Abang [ part 5 ]
Palembang, 2001
Lana diajari untuk berbagi. Tapi tidak untuk yang satu ini.
Lana tidak pernah keberatan kalau harus berbagi bekal makan siang dengan Fabian. Anak itu tidak marah kalau posisinya di tim sepakbola tergantikan. Dia tidak akan merajuk kalau sepedanya dipinjam sepupunya yang berkunjung saat lebaran.
Namun untuk urusan Abang, Lana tidak pernah mau berkompromi. Bagi Lana, Abang adalah miliknya. Tidak ada satu pun orang yang berhak merebut Abang darinya. Tiba-tiba Lana berubah menjadi posesif, bahkan kepada Fabian, yang hampir setiap hari ikut memakan bekal makan siangnya.
Saat itu, Lana hendak memberikan seloyang puding pada Abang. Ia masuk ke rumah Abang dengan pasti, seakan itu adalah rumahnya sendiri. Ternyata, Abang tengah kedatangan tamu. Dan Lana memergoki Abang tengah memeluk tamu itu erat, seorang perempuan cantik sebaya dengan Abang.
Seketika Lana menjatuhkan loyang pudingnya ke lantai. Lana tidak tahu mengapa saat itu dirinya sangat marah. Ada perasaan menyesakan dalam dadanya yang tiba-tiba muncul. Lana tidak mengerti. Melihat Abang memeluk perempuan itu membuatnya ingin menangis. Pelukan yang menyiratkan bahwa Lana bukanlah satu-satunya pemilik Abang.
Meninggalkan puding yang hancur di atas lantai, Lana pergi dari sana. Ia berlari menjauh. Seiring dengan air mata yang mengalir deras membelah pipinya.
Sementara itu, Abang merasa hatinya mencelos seketika, entah karena apa. Namun yang pasti, bukan karena keputusan yang baru saja diambilnya. Pemuda itu meneguhkan hatinya. Perlahan, ia urai pelukannya.
"Aku ga nyangka hubungan kita berakhir begini." ucap perempuan yang kini telah menjauh dari tubuh Abang. Dia menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang merana.
"Hubungan kita ga berakhir. Cuma berubah aja. Aku masih akan jadi teman baik kamu." Abang menyentuh bahu perempuan itu pelan.
Perempuan itu mendongak. Menatap Abang pilu dengan kedua pelihatnya yang basah. "Aku pulang ya, Bar!" ujarnya, kemudian mengambil tas selempang kecilnya yang tergeletak di sofa. Sedetik berikutnya ia berlalu dari sana.
Abang masih di sana. Berdiri di tempat yang sama. Masih menekuri apa yang baru saja dilakukannya. Pelatuk itu akhirnya ia lepaskan. Yang telah ia tarik sejak lama. Sejak dirinya menyadari bahwa Citra, perempuan yang beberapa saat lalu masih dalam pelukannya bukan lagi sosok yang memenuhi hatinya. Meskipun salah ia akui, tapi dirinya tidak bisa memungkiri bahwa bocah perempuan yang selalu bermain sepakbola bersamanya itu kini ratunya, segalanya.
Abang menghembuskan napas jengah. Ia mengedarkan pandangannya. Tak sengaja, ia temukan sesuatu di dekat pintu. Penasaran, Abang berjalan ke arah onggokan itu.
Pemuda itu berjongkok. Meneliti benda lembek berair lengkap dengan loyangnya yang berserak di atas lantai. Puding coklat. Abang menyimpulkan. Siapa yang menjatuhkan puding coklat di rumahnya?
Sudut mata Abang kemudian menangkap secarik kertas yang sebagian basah oleh cairan puding. Ia ambil kertas itu. Dilihatnya baik-baik tulisan yang hampir tak terbaca karena luntur di kertas itu. Setelah beberapa saat memicingkan mata, akhirnya ia pun bisa membaca meskipun tidak semuanya. Yang ia tahu, puding coklat itu untuknya, dibawakan oleh Lana.
Lana? Kapan anak itu datang ke rumahnya? Apakah dia datang ketika masih ada Citra di sana? Apakah dia melihatnya sedang memeluk Citra? Tiba-tiba, perasaan bersalah muncul dalam hatinya. Pemuda itu kemudian membereskan puding yang telah hancur itu. Memasukkannya kembali ke dalam loyang. Setelah itu, ia berlahri meninggalkan rumah. Bergegas mencari Lana.
Lana tidak ada di rumah. Ibunya bilang, setelah membuat puding, Lana berpamitan pergi. Perasaan bersalah itu semakin membuncah ketika Abang tahu bahwa Lana sendirilah yang membuat puding coklat itu untuknya. Ia bergegas ke rumah Fabian.
Lana juga ternyata tidak ada di rumah Fabian. Fabian yang baru bangun tidur siang kebingungan ditanyai Abang soal Lana. Sejak pulang sekolah, Fabian tidak lagi bertemu Lana.
Abang pun frustasi. Entah harus ke mana lagi ia harus mencari Lana. Pemuda itu berpikir keras. Dan satu tempat akhirnya muncul di otaknya. Ya, Lana pasti ada di sana.
Tidak ada tempat paling aman bagi Lana untuk menyendiri selain sebuah pos ronda tua dekat lapangan yang biasa ia pakai untuk bermain bola. Di sana, Lana akan diam, sampai hatinya tenang, sampai perasaannya kembali membaik. Tapi sejak sejam yang lalu ia terpekur di sana, hatinya tak kunjung tenang, perasaannya malah semakin kacau. Perasaan yang tak pernah ada sebelumnya.
Lana menggigiti jari tangannya gemas. Gigitan yang cukup keras sampai membuat jarinya berdarah. Tapi anehnya, bukan jarinyalah yang sakit. Tapi hatinya. Sedari tadi, hatinyalah yang sakit. Sakit sekali.
"Lana?!!!" pekik Abang terkejut mendapati Lana yang tengah menyiksa dirinya sendiri dengan menggigiti jari-jarinya yang lentik. Segera abang merengkuh tubuh kecil anak itu. Ia jauhkan jari tangan Lana dari mulutnya. Abang lindungi jari-jari yang telah berdarah itu di dadanya.
Sementara Lana menjerit. Meminta jarinya dikembalikan. "Abang lepasin!" anak itu meronta-ronta.
Abang menggeleng keras. Masih ia dekap erat jari-jari itu. Tidak akan ia biarkan jari-jari yang selama ini selalu menyeka keringatnya itu terluka lebih parah.
Akhirnya Lana menyerah. Ia sudah terlalu lelah. Anak itu menjatuhkan tubuhnya. Sigap ditangkap oleh Abang. Kini, tubuh kecil itu meringkuk dalam dekapan Abang.
"Maafin Abang, Lana! Abang sayang sama Lana." ucap Abang. Gemetar, ia tempelkan bibirnya di puncak kepala Lana. Turut menangis bersamanya. Karena tidak bisa lagi ia sembunyikan perasaan yang selama ini mengusik hatinya. Menghantuinya setiap saat. Karena meskipun semuanya dinilai tidak masuk akal, namun perasaan itu begitu hidup dan nyata adanya. Bahwa Abang telah jatuh cinta pada adiknya sendiri. Jatuh sejatuh-jatuhnya.
Dan rasa sakit yang hampir membuat Lana gila itu pun lenyap seketika dalam dekapan Abang. Seakan semuanya tidak pernah ada. Lana bisa langsung memaafkan kesalahan yang sesungguhnya tidak pernah dilakukan Abang. Baginya, Abang tetap Dewa.
Dalam pelukan Abang, Lana merasa aman. Merasa terlindung dari segala kesakitan. Saat itulah Lana tahu, bahwa perasaannya terhadap Abang bukan lagi perasaan kagum seorang adik kepada abangnya. Bahwa perasaan yang ada di hatinya ternyata berbeda. Ia ingin memilik Abang sepenuhnya. Begitu pula sebaliknya. Lana ingin Abang merasa memilikinya.
"Lana sayang sama Abang." cicit Lana pelan. Tapi seluruh dunia seakan bisa mendengarnya.
Detik itulah, ikrar tak berjudul itu pun tercipta. Bahwa mereka saling memiliki. Bahwa mereka akan mengasihi satu sama lain. Bahwa mereka akan saling menjaga. Bahwa tidak boleh ada yang menyakiti dan tersakiti. Berdua mereka harus selalu bersama. Meruntuhkan segala tembok yang akan menghadang.
Sayangnya, tembok yang mereka hadapi nanti ternyata bernama takdir. Dan tidak ada satu pun mahluk di dunia ini yang bisa menentang takdir.
***
Bersambung