Tidak Butuh Judul [4]

Rabu, 20 April 2016

Tidak Butuh Judul [4]


Siapa yang pertama kali menemukan ungkapan setiap pertemuan pasti ada perpisahan? Akan Rio habisi dia! Enak sekali bicara seperti itu. Coba rasakan dulu jadi dirinya. Rasakan dulu betapa setiap partikel udara yang kau hela bukan malah menghidupkan, namun justru melemahkan. Rasanya, Rio ingin berhenti bernapas saat itu juga. Namun ia tak bisa. Seakan udara-udara yang tak nampak wujudnya itu merangsek masuk tanpa bisa ia bendung. Memenuhi jutaan kantung paru-parunya. Oh, dia mau meledak saja.

            
Apa yang kurang dari dirinya di mata Sivia? Tampan? Tentu saja. Kaya? Coba itu tas dan sepatu mahal Sivia muasalnya dari mana. Gadis itu tidak akan kekurangan sesuatu apa pun. Perutnya lapar, Rio bawa ia ke restoran mahal. Ingin berganti gaya rambut, Rio sediakan penata rambut terbaik yang pernah ada. Mau menghadiri pesta, Rio hadiahi gaun hasil rancangan desainer ternama. Bosan di rumah, Rio ajak ia berkeliling kota Bandung, bahkan pernah mereka menghabiskan liburan bersama di luar kota.
            
Tapi yang terjadi malah Sivia pergi meninggalkannya. Lebih memilih lelaki dengan mobil yang –sedikit- lebih mewah darinya. Asal tahu saja ya, Rio bisa membeli yang lebih mewah dari itu.
            
Rio mungkin tidak menyadari sesuatu. Kelebihan materi membuatnya keliru tentang bagaimana cara mencinta. Mungkin dia lupa atau bahkan tidak tahu bahwa tidak ada jumlah yang tepat untuk membayar rasa cinta. Meskipun dia berkoar-koar bahwa dirinya teramat mencintai Sivia, hanya gadis itulah yang membuat hatinya menggila, tapi yang ia berikan pada mantan kekasihnya itu adalah materi-materi dan kesenangan yang sedetik dirasakan lantas menghilang.
            
Teramat bangga Rio memiliki Sivia. Gadis cantik dengan postur tubuh bak supermodel. Membuat popularitasnya di kampus semakin meningkat. Rio dan Sivia dinobatkan sebagai pasangan ter-membuat-orang-iri.
            
Namun kebanggaan itu hilang begitu saja kemarin sore. Berganti dengan rasa sakit yang tak terperikan. Hari ini ia berdiri seorang diri. Menyandang status sebagai Rio, yang tidak ada apa-apanya tanpa Sivia.
            
Hah. Entah untuk yang keberapa pagi ini, pemuda itu menghembuskan napasnya dengan teramat berat. Menatapi meja makannya yang lengang. Sejak tadi malam, meja makan itu memang kosong. Bahkan untuk menelepon restoran cepat saji pun Rio tak kuasa. Ia biarkan lambung dan ususnya berpuasa. Sampai waktu yang belum ditentukan, ia tidak berselera untuk mengisi perutnya.
            
Tik. Tok. Tik. Tok. Suara detak jarum jam itu pun mengalihkan perhatiannya. 08.16. Bagus. Kurang dari seperempat jam lagi kuliahnya akan dimulai. Dan dirinya belum apa-apa. Wajah dan tenggorokkannya sama sekali belum tersentuh air. Pemuda itu berdecak pelan, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membasuh mukanya dari kotoran sisa tidur semalam. Setelah itu ia berganti pakaian dan bersiap pergi ke kampus. Belajar menerima kenyataan bahwa hari itu ia sudah tidak lagi menyandang status kekasihnya Sivia. Tidak bisa ia membayangkan bahwa di kampus nanti ia akan melihat Sivia datang bergandengan dengan kekasih barunya. Dan ia akan dicemooh habis-habisan (walau untuk yang satu itu, rasanya tidak akan mungkin. Memangnya ada yang berani?).

***
            
Ada satu hal yang membuat konsentrasi Ify terbelah, sementara Alvin sedang seru sekali bercerita bahwa ia bisa membungkam dosen pembimbing PKMnya dengan rancangannya mengenai sebuah alat berupa tas anticopet. Jadi hanya tangan sang pemilik yang dapat menyentuh dan masuk ke dalam tas. Selain itu, tidak bisa. Tas tersebut dilapisi dengan gelombang yang hanya bisa beradaptasi dengan tangan si empunya sendiri. Sang dosen bungkam karena sudah tidak ada lagi kata yang tepat untuk menanggapi ide-ide gila Alvin. Mana ada alat yang seperti itu? Alvin mendengus sebal. “Dosen itu yang gila.” ucap Alvin.
            
Dan cerita tentang tas anticopet itu tidak lebih menarik dari apa yang tengah Ify amati kali ini. Tak jauh dari tempatnya sekarang, tepat di sisi danau, ia melihat Rio termenung sendirian. Wajahnya nampak murung. Beberapa kali Ify menangkap basah pemuda itu tengah mengacak rambutnya seperti seseorang yang frustasi.
            
Ada apa dengan senior yang selalu menjahatinya itu? Mengapa tidak dilihatnya aura keangkuhan yang biasa terpancar dari sosok pongahnya itu? Mengapa yang dilihatnya sekarang justru kesedihan yang teramat mendalam? Apakah dia memang sedang sedih? Oh siapa pula yang telah membuatnya sedih? Apakah ada orang yang telah membuatnya sesak napas, menginjak-nginjak harga dirinya, menganggapnya pembantu dan membuang buku pusakanya ke dalam tong sampah?
            
Ify tersenyum menyeringai. Mana ada? Tidak akan ada yang berani memerlakukannya seperti itu. Mungkin Rio hanya sedang ingin menyendiri saja. Menekuri semua dosa yang telah ia perbuat. Dan setelah ini ia akan mencari korban-korbannya. Berlutut meminta maaf. Ify tidak bisa membayangkan kalau Rio akan datang pada dirinya dan Alvin dengan tangis penuh penyesalan. Lalu Alvin dengan gayanya yang bak ilmuwan dunia menceramahinya panjang lebar. Lucu juga. Hehe. Berkhayalah terus, Ify!
           
“Eh hujan, Fy! Pergi yuk!” ujar Alvin seraya menarik tangan Ify untuk bangkit dari posisinya yang duduk bersidekap di atas rumput hijau area arboretum kampusnya.
           
Ify terkesiap ketika setetes air hujan  menyentuh ubun-ubunnya bersamaan dengan tangan Alvin yang menggapai tangannya. Gadis itu berdiri. Lalu berlari mengikuti Alvin untuk mencari tempat berteduh terdekat dari sana.
            
Sekilas Ify menoleh ke belakang. Lalu mengerutkan kening ketika Rio sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Mungkin gerimis tidak berarti apa-apa untuknya. Sepertinya butuh hujan deras disertai badai untuk dapat mengusirnya dari sana. Tapi mengapa?
            
Pertanyaan itu menggelayuti benak Ify  bahkan hingga gerimis undur diri. Karena setelah ia mendapati Rio di arboretum tadi, esok dan esoknya lagi sering ia menangkap basah pemuda itu tengah terpekur sendiri. Ada apa gerangan dengan pemuda sombong itu?

***
            
“Aku baru mau berangkat ke kampus nih. Kuliah jam 8.” ujar Ify pada seseorang lewat ponselnya. “Oh iya, tumben telepon jam segini. Belum tidur, Gab?” gadis itu baru ingat baha tidak biasanya Gabriel meneleponnya sepagi itu. Karena pagi di sini, berarti larut malam di tempat kekasihnya itu berada.
            
“Udah tidur ini aku. Ini mimpi aja aku telepon kamu.” tukas Gabriel.
            
Ify terkekeh pelan. Membuat dua orang yang berada di dalam lift bersamanya menoleh ke arahnya. Tapi Ify tidak peduli. Ia balas menimpali Gabriel, “Kamu lebih pantas jadi pelawak daripada dokter.”
            
“Kamu lebih senang punya pacar pelawak atau dokter?”
            
“Aku senang jadi pacar kamu.” ungkap Ify, benar-benar tulus dari dasar hati.
            
“Kamu selalu bikin aku ga betah di sini!”
            
Lagi-lagi Ify terkekeh. “Kamu emang paling bisa ya! Kalau pulang, habis kamu sama aku, Gab!” ancam gadis itu.
            
“Aku akan habis dalam cintamu, Fy.”
            
Ify tertegun sejenak. Kemudian baru ingat sesuatu. “Oh iya, kiriman kamu udah nyampe dua hari yang lalu. Papa suka banget. Makasih ya!”
            
Ucapan ‘sama-sama’ dari Gabriel bertepatan dengan suara ‘ting’ dari lift yang menandakan Ify sudah sampai di lantai yang ditujunya. Sedetik berikutnya, pintu lift terbuka. Ify dan dua penghuni lain lift keluar, berganti dengan dua orang lain yang masuk ke sana.
            
“Udah dulu ya, Gab! Aku mau pergi nih. Kamu tidur sana. Jangan begadang terus. Love you!”
            
Setelah Gabriel balas mengucapkan ‘love you too’ barulah Ify memutus sambungan teleponnya. Ia menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas. Lalu terus berjalan.
            
Kaki mungilnya refleks berhenti berayun ketika kedua matanya menangkap sebuah siluet tengah terduduk lesu di atas sofa yang ada di lobi apartemennya. Seorang pemuda yang terlihat seperti sudah tidak mandi beberapa hari. Wajah sendunya nampak kusam. Bakal kumis dan jenggot muncul di sana. Dia tidak cukuran juga ternyata.
           
Ify mengerutkan kening. Rio. Untuk apa pemuda itu di sini? Apakah dia tinggal di apartemen ini juga? Atau Sivia yang tinggal di sini? Omong-omong Sivia, ke mana pula kekasih si sombong Rio itu? Tidak bisakah ia menyuruh pemuda itu untuk membersihkan diri? Lihatlah dirinya kini! Tidak lebih baik dari zombie.
            
Atau mungkin keadaan Rio sekarang ada hubungannya dengan Sivia? Mengingat sudah beberapa kali Ify menemukan pemuda itu termenung seorang diri. Oh, mungkinkah dia sedang patah hati? Memangnya dia punya?
            
Ify mengangkat kedua bahunya. Memilih untuk tidak peduli. Buat apa juga ia harus repot-repot mengurusi pemuda itu? Dia juga tidak peduli padanya ketika harus berjibaku dengan sampah. Gadis itu memilih untuk melanjutkan langkahnya. Melintas di hadapan Rio dan berharap pemuda itu tidak melihat penampakan dirinya.
***
            
“Gimana?” tanya Alvin setelah menunjukan selembar kertas pada Ify. Pemuda itu menatap Ify dengan begitu serius.
            
“Yakin?” Ify balik bertanya.
           
“Banget!” ujar Alvin mantap.
            
Ify akhirnya mengangguk. “Ya udah! Aku temenin kamu.”
            
Alvin berseru kencang. Lalu menghambur memeluk Ify. “Makasiihhhhh! Emang kamu tuh sahabat paling setia di seluruh dunia!”
            
Ify mendorong tubuh Alvin agar menjauh darinya. “Lebay ih! Kayak udah pernah keliling dunia aja!” ujar Ify, merapikan kembali rambut sebahunya yang acak-acakan akibat ulah Alvin.
            
Alvin tersenyum menyeringai. Habis ia senang sekali punya sahabat yang bukan hanya mendukung dari belakang, tapi juga turut berjalan bersamanya.
            
“Betewe, tadi pagi aku lihat Kak Rio di lobi apartemenku.” celetuk Ify tiba-tiba. Entah mengapa ia merasa perlu untuk memberi tahu Alvin akan hal itu.
            
Alvin menoleh pada gadis yang ada di sampingnya. Keningnya yang memang selalu terlipat terlihat memperjelas lipatannya. “Dia satu apartemen sama kamu?”
            
“Ga tahu. Tapi aku lihat dia kayak lagi mikirin sesuatu.”
            
“Peduli amat kamu sama dia, Fy?” tanya Alvin seraya membenarkan posisi kacamatanya.
            
“Bukan gitu. Habis aku penasaran aja. Bukan satu dua kali aja aku lihat dia kayak begitu.”
            
“Mungkin ada hubungannya sama Kak Sivia,” tukas Alvin. Kini matanya terfokus pada sebuah mobil yang berhenti tidak jauh dari tempatnya. Tak lama, seorang perempuan yang namanya baru saja disebut Alvin masuk ke dalam mobil itu.
            
Ternyata, Ify juga melihat objek yang sama. Gadis itu menyikut lengan Alvin. Memberikan kode yang pasti akan bisa diterjemahkan dengan baik oleh sahabatnya itu.
            
Kemudian Ify dan Alvin saling berpandangan. Seakan bisa saling membaca arti dari tatapan mereka, keduanya mengangguk pelan.
           
“Kak Sivia sama Kak Rio udah putus,” desis Ify.
            
“PUJI TUHAN AKHIRNYAAAA!” seru Alvin dengan begitu riang. Seakan baru saja mendapatkan berita bahwa proposal PKMnya diterima oleh dosen pembimbing menyebalkan itu.
            
Ify heran juga mengapa Alvin bisa sebahagia itu. Kalau hanya karena Rio dan Sivia putus, wajar saja Alvin bahagia. Tapi dia tahu sendiri bukan bahwa Sivia telah memiliki pengganti Rio. Pemuda pemilik mobil mewah yang menjemput Sivia tadi. Apanya yang harus disyukuri?
           
“Seneng amat, Vin? Kak Sivia udah punya pacar lagi. Kesempatan kamu buat dapatin dia masih sama kayak dulu. Tipis.” cibir Ify.
            
“Bukan itu ih!” Alvin mendaratkan jitakan pada kepala Ify. “Kalau Kak Sivia sama kak Rio putus, kekuatan mereka buat ngebully kita bakalan berkurang. Kita bakalan merdeka, Fy. Dan kamu ga akan ngubek-ngubek tong sampah lagi.”
            
Ify mendelik tajam pada Alvin. Hei! Tidak usah mengingatkannya pada kenangan buruk itu. Hih.
            
“Dan aku ingatin lagi ya, aku tuh ga naksir sama Kak Sivia!” ucap Alvin. Jelas sekali ia memberikan penekanan berlebih pada kalimat terakhirnya.
            
Perbincangan mereka tentang hubungan Rio dan Sivia yang telah usai sehingga berdampak pula pada kesejahteraan mereka berdua itu pun berakhir ketika angkot dinantinya terlihat dari kejauhan. Ify melambaikan tangannya. Menyetop sang angkot. Lantas mereka berdua masuk ke dalamnya. Bergabung bersama penumpang lainnya.

***
            
Entah sudah berapa gelas alkohol yang diminum Rio. Tapi semuanya seakan tidak cukup untuk dapat menumpulkan ingatannya tentang apa yang dilihatnya tadi siang. Oh sial!
           
Rio memanggil seorang bartender untuk mengisi kembali gelasnya dengan alkohol. Bartender itu mengangguk pelan. Ia sudah mengenal Rio dengan cukup baik. Meskipun sering datang ke club, pemuda itu jarang sekali memesan minuman. Dia datang hanya untuk menikmati alunan musik. Dia kuat bergoyang hingga ujung malam. Dia hanya akan minum kalau dia sedang stres. Oh, masalah sepelik apakah yang membuatnya minum sebanyak itu?
            
“Kenapa, Yo?” bartender itu memberanikan dirinya untuk bertanya. Meskipun dia tahu dirinya siapa, tapi apa salahnya.
            
Dengan mata merah menyala, Rio menatap sang bartender. Lalu tersenyum miring. Kenapa? Masih tanya kenapa? Oh apakah seluruh dunia harus tahu tentang kesedihannya? Rio tidak menjawab pertanyaan bartender itu. Ia malah mengibas-ngibaskan tangannya. Mengusir bartender tak berdosa itu.
            
Rio memandangi gelasnya yang kini sudah terisi alkohol kembali. Terkekeh pelan. Harus berapa liter lagi alkohol yang harus diminumnya agara hatinya bisa mati? Agar ia tidak bisa lagi merasakan apa pun lagi. Cinta dan tetek bengek tidak penting itu.
            
Rio masih begitu ingat apa yang dilihatnya tadi siang. Betapa Sivia terlihat bahagia menggamit tangan seorang lelaki yang sumpah demi apa pun juga tidak lebih tampan darinya. Kulitnya lebih gelap. Seperti kopi untuk Sivia yang berkulit putih layaknya susu. Bahkan tubuhnya lebih pendek dari Sivia. Oh Sivia sayang, kau harus membungkuk untuk merasakan bibirnya yang kecut itu. Tapi gadis itu seperti tidak peduli. Dia berjalan seangkuh biasanya. Membungkam semua tatapan yang mengarah pada dirinya dan kekasih barunya.
           
Ingin rasanya Rio layangkan tinjunya pada wajah yang terlihat mengejeknya itu. Hei, gelap! Kau pikir kau pantas ada di sana? Tidak pernah. Jauhkan tanganmu dari bahu bidadari itu! Pergi sana. Atau lihat saja, kemenanganmu tidak akan bertahan lama.
            
Rio terbatuk pelan. Ia pun tersadar bahwa Rio yang sekarang adalah Rio yang begitu lemah. Tanpa Sivia, dirinya tidak ada artinya.
            
Pemuda itu merogoh dompetnya. Mengeluarkan beberapa lembar uang dari sana dan menyimpannya di atas meja. Lalu ia berjalan terhuyung-huyung keluar dari club menuju mobilnya. Ia menyetir dalam keadaan mabuk. Membelah jalanan kota Bandung pada malam hari dengan kecepatan tinggi. Merasa bahwa jalanan itu hanya miliknya seorang. Yang lain hanya fatamorgana.

           
Kakinya terlalu dalam menginjak pedal gas. Membuat pemuda itu melesat hampir menyerupai bayangan. Maka ketika tiba-tiba sebuah truk melaju kencang dari arah berlawanan, Rio ketar-ketir mengendalikan kendaraannya. Ia putar kemudinya dengan cepat. Membuat mobilnya terbanting ke arah samping. Dan semuanya gelap seketika.

***
Bersambung