Tidak Butuh Judul [6]

Rabu, 20 April 2016

Tidak Butuh Judul [6]


Apakah begini yang namanya surga? Sepertinya tidak jauh berbeda dengan kamarnya. Hanya mungkin di sini lebih rapi dan wangi. Selain itu tidak ada yang istimewa.
           
“Awww!” Rio mengaduh kesakitan. Refleks ia menyentuh pelipisnya. Omong-omong di surga masih bisa merasakan sakit ya? Tanyanya seperti orang dungu.
            

Pemuda itu melirik meja kecil dekat tempat tidur. Di sana terdapat baskom, handuk, gelas, serta secarik kertas. Patah-patah Rio mengambil kertas itu. Dengan kepala yang masih terasa berat, ia baca pesan yang tertulis di sana.
            
‘Aku pergi dulu. Kalau lapar, ada sup di dapur. Kalau ga mau sup, masih ada roti di kulkas,  Tapi sebaiknya Kakak makan sup aja.’
            
Rio menghembuskan napas berat. Ternyata ini memang bukan surga. Oh sial sekali dirinya! Dua kali berharap bangun sudah di surga, tapi kenyataan lagi yang harus dihadapinya.
            
Rio membaca ulang pesan di kertas itu. Lalu baru ingat bahwa tadi malam seorang malaikat yang ia pikir dari surga datang menolongnya. Memberinya seteguk air dan membasuk luka di pelipisnya. Ternyata malaikat itu masih mahluk bumi juga.
            
Rio sibuk berpikir tentang siapa orang yang telah menunda dirinya untuk menikmati surga, sampai gemuruh di perutnya membuat Rio terkesiap. Mungkin sup bisa membantunya untuk berpikir. Pemuda itu menendang selimut yang menutupi tubuhnya. Hati-hati berjingkat dari tempat tidur seraya memegangi kepalanya. Oh ternyata mabuk ditambah kecelakaan bisa menghasilkan sakit kepala dan pega-pegal seluruh badan.
            
Rio sudah keluar dari kamar. Kini, ia berjalan melintasi ruang tamu yang bersatu dengan tempat menonton TV. Dan ia baru menyadari bahwa keadaan ruang itu tidak berbeda jauh dengan ruang apartemennya. Oh mungkin yang menolong dirinya tadi malam adalah sang tetangga yang tidak pernah ia lihat batang hidungnya. Pemuda itu melanjutkan langkahnya.
             
Rio berhenti lagi ketika hendak melintasi sebuah lemari kaca setinggi dirinya. Dalam lemari itu terdapat berbagai benda. Beberapa piala, raket bulu tangkis, juga sebuah boneka porselen yang seakan menjadi penunggu di sana. Namun yang membuat Rio membuka mulutnya lebar-lebar adalah pigura-pigura yang membingkai banyak potret peristiwa. Potret seorang bayi yang dicium sayang oleh kedua orangtuanya, potret seorang anak perempuan yang bergaya ceria dengan menara pisa sebagai latarnya, lalu ada pula seorang gadis kecil yang erat memeluk ayahnya dalam sebuah perjalanan menyusuri Tembok Raksasa China, dan satu potret terakhir yang menunjukan kebahagiaan tak terkira adalah ketika gadis kecil yang telah melewati masa remaja itu berhasil melaksanakan wisuda SMA. Dengan mengenakan toga, ia dipotret bersama ayahnya yang nampak sangat bangga.
            
Bayi, anak perempuan dan gadis itu adalah orang yang sama. Rio tahu siapa dia. Juniornya di kampus yang selalu ia kerjai bersama Sivia. -Oh sial! Mengapa pula ia terus mengingat perempuan itu?-. Rio mengerenyit. Jadi mahluk bumi yang berbaik hati menolongnya tadi malam adalah Li...Li... ah siapalah itu namanya? Rio merasa hatinya mencelos seketika. Bagaimana bisa gadis yang selalu didera olehnya itu malah berbuat baik kepadanya?
            
Sesaat Rio tertegun. Sampai suara di perutnya lagi-lagi membuat pemuda itu terhenyak. Ia melanjutkan langkahnya menuju dapur.
            
Rio sudah sampai di dapur. Matanya berbinar ketika melihat semangkuk sup tersedia di atas meja. Dengan segera pemuda itu mengambil sendok. Tidak berpikir panjang untuk mengambil suapan yang pertama.
            
Makaroni dan telur puyuh disulap menjadi sup yang sangat lezat. Rio tersenyum menyeringai ketika mengingat betapa sudah lama ia tidak makan makanan sehat seperti ini. Selalu makanan cepat saji yang ia hadiahkan untuk lambung dan ususnya. Lagipula, siapa yang akan membuatkan sup makaroni telur puyuh untuknya? Sivia tidak bisa memasak. Menyentuh kompor saja gadis itu tidak bisa. Rio mendengus kesal. Mengapa lagi-lagi Sivia?
            
Makan sup dalam keadaan tidak bugar seperti ini mengingatkan Rio pada suasana rumahnya di Jakarta. Dulu, kalau Rio sakit, mama akan membuatkannya sup asparagus atau bubur beras merah. Lalu Papa akan bolos ke kantor demi menemaninya. Ah, Rio jadi rindu orangtuanya. Sudah hampir dua bulan sejak semester baru berjalan, ia tidak pernah pulang ke Jakarta. Padahal Jakarta-Bandung tidak terlalu jauh dan hanya tiga jam saja ia tempuh. Rasa bersalah menyergap hatinya ketika ia teringat rengekan Mama padanya agar ia menyempatkan waktu untuk pulang.
            
Tak terasa mangkuk yang ada di hadapannya kini sudah tak ada isinya. Saking enaknya, Rio sampai tidak sadar menghabiskan semuanya. Pemuda itu berjingkat dari kursinya. Mengambil air lalu meneguknya.
            
Rio telah meninggalkan dapur. Ia kini terduduk seperta orang bodoh di atas sofa. Bingung juga harus apa. Sekilas ia melirik ke arah jam dinding. Mendesah kentara ketika ia melihat jam dinding menunjukan bahwa waktu masih pukul sepuluh lebih lima menit. Entah kapan gadis itu akan pulang. Oh, ia bosan dikurung di apartemen orang. Ke mana juga gadis itu pergi? Bukankah ini hari sabtu dan tidak ada jadwal kuliah? Orang bodoh mana yang mau mengorbankan sabtu paginya dengan bepergian? Pemuda itu mengerucutkan bibirnya sebal.
            
Perhatian Rio tiba-tiba tercuri pada sebuah buku yang tergeletak di atas meja. Lamat Rio meraihnya. Pemuda itu bergidik ngeri ketika mendapati keadaan buku itu yang sangat menjijikan. Banyak bercak noda di sana. Dan noda itu menguarkan bau yang tidak enak. Seperti bau sampah.
            
Sampah? Rio mengulang kata itu dalam hati. Sampah? Pemuda itu kemudian teringat sesuatu, bahwa buku yang ada di tangannya adalah buku yang ia –dan Sivia- temukan tak bertuan di salah satu meja kantin, lalu tanpa rasa bersalah ia buang buku itu ke tong sampah.
            
“Ngotot juga tu anak,” gumam Rio seraya tersenyum meremehkan. Ia jadi membayangkan bagaimana gadis itu bekutat dengan sampah demi mendapatkan kembali bukunya. Pasti seru kalau menyaksikannya. Sayang, waktu itu ia tak sempat melihat.
            
Dasar gadis bodoh! Kalau Rio jadi gadis itu sih, mana sudi ia bergumul dengan sampah. Mending ia relakan saja bukunya. Lagipula, apa istimewanya sih buku itu? Buku begitu doang sih ia bisa beli beserta pabrik-pabriknya. Cibir Rio dalam hati lengkap dengan kesombongannya seperti biasa.
            
Omong-omong, buku itu isinya apa ya? Rio jadi penasaran juga. Pemuda itu membuka lembaran pertama. Ada perasaan yang tidak bisa ia jelaskan sendiri ketika di lembar itu didapatinya sketsa sebuah wajah yang hancur oleh kotoran yang ia yakin berasal dari sampah. Rio buka lembar berikutnya, lagi hingga halaman terakhir. Sampai suatu ketika tubuhnya berubah menegang. Tangannya gemetar memegangi buku itu. Ia tahu buku itu memang bukan buku biasa.
            
Dulu, ketika Rio masih duduk di sekolah dasar, ia diberi tugas membuat hasta karya. Bermodalkan setumpuk korek api, ia buat karyanya. Sebuah pigura untuk membingkai fotonya bersama Mama dan Papa.

Sayangnya, ketika ia berjalan melintasi lapangan, sebuah bola menghantamnya. Membuat pigura korek apinya terlepas dari tangannya dan berakhir dengan kehancuran di ujung sepatunya. Rio kecil menangis sejadinya. Ia tidak mau masuk kelas kalau karyanya tidak kembali utuh. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Mau diperbaiki pun hasilnya tak akan sama. Tangis Rio semakin kencang.

Ibu guru berusaha untuk membujuk Rio agar berhenti menangis. Dia bilang, Rio tidak akan dimarahi meskipun tugas membuat hasta karyanya rusak. Tapi Rio masih tidak mau menghentikan tangisnya. Sampai Mama yang harus turun tangan dengan menjemputnya pulang.

Sebab Rio kecil menangis bukan semata-mata takut dimarahi ibu guru. Rio menangis karena ada yang ia rasakan memukul hatinya dengan godam ketika melihat apa yang telah ia buat dengan sepenuh tenaga dan hati itu hancur. Seperti hatinya ikut hancur. Sakit sekali.

Blass... Pagi ini dua kali sudah hatinya mencelos. Karena Rio tahu betul bagaimana rasa sakit ketika karyanya rusak. Hal itu pulalah yang pasti gadis itu rasakan saat melihat sketsa-sketsa yang dibuatnya tersapu oleh sampah.

Rio meletakkan kembali buku itu ke atas meja. Ia mendesah kentara. Kemudian mengambil posisi terlentang di sofa. Dipandanginya langit-langit apartemen. Lalu berbisik pada udara di sekitarnya, “Mama, Papa, akhirnya Rio bisa balas dendam.

***

Ify membuka pintu apartemennya dengan ragu. Setelah sang pintu memberikan jalan untuknya, gadis itu melangkah dengan mengendap-endap. Entah mengapa ia harus melakukannya. Itu apartemennya. Tidak sepatutnya Ify bertindak seperti seorang pencuri.

Ify menajamkan pendengarannya. Tapi tidak didengarnya tanda-tanda kehidupan di sana. Lalu, Rio di mana? Jangan bilang dia melompat dari balkon akibat frustasi ditinggal Sivia! Cemen sekali si sombong itu!

Gadis itu menghembuskan napas lega ketika mendapati Rio tengah tertidur di atas sofa. Ify berdecak. Selain hobi menyombong, Rio juga hobi tidur. Tadi ketika ia pergi, Rio sedang dalam keadaan tidur. Sekarang ketika ia pulang setelah mengikuti rangkaian kegiatan yang super melelahkan –terimakah untuk Alvin-, pemuda itu juga masih tidur. Ya meskipun sekarang tempatnya pindah ke sofa.

Ify mengangkat bahu tak peduli. Kemudian menyimpan tasnya di atas meja. Bersama dua kantung kresek berisi  bahan makanan di tangan, Ify berjalan menuju dapur. Membuat makanan untuk disantap nanti malam.

Ujung bibir Ify tertarik ketika gadis itu menemukan mangkuk yang tadi pagi ia tinggalkan masih penuh terisi sup makaroni telur puyuh kini bersih. Gadis itu terkikik pelan. Penasaran juga ingin melihat ekspresi seniornya itu ketika melahap sup buatannya dengan semangat. Pasti lucu. Eh? Lucu? Sepertinya tetap menyeramkan.

Ify terkesiap. Menghilangkan pikiran-pikirannya tentang Rio. Buat apa juga ia memikirkan Rio? Tidak penting. Gadis itu mengeluarkan barang belanjaannya. Kentang, telur, terigu, dan satu bungkus ayam potong. Malam ini ia akan membuat perkedel kentang dan sup ayam.

Sementara Ify berkutat di dapur, Rio mulai membuka matanya. Bau menggoda yang datang dari dapur berhasil membuatnya terjaga. Pemuda itu memegangi perutnya. Padahal hari ini ia tidak melakukan apa pun selain tidur, tapi mengapa ia lapar terus?

Rio terkesiap ketika mendengar suara minyak yang sedang dipanaskan. Gadis itu sudah pulang ya? Segera Rio bangkit dari sofa. Bergerak patah-patah menuju dapur.

Dari ambang pintu, Rio mendapati gadis itu berdiri memunggunginya. Ia hadapi kompor, panci dan wajan berisi minyak panas bak chef profesional. Sama sekali tidak takut ketika memasukkan potongan ayam ke dalam panci. Untuk kali pertama ia menyaksikan seseorang selain mamanya memasak dari jarak dekat. Biasanya, kalau Mama sedang masak, Rio yang baru pulang sehabis bermain akan berlari memeluk Mama dari belakang. Bercerita tentang berapa banyak kelereng yang ia dapatkan hari itu. Atau semakin dewasa, Rio bercerita tentang teman sekelas yang ditaksirnya.

Tapi tentu saja Rio tak akan melakukannya pada gadis itu. Siapa pula dirinya? Maka yang dilakukan Rio adalah mengambil kursi dan duduk di sana. Berdeham pelan, kemudian bertanya dengan nada ketus. “Sejak kapan lo balik?”

Eh? Ify terkesiap. Baru sadar bahwa dirinya kini tidak lagi sendiri. Gadis itu menoleh ke belakang sejenak. Lalu beralih kembali pada perkedel kentang yang sudah berwarna kuning keemasan. Gadis itu mengangkat perkedel-perkedelnya dari wajan dan memindahkannya ke atas piring seraya berucap pelan. “Setengah jam yang lalu kira-kira.”

“Kenapa ga bangunin gue?” tanya Rio lagi, masih dengan nada yang ketus.

Ify mendesah kentara. Tidak bisa biasa saja ya bertanyanya? Gadis itu mengerucutkan bibir seraya mulai mengiris seledri untuk nanti ia taburkan pada sup ayamnya. Ia tak acuhkan pertanyaan pemuda itu.

Rio berdecak kesal. Kok dia sekarang sudah berani mencuekkan dirinya sih? Jangan karena gadis itu sudah menolongnya dia bisa kurang ajar padanya!

Namun karena hari itu Rio malas berdebat, ia tak memprotesnya. Pemuda itu bergerak membuka pintu kulkas, mengambil sebuah apel merah dari sana. Tanpa permisi, ia gigit apel itu. Seakan-akan itu adalah miliknya. Mungkin dia lupa sedang berada di apartemen siapa. Dia juga lupa bahwa dirinya hanyalah tamu yang tak sengaja Ify temukan tak berdaya.

Sup ayam buatan Ify sudah siap disantap. Ify menyajikannya dalam sebuah mangkuk besar. Di atasnya ditaburkan bawang goreng dan potongan seledri. Dari baunya sih sepertinya enak.

Ify membawa sup ayam serta perkedel kentangnya ke atas meja setelah sebelumnya menyimpan sebakul nasi di sana. Setelah itu ia ambil dua piring serta dua sendok garpu. Satu diletakkan di hadapannya, satu ia simpan didekat Rio.

“Makan, Kak!” gumam Ify pelan seraya menyendok nasi ke piringnya. Disusul oleh siraman sup ayam serta perkedel kentang.

Rio mengedikkan bahu lalu turut mengambil makanan untuk mengisi piringnya. Lumayan. Kapan lagi di perantauan ini ia bisa makan makanan yang ia saksikan proses pembuatannya.

Makan malam itu dilewati tanpa satu pun kata. Hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring yang memecah keheningan di sana. Sisanya tidak ada. Ify malas mengobrol dengan Rio. Lagipula, mengobrol apa coba? Tentang sifat sombong dan angkuhnya? Atau tentang ia yang membuat badannya jadi bau sampah? Atau tentang Alvin yang hampir kehilangan nyawa karena ulahnya? Oh tentu tidak. Ia tidak mau peperangan terjadi di dapurnya.

Rio sendiri juga bingung harus bicara apa. Setelah tadi pertanyaannya tidak dijawab, ia jadi tidak punya ide untuk mencairkan suasana.

Sampai ketika mereka selesai makan, dan Ify sigap membereskan meja. Mengangkuti piring dan gelas kotor ke wastafel. Ify hendak memutar keran air, saat tiba-tiba Rio terlebih dahulu menyingkirkan Ify dari sana. Mengambil alih piring dan gelas kotor itu.

“Jangan belagu deh lo! Cuci piring doang sih gue bisa!” tukas Rio tajam, lalu memutar keran. Diambilnya spon yang telah ditetesi sabun. Kemudian ia ulaskan pada piring-piring dan gelas kotor itu. Mencucinya hingga bersih.

Ify mengangkat bahu. Dia mau menyombong kemampuan mencuci piring? Maaf saja ya! Ify tidak tertarik untuk berlomba. Gadis itu memilih pergi meninggalkan dapur.

Rio baru sadar bahwa dirinya ditinggal sendiri ketika ia sudah selesai mencuci piring. Pemuda itu mengulum bibirnya kesal. Dasar tidak tahu diri! Diberi bantuan kok malah begitu? Puas ya membuat Rio yang –catat ya!- tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti ini mencuci piring? Sialan!

Pemuda itu berjalan keluar dapur. Tadinya, ia berniat mengomeli gadis itu. Tapi diurungkannya niat itu ketika mendapati gadis itu tengah menekuri baskom, handuk, serta satu kotak plester. Hal ajaib apa lagi sih yang dilakukan gadis itu? Mengapa ia serba bisa? Sudah seperti Mamanya saja.

“Tadi malam plesterku habis. Jadi lukanya cuma aku bersihin. Sini biar aku obatin!” ujar Ify. Mulai membasahi handuk dengan air yang ada di dalam baskom.

Sebenarnya Rio hendak memprotes. Kok gadis itu jadi menyuruh-nyuruh dirinya sih? Yang senior siapa coba? Namun entah mengapa semuanya menguap begitu saja. Seperti anak kecil menuruti perintah ibunya, Rio bergerak dan mengambil tempat duduk di samping gadis itu.

Ify meletakkan handuk basah itu tepat pada luka Rio yang telah mengering. Sempat pemuda itu mengaduh kesakitan, tapi tak sedikit pun ia hiraukan. Gadis itu kini mengambil plester, lalu menempelkannya di sana hingga luka itu tak lagi nampak.

“Aku cuma ngobatin luka luarnya aja! Sebaiknya besok Kakak ke dokter. Siapa yang tahu di dalam tubuh Kakak juga ada luka.” ujar Ify seraya membersekan peralatan P3Knya.

Rio merasa tersindir. Maksud dari di dalam tubuhnya ada luka? Oh, hatinya? Kurang ajar!

“Oh iya, nih!” Ify menyodorkan beberapa lembar uang pada Rio.

Rio mengerenyit bingung melihat uang itu. Untuk apa? Untuk berobat ke dokter? Oh cukup ya kurang ajarnya! Dia pikir ia tidak punya uang untuk berobat ke dokter? Membangun rumah sakit pun ia mampu.

Ify berdecak pelan. Sepertinya luka di kepala Rio membuat pemuda itu amnesia. Dengan malas gadis itu menjelaskan. “Ini uang Kakak. Yang dulu Kakak kasih ke aku untuk ganti mangkuknya abang soto ayam. Tapi abangnya ga mau terima. Waktu itu mau aku balikin, Kakak malah bilang buat aku aja sebelum aku gajian. Maaf kak, aku belum kerja. Jadi ya aku belum punya gaji juga.”

Rio mengatupkan bibirnya. Mengangguk pelan. Oh, dirinya baru ingat soal uang itu. Jadi, gadis itu bukan pembantu seperti yang dikatakan Sivia? Tapi tak mungkin juga sih gadis itu pembantu. Masa pembantu bisa tinggal di apartemen mewah macam begini? Pemuda itu mengedikkan bahu.

“Ambil aja! Itung-itung buat biaya penginapan, makan sama pengobatan.” ujar Rio seraya menunjuk plester yang membalut luka di pelipisnya.

Ify mengerenyit. Gadis itu tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rio. Apa Rio kira Ify tidak ikhlas menolongnya tadi malam? Tolong ya kalau Ify tidak ikhlas, dia tidak akan tanggung-tanggung. Takkan sudi dirinya sejengkal pun kaki si sombong itu menginjak apartemennya. Cih.

“Kalau terlalu kaya bikin Kakak ga bisa menghargai kebaikan orang, sebaiknya Kakak introspeksi deh. Ga semua kebaikan bisa dibayar pakai uang. Apartemanku bukan hotel, di sini bukan restoran dan aku bukan dokter. Kakak harus belajar bilang terimakasih sama orang!” Ify memalingkan wajahnya. Terdiam dan baru menyadari ucapannya terlalu keras. Gadis itu mengumpat dirinya dalam hati. Kan, Ify bisanya cari mati. Jangan lupa bahwa yang tengah kau hadapi adalah Rio!

Tapi Rio ternyata tidak bereaksi apa-apa. Pemuda itu tertegun ketika merasakan hatinya tertohok oleh apa yang dikatakan gadis itu. Gadis itu benar. Mungkin ia lupa tentang pelajaran masa kecilnya. Dulu, setiap Bibi menyiapkan seragam sekolahnya, menemaninya bermain monopoli, atau memberi makan kelinci peliharaannya, ia selalu diajarkan untuk mengucapkan terimakasih. Semakin dewasa, ia mulai mengabaikan pelajaran penting itu. Yang terjadi justru sebaliknya. Rio akan mengomeli Bibi kalau seragam sekolah yang disiapkan malah putih abu padahal pagi itu ia harus memakai kemeja batik. Rio akan berteriak di depan wajah Bibi ketika mendapati ruang bermain playstationnya berantakan. Rio akan membentak Bibi saat dirinya tidak bisa menemukan kunci mobil padahal ia harus pergi menonton konser bersama teman-temannya.

“Maksud gue bukan kayak gitu,” ujar Rio terbata-bata. “Emmm...”

Ify menoleh ke arah Rio. Kaget juga ketika dirinya tidak balas dibentak. Sekarang, kok jadi dirinya yang lebih galak?

“Maaf, Kak! Ga seharusnya aku ngomong kayak gitu.” tukas Ify. Tidak mau kalau pemuda itu menyimpan dendam dan kehidupannya setelah ini tidak akan tenang.

Rio tersenyum miring. “Tapi lo benar. Gue pikir semuanya bisa diselesaikan pakai uang. Ternyata enggak.”

Ify terkesiap. Lah, sadar diri juga ternyata dia?

“Jadi, lo suka Disney juga?” tanya Rio. Entah mengapa tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu. Mungkin karena boneka Princess Aurora yang tadi ditemukannya di lemari kaca. Selain itu, ia juga baru sadar, kebanyakan gambar yang ada di buku beraroma sampah itu adalah tokoh disney.

Ify belum sempat menjawab, ketika Rio lagi-lagi berceletuk tak terduga.

“Gue tuh fans beratnya Disney. Paling suka sama Lion King. Itu film pertama yang bisa bikin gue nangis.”

Seorang Rio bisa menangis? Gara-gara menonton film kartun? Sulit dipercaya.

Kelihatannya memang aneh. Tapi topik Disney ternyata berhasil menyedot Ify dan Rio pada atmosfer hangat yang sebelumnya tak pernah ada di antara mereka. Keduanya berbincang seperti kawan lama. Bertukar pikiran mengenai tokoh Disney favorit, soundtrack film Disney yang berkesan, animator-animator dibalik kesuksesan Disney, sampai pengalaman-pengalaman Rio datang ke festival Disney di luar negeri.

Dan waktu menjadi pemisah sepasang teman baru itu. Sudah pukul sepuluh malam. Baik Ify maupun Rio sama sekali tidak percaya bahwa mereka bisa menghabiskan entah berapa juta detik hanya untuk mengobrol. Bahkan sampai Rio hendak berpamitan pulang, ia masih belum tahu nama Ify.

“Itu kamar gue.” Rio menunjuk sebuah kamar tepat di sebelah kamar Ify.

Ify melongok sekilas. Kemudian tersenyum menyeringai. “Kita tetanggaan tapi kita baru sadar sekarang. Lucu ya?”

“Iya. Gue balik ya!” ujar Rio. Kemudian memutar tubuhnya. Hendak melangkah, namu tiba-tiba ia menghentikan kakinya. Kembali menoleh pada Ify.

Ify menatap Rio heran. Ada yang tertinggal? Begitu arti dari tatapannya.

“Gue...” Rio berdeham pelan, lalu melanjutkan. “Gue mau bilang makasih. Makasih karena lo udah mau nolongin gue. Makasih juga udah mau ngobrol banyak tentang Disney sama gue.” Pemuda itu menghela napas. “Makasih ya Li... Li...” Rio mengerutkan kening. Meminta bantuan Ify untuk memberitahu namanya.

“Panggil aja Ify, Kak! Sama-sama.” Ify tersenyum lebar. Menunjukkan deretan giginya yang berbaris rapi. Senang juga mendengar ucapan terimakasih meluncur dari mulut si pongah Rio.

Rio akhirnya benar-benar undur diri. Kembali ke apartemennya dengan perasaan aneh. Ia merasa lebih baik sekarang. Begitu cepat hatinya disembuhkan.

Sementara itu, Ify mengangkat bahu setelah menutup kembali pintu apartemennya. Benar-benar ajaib. Ify tidak menyangka bisa mengobrol seseru itu dengan seseorang yang bahkan sebelumnya selalu tidak ingin ia temui batang hidungnya.

***
Bersambung