Tidak Butuh Judul [2]
Mangkuk berisi soto
ayam itu terbang di udara. Berputar beberapa saat, lantas meluncur jatuh
mencium lantai. Hancur berkeping-keping. Dan soto ayam itu pun sempurna
menggenang di sana. Bercampur dengan semut, bakteri, dan mikroorganisme
lainnya.
Ify refleks
membekap mulutnya. Sedetik berikutnya, ia menelan ludah. Soto ayamnya, yang
untuk mendapatkannya saja harus antri hingga hampir setengah jam. Dan sekarang
nasib makanan favorit di kantinnya itu tidak bisa ia selamatkan.
“Heh!”
Ify terperanjat
ketika mendengar bentakan dari seorang perempuan yang sebelumnya duduk di meja
terdekat dengan insiden soto ayam terbang tadi. Ify menoleh pada perempuan itu.
Ow ow! Sepertinya ia tidak akan selamat saat pergi dari kantin nanti. Masih
untung bisa meninggalkan kantin. Bagaimana kalau ia justru mati sebelum sempat
melarikan diri?
“Kuah soto lo tuh
kena kaki gue tahu!” bentak perempuan itu.
Ify mengerenyit
bingung. Lalu memangnya ia bisa apa saat soto itu melayang lalu jatuh ke
lantai? Harus ia tadahi, begitu? Tapi karena ia tahu siapa yang ia hadapi saat
ini, ia sama sekali tidak berkutik. Hanya gemetar seraya bercicit ‘maaf’ dengan
teramat pelan.
“Makanya kalau
jalan tuh matanya dipake!” sambar seorang laki-laki.
Ify menggerakan
kepalanya untuk melihat lelaki itu. Lantas menunduk ketika mendapati lelaki itu
tengah menatapnya seperti seekor elang yang hendak memburu mangsa. Kemudian
baru teringat bahwa soto ayamnya bisa terbang karena kakinya tersandung pada
sebuah kaki yang terjulur menghalangi jalan. Dan ia tahu kaki itu milik siapa.
Lelaki yang kini masih terus menatapinya dengan tatapan yang sama. Lelaki yang
dulu mempermalukannya di depan ribuan mahasiswa di hari pertamanya masuk
kuliah. Lelaki tidak punya hati yang hampir membuat nyawa Alvin melayang
gara-gara asmanya tiba-tiba kambuh.
“Maaf, Kak! Tadi
kakiku kesandung kakinya kakak,” ujar Ify. Sama sekali tidak peduli bahwa
ucapannya akan semakin menyulut kemarahan sang lelaki. Terserah. Kepalang
dibentak-bentak.
“Jadi lo nyalahin
gue?” lelaki itu melipat tangannya di depan dada. Kembali berlaga sok berkuasa.
Oh, apakah dia pikir dia masih menjadi ketua panitia masa orientasi? Hei! Masa
itu sudah berakhir hampir satu bulan yang lalu.
“Aduh! Ini ada apa,
Neng?” bapak penjual soto tiba-tiba datang. Terkejut sekali melihat soto
racikannya harus berakhir tak berdaya di atas lantai.
“Maaf ya, Pak!
Nanti saya beresin. Saya ganti juga mangkuknya.” tukas Ify. Merasa tidak enak
karena telah menyia-nyiakan soto ayam itu.
“Maksud lo apa
ngomong kayak gitu? Lo pikir gue ga mampu apa buat ganti itu mangkuk? Beli
berlusin-lusin pun gue bisa!”
Ify berdecak samar.
Apa coba? Tadi dia tersinggung karena merasa disalahkan. Sekarang, kok dia
sendiri yang merasa bersalah dan merasa harus mengganti rugi? Aneh. Ify memutar
bola matanya. Malas sekali meladeni kakak tingkatnya yang sikapnya tak lebih
dewasa dari anak TK itu. Gadis itu memutuskan untuk membantu Bapak penjual soto
membereskan kekacauan yang telah ia perbuat.
“Nih! Ngomong kalau
masih kurang!” ucap lelaki itu seraya melemparkan beberapa lembar uang lima
puluh ribuan pada wajah Ify. Lalu setelah itu, ia melengos dari sana. Disusul
oleh perempuannya.
Ify menggembungkan
pipinya sebal. Kalau tidak ingat ini masih di lingkungan kampus, sudah Ify buat
perhitungan dengan pasangan itu. Benar-benar sudah keterlaluan. Maksudnya apa
melemparkan uang-uang itu? Ify yakin mereka terlalu banyak menonton sinetron.
“Neng!”
Ify terkesiap
ketika mendengar sapaan dari Bapak penjual soto. Gadis itu menoleh dan
mendapati kekacauan yang telah ia perbuat sudah dibereskan. Kini, di lantai
tidak ada lagi pecahan mangkok yang digenangi kuah soto.
“Aduh sekali lagi
maaf ya, Pak! Saya ganti deh beneran,” tukas Ify, masih begitu merasa bersalah.
“Ga usah, Neng!
Saya yang harusnya minta maaf. Saya ganti sotonya ya! Neng duduk aja di sini.
Nanti saya antar.”
Bapak penjual soto
itu melipir pergi ketika Ify belum sempat menolak. Dan karena ia pikir menolak
seseorang berbuat kebaikan itu tidak baik, jadi ya apa boleh buat. Gadis itu
mengangkat bahu. Lalu duduk di kursi yang paling dekat dengannya, setelah
sebelumnya memunguti uang-uang yang tadi dibuang percuma oleh lelaki itu.
Sebegitu kaya rayanya ia sampai uang pun harus dibuang? Kalau niat mengganti
rugi, mengapa tidak diberikan secara baik-baik? Hih. Ify jadi kesal sendiri.
“Kenapa, Fy?” tanya
Alvin yang baru saja datang dengan sebuah buku jumbo berada dalam dekapannya.
Pemuda itu membenarkan posisi kacamatanya, kemudian duduk di hadapan Ify.
Ify tersenyum
getir. “Biasalah.”
Alvin membulatkan
mulutnya. “Kak Sivia sama Kak Rio?”
Ify mengangguk
malas ketika Alvin mengucapkan dua nama kakak tingkat yang tadi kembali
berurusan dengannya itu. Nama mereka terlalu bagus. Jauh berbeda sekali dengan
sifatnya.
“Kenapa ya mereka
senang banget ngebully orang?” tanya Ify retoris. “Terutama aku sih!”
lanjutnya.
“Terutama kita, Fy!
Kamu ga sendiri. Santai aja!” ujar Alvin berusaha menguatkan, meskipun jadinya
terdengar menyedihkan.
Ify tertawa pelan.
Betapa semua yang terjadi terlalu lucu untuk tidak dilewatkan dengan tertawa.
Ify tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau tidak ada Alvin. Mungkin ia tidak
akan bisa menertawakan apa pun selain serial Mr Bean. Karena bersama Alvin, Ify
bisa menertawakan apa saja. Termasuk kesialan dan nasib buruknya.
Alvin turut
tertawa. Bahkan lebih keras dari Ify. Pemuda itu tidak bisa membayangkan
bagaimana dirinya tanpa Ify. Sejak masih duduk di bangku sekolah, ia sudah
terbiasa dibully dan tidak ada satu pun orang yang mau menemani`nya. Itulah mengapa
ia ingin cepat-cepat lulus. Sekarang, meski statusnya sebagai korban bully
tidak berubah, paling tidak ada seseorang yang mau berteman dengannya. Membuat
ia bisa menikmati semua kesialan dan nasib buruknya.
“Padahal kalau ga
galak, Kak Sivia tuh cantik tahu!” celetuk Alvin.
Ify tertawa
terbahak-bahak mendengar ucapan Alvin. “Cieee ada yang naksir nih sama Kak
Sivia,” goda Ify seraya mencoleki dagu Alvin jahil.
Alvin menggeleng
cepat. Sigap menepis tangan Ify dari dagunya. “Enggak apa sih! Aku kan bilang
Kak Sivia tuh kalau ga galak cantik. Bukan berarti naksir, kan?”
“Ya iya sih. Tapi
naksir juga ga apa kok. Lagian, emang Kak Sivia tuh benar-benar cantik. Tinggi,
putih, langsing, rambutnya keren, wangi,” ujar Ify memuji-muji kakak senior
yang sering berteriak-teriak padanya itu. Ya meskipun begitu, Ify tidak
munafik. Bahwa memang Sivia itu begitu cantik.
“Tuh kan!” celetuk
Alvin lagi.
“Tuh kan apa? Tuh
kan kamu naksir? Hahaha.” Lagi-lagi Ify menggoda Alvin. Membuat wajah pemuda yang
masih memiliki darah china itu memerah.
Ify baru bisa
berhenti tertawa ketika ponselnya berdering. Segera ia rogoh tasnya untuk
mengambil sang ponsel. Sebuah nama tertera di sana. Tanpa sadar Ify menarik
ujung-ujung bibirnya ke atas. Lalu setelah itu, ia sentuh layar ponselnya dan
ia letakan sang ponsel di telinga.
Suara menyenangkan
dari tempat nun jauh di sana terdengar menenangkan. Bahkan hanya pertanyaan
sedang apa dan di mana saja mampu membuat Ify berbunga-bunga. Gadis itu tidak
sedetik pun menghapusnya. Bahkan terkadang ia tertawa terbahak. Lebih meledak
dari tawanya ketika menggoda Alvin.
Klik. Ify menyimpan
kembali ponselnya ke dalam tas. Masih terlihat jelas rona bahagia di wajahnya.
Sisa-sisa obrolan lewat udara yang mungkin tidak akan ada habisnya. Gadis itu
kemudian menyendok soto ayam pengganti yang tiba ketika ia meladeni telepon.
“Gabriel?”
pertanyaan yang sesungguhnya sudah tidak perlu ditanyakan oleh Alvin. Karena ia
pun tahu sendiri siapa yang bisa membuat sahabatnya itu sebegitu bahagia
sehabis mengangkat telepon. Tapi aneh saja. Biasanya Ify tidak menerima telepon
dari kekasihnya itu di siang bolong seperti ini.
Ify mengangguk.
“Dia bilang, kemaren dia abis ketemu sama Zinedine Zidane. Nah hari ini dia mau
kirim kaos yang ada tandatangan Zidanenya. Papaku soalnya fans berat timnas
Prancis,” jelas Ify seraya terus melahap soto ayamnya.
Alvin mengangguk
–sok mengerti. Padahal, ia tidak tahu siapa itu Zinedine Zidane. Timnas
Prancis? Yang ia tahu hanya timnas Argentina. Beberapa tahun yang lalu. Ketika
Maradona masih bermain di sana. Pengetahuan sepakbola Alvin memang payah. Dia
terlalu sibuk menghapal nama-nama ilmuwan dunia.
Obrolan antara Ify
dan Alvin pun terus berlanjut hingga jam istirahat pun habis. Mereka kembali ke
gedung kampus masing-masing untuk mengikuti kuliah berikutnya di hari itu.
***
“Makasih
ya, Pak!” ujar Ify setekah memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan pada
tukang ojek yang baru saja mengantarnya pulang. Ia baru kembali dari
supermarket untuk membeli keperluan satu minggu ke depan.
Dua kantong
kresek besar berada di tangannya. Gadis itu berjalan terseret. Salah ia sendiri
juga. Belanja seakan besok atau lusa supermarket itu tidak akan lagi buka.
“Aduh!” Ify
meringis ketika seseorang menabraknya dari belakang. Belanjaannya jatuh. Berhamburan
keluar dari kantong.
“Ups sorry!
Sengaja.” Seorang perempuan dengan dress supermini yang menabrak Ify tampak
tersenyum miring. Sivia.
Ify
menggeleng samar. Kenapa ia harus bertemu lagi dengan perempuan itu lagi sih?
Tidak di kampus, tidak di sini. Jangan-jangan dia membuntuti Ify ke mana-mana. Penggemar
atau apa sih sebenarnya Sivia ini?
Ify menarik
napas panjang. Memilih untuk tidak meladeni Sivia. Lebih baik mengurusi
belanjaannya saja. Itu jauh lebih penting.
“Bilangin
maaf ya sama majikan lo.” ucap Sivia dengan nada meremehkan.
Majikan?
Maksudnya Ify pembantu begitu? Hei! Gadis itu mendongak. Tersinggung dengan
ucapan penuh kesok tahuan perempuan itu.
“Kenapa,
Si?” Rio datang. Oh, pasangan yang saling melengkapi memang. Dan lengkap
pulalah penderitaan Ify saat itu.
“Ternyata,
adik kita yang satu ini jadi pembantu. Mulia sekali.” cibir Sivia.
Rio
bergidik ngeri. Seakan profesi pembantu adalah sebuah hal yang menggelikan.
Lelaki itu bergerak mundur. “Ih, jauh-jauh deh dari gue! Gue alergi sama orang
kayak lo!”
Alergi? Ya
sudah! Jauh-jauh sana. Ify juga phobia pada orang-orang sombong macam mereka
berdua. Masih menghirup udara cuma-cuma saja belagunya.
“Pergi yuk,
Yo! Gue juga malas nih di sini terus. Ada bakteri raksasa gini di depan gue.” Sivia
mendelik tajam pada Ify. Dengan gaya bak bintang iklan shampo, ia kibaskan
rambut panjang berkilaunya. Lantas melegos pergi.
Ify terburu
mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya. Menahan Rio sebelum
pemuda itu menyusul kekasihnya.
“Ini uang
Kakak yang kemarin. Saya ga butuh.” ujar Ify gemetar. Menahan sekuat tenaga
untuk tidak menangis di hadapan pemuda angkuh itu. Ia tidak mau terlihat lemah.
Bisa-bisa lelaki itu merasa menang. Dan Ify tidak akan pernah rela.
“Ambil aja!
Lo pasti belum gajian, kan?” dan setelah penghinaannya yang kesekian, Rio pergi
dari sana. Menyusul Sivia yang sudah mendahului masuk ke dalam mobil mewah yang
terparkir tidak jauh dari sana.
Dan
tersisalah Ify di sana. Ditemani barang belanjaannya yang masih berserakan di
ujung kakinya. Bahkan ada yang sampai rusak. Satu kilo telur yang rencananya
akan ia buat kue pun hancur. Hebat, Ify! Dua hari berturut-turut kau
menyia-nyiakan makanan. Tunggu saja murka Tuhan!
***
‘Papa, aku
mau pulang! Di sini banyak orang jahat. Bandung jahat!’
Ify
menghapus kembali apa yang baru saja ia tulis di ponselnya. Tidak akan pernah
ia adukan kemalangannya di sini pada Papa. Papa pasti akan sedih kalau tahu Ify
mengeluh dan bahkan minta pulang. Dan Ify tidak pernah mau membuat Papa bersedih.
Maka akhirnya, pesan singkat yang ia kirimkan hanya berisi dua kalimat, tidak
panjang pula.
‘Aku baik,
Pa! Aku sayang Papa.’
Gadis itu
menghembuskan napas berat.
***
Bersambung