Tidak Butuh Judul [2]

Rabu, 20 April 2016

Tidak Butuh Judul [2]


Mangkuk berisi soto ayam itu terbang di udara. Berputar beberapa saat, lantas meluncur jatuh mencium lantai. Hancur berkeping-keping. Dan soto ayam itu pun sempurna menggenang di sana. Bercampur dengan semut, bakteri, dan mikroorganisme lainnya.


Ify refleks membekap mulutnya. Sedetik berikutnya, ia menelan ludah. Soto ayamnya, yang untuk mendapatkannya saja harus antri hingga hampir setengah jam. Dan sekarang nasib makanan favorit di kantinnya itu tidak bisa ia selamatkan.

“Heh!”

Ify terperanjat ketika mendengar bentakan dari seorang perempuan yang sebelumnya duduk di meja terdekat dengan insiden soto ayam terbang tadi. Ify menoleh pada perempuan itu. Ow ow! Sepertinya ia tidak akan selamat saat pergi dari kantin nanti. Masih untung bisa meninggalkan kantin. Bagaimana kalau ia justru mati sebelum sempat melarikan diri?

“Kuah soto lo tuh kena kaki gue tahu!” bentak perempuan itu.

Ify mengerenyit bingung. Lalu memangnya ia bisa apa saat soto itu melayang lalu jatuh ke lantai? Harus ia tadahi, begitu? Tapi karena ia tahu siapa yang ia hadapi saat ini, ia sama sekali tidak berkutik. Hanya gemetar seraya bercicit ‘maaf’ dengan teramat pelan.

“Makanya kalau jalan tuh matanya dipake!” sambar seorang laki-laki.

Ify menggerakan kepalanya untuk melihat lelaki itu. Lantas menunduk ketika mendapati lelaki itu tengah menatapnya seperti seekor elang yang hendak memburu mangsa. Kemudian baru teringat bahwa soto ayamnya bisa terbang karena kakinya tersandung pada sebuah kaki yang terjulur menghalangi jalan. Dan ia tahu kaki itu milik siapa. Lelaki yang kini masih terus menatapinya dengan tatapan yang sama. Lelaki yang dulu mempermalukannya di depan ribuan mahasiswa di hari pertamanya masuk kuliah. Lelaki tidak punya hati yang hampir membuat nyawa Alvin melayang gara-gara asmanya tiba-tiba kambuh.

“Maaf, Kak! Tadi kakiku kesandung kakinya kakak,” ujar Ify. Sama sekali tidak peduli bahwa ucapannya akan semakin menyulut kemarahan sang lelaki. Terserah. Kepalang dibentak-bentak.

“Jadi lo nyalahin gue?” lelaki itu melipat tangannya di depan dada. Kembali berlaga sok berkuasa. Oh, apakah dia pikir dia masih menjadi ketua panitia masa orientasi? Hei! Masa itu sudah berakhir hampir satu bulan yang lalu.

“Aduh! Ini ada apa, Neng?” bapak penjual soto tiba-tiba datang. Terkejut sekali melihat soto racikannya harus berakhir tak berdaya di atas lantai.

“Maaf ya, Pak! Nanti saya beresin. Saya ganti juga mangkuknya.” tukas Ify. Merasa tidak enak karena telah menyia-nyiakan soto ayam itu.

“Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Lo pikir gue ga mampu apa buat ganti itu mangkuk? Beli berlusin-lusin pun gue bisa!”

Ify berdecak samar. Apa coba? Tadi dia tersinggung karena merasa disalahkan. Sekarang, kok dia sendiri yang merasa bersalah dan merasa harus mengganti rugi? Aneh. Ify memutar bola matanya. Malas sekali meladeni kakak tingkatnya yang sikapnya tak lebih dewasa dari anak TK itu. Gadis itu memutuskan untuk membantu Bapak penjual soto membereskan kekacauan yang telah ia perbuat.

“Nih! Ngomong kalau masih kurang!” ucap lelaki itu seraya melemparkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan pada wajah Ify. Lalu setelah itu, ia melengos dari sana. Disusul oleh perempuannya.

Ify menggembungkan pipinya sebal. Kalau tidak ingat ini masih di lingkungan kampus, sudah Ify buat perhitungan dengan pasangan itu. Benar-benar sudah keterlaluan. Maksudnya apa melemparkan uang-uang itu? Ify yakin mereka terlalu banyak menonton sinetron.

“Neng!”

Ify terkesiap ketika mendengar sapaan dari Bapak penjual soto. Gadis itu menoleh dan mendapati kekacauan yang telah ia perbuat sudah dibereskan. Kini, di lantai tidak ada lagi pecahan mangkok yang digenangi kuah soto.

“Aduh sekali lagi maaf ya, Pak! Saya ganti deh beneran,” tukas Ify, masih begitu merasa bersalah.

“Ga usah, Neng! Saya yang harusnya minta maaf. Saya ganti sotonya ya! Neng duduk aja di sini. Nanti saya antar.”

Bapak penjual soto itu melipir pergi ketika Ify belum sempat menolak. Dan karena ia pikir menolak seseorang berbuat kebaikan itu tidak baik, jadi ya apa boleh buat. Gadis itu mengangkat bahu. Lalu duduk di kursi yang paling dekat dengannya, setelah sebelumnya memunguti uang-uang yang tadi dibuang percuma oleh lelaki itu. Sebegitu kaya rayanya ia sampai uang pun harus dibuang? Kalau niat mengganti rugi, mengapa tidak diberikan secara baik-baik? Hih. Ify jadi kesal sendiri.

“Kenapa, Fy?” tanya Alvin yang baru saja datang dengan sebuah buku jumbo berada dalam dekapannya. Pemuda itu membenarkan posisi kacamatanya, kemudian duduk di hadapan Ify.

Ify tersenyum getir. “Biasalah.”

Alvin membulatkan mulutnya. “Kak Sivia sama Kak Rio?”

Ify mengangguk malas ketika Alvin mengucapkan dua nama kakak tingkat yang tadi kembali berurusan dengannya itu. Nama mereka terlalu bagus. Jauh berbeda sekali dengan sifatnya.

“Kenapa ya mereka senang banget ngebully orang?” tanya Ify retoris. “Terutama aku sih!” lanjutnya.

“Terutama kita, Fy! Kamu ga sendiri. Santai aja!” ujar Alvin berusaha menguatkan, meskipun jadinya terdengar menyedihkan.

Ify tertawa pelan. Betapa semua yang terjadi terlalu lucu untuk tidak dilewatkan dengan tertawa. Ify tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau tidak ada Alvin. Mungkin ia tidak akan bisa menertawakan apa pun selain serial Mr Bean. Karena bersama Alvin, Ify bisa menertawakan apa saja. Termasuk kesialan dan nasib buruknya.

Alvin turut tertawa. Bahkan lebih keras dari Ify. Pemuda itu tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya tanpa Ify. Sejak masih duduk di bangku sekolah, ia sudah terbiasa dibully dan tidak ada satu pun orang yang mau menemani`nya. Itulah mengapa ia ingin cepat-cepat lulus. Sekarang, meski statusnya sebagai korban bully tidak berubah, paling tidak ada seseorang yang mau berteman dengannya. Membuat ia bisa menikmati semua kesialan dan nasib buruknya.

“Padahal kalau ga galak, Kak Sivia tuh cantik tahu!” celetuk Alvin.

Ify tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Alvin. “Cieee ada yang naksir nih sama Kak Sivia,” goda Ify seraya mencoleki dagu Alvin jahil.

Alvin menggeleng cepat. Sigap menepis tangan Ify dari dagunya. “Enggak apa sih! Aku kan bilang Kak Sivia tuh kalau ga galak cantik. Bukan berarti naksir, kan?”

“Ya iya sih. Tapi naksir juga ga apa kok. Lagian, emang Kak Sivia tuh benar-benar cantik. Tinggi, putih, langsing, rambutnya keren, wangi,” ujar Ify memuji-muji kakak senior yang sering berteriak-teriak padanya itu. Ya meskipun begitu, Ify tidak munafik. Bahwa memang Sivia itu begitu cantik.

“Tuh kan!” celetuk Alvin lagi.

“Tuh kan apa? Tuh kan kamu naksir? Hahaha.” Lagi-lagi Ify menggoda Alvin. Membuat wajah pemuda yang masih memiliki darah china itu memerah.

Ify baru bisa berhenti tertawa ketika ponselnya berdering. Segera ia rogoh tasnya untuk mengambil sang ponsel. Sebuah nama tertera di sana. Tanpa sadar Ify menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Lalu setelah itu, ia sentuh layar ponselnya dan ia letakan sang ponsel di telinga.

Suara menyenangkan dari tempat nun jauh di sana terdengar menenangkan. Bahkan hanya pertanyaan sedang apa dan di mana saja mampu membuat Ify berbunga-bunga. Gadis itu tidak sedetik pun menghapusnya. Bahkan terkadang ia tertawa terbahak. Lebih meledak dari tawanya ketika menggoda Alvin.

Klik. Ify menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Masih terlihat jelas rona bahagia di wajahnya. Sisa-sisa obrolan lewat udara yang mungkin tidak akan ada habisnya. Gadis itu kemudian menyendok soto ayam pengganti yang tiba ketika ia meladeni telepon.

“Gabriel?” pertanyaan yang sesungguhnya sudah tidak perlu ditanyakan oleh Alvin. Karena ia pun tahu sendiri siapa yang bisa membuat sahabatnya itu sebegitu bahagia sehabis mengangkat telepon. Tapi aneh saja. Biasanya Ify tidak menerima telepon dari kekasihnya itu di siang bolong seperti ini.

Ify mengangguk. “Dia bilang, kemaren dia abis ketemu sama Zinedine Zidane. Nah hari ini dia mau kirim kaos yang ada tandatangan Zidanenya. Papaku soalnya fans berat timnas Prancis,” jelas Ify seraya terus melahap soto ayamnya.

Alvin mengangguk –sok mengerti. Padahal, ia tidak tahu siapa itu Zinedine Zidane. Timnas Prancis? Yang ia tahu hanya timnas Argentina. Beberapa tahun yang lalu. Ketika Maradona masih bermain di sana. Pengetahuan sepakbola Alvin memang payah. Dia terlalu sibuk menghapal nama-nama ilmuwan dunia.

Obrolan antara Ify dan Alvin pun terus berlanjut hingga jam istirahat pun habis. Mereka kembali ke gedung kampus masing-masing untuk mengikuti kuliah berikutnya di hari itu.

***
           
“Makasih ya, Pak!” ujar Ify setekah memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan pada tukang ojek yang baru saja mengantarnya pulang. Ia baru kembali dari supermarket untuk membeli keperluan satu minggu ke depan.
            
Dua kantong kresek besar berada di tangannya. Gadis itu berjalan terseret. Salah ia sendiri juga. Belanja seakan besok atau lusa supermarket itu tidak akan lagi buka.
            
“Aduh!” Ify meringis ketika seseorang menabraknya dari belakang. Belanjaannya jatuh. Berhamburan keluar dari kantong.
            
“Ups sorry! Sengaja.” Seorang perempuan dengan dress supermini yang menabrak Ify tampak tersenyum miring. Sivia.
            
Ify menggeleng samar. Kenapa ia harus bertemu lagi dengan perempuan itu lagi sih? Tidak di kampus, tidak di sini. Jangan-jangan dia membuntuti Ify ke mana-mana. Penggemar atau apa sih sebenarnya Sivia ini?

Ify menarik napas panjang. Memilih untuk tidak meladeni Sivia. Lebih baik mengurusi belanjaannya saja. Itu jauh lebih penting.
            
“Bilangin maaf ya sama majikan lo.” ucap Sivia dengan nada meremehkan.
            
Majikan? Maksudnya Ify pembantu begitu? Hei! Gadis itu mendongak. Tersinggung dengan ucapan penuh kesok tahuan perempuan itu.
            
“Kenapa, Si?” Rio datang. Oh, pasangan yang saling melengkapi memang. Dan lengkap pulalah penderitaan Ify saat itu.
            
“Ternyata, adik kita yang satu ini jadi pembantu. Mulia sekali.” cibir Sivia.
            
Rio bergidik ngeri. Seakan profesi pembantu adalah sebuah hal yang menggelikan. Lelaki itu bergerak mundur. “Ih, jauh-jauh deh dari gue! Gue alergi sama orang kayak lo!”
            
Alergi? Ya sudah! Jauh-jauh sana. Ify juga phobia pada orang-orang sombong macam mereka berdua. Masih menghirup udara cuma-cuma saja belagunya.
            
“Pergi yuk, Yo! Gue juga malas nih di sini terus. Ada bakteri raksasa gini di depan gue.” Sivia mendelik tajam pada Ify. Dengan gaya bak bintang iklan shampo, ia kibaskan rambut panjang berkilaunya. Lantas melegos pergi.
            
Ify terburu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya. Menahan Rio sebelum pemuda itu menyusul kekasihnya.
           
“Ini uang Kakak yang kemarin. Saya ga butuh.” ujar Ify gemetar. Menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis di hadapan pemuda angkuh itu. Ia tidak mau terlihat lemah. Bisa-bisa lelaki itu merasa menang. Dan Ify tidak akan pernah rela.
            
“Ambil aja! Lo pasti belum gajian, kan?” dan setelah penghinaannya yang kesekian, Rio pergi dari sana. Menyusul Sivia yang sudah mendahului masuk ke dalam mobil mewah yang terparkir tidak jauh dari sana.
            
Dan tersisalah Ify di sana. Ditemani barang belanjaannya yang masih berserakan di ujung kakinya. Bahkan ada yang sampai rusak. Satu kilo telur yang rencananya akan ia buat kue pun hancur. Hebat, Ify! Dua hari berturut-turut kau menyia-nyiakan makanan. Tunggu saja murka Tuhan!

***
            
‘Papa, aku mau pulang! Di sini banyak orang jahat. Bandung jahat!’
            
Ify menghapus kembali apa yang baru saja ia tulis di ponselnya. Tidak akan pernah ia adukan kemalangannya di sini pada Papa. Papa pasti akan sedih kalau tahu Ify mengeluh dan bahkan minta pulang. Dan Ify tidak pernah mau membuat Papa bersedih. Maka akhirnya, pesan singkat yang ia kirimkan hanya berisi dua kalimat, tidak panjang pula.
            
‘Aku baik, Pa! Aku sayang Papa.’

            
Gadis itu menghembuskan napas berat. 

***
Bersambung