Tidak Butuh Judul [4]
Siapa yang pertama kali menemukan ungkapan setiap pertemuan
pasti ada perpisahan? Akan Rio habisi dia! Enak sekali bicara seperti itu. Coba
rasakan dulu jadi dirinya. Rasakan dulu betapa setiap partikel udara yang kau
hela bukan malah menghidupkan, namun justru melemahkan. Rasanya, Rio ingin
berhenti bernapas saat itu juga. Namun ia tak bisa. Seakan udara-udara yang tak
nampak wujudnya itu merangsek masuk tanpa bisa ia bendung. Memenuhi jutaan
kantung paru-parunya. Oh, dia mau meledak saja.
Apa yang
kurang dari dirinya di mata Sivia? Tampan? Tentu saja. Kaya? Coba itu tas dan
sepatu mahal Sivia muasalnya dari mana. Gadis itu tidak akan kekurangan sesuatu
apa pun. Perutnya lapar, Rio bawa ia ke restoran mahal. Ingin berganti gaya rambut,
Rio sediakan penata rambut terbaik yang pernah ada. Mau menghadiri pesta, Rio
hadiahi gaun hasil rancangan desainer ternama. Bosan di rumah, Rio ajak ia
berkeliling kota Bandung, bahkan pernah mereka menghabiskan liburan bersama di
luar kota.
Tapi yang
terjadi malah Sivia pergi meninggalkannya. Lebih memilih lelaki dengan mobil
yang –sedikit- lebih mewah darinya. Asal tahu saja ya, Rio bisa membeli yang
lebih mewah dari itu.
Rio mungkin
tidak menyadari sesuatu. Kelebihan materi membuatnya keliru tentang bagaimana
cara mencinta. Mungkin dia lupa atau bahkan tidak tahu bahwa tidak ada jumlah
yang tepat untuk membayar rasa cinta. Meskipun dia berkoar-koar bahwa dirinya
teramat mencintai Sivia, hanya gadis itulah yang membuat hatinya menggila, tapi
yang ia berikan pada mantan kekasihnya itu adalah materi-materi dan kesenangan
yang sedetik dirasakan lantas menghilang.
Teramat
bangga Rio memiliki Sivia. Gadis cantik dengan postur tubuh bak supermodel.
Membuat popularitasnya di kampus semakin meningkat. Rio dan Sivia dinobatkan
sebagai pasangan ter-membuat-orang-iri.
Namun
kebanggaan itu hilang begitu saja kemarin sore. Berganti dengan rasa sakit yang
tak terperikan. Hari ini ia berdiri seorang diri. Menyandang status sebagai Rio,
yang tidak ada apa-apanya tanpa Sivia.
Hah. Entah
untuk yang keberapa pagi ini, pemuda itu menghembuskan napasnya dengan teramat
berat. Menatapi meja makannya yang lengang. Sejak tadi malam, meja makan itu
memang kosong. Bahkan untuk menelepon restoran cepat saji pun Rio tak kuasa. Ia
biarkan lambung dan ususnya berpuasa. Sampai waktu yang belum ditentukan, ia
tidak berselera untuk mengisi perutnya.
Tik. Tok.
Tik. Tok. Suara detak jarum jam itu pun mengalihkan perhatiannya. 08.16. Bagus.
Kurang dari seperempat jam lagi kuliahnya akan dimulai. Dan dirinya belum
apa-apa. Wajah dan tenggorokkannya sama sekali belum tersentuh air. Pemuda itu
berdecak pelan, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membasuh mukanya dari
kotoran sisa tidur semalam. Setelah itu ia berganti pakaian dan bersiap pergi
ke kampus. Belajar menerima kenyataan bahwa hari itu ia sudah tidak lagi
menyandang status kekasihnya Sivia. Tidak bisa ia membayangkan bahwa di kampus
nanti ia akan melihat Sivia datang bergandengan dengan kekasih barunya. Dan ia
akan dicemooh habis-habisan (walau untuk yang satu itu, rasanya tidak akan
mungkin. Memangnya ada yang berani?).
***
Ada satu
hal yang membuat konsentrasi Ify terbelah, sementara Alvin sedang seru sekali
bercerita bahwa ia bisa membungkam dosen pembimbing PKMnya dengan rancangannya
mengenai sebuah alat berupa tas anticopet. Jadi hanya tangan sang pemilik yang
dapat menyentuh dan masuk ke dalam tas. Selain itu, tidak bisa. Tas tersebut
dilapisi dengan gelombang yang hanya bisa beradaptasi dengan tangan si empunya
sendiri. Sang dosen bungkam karena sudah tidak ada lagi kata yang tepat untuk
menanggapi ide-ide gila Alvin. Mana ada alat yang seperti itu? Alvin mendengus
sebal. “Dosen itu yang gila.” ucap Alvin.
Dan cerita
tentang tas anticopet itu tidak lebih menarik dari apa yang tengah Ify amati
kali ini. Tak jauh dari tempatnya sekarang, tepat di sisi danau, ia melihat Rio
termenung sendirian. Wajahnya nampak murung. Beberapa kali Ify menangkap basah
pemuda itu tengah mengacak rambutnya seperti seseorang yang frustasi.
Ada apa
dengan senior yang selalu menjahatinya itu? Mengapa tidak dilihatnya aura
keangkuhan yang biasa terpancar dari sosok pongahnya itu? Mengapa yang
dilihatnya sekarang justru kesedihan yang teramat mendalam? Apakah dia memang
sedang sedih? Oh siapa pula yang telah membuatnya sedih? Apakah ada orang yang
telah membuatnya sesak napas, menginjak-nginjak harga dirinya, menganggapnya
pembantu dan membuang buku pusakanya ke dalam tong sampah?
Ify
tersenyum menyeringai. Mana ada? Tidak akan ada yang berani memerlakukannya
seperti itu. Mungkin Rio hanya sedang ingin menyendiri saja. Menekuri semua
dosa yang telah ia perbuat. Dan setelah ini ia akan mencari korban-korbannya.
Berlutut meminta maaf. Ify tidak bisa membayangkan kalau Rio akan datang pada
dirinya dan Alvin dengan tangis penuh penyesalan. Lalu Alvin dengan gayanya
yang bak ilmuwan dunia menceramahinya panjang lebar. Lucu juga. Hehe.
Berkhayalah terus, Ify!
“Eh hujan,
Fy! Pergi yuk!” ujar Alvin seraya menarik tangan Ify untuk bangkit dari
posisinya yang duduk bersidekap di atas rumput hijau area arboretum kampusnya.
Ify
terkesiap ketika setetes air hujan
menyentuh ubun-ubunnya bersamaan dengan tangan Alvin yang menggapai
tangannya. Gadis itu berdiri. Lalu berlari mengikuti Alvin untuk mencari tempat
berteduh terdekat dari sana.
Sekilas Ify
menoleh ke belakang. Lalu mengerutkan kening ketika Rio sama sekali tidak
bergerak dari tempatnya. Mungkin gerimis tidak berarti apa-apa untuknya.
Sepertinya butuh hujan deras disertai badai untuk dapat mengusirnya dari sana.
Tapi mengapa?
Pertanyaan
itu menggelayuti benak Ify bahkan hingga
gerimis undur diri. Karena setelah ia mendapati Rio di arboretum tadi, esok dan
esoknya lagi sering ia menangkap basah pemuda itu tengah terpekur sendiri. Ada
apa gerangan dengan pemuda sombong itu?
***
“Aku baru
mau berangkat ke kampus nih. Kuliah jam 8.” ujar Ify pada seseorang lewat
ponselnya. “Oh iya, tumben telepon jam segini. Belum tidur, Gab?” gadis itu
baru ingat baha tidak biasanya Gabriel meneleponnya sepagi itu. Karena pagi di
sini, berarti larut malam di tempat kekasihnya itu berada.
“Udah tidur
ini aku. Ini mimpi aja aku telepon kamu.” tukas Gabriel.
Ify
terkekeh pelan. Membuat dua orang yang berada di dalam lift bersamanya menoleh
ke arahnya. Tapi Ify tidak peduli. Ia balas menimpali Gabriel, “Kamu lebih
pantas jadi pelawak daripada dokter.”
“Kamu lebih
senang punya pacar pelawak atau dokter?”
“Aku senang
jadi pacar kamu.” ungkap Ify, benar-benar tulus dari dasar hati.
“Kamu
selalu bikin aku ga betah di sini!”
Lagi-lagi
Ify terkekeh. “Kamu emang paling bisa ya! Kalau pulang, habis kamu sama aku,
Gab!” ancam gadis itu.
“Aku akan
habis dalam cintamu, Fy.”
Ify
tertegun sejenak. Kemudian baru ingat sesuatu. “Oh iya, kiriman kamu udah
nyampe dua hari yang lalu. Papa suka banget. Makasih ya!”
Ucapan
‘sama-sama’ dari Gabriel bertepatan dengan suara ‘ting’ dari lift yang
menandakan Ify sudah sampai di lantai yang ditujunya. Sedetik berikutnya, pintu
lift terbuka. Ify dan dua penghuni lain lift keluar, berganti dengan dua orang
lain yang masuk ke sana.
“Udah dulu
ya, Gab! Aku mau pergi nih. Kamu tidur sana. Jangan begadang terus. Love you!”
Setelah
Gabriel balas mengucapkan ‘love you too’ barulah Ify memutus sambungan
teleponnya. Ia menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas. Lalu terus berjalan.
Kaki
mungilnya refleks berhenti berayun ketika kedua matanya menangkap sebuah siluet
tengah terduduk lesu di atas sofa yang ada di lobi apartemennya. Seorang pemuda
yang terlihat seperti sudah tidak mandi beberapa hari. Wajah sendunya nampak
kusam. Bakal kumis dan jenggot muncul di sana. Dia tidak cukuran juga ternyata.
Ify mengerutkan
kening. Rio. Untuk apa pemuda itu di sini? Apakah dia tinggal di apartemen ini
juga? Atau Sivia yang tinggal di sini? Omong-omong Sivia, ke mana pula kekasih
si sombong Rio itu? Tidak bisakah ia menyuruh pemuda itu untuk membersihkan
diri? Lihatlah dirinya kini! Tidak lebih baik dari zombie.
Atau
mungkin keadaan Rio sekarang ada hubungannya dengan Sivia? Mengingat sudah
beberapa kali Ify menemukan pemuda itu termenung seorang diri. Oh, mungkinkah
dia sedang patah hati? Memangnya dia punya?
Ify
mengangkat kedua bahunya. Memilih untuk tidak peduli. Buat apa juga ia harus
repot-repot mengurusi pemuda itu? Dia juga tidak peduli padanya ketika harus
berjibaku dengan sampah. Gadis itu memilih untuk melanjutkan langkahnya.
Melintas di hadapan Rio dan berharap pemuda itu tidak melihat penampakan
dirinya.
***
“Gimana?”
tanya Alvin setelah menunjukan selembar kertas pada Ify. Pemuda itu menatap Ify
dengan begitu serius.
“Yakin?”
Ify balik bertanya.
“Banget!”
ujar Alvin mantap.
Ify
akhirnya mengangguk. “Ya udah! Aku temenin kamu.”
Alvin
berseru kencang. Lalu menghambur memeluk Ify. “Makasiihhhhh! Emang kamu tuh
sahabat paling setia di seluruh dunia!”
Ify
mendorong tubuh Alvin agar menjauh darinya. “Lebay ih! Kayak udah pernah
keliling dunia aja!” ujar Ify, merapikan kembali rambut sebahunya yang
acak-acakan akibat ulah Alvin.
Alvin
tersenyum menyeringai. Habis ia senang sekali punya sahabat yang bukan hanya
mendukung dari belakang, tapi juga turut berjalan bersamanya.
“Betewe,
tadi pagi aku lihat Kak Rio di lobi apartemenku.” celetuk Ify tiba-tiba. Entah
mengapa ia merasa perlu untuk memberi tahu Alvin akan hal itu.
Alvin
menoleh pada gadis yang ada di sampingnya. Keningnya yang memang selalu
terlipat terlihat memperjelas lipatannya. “Dia satu apartemen sama kamu?”
“Ga tahu.
Tapi aku lihat dia kayak lagi mikirin sesuatu.”
“Peduli
amat kamu sama dia, Fy?” tanya Alvin seraya membenarkan posisi kacamatanya.
“Bukan
gitu. Habis aku penasaran aja. Bukan satu dua kali aja aku lihat dia kayak begitu.”
“Mungkin
ada hubungannya sama Kak Sivia,” tukas Alvin. Kini matanya terfokus pada sebuah
mobil yang berhenti tidak jauh dari tempatnya. Tak lama, seorang perempuan yang
namanya baru saja disebut Alvin masuk ke dalam mobil itu.
Ternyata,
Ify juga melihat objek yang sama. Gadis itu menyikut lengan Alvin. Memberikan
kode yang pasti akan bisa diterjemahkan dengan baik oleh sahabatnya itu.
Kemudian
Ify dan Alvin saling berpandangan. Seakan bisa saling membaca arti dari tatapan
mereka, keduanya mengangguk pelan.
“Kak Sivia
sama Kak Rio udah putus,” desis Ify.
“PUJI TUHAN
AKHIRNYAAAA!” seru Alvin dengan begitu riang. Seakan baru saja mendapatkan
berita bahwa proposal PKMnya diterima oleh dosen pembimbing menyebalkan itu.
Ify heran
juga mengapa Alvin bisa sebahagia itu. Kalau hanya karena Rio dan Sivia putus,
wajar saja Alvin bahagia. Tapi dia tahu sendiri bukan bahwa Sivia telah
memiliki pengganti Rio. Pemuda pemilik mobil mewah yang menjemput Sivia tadi.
Apanya yang harus disyukuri?
“Seneng
amat, Vin? Kak Sivia udah punya pacar lagi. Kesempatan kamu buat dapatin dia
masih sama kayak dulu. Tipis.” cibir Ify.
“Bukan itu
ih!” Alvin mendaratkan jitakan pada kepala Ify. “Kalau Kak Sivia sama kak Rio
putus, kekuatan mereka buat ngebully kita bakalan berkurang. Kita bakalan
merdeka, Fy. Dan kamu ga akan ngubek-ngubek tong sampah lagi.”
Ify
mendelik tajam pada Alvin. Hei! Tidak usah mengingatkannya pada kenangan buruk
itu. Hih.
“Dan aku
ingatin lagi ya, aku tuh ga naksir sama Kak Sivia!” ucap Alvin. Jelas sekali ia
memberikan penekanan berlebih pada kalimat terakhirnya.
Perbincangan
mereka tentang hubungan Rio dan Sivia yang telah usai sehingga berdampak pula
pada kesejahteraan mereka berdua itu pun berakhir ketika angkot dinantinya
terlihat dari kejauhan. Ify melambaikan tangannya. Menyetop sang angkot. Lantas
mereka berdua masuk ke dalamnya. Bergabung bersama penumpang lainnya.
***
Entah sudah
berapa gelas alkohol yang diminum Rio. Tapi semuanya seakan tidak cukup untuk
dapat menumpulkan ingatannya tentang apa yang dilihatnya tadi siang. Oh sial!
Rio
memanggil seorang bartender untuk mengisi kembali gelasnya dengan alkohol.
Bartender itu mengangguk pelan. Ia sudah mengenal Rio dengan cukup baik.
Meskipun sering datang ke club, pemuda itu jarang sekali memesan minuman. Dia
datang hanya untuk menikmati alunan musik. Dia kuat bergoyang hingga ujung
malam. Dia hanya akan minum kalau dia sedang stres. Oh, masalah sepelik apakah
yang membuatnya minum sebanyak itu?
“Kenapa,
Yo?” bartender itu memberanikan dirinya untuk bertanya. Meskipun dia tahu
dirinya siapa, tapi apa salahnya.
Dengan mata
merah menyala, Rio menatap sang bartender. Lalu tersenyum miring. Kenapa? Masih
tanya kenapa? Oh apakah seluruh dunia harus tahu tentang kesedihannya? Rio
tidak menjawab pertanyaan bartender itu. Ia malah mengibas-ngibaskan tangannya.
Mengusir bartender tak berdosa itu.
Rio
memandangi gelasnya yang kini sudah terisi alkohol kembali. Terkekeh pelan.
Harus berapa liter lagi alkohol yang harus diminumnya agara hatinya bisa mati?
Agar ia tidak bisa lagi merasakan apa pun lagi. Cinta dan tetek bengek tidak
penting itu.
Rio masih
begitu ingat apa yang dilihatnya tadi siang. Betapa Sivia terlihat bahagia
menggamit tangan seorang lelaki yang sumpah demi apa pun juga tidak lebih tampan
darinya. Kulitnya lebih gelap. Seperti kopi untuk Sivia yang berkulit putih
layaknya susu. Bahkan tubuhnya lebih pendek dari Sivia. Oh Sivia sayang, kau
harus membungkuk untuk merasakan bibirnya yang kecut itu. Tapi gadis itu
seperti tidak peduli. Dia berjalan seangkuh biasanya. Membungkam semua tatapan
yang mengarah pada dirinya dan kekasih barunya.
Ingin
rasanya Rio layangkan tinjunya pada wajah yang terlihat mengejeknya itu. Hei,
gelap! Kau pikir kau pantas ada di sana? Tidak pernah. Jauhkan tanganmu dari
bahu bidadari itu! Pergi sana. Atau lihat saja, kemenanganmu tidak akan
bertahan lama.
Rio
terbatuk pelan. Ia pun tersadar bahwa Rio yang sekarang adalah Rio yang begitu
lemah. Tanpa Sivia, dirinya tidak ada artinya.
Pemuda itu
merogoh dompetnya. Mengeluarkan beberapa lembar uang dari sana dan menyimpannya
di atas meja. Lalu ia berjalan terhuyung-huyung keluar dari club menuju
mobilnya. Ia menyetir dalam keadaan mabuk. Membelah jalanan kota Bandung pada
malam hari dengan kecepatan tinggi. Merasa bahwa jalanan itu hanya miliknya
seorang. Yang lain hanya fatamorgana.
Kakinya
terlalu dalam menginjak pedal gas. Membuat pemuda itu melesat hampir menyerupai
bayangan. Maka ketika tiba-tiba sebuah truk melaju kencang dari arah
berlawanan, Rio ketar-ketir mengendalikan kendaraannya. Ia putar kemudinya
dengan cepat. Membuat mobilnya terbanting ke arah samping. Dan semuanya gelap
seketika.
***
Bersambung