Lebih Dari Plester part 14B

Sabtu, 02 Februari 2013

Lebih Dari Plester part 14B


Hari ini untuk kesekian kalinya, lagi-lagi Cakka gagal mengalahkan ketakutannya. Nyali yang telah ia kembangkan seketika menyusut kala ia menjejak pintu masuk sebuah TPU terbesar di kotanya. Rasa bersalah itu merongrong tembok keberaniannya.

Namun ia masih tetap berusaha. Menyeret kakinya yang entah mengapa terasa begitu berat. Menelusuri satu persatu gundukan tanah yang telah ditutupi rumput. Memindai nama-nama yang terukir di permukaan batu nisan yang menempel pada masing-masing gundukan. Ia hanya mencari satu nama. Nama seorang gadis yang pernah berkuasa di altar suci hatinya satu tahun silam. Yang kini
telah terbaring tak berdaya di bawah salah satu dari ratusan gundukan tanah di sana. Dan dirinya adalah penyebab itu semua. Ah, ia penjahat. Pembunuh.

Dan ketika sugesti itu kembali mengendalikan otaknya, ketakutan itu mengungkungnya. Membuat pemuda berwajah oriental itu mundur menjauh. Berlari. Menghindar dari kenyataan. Padahal kalau ia sedikit keras. Mau bertarung dengan rasa takut itu, semuanya akan selesai. Dan dengan itu, ia tidak akan merasa bersalah ketika harus mencintai gadis lain yang telah setengah tahun di kenalnya. Karena ternyata, selama ia dihantui masa lalu, ia tidak akan pernah benar-benar mencintai. Hanya formalitas belaka, karena perasaan iba.

Akhirnya, Cakka memang mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan prahara masa lalunya. Ia membiarkannya terus berlarut. Pemuda itu pergi meninggalkan TPU. Dengan langkah tergesa. Bahkan sempat menabrak seorang gadis di pintu masuk. Tidak sempat meminta maaf. Langsung bergegas melajukan mobilnya. Kembali ke sekolah. Ia tahu tempat itu sudah sepi. Tidak akan ada yang mengganggunya. Ya, ia ingin mengasingkan diri. Menenangkan pikirannya dari dua permasalahn pelik yang harus menderanya dalam waktu yang sama. Tentang masa lalunya tentu saja. Dan juga mengenai Sivia. Semenjak kembali bersekolah, gadis itu banyak berubah. Lebih tertutup, dan perlahan menjauh. Dan Cakka tahu, perubahan sikap Sivia ada hubungannya dengan pemuda yang mengantarkan gadis itu pulang tadi. Pasti.

Dugaan Cakka tidak semuanya benar. Salah satunya tentang keadaan sekolah. Ternyata, di sana masih menyisakan seorang gadis. Sendirian duduk di kursi panjang depan pos satpam. Wajahnya polos sekali. Mulutnya bergerak seperti sedang bersenandung. Kedua matanya mengerjap lucu. Cakka heran, mengapa gadis itu masih di sana. Menunggu jemputan, kah? Entah. Tapi Cakka akhirnya merasa perlu menemani gadis itu. Takut terjadi apa-apa. Seperti digondol setan. Eh?

Lantas ketika Cakka dan gadis itu duduk berdampingan, tiba-tiba turunlah hujan. Gadis itu nampak bergidik kedinginan. Bletzer yang ia pakai tidak cukup untuk menghangatkan tubuh mungilnya. Cakka pun berinisiatif meminjamkan kupluk merah muda yang selalu ia bawa kemana-mana. Kupluk gadis masa lalunya.

"Gimana? Cantik ga?" tanya gadis itu setelah Cakka membantunya mengenakan kupluk itu ke kepalanya.

"Cantik cantik!" Cakka mengangkat jempol. Ah, ternyata gadis itu mudah sekali akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Tidak. Bahkan mereka tidak sempat berkenalan. Cakka tidak tahu siapa nama gadis itu. Juga sebaliknya. Mereka berbincang banyak hal.

SMS dari Om Alvin kemudian terpaksa menyudahi kebersamaan Cakka dan gadis itu. Cakka harus pulang. Sivia menanyakannya terus. Ah, ternyata gadis itu masih mengingatnya. Pikir Cakka sarkatis.

"Aku harus pulang. Kamu mau pulang? Ayo aku antar!" ujar Cakka. Menawarkan kebaikan.

Gadis itu cepat menggeleng. "Aku ga mau pulang."

"Memangnya kamu tidak takut? Ini kan sudah sore. Serem tahuuuu! Ihhh!" Cakka bergidik ngeri. Sok menakuti. Supaya gadis itu mau diantarkan pulang. Segan membiarkannya sendiri.

"Takut sih..." ujar gadis itu agak ragu. Tapi sejurus kemudian, ia menggeleng mantap. "Aku ga mau pulang. Hehe."

Cakka mengangkat bahu. "Ya udah. Aku pulang ya! Daaaa." Cakka melambaikan tangan. Lantas undur diri dari sana. Bersegera untuk pulang.

Dan disanalah Cakka detik ini. Duduk di salah satu tepi ranjang, dimana di atas ranjang itu berbaring seorang gadis. Telah beberapa jam terlelap dibalik selimut. Sivia. Kata Om Alvin, Sivia pulang dalam keadaan pingsan. Sempat terbangun sebentar. Menanyakan keberadaan Cakka. Namun beberapa saat kemudian, tertidur kelelahan.

"Tadi dia diantar Gabriel." Om Alvin menambahkan.

Cakka terhenyak. Gabriel? Cakka menatap Om Alvin dengan dahi terlipat.

"Sivia anak yang terbuka." Om Alvin memandangi lekat-lekat wajah putri sulung sekaligus bungsunya. "Dia selalu cerita semuanya pada saya. Termasuk tentang Gabriel."

Cakka menunduk. Ternyata Om Alvin tahu tentang Gabriel. Diam-diam, ia mendesah berat.

"Sivia selalu bercerita tentang Gabriel dengan bahagia. Dia bilang dia suka sama Gabriel. Dulu saya pikir, itu cuma suka-sukaan ala anak SMP. Tidak serius. Tapi ternyata, saya salah." Om Alvin memalingkan muka. Memilih memandang dinding kamar saja. "Perasaan Sivia untuk Gabriel tidak sedangkal itu. Tiga tahun kami tinggal di Singapura, tiga tahun pula nama Gabriellah yang dia sebut dalam setiap doa sebelum tidurnya. Entah sudah berapa ratus doa yang ia panjat. Dan semua berisi nama Gabriel." Om Alvin menunduk. Berdecak samar.

Sedari tadi, Cakka mendengarkan dengan seksama. Meraba-raba kemanakah arah pembicaraan Om Alvin. Belum tuntas Om Alvin berbicara, Cakka sebenarnya sudah tahu apa inti dari monolog Om Alvin. Hanya saja, Cakka membiarkan Om Alvin menyelesaikan semua kata hati yang sepertinya telah lama ingin ia curahkan.

"Di satu sisi, saya menyesal telah memisahkan Sivia dan Gabriel. Namun di sisi lain, saya tidak ingin Sivia menderita. Dengan dua penyakit sekaligus. Gagal ginjal dan tumor.

"Awalnya saya lega ketika tahu Sivia tidak ingat tentang Gabriel. Tapi saya terluka, ketika melihat mata Sivia yang kehilangan cahayanya. Ada yang hilang dari dirinya. Dan yang hilang itu ternyata kebahagiaan. Ya, Gabriel adalah wujud kebahagiaan Sivia."

Cakka menggertakan rahangnya. Hipotesisnya ternyata memang benar. Langsung atau tidak langsung, Om Alvin hendak memisahkan dirinya dengan Sivia. Cakka menundukkan kepala. Merasa kecewa. Walau entah mengapa, sakitnya tidak seberapa. Mungkin pertanda, bahwa cintanya untuk Sivia hanya sepersepuluh dalamnya samudra Hindia.

"Saya hanya ingin Sivia berbahagia. Sudah terlalu lama dia menderita. Cakka..." Om Alvin tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya. Duduk bersimpuh di lantai. Memeluk kaki Cakka. "Tolong saya! Tolong bahagiakan Sivia! Saya mohon!" ujar Om Alvin dengan nada sangat memelas.

Cakka terperanjat. Terburu memegang bahu Om Alvin. Mengangkat tubuh lelaki berkacamata itu. Jangan! Om Alvin tidak perlu sampai berlutut seperti itu. Tidak pernah pantas. Karena tanpa bersimpuh di kaki Cakka pun, tanpa harus memelas pun, Cakka tahu diri. Ia tidak akan memaksakan kehendaknya sendiri. Sementara ada pihak lain yang merasa tersakiti.

"Om..." Cakka menatap mata Om Alvin dengan yakin. "Saya memang bukan kebahagiaannya Sivia. Tapi saya bisa pastikan, bahwa Sivia akan bahagia. Saya... Saya akan mengantarkan Sivia pada kebahagiaannya."

"Sungguh?" Om Alvin memastikan.

Cakka menghela nafas panjang. Mengumpulkan bermiliyar kepercayaan untuk sebuah keikhlasan. Dengan takzim, ia mengangguk.

Maka merekahlah seulas senyum pada wajah lelah Om Alvin. Lelaki matang itu menarik tubuh Cakka ke dalam pelukannya. Menepuk-nepuk punggung Cakka. Layaknya seorang Ayah yang bangga pada putranya. "Terimakasih Kka! Entah harus dengan apa saya membalasnya. Maafkan saya!"

"Tidak usah. Tidak perlu." Cakka tersenyum. Merasakan kelegaan luar biasa dalam hatinya. Sehingga dengan mantap ia mengucapkan kalimat pamungkasnya. "Saya telah belajar merelakan. Karena saya percaya, bahagia bukan harus hidup berdua. Hakikat kebahagiaan sebenarnya yaitu terletak pada kelapangan hati untuk melepaskan kebahagiaan itu sendiri. Saya belajar itu dari Sivia, Om."

Senyap seisi ruangan. Bergetar mendengar kalimat penuh keikhlasan itu. Dan kalimat itu bukan hanya bualan. Karena bersamaan dengan itu, Cakka memang telah benar-benar melepaskan apa yang selama ini susah payah ia genggam. Ia memilih meraih apa yang berada sedikit di atas kepalanya. Bukan menggantung di langit yang entah di mana ujungnya.

Om Alvin menatap terpana pada pemuda yang sudah ia anggap sebagai putranya sendiri. Lantas mendekapnya hangat. Ah, Alvin rindu dekapan ini. Terakhir kali mendapatkannya, beberapa bulan yang lalu. Dekapan seorang Papa. Ah, Papa. Kapan menyusul ke kotanya? Ajak Mama juga. Cakka benar-benar merindukan mereka.

"Kka..."

Cakka mengerjap. Tidak sadar bahwa Om Alvin telah mengurai pelukannya beberapa detik yang lalu. Terlalu menikmati lamunannya.

"Saya tinggal ya! Kamu boleh menjaga Sivia malam ini." Om Alvin menepuk bahu Cakka. Lantas berlalu dari sana. Memberi kesempatan pada Cakka untuk benar-benar melepas apa yang sebenarnya ingin ia genggam.

Maka sepanjang malam, dipergunakan Cakka untuk memangkas tunas-tunas cinta untuk Sivia. Melenyapkan cikal bakal perasaan itu. Walau memang tidak mudah, namun Cakka tidak akan menyerah. Karena tak pernah ia sadari, jauh sebelum ia bertemu Sivia, ia telah bertemu dengan cinta sejatinya. Cinta yang mengajarkan tentang sebuah kelapangan.

***

'Selamat pagi My Ify! Apakah tidurmu nyenyak semalam? Kau tahu, malam ini aku memimpikanmu lagi. Membuat aku percaya, bahwa baik ketika aku terjaga maupun terlelap, kau selalu ada untukku.'

Ify tersenyum usai membaca pesan singkat pertama yang didapatnya pagi ini. Manis sekali. Ify jadi tersanjung. Terlebih ketika tahu siapa pengirim pesan tersebut. Gabriel. Hey! Pemuda itu memanggilnya 'My Ify'. Sungguh! Itu adalah panggilan teromantis sejagad raya. Tidak ada unsur pujian didalamnya. Hanya ada penegasan atas kepemilikan. Ya, Ify milik Gabriel. Begitu juga sebaliknya. Terhitung sejak kemarin sore.

Kala itu, mobil Gabriel baru saja berhenti di depan rumah Ify. Perjalanan mengantar Ify, dihabiskan dalam diam. Atmosfer mencekam dari pertengkaran tadi masih kental terasa. Membuat Gabriel tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun untuk menghantar Ify keluar dari mobil. Membiarkan gadis periang itu melangkah sendiri. Menggapai gerbang rumah.

Tapi itu tidak bertahan lama. Gabriel tidak ingin menyia-nyiakan perasaan cinta yang sudah lama tidak dikecapnya, yang ia dapatkan kembali dari seorang gadis polos bernama Ify. Gabriel harus mengutarakan cintanya. Detik ini juga. Cepat-cepat ia keluar dari mobil. Menahan Ify untuk jangan dulu memasuki rumah.

Sekonyong-konyong menyatakan cinta, Gabriel malah mematung di tempatnya. Tulang kakinya tiba-tiba melembek seperti agar-agar. Membuatnya tak bisa beranjak kemana-mana. Bahkan untuk sekedar menghampiri Ify.

Ify yang hampir saja melewati gerbang rumah membalikkan badan. Mendapati Gabriel yang nanar menatapnya. Perlahan, Ify menghampiri Gabriel. Mempersempit jarak agar Ify dapat melihat dengan jelas bagaimana ekspresi wajah Gabriel. Karena dari tempatnya yang sekarang, Ify hanya bisa melihat tubuh Gabriel bergetar lantas sejurus mengejang. Seperti tengah menahan tangis. Benarkah Gabriel menangis? Tapi untuk apa? Untuk siapa ia menangis?

Dan meskipun penglihatan Ify sudah tidak begitu tajam, Ify kini jelas-jelas melihat Gabriel menangis. Ada buliran air mata yang teruntai dari kelopak mata hingga ujung dagu. Sempurna membelah pipi. Gabriel sedang menangis. Dan ia menangis untuk Ify. Sungguh! Ify tidak perlu berdoa siang malam agar Gabriel menangis karenanya. Semua sudah terjadi sore ini. Karena sesungguhnya, ketika seorang lelaki menangis untuk seorang perempuan, itulah puncak dari tulusnya sebuah perasaan.

"Gabriel kenapa menangis?" Ify mengangkat telunjuknya. Menggunakan sang telunjuk untuk menelusuri setiap untaian kristal bening yang mengalir pada wajah tampan Gabriel. Lantas ketika mencapai akhir, telunjuknya kembali ke muasal untaian. Begitu seterusnya. Hingga pada satu waktu, untaian itu tak lagi nampak.

Maka ketika Gabriel tak lagi membuang tetesan air matanya, Ify lembut menyentuh pipi pemuda itu. Menatapnya dengan tatapan mengendalikan. "Gabriel jangan menangis! Kalau Gabriel menangis, Ify juga akan menangis. Gabriel kan matanya Ify. Ify tidak ingin menangis. Ify terlalu menyanyangi mata Ify."

Langit, bagaimana ia tidak menangis? Siapa yang tidak akan tersentuh hatinya ketika mendengar ungkapan seindah dan setulus tadi? Bahkan seluruh penghuni langit pun berdecak takjub. Jadi, izinkan pemuda itu menangis. Menangis hanya untuk Ify. Gabriel kembali mengurai tetes-tetes bening dari mata elangnya.

Gabriel menggenggam kedua tangan Ify yang masih menempel di pipinya. Menantang tatapan Ify. Gadis itu nampak mengerjapkan matanya yang mulai berkaca-kaca. "Ini tangis kebahagiaan. Aku bahagia jadi mata kamu. Aku bahagia jadi bagian dari kamu. Bersediakah kamu jadi dunia aku? Karena kalau kamu menolak, aku tidak tahu harus hidup dimana. Sementara dunia yang aku punya hanya kamu."

Karena Ify tidak pernah meragukan segala apa pun yang terlontar dari mulut Gabriel, maka gadis itu mengangguk. Ia bersedia menjadi dunia untuk Gabriel menjalani harinya. Menghela setiap nafas. Merajut jutaan mimpi. Meminjam sang waktu dan menghabiskannya bersama.

Mengembanglah senyum di wajah Gabriel. Ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa dijabarkan dengan apa pun. Ia tidak butuh medali-medali olimpiade koleksinya. Ia juga tidak butuh sanjungan-sanjungan yang mendewakannya setiap kali bermain sepakbola. Ia hanya membutuhkan dunia. Satu-satunya. Seorang Ify Alyssa.

"Fy..." Gabriel bergumam pelan. Wajahnya ia gerakkan untuk memangkas jarak dengan wajah Ify. Membuat gadis itu refleks memejamkan mata. Menanti apa yang akan dilakukan Gabriel.

Dan saat jarak di antara mereka hanya tinggal sehembusan angin saja, Gabriel lembut mengecup mata Ify. Dua puluh detik lamanya, lantas beralih mengecup mata yang lain. Dan ketika itu, mereka sama-sama melantunkan harap. Semoga, Gabriel bisa menjadi mata yang baik untuk Ify. Dan Ify bisa menjadi dunia yang menyenangkan untuk Gabriel.

Ify kembali tersenyum mengingat kejadian kemarin. Sekarang, status mereka bukan hanya sekedar teman mengerjakan soal matematika, bukan hanya partner membagi-bagikan plester. Tapi.... Hihi. Ify terkikik. Kenapa susah sekali ya mengatakannya? Ify belum terbiasa.

'Selamat pagi mataku! Semalam aku juga bermimpi. Bertemu dinosaurus tampan yang galak. Namanya Gabriel. Gabrielsaurus. :p'

Ify menekan sebuah tombol. Terkirim.

Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali berdering. Sebuah pesan baru saja diterima. Dari orang yang sama.

'Haha. Apa banget deh kamu! Eh, main bola yuk! Sama Ray juga! Kamu kangen kan sama dia?'

Ray? Ify menggigit bibir. Bagamana kabar bocah lucu itu? Sudah lama sekali tidak bertemu dengannya. Bermain sepakbola bersama. Menyaksikannya meniup ilalang. Ah, tapi kan hari ini jadwalnya ke rumah sakit. Memeriksakan mata pada Dokter Keke. Ify mengeluh. Menyesal tidak dapat menerima ajakan Gabriel. Gadis itu mengetikkan beberapa kalimat balasan.

'Ah, Ify kangen Ray! Tapi, hari ini Ify harus ikut Mama Papa. Maaf ya! :('

Klik. Terkirim.

Ify kemudian mematikan ponselnya. Meletakkannya di atas meja belajar. Kemudian hening.

Gadis itu menatapi boneka dinosaurus yang duduk manis di atas tempat tidurnya. Cantik sekali dengan kaos merah mudanya. Detik berikutnya, Ify meraih boneka itu. Menyimpan sang boneka di atas pangkuannya. Menatapnya lagi.

"Halo!" sapa Ify. Tersenyum ketika tidak mendapat balasan dari sang dino.

Ify lantas meraba lehernya. Melepas kalung 'sivia' yang telah lama menjadi satu-satunya penguasa di sana. Memindahkannya pada leher sang dino. "Ini punya kamu! Aku kembalikan." Ify mencium pipi dinosaurusnya dengan sayang.

Setelah selesai dengan dinosaurusnya, Ify beralih pada gelang yang terpasang di tangan kanannya. Dari Gabriel. Diberikan pemuda itu di lapangan pinggiran kota. Di waktu yang sama ketika Gabriel mengucapkan janji layang-layang itu. Ah ya. Masih ingatkah Gabriel pada janji itu? Mengapa Gabriel tidak pernah mengungkitnya kembali? Padahal Ify ingin sekali melihat layang-layang keren itu sebelum dirinya tidak sempat.

Eh. Ify mengerjap. Mengapa bisa ia berpikir seperti itu? Gabriel pasti ingat. Gabriel tidak akan melupakan janji krusial itu. Bahkan hal paling kecil pun, pemuda itu tak akan lupa. Ya! Ify menyugesti hatinya.

Bunyi ceklikan di engsel pintu kemudian mengejutkannya. Membuat Ify langsung mencelat dari tempatnya. Dia mendapati Papa yang baru saja memasuki kamarnya.

"Halo, Dear!" Papa mengecup ubun-ubun Ify.

Ify tersenyum. "Halo superfather!"

Papa mengacak rambut Ify gemas. Lantas mengangkat tubuh Ify. Membawanya keluar kamar.

"Aduuuhh! Ify sudah besar, Pa! Turunin!" Ify meronta-ronta. Meninju punggung kokoh Papa. Terus merengek meminta Papa untuk menurunkannya.

"Bagi Papa, kamu selalu anak kecil." ujar Papa. Tetap menggendong Ify hingga keluar rumah. Menurunkannya ketika akan masuk mobil.

"Ih Papa rese! Rambut sama baju Ify jadi berantakan nih!" Ify mengulum bibir. Berpura-pura merajuk.

Papa jahil menjawil caping hidung Ify. Membuat Ify tidak bisa menahan tawanya. "Papa nyebelin ah!" Gadis periang itu lalu masuk ke dalam mobil. Duduk di bangku penumpang bagian belakang. Disusul Papa yang bertindak sebagai supir. Mereka berdua menunggu Mama yang tiga menit kemudian baru keluar dari rumah.

Melajulah mobil yang membawa keluarga bahagia itu ke sebuah rumah sakit.

Sementara di belahan kota yang lain, seorang wanita sedang sibuk membangunkan putranya. Sang putra memang selalu bebal kalau soal bangun pagi. Apalagi hari libur seperti ini. Ada saja alasannya.

"Ihhh Mami! Rio masih ngantuk! Tadi malam Rio abis nonton bola." Rio menarik selimutnya hingga sempurna menutupi seluruh tubuhnya. Ia bersembunyi di sana.

"Hari ini Rio yang harus antar Mami ke rumah sakit. Ayo bangun!" Mama menarik selimut. Melemparnya ke lantai. Membuat Rio mencelat lantas bangun dari tidurnya. Kini, ia berada dalam posisi duduk.

"Hoaaammmm!" Rio menguap lebar. Segera ditutup oleh telapak tangan Mami. Rio ini kebiasaan. Kalau menguap pasti tidak pernah ditutup.

Rio menggaruk pahanya. "Rio masih ngantuk Mi! Mami berangkat sendiri sana! Hehe." Rio memamerkan deretan giginya, nyengir. Kembali menguap.

"Kalau kamu ga mau antar Mami, ini ga akan jadi milik kamu." Mama mengangkat sebuah kamera digital.

Kedua mata Rio langsung membelalak. Tak peduli belek-belek mencoba mencegahnya. Lihatlah apa yang ada di tangan Mami. Kamera. Tuh kan! Apa Rio bilang. Mami itu wanita paling baik. Minta apa pun pasti dibelikan. Nanti Rio mau meminta kapal pesiar ah. Agar bisa mengajak Ify berlayar.

"Aku mandi dulu Mi!" Rio melonjak dari kasurnya. Menyambar handuk lantas bergegas ke kamar mandi. Meninggalkan Mami yang hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah putranya.

***

Rio sedang sibuk mencoba kamera barunya. Jepret sana. Jepret sini. Ada pasien lewat, ia potret. Suster lewat, ia potret. Sialnya, ia tidak bisa memotret Mami. Mami sedang sibuk dengan pasiennya.

"Duuuh! Mami kebiasaan deh! Kalau udah sama pasien, gue dicuekkin!" ucap Rio kesal. Menendang udara hingga terpental ke langit-langit koridor. Ia sekarang memutar arah. Kembali menuju ruang kerja Mami.

Hingga sepuluh meter dari ruang kerja Mami, ia mendapati seorang gadis berbalutkan dress biru muda sedang duduk sendirian di depan ruang kerja Mami. Hey! Ia tidak salah lihat bukan? Itu Ify. Wah kebetulan. Ia bisa langsung memamerkan kamera barunya. Lalu berfoto bersama. Eh tapi sedang apa gadis itu di sana? Sakit? Rio tidak mau menduga-duga. Ia lalu melangkah mendekati Ify.

"Ify cantik!" sapa Rio. Kemudian duduk di samping Ify.

Ify terkesiap. "Rio kece? Hay!" Ify tersenyum. Riang seperti biasanya.

"Ngapain di sini?" tanya Rio.

"Nunggu Mama sama Papa."

Rio mengeritkan kening. "Mereka sekarang di mana?"

"Di dalam. Ngobrol sama dokter Keke."

Ha? Untuk apa orang tua Ify mengobrol dengan Maminya? Mereka sakit mata, kah? Atau Ify yang sakit? Mengingat Ify yang sering mengerjapkan mata tidak jelas. Dan bukankah Ify juga pernah mengenakan kacamata?

"Lo sakit?" tanya Rio menyelidik.

Ify menggigit bibir. Bagaimana ini? Haruskah ia jujur pada Rio? Tapi bagaimana kalau Rio memberitahu Gabriel dan teman-teman yang lain? Ia tidak mau mereka tahu dan merasa terbebani. Seperti teman-temannya di Bandung.

"Ify lo jangan bohong! Dokter Keke itu Mami gue. Jadi kalau lo bohong, gue bisa tanya langsung ke Mami."

Ify kini terpojok. Gadis itu menunduk dalam. Menyembunyikan wajahnya yang nampak ketakutan.

"Ify tolong jawab!" Rio mengguncang kedua bahu Ify. Membuat Ify semakin tidak mampu mengelak.

"Sumpah demi apa pun, Ify tidak pernah menginginkan penyakit ini." cicit Ify pelan. Namun masih jelas terdengar.

"Ify..." Rio membekap mulutnya.

"Dari kecil, mata Ify sudah sakit. Penyakit ini turunan dari kakek Ify. Kakek Ify tidak bisa melihat ketika umurnya 40 tahun. Dan terus begitu sampai meninggal." Ify mencengkram ujung dressnya. Mencari kekuatan untuk meneruskan ceritanya.

"Daya tahan tubuh Ify juga lemah. Dan itu berpengaruh pada mata Ify. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan mata Ify. Satu-satunya hanya donor mata. Tapi mana mungkin Ify bisa hidup dengan mata yang bukan hak Ify." Ify mengatur pernafasannya yang kini tersengal. Sementara Rio memegangi dadanya. Entah mengapa, ada yang sakit di sana.

"Rio tahu mimpi terbesar Ify apa? Ify hanya ingin melihat. Memastikan kalau semua orang yang Ify sayangi tidak meninggalkan Ify sendiri. Ify tidak mau sendiri! Ify juga ingin melihat Mama dan Papa bahagia karena Ify bisa menjadi sarjana. Melihat Rio, Gabriel, juga Ray menjadi pemain sepakbola yang hebat. Melihat suatu saat nanti Rio, Gabriel, Oik dan semua teman-teman Ify menikah. Hanya itu. Tidak lebih."

Maka demi mendengar mimpi sederhana itu, Rio langsung menghambur memeluk Ify. Melupakan kamera yang tadinya akan ia pamerkan. Ia mengupahi Ify. Ah, Rio mengupahi dirinya sendiri. Lihat! Yang menangis bukan Ify. Tapi dirinya. Cengeng sekali dirinya. Tidak. Ify bukan tidak menangis. Ia hanya menangis dalam hatinya. Karena ia bertekad untuk tidak pernah menangis lagi. Ia terlalu menyayangi matanya.

"Lo akan melihat selamanya, Fy! Lo harus yakin! Tuhan sayang sama lo! Dan demi Tuhan, lo ga akan pernah sendiri, fy!" kata Rio susah payah. Bergelut dengan tangisnya.

"Aamiin!" Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Penutup setiap doa kebaikan yang dipanjatkan untuknya.

Dan percaya atau tidak, semenjak hari ini, detik ini, Rio menekadkan sesuatu dalam hatinya. Ia akan menjadi dokter mata suatu saat nanti. Menjadi orang hebat seperti Mami. Ia ingin semua orang bisa melihat. Selamanya melihat. Tidak boleh ada yang bersedih, cemas, dan khawatir tidak bisa melihat. Semuanya pasti bisa 'melihat'.

Hari ini, dengan segala kepolosannya, Ify telah berhasil merubah Rio. Rio yang pemalas. Tukang tidur ketika jam pelajaran. Paling bodoh dalam berhitung. Kelak hari-hari berikutnya, Rio yang seperti itu takkan lagi ada. Tentu tanpa mengubah perangai Rio yang lain. Rio akan tetap menjadi Rio yang tengil. Rio yang jago bermain sepakbola. Rio yang manja pada Mami. Dan Rio yang akan mencintai Ify. Tak peduli Ify akan membalasnya atau tidak. Baginya, urusan perasaan selalu sederhana.

***

Bersambung