisnya lucu. Banyak butiran keringat di sana. Dan Ify menganggap itu semua adalah bentuk ekspresi Rio atas tingkahnya. Kalau Alvin akan berbicara panjang lebar untuk menggodanya, Rio justru menggunakan tangannya.
            
Pun dengan Rio. Pemuda itu menganggap semua  perlakuannya terhadap Ify tidak ada yang istimewa.  Ia biasa melakukan hal itu kepada teman-teman perempuannya. Meskipun ia tak menyadari bahwa sebelum ini ia tidak pernah memiliki teman perempuan yang hampir setiap hari bersamanya. Memberikan kenyamanan yang tidak pernah ia rasakan.
            
Tapi tidak dengan Alvin. Pemuda itu tahu ada sesuatu di antara Ify dan Rio yang mungkin mereka sendiri belum menyadari. Sesuatu yang lamat-lamat merubah semuanya. Ify yang sekarang lebih banyak bercerita tentang pengalamannya menghabiskan waktu dengan Rio, dan Rio yang selalu ingin ikut ke mana pun Ify pergi. Alvin juga sadar, bahwa Ify sudah tidak pernah lagi mengangkat telepon dari Gabriel ketika mereka bersama. Mungkin Ify lupa dirinya ini siapa dan statusnya apa. Bahkan dulu, meskipun Ify adalah sahabat Alvin satu-satunya, pemuda itu selalu menjaga jarak. Karena ia tahu, ada pemuda lain nun jauh di sana yang tengah mempercayakan hatinya pada Ify.
            
Namun Alvin tidak memiliki hak apa-apa. Tidak bisa pula mengatur Ify harus apa. Ia pikir Ify sudah cukup dewasa. Hanya saja sesekali Alvin bertanya tentang Gabriel pada Ify. Dan gadis itu bilang baik-baik saja. Oke. Berarti memang semuanya baik-baik saja. Dirinya saja yang terlalu khawatir.

***
Bersambung