Tidak Butuh Judul [3]

Rabu, 20 April 2016

Tidak Butuh Judul [3]


Ify menggeledahi tasnya. Mencari-cari sebuah benda miliknya yang teramat berharga. Tapi siang itu, tidak ditemukannya di sana.
            
“Kenapa, Fy?” tanya Alvin.

            
“Buku aku, Vin! Kok ga ada ya? Perasaan tadi dibawa deh!” ujar Ify gelisah, masih belum mau menyerah untuk mencari. Membuat sedikit kerusuhan di dalam angkutan umum yang sedang ditumpanginya.
           
“Beneran ga ada? Tadi di kampus di keluarin ga? Mungkin ketinggalan,” ujar Alvin. Mencoba menenangkan sahabatnya itu.
           
Ify tiba-tiba menepuk dahinya. Seperti baru teringat akan sesuatu. Gadis itu melirik Alvin. Lalu setelah itu berseru untuk menyetop angkot.
            
Ify turun dari angkot untuk kembali lagi ke kampus. Tadi, ia sempat mengeluarkan bukunya di kantin. Perhatiannya diambil alih oleh Alvin yang seru sekali bercerita mengenai penelitian barunya. Membuat ia lupa untuk memasukkan kembali buku itu ke dalam tas. Oh demi Tuhan! Buku itu berharga sekali. Buku biasa memang. Di seluruh toko buku pasti ada. Kalau mau beli lagi pun tak masalah. Namun yang membuat buku itu berharga adalah isinya. Betapa di sana banyak sekali koleksi gambar yang dibuatnya.
           
Dengan napas terengah, Ify menelanjangi seisi kantin. Mengingat-ngingat di mana tadi ia duduk. Sialnya dalam keadaan genting seperti ini, otaknya mendadak tidak bisa dipakai. Bahkan untuk menggali ingatan kecil mengenai meja mana yang ia pakai untuk mengobrol bersama Alvin.

Entah dapat wangsit dari mana, Ify bergerak ke arah sebuah meja yang letaknya paling dekat dengan gerai yang menjual minuman. Tadi, ia dan Alvin hanya membeli minuman. Kemungkinan besar, di sanalah mereka duduk.
            
Glek! Ify menelan ludah yang ia rasa lebih kental dari biasanya ketika akhirnya ia sadar siapa yang menempati meja itu. Rio dan Sivia lagi? Oh mengapa lagi-lagi mereka? Bahkan kini Ify sendiri yang menyerahkan diri.
            
Ify baru saja akan memutar tubuh dan pergi dari sana, ketika Rio tiba-tiba menoleh dan mendapatinya ada di sana. Pemuda itu berdiri. Menahan bahu Ify agar gadis itu tidak bisa melanjutkan gerakannya.
            
Ify menahan napas ketika tangan Rio menyentuh bahunya dengan kasar. Oh, sudah berani main fisik ya sekarang?
            
“Mau apa lo?” tanya Rio. Tangannya kini sudah tidak lagi berada di bahu gadis itu.
            
Ify tersenyum tipis. Agak dipaksakan memang. Tapi mungkin saja senyum bisa sedikit meluluhkan hati seniornya itu. Ya itu pun kalau ia masih punya hati.
           
“Aku mau tanya, tadi kakak lihat buku aku ga? Kayaknya ketinggalan di sini,” tukas Ify.
            
“Buku?” tanya Rio, lebih kepada dirinya sendiri. Lalu ia melirik Sivia. “Lihat ada buku ga di sini?” Rio kini bertanya pada kekasihnya itu.
            
Ify bernapas lega. Secercah harapan hadir di hatinya. Sepertinya, hari ini Rio dan Sivia tidak sebuas biasanya. Gadis itu tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar dan lebih ikhlas.
            
“Lihat. Tadi gue simpan.” ujar Sivia seraya mengaduk-aduk mocca latte miliknya.
            
Kedua mata Ify berbinar bahagia. Tuh kan! Hari ini pasangan itu sedang dalam mood baik. Buktinya ia mau menyimpan buku pusakanya. Antusias Ify bertanya, “Disimpan di mana, Kak?”
            
“Tong sampah.” ucap Sivia singkat.
            
Dan sesingkat-singkatnya ucapan Sivia, ternyata berhasil membuat Ify meledak seperti roket. Tidak sempat lagi ia memikirkan betapa jahatnya pasangan itu. Tidak sempat lagi ia menganulir dugaannya bahwa pasangan itu sudah menjinak. Tidak ada waktu lagi untuk Ify melihat bagaimana ekpresi bahagia Rio dan Sivia setelah melihatnya kesetanan berlari. Menyambangi tong sampah untuk menjemput buku berharganya yang kini telah bersatu bersama tumpukan sampah. Iew.

***
            
Ify tidak peduli tubuhnya tidak lebih wangi dari makanan yang dibiarkan berminggu-minggu di udara terbuka. Ify tidak peduli kemeja yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu banyak bercak noda. Ify tidak peduli semua orang yang berpapasan dengannya menatap dengan tatapan jijik. Ify tidak peduli ia harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar satu-satunya Abang ojek yang mau mengantarnya pulang. Ify tidak peduli pada itu semua. Yang ia pedulikan hanya satu, buku pusaka itu kembali ke dalam pelukannya. Sepanjang perjalanan pulang, Ify dekap buku itu penuh sayang. Seakan setiap detik buku itu bisa terbang dan kembali lagi ke tempat sampah.
            
“Benar-benar ya Kak Rio sama Kak Sivia tuh!” ucap Ify gemas seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia baru saja selesai mandi.
            
Gadis itu kemudian mengamati bukunya yang penuh dengan noda. Entah kotoran dari mana saja yang melekat di sana. Yang jelas buku itu benar-benar menjijikan.
            
Ify lalu membuka halaman buku itu satu persatu. Dan hampir setengah dari isi bukunya hancur. Gambarnya sudah tidak berbentuk lagi. Tertutup cairan lengket yang baunya bisa membuat bulu hidung memilih untuk rontok saja.
            
“Jahat!” cicit Ify pelan. Tangannya gemetar menyentuh satu gambar yang sudah tidak jelas bentuk rupanya. Namun Ify tahu betul itu gambar apa. Salah satu dari sekian banyak gambar yang ia beri gelar mahakarya. Arsiran wajah Gabriel ketika tertidur pulas yang diam-diam ia abadikan. Bahkan hingga sekarang, pemuda itu tidak pernah tahu mengenai gambar itu.

Mungkin Rio dan Sivia terlalu kaya sampai-sampai tidak bisa menghargai sebuah karya. Mereka mungkin bisa membeli lukisan-lukisan menakjubkan karya Affandi, atau ukiran-ukiran bagus hingga patung diri mereka sendiri. Namun Ify tidak bisa. Oh, bukan ia tidak bisa membeli. Karena kalau ia mau, ia tinggal minta pada Papa. Karena masalahnya, gambar-gambar itu adalah karyanya. Buah dari kerja tangan, mata, serta imajinasinya. Dan sekarang semua itu melebur bersama tanah, saus tomat, serta cairan-cairan lengket yang entah apa namanya.

Ify menggertakan rahangnya. Membuat giginya beremeletuk pelan. Lalu setelah itu, ia hempaskan tubuhnya ke atas sofa. Menatap nanar pada langit-langit apartemennya.

Pada waktu yang sama, di dalam sebuah mobil yang sedetik lalu mesinnya baru dimatikan, dua orang manusia nampak saling diam. Rio dan Sivia. Tidak ada suara apa pun kecuali desau napas mereka sendiri. Tidak ada gerakan sedikit pun kecuali dada mereka yang naik turun seiring udara yang mereka hela lalu hembuskan begitu saja tanpa makna.

"Gue mau putus." ujar Sivia. Tak terdengar sama sekali nada penyesalan di sana.

Rio yang berada di belakang kemudi tersentak kaget. Seperti baru saja disengat listrik jutaan volt, lelaki itu membelalak. Menoleh pada perempuan cantik di sampingnya.

"Putus? Kenapa? Bukannya tadi kita masih baik-baik aja?" tanya Rio tak percaya. Oh, pasti kekasihnya itu mengigau. Mungkin dirinya lupa bahwa hari ini tanggal satu april. Ya, Sivia pasti tengah mengerjainya dalam rangka april mop.

Sivia terkekeh pelan. "Udah lama gue ga baik-baik aja." gadis itu menoleh ke arah Rio. Balas menatap mata pemuda itu. "Gue jatuh cinta sama cowok lain." tukasnya ringan. Sama sekali tidak merasa bersalah. Ayolah memangnya ada yang salah dari seseorang yang jatuh cinta pada orang yang bukan kekasihnya? Jangan salahkan ia! Ia pun tak tahu menahu bagaimana mekanisme jatuh cinta itu terjadi. Saraf mana yang mengontrolnya. Karena Sivia yakin tidak ada saraf mana pun dalam tubuh yang mengatur pada siapa kita akan jatuh cinta.

Rio merasa cakrawalanya runtuh seketika. Cakrawala yang ia susun dari bongkahan-bongkahan keangkuhan itu kini berbalik menghancurkannya. Samar ia menggelengkan kepala. "Tapi gue masih cinta sama lo, Si!" cicit Rio dengan suara parau.

"Terus gue bisa apa?" tanya Sivia sarkatis. Gadis itu kemudian melepas sabuk pengaman dari tubuhnya. Meraih tasnya dan bersiap keluar dari mobil.

Rio menahan tangan Sivia. Membuat gadis itu menunda sebentar kepergiannya. Kembali duduk dan menatap wajah menyedihkan Rio.

Rio menatap kedua mata Sivia dalam-dalam. Lewat tatapannya ia meminta agar Sivia tetap tinggal bersamanya. Menemaninya bersenang-senang dan menikmati dunia. Lewat tatapannya ia memohon agar Sivia mencintainya saja. Anggap saja semua lelaki selain dirinya tidak ada. Hanya ada dia satu-satunya di dunia. Lewat tatapannya ia mengemis agar Sivia memberikan kembali kesempatan untuk dirinya mencintai. Karena hampir dua puluh tahun ia menjejak bumi, hanya Sivialah yang berhasil membuatnya jatuh hati.

Tapi tatapan itu saja tidak cukup untuk membayar betapa mahalnya harga seorang Sivia. Gadis cantik itu tersenyum tipis. Mencondongkan tubuhnya ke arah Rio. Lalu memberikan kecupan terakhir pada pemuda yang sudah tidak lagi menjadi kekasihnya. Kecupan perpisahan yang akan begitu dirindukan oleh si empunya pipi.

Dan setelah itu, Sivia benar-benar pergi. Menghilang dibawa oleh mobil yang jauh lebih mewah dari milik Rio, yang ternyata sudah menunggunya sejak tadi. Sialan! Rio memukul kemudinya dengan keras. Bahkan mantan kekasihnya itu sudah begitu mempersiapkan diri unuk perpisahan ini. Sedangkan dirinya tidak mempersiapkan apa pun. Karena sumpah demi apa pun juga, tidak pernah terlintas dalam benaknya perpisahan ini akan terjadi.

Dalam diam dengan bertemankan kesendirian, Rio menangis. Akhirnya, pemuda sombong itu hancur. Oleh sebuah rasa yang tak berwujud nyata. Terimakasih cinta! Kau berikan pelajaran teramat berharga untuknya.

***
bersambung