Tidak Butuh Judul [3]
Ify menggeledahi tasnya. Mencari-cari sebuah benda miliknya
yang teramat berharga. Tapi siang itu, tidak ditemukannya di sana.
“Kenapa,
Fy?” tanya Alvin.
“Buku aku,
Vin! Kok ga ada ya? Perasaan tadi dibawa deh!” ujar Ify gelisah, masih belum
mau menyerah untuk mencari. Membuat sedikit kerusuhan di dalam angkutan umum
yang sedang ditumpanginya.
“Beneran ga
ada? Tadi di kampus di keluarin ga? Mungkin ketinggalan,” ujar Alvin. Mencoba
menenangkan sahabatnya itu.
Ify
tiba-tiba menepuk dahinya. Seperti baru teringat akan sesuatu. Gadis itu
melirik Alvin. Lalu setelah itu berseru untuk menyetop angkot.
Ify turun
dari angkot untuk kembali lagi ke kampus. Tadi, ia sempat mengeluarkan bukunya
di kantin. Perhatiannya diambil alih oleh Alvin yang seru sekali bercerita
mengenai penelitian barunya. Membuat ia lupa untuk memasukkan kembali buku itu
ke dalam tas. Oh demi Tuhan! Buku itu berharga sekali. Buku biasa memang. Di
seluruh toko buku pasti ada. Kalau mau beli lagi pun tak masalah. Namun yang
membuat buku itu berharga adalah isinya. Betapa di sana banyak sekali koleksi
gambar yang dibuatnya.
Dengan
napas terengah, Ify menelanjangi seisi kantin. Mengingat-ngingat di mana tadi
ia duduk. Sialnya dalam keadaan genting seperti ini, otaknya mendadak tidak
bisa dipakai. Bahkan untuk menggali ingatan kecil mengenai meja mana yang ia
pakai untuk mengobrol bersama Alvin.
Entah dapat
wangsit dari mana, Ify bergerak ke arah sebuah meja yang letaknya paling dekat
dengan gerai yang menjual minuman. Tadi, ia dan Alvin hanya membeli minuman.
Kemungkinan besar, di sanalah mereka duduk.
Glek! Ify
menelan ludah yang ia rasa lebih kental dari biasanya ketika akhirnya ia sadar
siapa yang menempati meja itu. Rio dan Sivia lagi? Oh mengapa lagi-lagi mereka?
Bahkan kini Ify sendiri yang menyerahkan diri.
Ify baru
saja akan memutar tubuh dan pergi dari sana, ketika Rio tiba-tiba menoleh dan
mendapatinya ada di sana. Pemuda itu berdiri. Menahan bahu Ify agar gadis itu
tidak bisa melanjutkan gerakannya.
Ify menahan
napas ketika tangan Rio menyentuh bahunya dengan kasar. Oh, sudah berani main
fisik ya sekarang?
“Mau apa
lo?” tanya Rio. Tangannya kini sudah tidak lagi berada di bahu gadis itu.
Ify
tersenyum tipis. Agak dipaksakan memang. Tapi mungkin saja senyum bisa sedikit
meluluhkan hati seniornya itu. Ya itu pun kalau ia masih punya hati.
“Aku mau
tanya, tadi kakak lihat buku aku ga? Kayaknya ketinggalan di sini,” tukas Ify.
“Buku?”
tanya Rio, lebih kepada dirinya sendiri. Lalu ia melirik Sivia. “Lihat ada buku
ga di sini?” Rio kini bertanya pada kekasihnya itu.
Ify
bernapas lega. Secercah harapan hadir di hatinya. Sepertinya, hari ini Rio dan
Sivia tidak sebuas biasanya. Gadis itu tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar dan
lebih ikhlas.
“Lihat.
Tadi gue simpan.” ujar Sivia seraya mengaduk-aduk mocca latte miliknya.
Kedua mata
Ify berbinar bahagia. Tuh kan! Hari ini pasangan itu sedang dalam mood baik.
Buktinya ia mau menyimpan buku pusakanya. Antusias Ify bertanya, “Disimpan di
mana, Kak?”
“Tong
sampah.” ucap Sivia singkat.
Dan
sesingkat-singkatnya ucapan Sivia, ternyata berhasil membuat Ify meledak seperti
roket. Tidak sempat lagi ia memikirkan betapa jahatnya pasangan itu. Tidak
sempat lagi ia menganulir dugaannya bahwa pasangan itu sudah menjinak. Tidak
ada waktu lagi untuk Ify melihat bagaimana ekpresi bahagia Rio dan Sivia
setelah melihatnya kesetanan berlari. Menyambangi tong sampah untuk menjemput
buku berharganya yang kini telah bersatu bersama tumpukan sampah. Iew.
***
Ify tidak
peduli tubuhnya tidak lebih wangi dari makanan yang dibiarkan berminggu-minggu
di udara terbuka. Ify tidak peduli kemeja yang baru dibelinya beberapa hari
yang lalu banyak bercak noda. Ify tidak peduli semua orang yang berpapasan
dengannya menatap dengan tatapan jijik. Ify tidak peduli ia harus merogoh kocek
lebih dalam untuk membayar satu-satunya Abang ojek yang mau mengantarnya
pulang. Ify tidak peduli pada itu semua. Yang ia pedulikan hanya satu, buku
pusaka itu kembali ke dalam pelukannya. Sepanjang perjalanan pulang, Ify dekap
buku itu penuh sayang. Seakan setiap detik buku itu bisa terbang dan kembali
lagi ke tempat sampah.
“Benar-benar
ya Kak Rio sama Kak Sivia tuh!” ucap Ify gemas seraya mengeringkan rambutnya
dengan handuk. Ia baru saja selesai mandi.
Gadis itu
kemudian mengamati bukunya yang penuh dengan noda. Entah kotoran dari mana saja
yang melekat di sana. Yang jelas buku itu benar-benar menjijikan.
Ify lalu
membuka halaman buku itu satu persatu. Dan hampir setengah dari isi bukunya
hancur. Gambarnya sudah tidak berbentuk lagi. Tertutup cairan lengket yang
baunya bisa membuat bulu hidung memilih untuk rontok saja.
“Jahat!” cicit Ify pelan. Tangannya
gemetar menyentuh satu gambar yang sudah tidak jelas bentuk rupanya. Namun Ify tahu betul itu gambar apa. Salah satu
dari sekian banyak gambar yang ia beri gelar mahakarya. Arsiran wajah Gabriel
ketika tertidur pulas yang diam-diam ia abadikan. Bahkan hingga sekarang,
pemuda itu tidak pernah tahu mengenai gambar itu.
Mungkin
Rio dan Sivia terlalu kaya sampai-sampai tidak bisa menghargai sebuah karya.
Mereka mungkin bisa membeli lukisan-lukisan menakjubkan karya Affandi, atau
ukiran-ukiran bagus hingga patung diri mereka sendiri. Namun Ify tidak bisa.
Oh, bukan ia tidak bisa membeli. Karena kalau ia mau, ia tinggal minta pada
Papa. Karena masalahnya, gambar-gambar itu adalah karyanya. Buah dari kerja
tangan, mata, serta imajinasinya. Dan sekarang semua itu melebur bersama tanah,
saus tomat, serta cairan-cairan lengket yang entah apa namanya.
Ify
menggertakan rahangnya. Membuat giginya beremeletuk pelan. Lalu setelah itu, ia
hempaskan tubuhnya ke atas sofa. Menatap nanar pada langit-langit apartemennya.
Pada
waktu yang sama, di dalam sebuah mobil yang sedetik lalu mesinnya baru
dimatikan, dua orang manusia nampak saling diam. Rio dan Sivia. Tidak ada suara
apa pun kecuali desau napas mereka sendiri. Tidak ada gerakan sedikit pun
kecuali dada mereka yang naik turun seiring udara yang mereka hela lalu
hembuskan begitu saja tanpa makna.
"Gue
mau putus." ujar Sivia. Tak terdengar sama sekali nada penyesalan di sana.
Rio
yang berada di belakang kemudi tersentak kaget. Seperti baru saja disengat
listrik jutaan volt, lelaki itu membelalak. Menoleh pada perempuan cantik di
sampingnya.
"Putus?
Kenapa? Bukannya tadi kita masih baik-baik aja?" tanya Rio tak percaya.
Oh, pasti kekasihnya itu mengigau. Mungkin dirinya lupa bahwa hari ini tanggal
satu april. Ya, Sivia pasti tengah mengerjainya dalam rangka april mop.
Sivia
terkekeh pelan. "Udah lama gue ga baik-baik aja." gadis itu menoleh
ke arah Rio. Balas menatap mata pemuda itu. "Gue jatuh cinta sama cowok
lain." tukasnya ringan. Sama sekali tidak merasa bersalah. Ayolah
memangnya ada yang salah dari seseorang yang jatuh cinta pada orang yang bukan
kekasihnya? Jangan salahkan ia! Ia pun tak tahu menahu bagaimana mekanisme
jatuh cinta itu terjadi. Saraf mana yang mengontrolnya. Karena Sivia yakin
tidak ada saraf mana pun dalam tubuh yang mengatur pada siapa kita akan jatuh
cinta.
Rio
merasa cakrawalanya runtuh seketika. Cakrawala yang ia susun dari
bongkahan-bongkahan keangkuhan itu kini berbalik menghancurkannya. Samar ia
menggelengkan kepala. "Tapi gue masih cinta sama lo, Si!" cicit Rio
dengan suara parau.
"Terus
gue bisa apa?" tanya Sivia sarkatis. Gadis itu kemudian melepas sabuk
pengaman dari tubuhnya. Meraih tasnya dan bersiap keluar dari mobil.
Rio
menahan tangan Sivia. Membuat gadis itu menunda sebentar kepergiannya. Kembali
duduk dan menatap wajah menyedihkan Rio.
Rio
menatap kedua mata Sivia dalam-dalam. Lewat tatapannya ia meminta agar Sivia
tetap tinggal bersamanya. Menemaninya bersenang-senang dan menikmati dunia. Lewat
tatapannya ia memohon agar Sivia mencintainya saja. Anggap saja semua lelaki
selain dirinya tidak ada. Hanya ada dia satu-satunya di dunia. Lewat tatapannya
ia mengemis agar Sivia memberikan kembali kesempatan untuk dirinya mencintai.
Karena hampir dua puluh tahun ia menjejak bumi, hanya Sivialah yang berhasil
membuatnya jatuh hati.
Tapi
tatapan itu saja tidak cukup untuk membayar betapa mahalnya harga seorang
Sivia. Gadis cantik itu tersenyum tipis. Mencondongkan tubuhnya ke arah Rio.
Lalu memberikan kecupan terakhir pada pemuda yang sudah tidak lagi menjadi
kekasihnya. Kecupan perpisahan yang akan begitu dirindukan oleh si empunya
pipi.
Dan
setelah itu, Sivia benar-benar pergi. Menghilang dibawa oleh mobil yang jauh
lebih mewah dari milik Rio, yang ternyata sudah menunggunya sejak tadi. Sialan!
Rio memukul kemudinya dengan keras. Bahkan mantan kekasihnya itu sudah begitu
mempersiapkan diri unuk perpisahan ini. Sedangkan dirinya tidak mempersiapkan
apa pun. Karena sumpah demi apa pun juga, tidak pernah terlintas dalam benaknya
perpisahan ini akan terjadi.
Dalam
diam dengan bertemankan kesendirian, Rio menangis. Akhirnya, pemuda sombong itu
hancur. Oleh sebuah rasa yang tak berwujud nyata. Terimakasih cinta! Kau
berikan pelajaran teramat berharga untuknya.
***
bersambung