Tidak Butuh Judul [6]
Apakah begini yang namanya surga? Sepertinya tidak jauh
berbeda dengan kamarnya. Hanya mungkin di sini lebih rapi dan wangi. Selain itu
tidak ada yang istimewa.
“Awww!” Rio
mengaduh kesakitan. Refleks ia menyentuh pelipisnya. Omong-omong di surga masih
bisa merasakan sakit ya? Tanyanya seperti orang dungu.
Pemuda itu
melirik meja kecil dekat tempat tidur. Di sana terdapat baskom, handuk, gelas,
serta secarik kertas. Patah-patah Rio mengambil kertas itu. Dengan kepala yang
masih terasa berat, ia baca pesan yang tertulis di sana.
‘Aku pergi
dulu. Kalau lapar, ada sup di dapur. Kalau ga mau sup, masih ada roti di
kulkas, Tapi sebaiknya Kakak makan sup
aja.’
Rio
menghembuskan napas berat. Ternyata ini memang bukan surga. Oh sial sekali
dirinya! Dua kali berharap bangun sudah di surga, tapi kenyataan lagi yang
harus dihadapinya.
Rio membaca
ulang pesan di kertas itu. Lalu baru ingat bahwa tadi malam seorang malaikat
yang ia pikir dari surga datang menolongnya. Memberinya seteguk air dan
membasuk luka di pelipisnya. Ternyata malaikat itu masih mahluk bumi juga.
Rio sibuk
berpikir tentang siapa orang yang telah menunda dirinya untuk menikmati surga,
sampai gemuruh di perutnya membuat Rio terkesiap. Mungkin sup bisa membantunya
untuk berpikir. Pemuda itu menendang selimut yang menutupi tubuhnya. Hati-hati
berjingkat dari tempat tidur seraya memegangi kepalanya. Oh ternyata mabuk
ditambah kecelakaan bisa menghasilkan sakit kepala dan pega-pegal seluruh
badan.
Rio sudah
keluar dari kamar. Kini, ia berjalan melintasi ruang tamu yang bersatu dengan
tempat menonton TV. Dan ia baru menyadari bahwa keadaan ruang itu tidak berbeda
jauh dengan ruang apartemennya. Oh mungkin yang menolong dirinya tadi malam
adalah sang tetangga yang tidak pernah ia lihat batang hidungnya. Pemuda itu
melanjutkan langkahnya.
Rio berhenti lagi ketika hendak melintasi
sebuah lemari kaca setinggi dirinya. Dalam lemari itu terdapat berbagai benda.
Beberapa piala, raket bulu tangkis, juga sebuah boneka porselen yang seakan
menjadi penunggu di sana. Namun yang membuat Rio membuka mulutnya lebar-lebar
adalah pigura-pigura yang membingkai banyak potret peristiwa. Potret seorang
bayi yang dicium sayang oleh kedua orangtuanya, potret seorang anak perempuan
yang bergaya ceria dengan menara pisa sebagai latarnya, lalu ada pula seorang
gadis kecil yang erat memeluk ayahnya dalam sebuah perjalanan menyusuri Tembok
Raksasa China, dan satu potret terakhir yang menunjukan kebahagiaan tak terkira
adalah ketika gadis kecil yang telah melewati masa remaja itu berhasil
melaksanakan wisuda SMA. Dengan mengenakan toga, ia dipotret bersama ayahnya
yang nampak sangat bangga.
Bayi, anak
perempuan dan gadis itu adalah orang yang sama. Rio tahu siapa dia. Juniornya
di kampus yang selalu ia kerjai bersama Sivia. -Oh sial! Mengapa pula ia terus
mengingat perempuan itu?-. Rio mengerenyit. Jadi mahluk bumi yang berbaik hati
menolongnya tadi malam adalah Li...Li... ah siapalah itu namanya? Rio merasa
hatinya mencelos seketika. Bagaimana bisa gadis yang selalu didera olehnya itu
malah berbuat baik kepadanya?
Sesaat Rio
tertegun. Sampai suara di perutnya lagi-lagi membuat pemuda itu terhenyak. Ia
melanjutkan langkahnya menuju dapur.
Rio sudah
sampai di dapur. Matanya berbinar ketika melihat semangkuk sup tersedia di atas
meja. Dengan segera pemuda itu mengambil sendok. Tidak berpikir panjang untuk
mengambil suapan yang pertama.
Makaroni dan
telur puyuh disulap menjadi sup yang sangat lezat. Rio tersenyum menyeringai
ketika mengingat betapa sudah lama ia tidak makan makanan sehat seperti ini.
Selalu makanan cepat saji yang ia hadiahkan untuk lambung dan ususnya.
Lagipula, siapa yang akan membuatkan sup makaroni telur puyuh untuknya? Sivia
tidak bisa memasak. Menyentuh kompor saja gadis itu tidak bisa. Rio mendengus
kesal. Mengapa lagi-lagi Sivia?
Makan sup
dalam keadaan tidak bugar seperti ini mengingatkan Rio pada suasana rumahnya di
Jakarta. Dulu, kalau Rio sakit, mama akan membuatkannya sup asparagus atau
bubur beras merah. Lalu Papa akan bolos ke kantor demi menemaninya. Ah, Rio
jadi rindu orangtuanya. Sudah hampir dua bulan sejak semester baru berjalan, ia
tidak pernah pulang ke Jakarta. Padahal Jakarta-Bandung tidak terlalu jauh dan
hanya tiga jam saja ia tempuh. Rasa bersalah menyergap hatinya ketika ia
teringat rengekan Mama padanya agar ia menyempatkan waktu untuk pulang.
Tak terasa
mangkuk yang ada di hadapannya kini sudah tak ada isinya. Saking enaknya, Rio
sampai tidak sadar menghabiskan semuanya. Pemuda itu berjingkat dari kursinya.
Mengambil air lalu meneguknya.
Rio telah
meninggalkan dapur. Ia kini terduduk seperta orang bodoh di atas sofa. Bingung
juga harus apa. Sekilas ia melirik ke arah jam dinding. Mendesah kentara ketika
ia melihat jam dinding menunjukan bahwa waktu masih pukul sepuluh lebih lima
menit. Entah kapan gadis itu akan pulang. Oh, ia bosan dikurung di apartemen
orang. Ke mana juga gadis itu pergi? Bukankah ini hari sabtu dan tidak ada
jadwal kuliah? Orang bodoh mana yang mau mengorbankan sabtu paginya dengan
bepergian? Pemuda itu mengerucutkan bibirnya sebal.
Perhatian
Rio tiba-tiba tercuri pada sebuah buku yang tergeletak di atas meja. Lamat Rio
meraihnya. Pemuda itu bergidik ngeri ketika mendapati keadaan buku itu yang
sangat menjijikan. Banyak bercak noda di sana. Dan noda itu menguarkan bau yang
tidak enak. Seperti bau sampah.
Sampah? Rio
mengulang kata itu dalam hati. Sampah? Pemuda itu kemudian teringat sesuatu,
bahwa buku yang ada di tangannya adalah buku yang ia –dan Sivia- temukan tak
bertuan di salah satu meja kantin, lalu tanpa rasa bersalah ia buang buku itu ke
tong sampah.
“Ngotot
juga tu anak,” gumam Rio seraya tersenyum meremehkan. Ia jadi membayangkan
bagaimana gadis itu bekutat dengan sampah demi mendapatkan kembali bukunya.
Pasti seru kalau menyaksikannya. Sayang, waktu itu ia tak sempat melihat.
Dasar gadis
bodoh! Kalau Rio jadi gadis itu sih, mana sudi ia bergumul dengan sampah.
Mending ia relakan saja bukunya. Lagipula, apa istimewanya sih buku itu? Buku
begitu doang sih ia bisa beli beserta pabrik-pabriknya. Cibir Rio dalam hati
lengkap dengan kesombongannya seperti biasa.
Omong-omong,
buku itu isinya apa ya? Rio jadi penasaran juga. Pemuda itu membuka lembaran
pertama. Ada perasaan yang tidak bisa ia jelaskan sendiri ketika di lembar itu
didapatinya sketsa sebuah wajah yang hancur oleh kotoran yang ia yakin berasal
dari sampah. Rio buka lembar berikutnya, lagi hingga halaman terakhir. Sampai
suatu ketika tubuhnya berubah menegang. Tangannya gemetar memegangi buku itu.
Ia tahu buku itu memang bukan buku biasa.
Dulu,
ketika Rio masih duduk di sekolah dasar, ia diberi tugas membuat hasta karya.
Bermodalkan setumpuk korek api, ia buat karyanya. Sebuah pigura untuk
membingkai fotonya bersama Mama dan Papa.
Sayangnya, ketika
ia berjalan melintasi lapangan, sebuah bola menghantamnya. Membuat pigura korek
apinya terlepas dari tangannya dan berakhir dengan kehancuran di ujung
sepatunya. Rio kecil menangis sejadinya. Ia tidak mau masuk kelas kalau
karyanya tidak kembali utuh. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Mau diperbaiki
pun hasilnya tak akan sama. Tangis Rio semakin kencang.
Ibu guru berusaha
untuk membujuk Rio agar berhenti menangis. Dia bilang, Rio tidak akan dimarahi
meskipun tugas membuat hasta karyanya rusak. Tapi Rio masih tidak mau
menghentikan tangisnya. Sampai Mama yang harus turun tangan dengan menjemputnya
pulang.
Sebab Rio kecil
menangis bukan semata-mata takut dimarahi ibu guru. Rio menangis karena ada
yang ia rasakan memukul hatinya dengan godam ketika melihat apa yang telah ia
buat dengan sepenuh tenaga dan hati itu hancur. Seperti hatinya ikut hancur.
Sakit sekali.
Blass... Pagi ini
dua kali sudah hatinya mencelos. Karena Rio tahu betul bagaimana rasa sakit
ketika karyanya rusak. Hal itu pulalah yang pasti gadis itu rasakan saat
melihat sketsa-sketsa yang dibuatnya tersapu oleh sampah.
Rio meletakkan
kembali buku itu ke atas meja. Ia mendesah kentara. Kemudian mengambil posisi
terlentang di sofa. Dipandanginya langit-langit apartemen. Lalu berbisik pada
udara di sekitarnya, “Mama, Papa, akhirnya Rio bisa balas dendam.
***
Ify membuka pintu
apartemennya dengan ragu. Setelah sang pintu memberikan jalan untuknya, gadis
itu melangkah dengan mengendap-endap. Entah mengapa ia harus melakukannya. Itu
apartemennya. Tidak sepatutnya Ify bertindak seperti seorang pencuri.
Ify menajamkan
pendengarannya. Tapi tidak didengarnya tanda-tanda kehidupan di sana. Lalu, Rio
di mana? Jangan bilang dia melompat dari balkon akibat frustasi ditinggal
Sivia! Cemen sekali si sombong itu!
Gadis itu
menghembuskan napas lega ketika mendapati Rio tengah tertidur di atas sofa. Ify
berdecak. Selain hobi menyombong, Rio juga hobi tidur. Tadi ketika ia pergi,
Rio sedang dalam keadaan tidur. Sekarang ketika ia pulang setelah mengikuti
rangkaian kegiatan yang super melelahkan –terimakah untuk Alvin-, pemuda itu
juga masih tidur. Ya meskipun sekarang tempatnya pindah ke sofa.
Ify mengangkat bahu
tak peduli. Kemudian menyimpan tasnya di atas meja. Bersama dua kantung kresek
berisi bahan makanan di tangan, Ify
berjalan menuju dapur. Membuat makanan untuk disantap nanti malam.
Ujung bibir Ify
tertarik ketika gadis itu menemukan mangkuk yang tadi pagi ia tinggalkan masih
penuh terisi sup makaroni telur puyuh kini bersih. Gadis itu terkikik pelan.
Penasaran juga ingin melihat ekspresi seniornya itu ketika melahap sup
buatannya dengan semangat. Pasti lucu. Eh? Lucu? Sepertinya tetap menyeramkan.
Ify terkesiap.
Menghilangkan pikiran-pikirannya tentang Rio. Buat apa juga ia memikirkan Rio?
Tidak penting. Gadis itu mengeluarkan barang belanjaannya. Kentang, telur,
terigu, dan satu bungkus ayam potong. Malam ini ia akan membuat perkedel
kentang dan sup ayam.
Sementara Ify
berkutat di dapur, Rio mulai membuka matanya. Bau menggoda yang datang dari
dapur berhasil membuatnya terjaga. Pemuda itu memegangi perutnya. Padahal hari
ini ia tidak melakukan apa pun selain tidur, tapi mengapa ia lapar terus?
Rio terkesiap
ketika mendengar suara minyak yang sedang dipanaskan. Gadis itu sudah pulang
ya? Segera Rio bangkit dari sofa. Bergerak patah-patah menuju dapur.
Dari ambang pintu,
Rio mendapati gadis itu berdiri memunggunginya. Ia hadapi kompor, panci dan
wajan berisi minyak panas bak chef profesional. Sama sekali tidak takut ketika
memasukkan potongan ayam ke dalam panci. Untuk kali pertama ia menyaksikan
seseorang selain mamanya memasak dari jarak dekat. Biasanya, kalau Mama sedang
masak, Rio yang baru pulang sehabis bermain akan berlari memeluk Mama dari belakang.
Bercerita tentang berapa banyak kelereng yang ia dapatkan hari itu. Atau
semakin dewasa, Rio bercerita tentang teman sekelas yang ditaksirnya.
Tapi tentu saja Rio
tak akan melakukannya pada gadis itu. Siapa pula dirinya? Maka yang dilakukan
Rio adalah mengambil kursi dan duduk di sana. Berdeham pelan, kemudian bertanya
dengan nada ketus. “Sejak kapan lo balik?”
Eh? Ify terkesiap.
Baru sadar bahwa dirinya kini tidak lagi sendiri. Gadis itu menoleh ke belakang
sejenak. Lalu beralih kembali pada perkedel kentang yang sudah berwarna kuning
keemasan. Gadis itu mengangkat perkedel-perkedelnya dari wajan dan
memindahkannya ke atas piring seraya berucap pelan. “Setengah jam yang lalu
kira-kira.”
“Kenapa ga bangunin
gue?” tanya Rio lagi, masih dengan nada yang ketus.
Ify mendesah
kentara. Tidak bisa biasa saja ya bertanyanya? Gadis itu mengerucutkan bibir
seraya mulai mengiris seledri untuk nanti ia taburkan pada sup ayamnya. Ia tak
acuhkan pertanyaan pemuda itu.
Rio berdecak kesal.
Kok dia sekarang sudah berani mencuekkan dirinya sih? Jangan karena gadis itu
sudah menolongnya dia bisa kurang ajar padanya!
Namun karena hari
itu Rio malas berdebat, ia tak memprotesnya. Pemuda itu bergerak membuka pintu
kulkas, mengambil sebuah apel merah dari sana. Tanpa permisi, ia gigit apel
itu. Seakan-akan itu adalah miliknya. Mungkin dia lupa sedang berada di
apartemen siapa. Dia juga lupa bahwa dirinya hanyalah tamu yang tak sengaja Ify
temukan tak berdaya.
Sup ayam buatan Ify
sudah siap disantap. Ify menyajikannya dalam sebuah mangkuk besar. Di atasnya
ditaburkan bawang goreng dan potongan seledri. Dari baunya sih sepertinya enak.
Ify membawa sup
ayam serta perkedel kentangnya ke atas meja setelah sebelumnya menyimpan
sebakul nasi di sana. Setelah itu ia ambil dua piring serta dua sendok garpu.
Satu diletakkan di hadapannya, satu ia simpan didekat Rio.
“Makan, Kak!” gumam
Ify pelan seraya menyendok nasi ke piringnya. Disusul oleh siraman sup ayam
serta perkedel kentang.
Rio mengedikkan
bahu lalu turut mengambil makanan untuk mengisi piringnya. Lumayan. Kapan lagi
di perantauan ini ia bisa makan makanan yang ia saksikan proses pembuatannya.
Makan malam itu
dilewati tanpa satu pun kata. Hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan
piring yang memecah keheningan di sana. Sisanya tidak ada. Ify malas mengobrol
dengan Rio. Lagipula, mengobrol apa coba? Tentang sifat sombong dan angkuhnya?
Atau tentang ia yang membuat badannya jadi bau sampah? Atau tentang Alvin yang
hampir kehilangan nyawa karena ulahnya? Oh tentu tidak. Ia tidak mau peperangan
terjadi di dapurnya.
Rio sendiri juga
bingung harus bicara apa. Setelah tadi pertanyaannya tidak dijawab, ia jadi
tidak punya ide untuk mencairkan suasana.
Sampai ketika
mereka selesai makan, dan Ify sigap membereskan meja. Mengangkuti piring dan
gelas kotor ke wastafel. Ify hendak memutar keran air, saat tiba-tiba Rio
terlebih dahulu menyingkirkan Ify dari sana. Mengambil alih piring dan
gelas kotor itu.
“Jangan belagu deh
lo! Cuci piring doang sih gue bisa!” tukas Rio tajam, lalu memutar keran.
Diambilnya spon yang telah ditetesi sabun. Kemudian ia ulaskan pada
piring-piring dan gelas kotor itu. Mencucinya hingga bersih.
Ify mengangkat
bahu. Dia mau menyombong kemampuan mencuci piring? Maaf saja ya! Ify tidak
tertarik untuk berlomba. Gadis itu memilih pergi meninggalkan dapur.
Rio baru sadar
bahwa dirinya ditinggal sendiri ketika ia sudah selesai mencuci piring. Pemuda
itu mengulum bibirnya kesal. Dasar tidak tahu diri! Diberi bantuan kok malah
begitu? Puas ya membuat Rio yang –catat ya!- tidak pernah mengerjakan pekerjaan
rumah tangga seperti ini mencuci piring? Sialan!
Pemuda itu berjalan
keluar dapur. Tadinya, ia berniat mengomeli gadis itu. Tapi diurungkannya niat
itu ketika mendapati gadis itu tengah menekuri baskom, handuk, serta satu kotak
plester. Hal ajaib apa lagi sih yang dilakukan gadis itu? Mengapa ia serba
bisa? Sudah seperti Mamanya saja.
“Tadi malam
plesterku habis. Jadi lukanya cuma aku bersihin. Sini biar aku obatin!” ujar
Ify. Mulai membasahi handuk dengan air yang ada di dalam baskom.
Sebenarnya Rio
hendak memprotes. Kok gadis itu jadi menyuruh-nyuruh dirinya sih? Yang senior
siapa coba? Namun entah mengapa semuanya menguap begitu saja. Seperti anak
kecil menuruti perintah ibunya, Rio bergerak dan mengambil tempat duduk di
samping gadis itu.
Ify meletakkan
handuk basah itu tepat pada luka Rio yang telah mengering. Sempat pemuda itu
mengaduh kesakitan, tapi tak sedikit pun ia hiraukan. Gadis itu kini mengambil
plester, lalu menempelkannya di sana hingga luka itu tak lagi nampak.
“Aku cuma ngobatin
luka luarnya aja! Sebaiknya besok Kakak ke dokter. Siapa yang tahu di dalam
tubuh Kakak juga ada luka.” ujar Ify seraya membersekan peralatan P3Knya.
Rio merasa
tersindir. Maksud dari di dalam tubuhnya ada luka? Oh, hatinya? Kurang ajar!
“Oh iya, nih!” Ify
menyodorkan beberapa lembar uang pada Rio.
Rio mengerenyit
bingung melihat uang itu. Untuk apa? Untuk berobat ke dokter? Oh cukup ya
kurang ajarnya! Dia pikir ia tidak punya uang untuk berobat ke dokter?
Membangun rumah sakit pun ia mampu.
Ify berdecak pelan.
Sepertinya luka di kepala Rio membuat pemuda itu amnesia. Dengan malas gadis
itu menjelaskan. “Ini uang Kakak. Yang dulu Kakak kasih ke aku untuk ganti
mangkuknya abang soto ayam. Tapi abangnya ga mau terima. Waktu itu mau aku
balikin, Kakak malah bilang buat aku aja sebelum aku gajian. Maaf kak, aku
belum kerja. Jadi ya aku belum punya gaji juga.”
Rio mengatupkan
bibirnya. Mengangguk pelan. Oh, dirinya baru ingat soal uang itu. Jadi, gadis
itu bukan pembantu seperti yang dikatakan Sivia? Tapi tak mungkin juga sih
gadis itu pembantu. Masa pembantu bisa tinggal di apartemen mewah macam begini?
Pemuda itu mengedikkan bahu.
“Ambil aja!
Itung-itung buat biaya penginapan, makan sama pengobatan.” ujar Rio seraya menunjuk
plester yang membalut luka di pelipisnya.
Ify mengerenyit.
Gadis itu tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rio. Apa Rio kira Ify tidak
ikhlas menolongnya tadi malam? Tolong ya kalau Ify tidak ikhlas, dia tidak akan
tanggung-tanggung. Takkan sudi dirinya sejengkal pun kaki si sombong itu
menginjak apartemennya. Cih.
“Kalau terlalu kaya
bikin Kakak ga bisa menghargai kebaikan orang, sebaiknya Kakak introspeksi deh.
Ga semua kebaikan bisa dibayar pakai uang. Apartemanku bukan hotel, di sini
bukan restoran dan aku bukan dokter. Kakak harus belajar bilang terimakasih
sama orang!” Ify memalingkan wajahnya. Terdiam dan baru menyadari ucapannya
terlalu keras. Gadis itu mengumpat dirinya dalam hati. Kan, Ify bisanya cari
mati. Jangan lupa bahwa yang tengah kau hadapi adalah Rio!
Tapi Rio ternyata
tidak bereaksi apa-apa. Pemuda itu tertegun ketika merasakan hatinya tertohok
oleh apa yang dikatakan gadis itu. Gadis itu benar. Mungkin ia lupa tentang
pelajaran masa kecilnya. Dulu, setiap Bibi menyiapkan seragam sekolahnya,
menemaninya bermain monopoli, atau memberi makan kelinci peliharaannya, ia
selalu diajarkan untuk mengucapkan terimakasih. Semakin dewasa, ia mulai
mengabaikan pelajaran penting itu. Yang terjadi justru sebaliknya. Rio akan
mengomeli Bibi kalau seragam sekolah yang disiapkan malah putih abu padahal
pagi itu ia harus memakai kemeja batik. Rio akan berteriak di depan wajah Bibi
ketika mendapati ruang bermain playstationnya berantakan. Rio akan membentak
Bibi saat dirinya tidak bisa menemukan kunci mobil padahal ia harus pergi
menonton konser bersama teman-temannya.
“Maksud gue bukan
kayak gitu,” ujar Rio terbata-bata. “Emmm...”
Ify menoleh ke arah
Rio. Kaget juga ketika dirinya tidak balas dibentak. Sekarang, kok jadi dirinya
yang lebih galak?
“Maaf, Kak! Ga
seharusnya aku ngomong kayak gitu.” tukas Ify. Tidak mau kalau pemuda itu
menyimpan dendam dan kehidupannya setelah ini tidak akan tenang.
Rio tersenyum
miring. “Tapi lo benar. Gue pikir semuanya bisa diselesaikan pakai uang.
Ternyata enggak.”
Ify terkesiap. Lah,
sadar diri juga ternyata dia?
“Jadi, lo suka
Disney juga?” tanya Rio. Entah mengapa tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu.
Mungkin karena boneka Princess Aurora yang tadi ditemukannya di lemari kaca.
Selain itu, ia juga baru sadar, kebanyakan gambar yang ada di buku beraroma
sampah itu adalah tokoh disney.
Ify belum sempat
menjawab, ketika Rio lagi-lagi berceletuk tak terduga.
“Gue tuh fans
beratnya Disney. Paling suka sama Lion King. Itu film pertama yang bisa bikin
gue nangis.”
Seorang Rio bisa
menangis? Gara-gara menonton film kartun? Sulit dipercaya.
Kelihatannya memang
aneh. Tapi topik Disney ternyata berhasil menyedot Ify dan Rio pada atmosfer
hangat yang sebelumnya tak pernah ada di antara mereka. Keduanya berbincang
seperti kawan lama. Bertukar pikiran mengenai tokoh Disney favorit, soundtrack
film Disney yang berkesan, animator-animator dibalik kesuksesan Disney, sampai
pengalaman-pengalaman Rio datang ke festival Disney di luar negeri.
Dan waktu menjadi
pemisah sepasang teman baru itu. Sudah pukul sepuluh malam. Baik Ify maupun Rio
sama sekali tidak percaya bahwa mereka bisa menghabiskan entah berapa juta
detik hanya untuk mengobrol. Bahkan sampai Rio hendak berpamitan pulang, ia
masih belum tahu nama Ify.
“Itu kamar gue.”
Rio menunjuk sebuah kamar tepat di sebelah kamar Ify.
Ify melongok
sekilas. Kemudian tersenyum menyeringai. “Kita tetanggaan tapi kita baru sadar
sekarang. Lucu ya?”
“Iya. Gue balik
ya!” ujar Rio. Kemudian memutar tubuhnya. Hendak melangkah, namu tiba-tiba ia
menghentikan kakinya. Kembali menoleh pada Ify.
Ify menatap Rio
heran. Ada yang tertinggal? Begitu arti dari tatapannya.
“Gue...” Rio
berdeham pelan, lalu melanjutkan. “Gue mau bilang makasih. Makasih karena lo
udah mau nolongin gue. Makasih juga udah mau ngobrol banyak tentang Disney sama
gue.” Pemuda itu menghela napas. “Makasih ya Li... Li...” Rio mengerutkan
kening. Meminta bantuan Ify untuk memberitahu namanya.
“Panggil aja Ify,
Kak! Sama-sama.” Ify tersenyum lebar. Menunjukkan deretan giginya yang berbaris
rapi. Senang juga mendengar ucapan terimakasih meluncur dari mulut si pongah
Rio.
Rio akhirnya
benar-benar undur diri. Kembali ke apartemennya dengan perasaan aneh. Ia merasa
lebih baik sekarang. Begitu cepat hatinya disembuhkan.
Sementara itu, Ify
mengangkat bahu setelah menutup kembali pintu apartemennya. Benar-benar ajaib.
Ify tidak menyangka bisa mengobrol seseru itu dengan seseorang yang bahkan
sebelumnya selalu tidak ingin ia temui batang hidungnya.
***
Bersambung