Lebih Dari Plester part 15
Gadis itu menggeliat. Memalingkan wajah untuk menghindari seberkas sinar yang tajam menusuk matanya. Setelah beberapa detik beradaptasi, gadis itu perlahan membuka matanya. Lalu merasa perlu menyisir setiap sudut kamarnya. Dan ketika matanya tertumbuk pada pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon yang menjeblak terbuka, gadis itu tersenyum. Melihat seorang pemuda yang berdiri dekat pagar pembatas. Entah sedang melakukan apa.
Sivia-gadis itu menendang selimut yang semalaman menghangatkan tubuhnya. Berjingkat dari ranjangnya. Dengan sisa-sisa tenaga, berjalan tersaruk menghampiri sang pemuda. Cakka tentu saja.
"Good morning!" tukas Sivia ketika
sudah berada di ambang pintu.
"Eh..." Cakka yang saat itu tengah menyeruput segelas jus jeruk langsung berbalik. Mendapati Sivia yang tengah berjalan menghampirnya. Terlihat cantik meski rambut panjangnya kusut tak karuan, wajahnya sama sekali belum tersentuh air. "Ini sudah siang. Lihat! Matahari sudah berada tepat di atas kita." ujar Cakka. Membimbing Sivia untuk menempati posisi di samping kanannya.
"Siang?" Sivia menatap langit. Lantas beralih memelototi Cakka. "Pantas kamu sudah rapi. Eh kenapa ga bangunin aku? Jahat!" Sivia mengulum bibir.
Cakka terkekeh. "Aku cuma ga mau ganggu kamu." Lalu diam. Kembali menyesap jus jeruknya.
Sivia mengangguk. Lantas menyelidik pada minuman yang sedang dinikmati Cakka. "Apa itu?"
Ha? Cakka berhenti meneguk jus jeruknya. "Ini?" menunjuk sang gelas. "Jus jeruk. Mau?" Cakka menyodorkan gelasnya pada Sivia.
"Noooo!" Sivia menggeleng cepat. "I dont like orange juice!"
Cakka mengerenyit bingung. "Why?"
"Rasanya aneh! "Sivia bergidik ngeri. Menjulurkan lidahnya. Seperti benar-benar mencicipinya.
"Oke!" Cakka mengangkat bahu. Kemudian hening kembali. Hingga pada akhirnya pemuda berwajah oriental itu pulalah yang memecahnya. "Kamu tahu, hampir setiap orang suka jus jeruk."
"Except me!" Sivia memotong ucapan Cakka. Aduh! Kenapa jadi membicarakan jus jeruk sih? Sivia tidak suka. Rasanya tidak enak. Lebih enak obat-obatnya tahu tidak.
Cakka menyeringai. Mengacak rambut Sivia yang sudah acak-acakan. "Iya iya. Karena rasanya aneh, kan? Ya sama kali kaya cinta." Cakka meletakkan gelas minumannya yang ternyata sudah kosong di dekat pagar pembatas. Menatap lurus ke depan. Membiarkan Sivia menatapnya dengan wajah aneh yang menggemaskan.
"Kka..." ucap Sivia dengan suara serak. Cakka ini bicara apa sih? Mengapa melantur kemana-mana?
"Cinta itu aneh ya! Membuat kamu selalu ingin memberi walau tidak pernah sekali pun menerima. Membuat kamu selalu ingin bertahan dalam palung kesakitan, walau ada yang mengulurkan bantuan. Membuat kamu terus menunggu, meski yang ditunggu ternyata pergi menjauh." Cakka kembali menyeringai.
"Aku ga ngerti. Please!" Sivia memelas. Menggoyang-goyangkan lengan Cakka.
Cakka kini menatap Sivia. Menyibak jumputan rambut yang sedikit menghalangi wajah cantik Sivia. "Kejar cinta kamu Vi!" Cakka menepuk pipi putih pualam Sivia. "Gabriel." ujar Cakka pada akhirnya. Agak kelu ketika harus mengatakan nama sang rival.
Sivia membelalakan matanya. Ternganga tak percaya. Bagaimana Cakka bisa tahu tentang Gabriel? Bukankah ia tidak pernah bercerita? Atau Patton yang membocorkannya. Ah tidak. Patton bukan pemuda yang ember. Atau jangan-jangan sebenarnya selama ini Cakka tahu tentang Gabriel, enggan memberitahu Sivia saat ia tidak mengingatnya. Ah Cakka jahat sekali. Namun setelah Sivia mengatakan kalimat itu dalam hati, sejurus kemudian ia menyangkalnya. Cakka justru teramat baik. Bagaimana bisa ia tetap bertahan mencintainya? Sementara ia tahu, Sivia mencintai pemuda lain.
Maka beginilah yang meluncur dari mulut Sivia. "You love me, dont you?"
Cakka membuang wajahnya. Tidak kuat jika harus berlama-lama menatap wajah Sivia. "I do. But you never love me! You love him. Cakka mendesah berat. "Im nothing. I just just a shadow. Yeah. Im shadow."
Sivia menggelengkan kepala. Ya, Sivia memang mencintai Gabriel. Sivia sudah ingat semuanya. Pemuda itu adalah cinta pertamanya. Pemuda cerobohnya yang selalu saja berpura-pura terluka hanya untuk mendapatkan sebuah plester dinosaurus dan perhatian darinya. Pemuda yang membuatnya bertahan tiga tahun lamanya dengan dua penyakit yang kini telah berhasil ditaklukannya. Sivia tertegun. Bagaimana ia tiba-tiba bisa mengingat semuanya? Sementara selama ini ketika ia bersusah payah mengingat, ia tidak pernah berhasil.
Tapi kini, Sivia tahu satu hal. Selama ia pergi Gabriel telah menemukan penggantinya. Seorang gadis bertubuh mungil yang polos nan ceria. Memiliki nama yang begitu singkat. Ify. Awalnya Sivia tidak percaya pada cerita Patton tersebut, tapi kemarin, ketika ia melihat sendiri bagaimana kemesraan antara mereka, Sivia pun sadar, terlalu lama ia menghilang, membuat Gabriel jenuh dan enggan lagi menunggu. Lalu kata Cakka apa tadi? Cinta membuatmu rela menunggu. Ah, Gabriel tidak mau menunggunya. Gabriel tidak mencintainya. Jadi jangan suruh ia kembali pada Gabriel!
"Iya. Kamu memang bayangan. Kamu selalu ikut kemana pun aku melangkah. Kamu benar." Sivia terkekeh. Mencengkram bahu Cakka. Memaksa pemuda itu untuk menghadap padanya. "Tapi kalau kamu ga ada, itu tandanya aku mati."
Cakka berpura-pura tersenyum. Menahan matanya untuk tidak menitikan air mata di depan Sivia. "Hei! Aku akan selalu ada buat kamu. Jangan nyerah gitu dong! Dont give up Sivia!"
"Tapi kamu juga nyerah!" Sivia mendengus sebal. "Aku ga mau berjuang sendirian."
Cakka meletakkan kedua tangannya pada bahu Sivia. Agak menunduk mengingat postur Sivia yang hanya setinggi bahunya. "Dengar ya! Aku ga pernah menyerah! Aku hanya sadar diri Vi! Aku ga mau kamu terbebani."
Sivia menyentuh tangan Cakka yang masih menempel di bahunya. "Yakin?" Sivia menggigit bibir.
"Tentu!" Cakka mengangguk mantap. Membawa Sivia untuk kembali ke posisi semula. Menatap langit. "Kamu tahu, pulang ke kota ini membuat aku tersadar, aku masih mencintai Agni." Cakka tersenyum. Untuk pertama kalinya berani melapalkan nama gadis yang masih menjadi pemilik hampir seluruh bagian hatinya.
Sivia tertegun. Mengerenyit penasaran. "Siapa Agni?"
Maka siang itu dihabiskan Cakka dan Sivia dengan cerita klasik mereka masing-masing. Sivia tidak banyak bercerita. Nampaknya Cakka sudah banyak mengetahui tentang kisahnya bersama Gabriel. Cakkalah yang banyak berbicara. Tentang Agni dan kisah cinta singkatnya. Terlalu singkat malah.
"Bantu aku menyelesaikan masalahku dengan Agni ya!" ujar Cakka menutup dongengnya.
"Siap bos Cakka!" ujar Sivia dengan semangat. Bergaya seperti prajurit yang hormat pada komandannya.
Cakka mengacak rambut Sivia lagi. Mereka pasti akan jadi partner yang baik untuk menyelasaikan urusan-urusannya. Ah, bagi mereka yang memahami, urusan perasaan selalu saja sederhana.
***
Duk. Duk. Duk. Gabriel menghentikan gerakan bola yang sebelumnya ia hantamkan ke tembok kamarnya. Membosankan. Sejak tadi pagi, yang ia lakukan hanya berdiam diri di kamar. Membaca koleksi buku yang belum sempat ia sentuh, berselancar di dunia maya, mendengarkan musik jazz, dan sekarang memainkan bola sepaknya.
Andai saja Ify tidak harus pergi bersama orang tuanya, Gabriel tidak akan sebosan ini. Mereka pasti akan bersenang-senang di lapangan pinggiran kota. Bermain sepakbola bersama Ray dan bocah-bocah lainnya. Saling mencolek lumpur pada pipi satu sama lain. Menyaksikan padang ilalang yang begitu cantik. Meniup gelembung di tengah padang. Dan menonton tarian layang-layang yang sangat keren.
Eh. Gabriel menjatuhkan bola yang dipegangnya, sehingga si kulit bundar itu bergulir hingga kolong meja belajar. Kemudian terduduk di tepi ranjang. Layang-layang? Janji itu. Gabriel menggigit bibir. Pasti Ify kecewa sekali. Menanti-nanti kapan janji itu akan ia tunaikan. Ya Tuhan, mencari layang-layang yang persis sama dengan layang-layang tempo lalu itu sulit sekali. Gabriel bukan tidak mencari. Sepulang sekolah, ia selalu menyisir ke setiap penjuru kota. Menyambangi setiap toko yang menjual berbagai macam layang-layang. Tapi sampai saat ini, ia masih belum berhasil. Gabriel harus meningkatkan usahanya.
Aha! Gabriel mencelat dari duduknya. Bergegas mengobrak-abrik laci meja belajarnya. Mengeluarkan kertas dan pensil dari sana. Mengapa ia baru terpikirkan sekarang? Ia bisa menggambar layang-layang itu, lalu meminta kepada perngrajin layang-layang untuk membuatnya. Gabriel masih mengingat semua detail layang-layang itu. Bentuknya, coraknya, warnanya, semuanya. Gabriel menarik ujung-ujung bibirnya. Lalu mulai menggambar dengan semangat.
Ketika gambar layang-layangnya telah selesai, ia bergegas menuju salah satu pengrajin layang-layang yang berada tidak jauh dari komplek perumahannya. Memesan sebuah layang-layang. Semoga dua minggu yang akan datang, layang-layang itu sudah siap diterbangkan. Persis ketika ujian akhir semester ganjil berakhir.
"Aku ga akan melupakan setiap janji aku ke kamu, seremeh apa pun janji itu. Aku ga akan meniru Sivia. Dia bukan hanya melupakan janjinya, dia bahkan melupakan aku, si cerobohnya." gumam Gabriel pelan seraya menatap nanar birunya langit. Kawan setia dari setiap inci kisah klasiknya.
***
"Ify, jangan lupa minum obatnya, sayang!" sayup terdengar suara mama dari luar kamar. Ify mendesah. Menjawab 'iya' dengan lemah. Bosan sekali mendengar setiap malam mama mengingatkan hal yang sama; minum obat. Kapan sih Ify bisa terlepas dari obat? Ify lelah. Kasihan lidahnya. Saking seringnya minum obat, kini lidahnya sudah tidak bisa lagi mengecap rasa pahit.
Tadi siang, Dokter Keke mengatakan keadaan mata Ify semakin memburuk. Harus segera mendapatkan donor sebelum Ify benar-benar tidak bisa melihat. Karena jika sudah terlambat, peluang untuk sembuh sangat kecil. Tuhan, bagaimana ini? Ify menggigit bibir. Nanar menatapi lampu belajarnya. Lampu itu terang. Membantu sekali Ify untuk untuk melihat tulisan-tulisan yang ada di buku. Tapi nanti, seterang apa pun sang lampu, bagi Ify tetap saja gelap. Ify tidak akan bisa melihat.
Ify lalu meraih kacamata berbalutkan plesternya. Menyentuh setiap senti rangkanya. Ia tersenyum getir. "Sehebat apa pun ciptaan manusia, tidak akan ada yang mengalahkan ciptaan Tuhan. Tugas kamu membantu Ify sudah selesai. Terimakasih sudah menemani Ify selama ini." Ify mencium kaca matanya. Tanpa sadar, sebulir air mata menari di wajahnya. Tuhan, malam ini Ify menangis lagi. Bukan. Bukan karena ia tidak menyayangi sepasang matanya. Ia hanya membutuhkan jeda dalam hidupnya untuk kemudian kembali berlari. Menghabiskan waktu berkawankan cobaan yang membuatnya suatu saat akan beterimakasih pada Tuhan. Atas pemahaman dan pengertian tentang mengapa ia harus hidup dengan 'kesakitan' yang membahagiakan.
Ify kemudian melirik ke arah tempat tidurnya. Tersenyum ketika mendapati boneka dinosaurs kesayangannya. Ify melangkah ke sana. Memangku sang dino. Lantas memasangkan kacamatanya pada dinosaurus imut itu. "Kacamata, temani Dinoku ya!" gumam Ify. Lalu erat memeluk dinosaurus berbaju merah muda itu.
***
Rio mengulum bibirnya kesal. Risih mendapat tatapan aneh taman-temannya. Aduh! Mereka apa coba? Mengapa memperhatikan Rio sebegitu lekatnya? Sampai tidak berkedip. Detail dari ujung kepala hingga ujung ibu jari kakinya. Apa ada yang aneh dengan Rio pagi ini? Apa di kepalanya tumbuh dua tanduk? Aduh! Rio merasa jadi alien yang tersesat di bumi.
Pagi ini, Rio memang aneh. Seorang Rio yang dikenal raja telat seantero sekolah bisa datang ke sekolah sepagi ini. Hal yang sangat amat jarang terjadi. Harusnya Rio diberi penghargaan oleh pihak sekolah. Terutama Bu Winda. Ah, Bu Winda pasti terharu mengetahui pagi ini Rio tidak terlambat.
Bukan apa-apa, pagi ini adalah permulaan dari tekad bulatnya untuk berubah. Ia tidak mau jadi Rio yang pemalas. Rio yang bodoh. Tadi malam saja, Rio mengerjakan PR. Walau ia tidak yakin dengan jawabannya, tapi paling tidak ia mau berusaha. Tahu tidak, mengerjakan satu soal fisika tentang gerak parabola saja menghabiskan waktu satu jam. Dulu, mana mau Rio mengorbankan waktunya untuk menyelesaikan soal yang kadang tidak masuk akal -seperti menghitung tinggi maksimum dari sebuah bola yang dilemparkan ke atas, mending juga ia bermain playstation, atau berselancar di dunia maya, berburu game-game teranyar. Tapi itu Rio yang dulu. Sekarang? Ucapkan selamat tinggal untuk sifat malasnya.
Ditemani suara derap langkahnya yang teredam, dikawani kesendirian, Rio pun memasuki kelas. Masih kosong. Rio sekarang jadi juaranya. Gabriel pun kalah. Nanti, prestasi akademik Gabriel juga akan ia kejar. Begitu juga dalam sepakbola, akan ia rebut ban kapten dari tangan Gabriel. Ya! Semangat Rio!
Rio sedang berkutat dengan segala ambisinya, tidak menyadari bahwa baru saja seorang gadis memasuki kelas. Terkejut mendapati Rio yang telah terlenih dahulu mengisi kelas. Gadis itu langsung berteriak histeris. Berlari memburu Rio.
"Rio kece? Aaaaaaa!!!!"
Rio terperanjat. Meneguk ludah ketika didapatinya Ify langsung menyambar kedua bahunya, kencang mengguncangkannya. Lantas meraih kedua tangan Rio, mengajak pemuda itu melompat dan berputar-putar kegirangan.
"Ify cantik udah dong!" pinta Rio dengan nada memelas. Merasa lelah diajak 'bersenang-senang' oleh Ify, meski sejujurnya ia bahagia dengan perlakuan Ify padanya. Nyaman dengan genggaman tangan yang tak sedetik pun Ify longgarkan.
Ify akhirnya berhenti melompat. Mengurai genggaman tangannya. Membuat Rio mendesah dalam diam. Gadis itu mengusap dadanya. Menormalkan helaan nafasnya yang tersengal. "Sepagi ini, Ify sudah dapat kebahagiaan. Rio benar, Tuhan memang terlalu sayang sama Ify." Gadis itu merekahkan seulas senyum terbaiknya. Mengerjapkan mata beberapa kali.
Blassss. Rio merasa hatinya mencelos ketika mendengar apa yang diucapkan Ify. Bagaimana bisa hanya dengan dirinya tidak datang terlambat, Ify bisa sebahagia itu? Mengapa bahagia bagi Ify selalu dalam wujud yang sederhana? Tolong ajarkan pada Rio untuk berbahagia! Karena selama ini, meski Mami selalu memenuhi segala permintaannya, meski banyak gadis yang mengejarnya, meski berbagai kompetisi sepakbola selalu dimenangkannya, ia tidak pernah tahu bagaimana 'bahagia' itu.
Rio akhirnya terkesiap. Teringat pada kamera barunya yang kemarin belum sempat ia pamerkan pada Ify. Semoga kamera itu dapat menambah kadar kebahagiaan Ify. Tentu saja. Ify kan senang dipotret.
"Ify, gue punya sesuatu." Rio membuka resleting tasnya. Baru saja tangannya akan merogoh ke dalam tas, Gabriel datang membawa kejutan yang sempurna mengurungkan niatan Rio. Ah, bahkan Rio melupakannya.
"Pagi My Ify!" sapa Gabriel, menjawil hidung mancung Ify lalu menyentuh kelopak mata Ify dengan telunjuknya.
Rio mengerenyit bingung. "My Ify?" ulangnya dengan nada bertanya.
"Ah, lo belum tahu ya Yo, gue kan sekarang pacarnya Ify. Iya kan, Fy?" Gabriel menyikut Ify, tersenyum jahil.
"Ih Gabriel apa banget ih! Ify kan malu tahuuuuu!" Ify menenggelamkan wajah di balik kedua telapak tangan mungilnya. Menyembunyikan semburat merah yang terlukis pada pipi pualamnya.
Gabriel terkikik melihat tingkah gadisnya. Lalu merangkul pundak Ify, dan membawanya untuk ia sandarkan pada dada kokohnya. Sementara Rio menggertakan rahangnya. Tubuhnya mengejang ketika kenyataan pahit itu sambar menyambarnya, bagai petir menggelegar yang membelah langit. Langit yang kali ini tidak berada di pihaknya.
Rio menyunggingkan senyum saat perasaan sakit justru menyesahnya. Menekan kuat-kuat dadanya hingga sesak. "S-selamat ya Yel, Fy! Langgeng ya kalian!" ujar Rio. Berusaha melontarkan doa yang justru semakin mencambuk hatinya yang sudah terluka. Ia berdoa untuk kebahagiaan Ify, kebahagiaan Gabriel, dan kesediham dirinya sendiri.
"Makasih ya! Lo emang sahabat terbaik gue!" Gabriel mendekap Rio dengan tangannya yang lain yang tidak sedang merangkul Ify. Menepuk-nepuk punggung Rio.
Rio menganggukkan kepalanya di bahu Gabriel, kemudian menjauh dari tubuh sahabat kentalnya itu.
"Anyway, kapan lo nyusul? Kayaknya Oik masih cinta deh sama lo." tukas Gabriel, tidak menyadari bahwa tubuh yang baru saja didekap begitu kaku. Tidak peka bahwa wajah yang ada di hadapannya mengguratkan kesedihan yang mendalam. Itulah wajah orang yang sedang patah hati. Tak ingatkah Gabriel, begitulah gurat wajahnya tiga tahun silam.
"Gue duluan ya!" Rio berusaha menghindar dari kenyataan pahit ini. Melewati Gabriel yang sepertinya betah merangkul Ify, dan Ify yang tidak sekali pun meronta-ronta dari rangkulan itu. Melarikan diri ke lapangan sepakbola. Di sana, dia membebat luka hatinya.
Gabriel mengangkat bahunya. Meskipun ia tahu bahwa Rio juga dekat dengan Ify, tapi ia tidak pernah tahu bahwa kedekatan itu menumbuhkan sebuah perasaan yang terlambat Rio matikan. Bukan! Rio memang tidak pernah berniat membunuh bakal perasaannya. Ia membiarkannya terus tumbuh, menjadi kecambah, mulai berdaun, dan merambat kemana-mana. Tidak seperti Gabriel yang justru memangkas setiap tunas yang menyembul ke permukaan, memetik setiap pucuk perasaan, walau pada akhirnya perasaan itu tidak bisa lagi dibendungnya dengan cara apa pun. Perlahan, Gabriel mulai percaya bahwa ada cinta selain masa lalunya. Ia boleh jatuh cinta berkali-kali.
***
Rio tidak pernah tahu rasanya patah hati bisa sesakit ini. Membuatnya kehilangan selera makan, padahal di meja makan tersedia banyak sekali hidangan yang menggiurkan. Tidak ada lagi penganan dari wortel seperti biasanya. Malam ini Mami mempraktekan hasil kursus masaknya selama hampir sebulan pada Chef Daud.
Patah hati juga membuat Rio malas mandi. Hari ini, Rio hanya mandi satu kali, sebelum berangkat sekolah. Itu pun karena Rio belum patah hati. Coba kalau ia patah hati sejak tadi malam, mungkin hari ini ia benar-benar libur dari mandi. Masa bodoh dengan bau-bau tidak enak yang pasti akan terkuar dari badannya. Siapa peduli? Ify? Mana mungkin.
Tapi satu yang pasti, patah hati membuatnya lebih menghargai perasaannya sendiri. Menghargai perasaan yang sangat sakral bernama cinta.
Rio tidak akan menyerah sampai sini. Ia juga akan tetap melaksanakan tekadnya yang sudah mengembang sebesar bumi. Bagi Rio, jatuh cinta dan patah hati itu satu kestuan. Kita tidak bisa benar-benar menikmati indahnya jatuh cinta, tanpa patah hati. Dan kita juga tidak akan merasakan sakitnya patah hati, tanpa pernah benar-benar jatuh cinta.
***
"Kenapa Ify ga mau dijemput sama aku sih?" Gabriel mendelik pada Ify.
"Ify kan lebih sayang Papa daripada Gabriel." ujar Ify santai. Tak peduli kini Gabriel mengulum bibirnya kesal.
"Aku kan pacarnya Ify! Gimana sih?"
"Tetap aja bagi Ify, Papa lelaki nomor satu, ga akan tergantikan sama siapa pun. Termasuk Gabriel."
"Iya deh! Bagi aku, juga Mama wanita nomor satu." tukas Gabriel, mencoba memanas-manasi Ify.
Tapi bukannya marah, Ify malah tersenyum lebar. "Nah, gitu dong!" menepuk bahu Gabriel lumayan kencang. Aduh! Ify ini bagaimana? Tidak ada cemburu-cemburunya sama sekali. Ya jelas lah! Masa Ify cemburu pada Mama. Kalau pada gadis lain mungkin saja, seperti pada...
Langkah Ify dan Gabriel tiba-tiba terhenti ketika seorang gadis didampingi seorang pemuda menghadangnya. Ify kenal gadis itu. Dulu pernah mengembalikan kalung sivianya yang terjatuh. Dan pemuda itu... Hei! Dia kan yang meminjamkan kupluk merah muda kala itu? Ya ampun! Ify lupa lagi tidak membawa kupluknya. Jangan-jangan dia mau menagihnya. Ify menundukkan kepala. Semoga pemuda itu tidak mengenalinya.
Sementara Ify sibuk dengan pikirannya, Gabriel tengah menatap terpana pada gadis di hadapannya. Sivia. Mengapa ia selalu muncul tiba-tiba? Saat Gabriel sudah percaya pada cinta yang baru saja diraihnya. Membuat ia kembali tergoda untuk meraih kembali masa lalunya.
"Aku mau bicara sama kamu." ujar Sivia. Sejenak melirik Cakka. Setelah melihat pemuda itu mengangguk, kembali lagi menatap Gabriel. "Ada yang harus kita selesaikan, Gabriel." kata Sivia pada akhirnya.
Gabriel mendesah tak kentara. Apa lagi yang mesti diselesaikan? Bukankah semua sudah selesai? Kisah mereka sudah menemui penghujungnya. Tidak ada lagi yang harus dilanjutkan. Ia sudah memiliki kisah lain yang jauh lebih menyenangkan bersama Ify. Dan bukankah Sivia juga telah merajut kisah lain bersama pemuda tampan di sebelahnya? Bahkan mungkin jauh sebelum sempat mereka bertemu kembali. Untuk memastikan bahwa perasaan masing-masing telah tertinggal jauh di belakang bersama ribuan kenangan. Jadi untuk apa lagi Sivia datang? Apa sebenarnya yang diinginkan gadis itu? Setelah ia meruntuhkan tembok kesetiaan yang Gabriel bangun selama lebih dari tiga tahun lamanya, apakah mungkin ia juga akan menghancurkan hati Ify yang begitu polos? Sejahat itukah? Gabriel menggeleng. Tegas menolak permintaan Sivia.
Ify menyikut lengan Gabriel. "Gabriel kok gitu sih? Dia mau bicara sama Gabriel. Ikut aja apa susahnya sih? Ify ga apa-apa ke kelas sendirian. Ify sudah besar. Ify berani tahuuu!" gadis polos itu mengerjapkan matanya seperti biasa. Senang hati 'menyerahkan' Gabriel pada Sivia.
Tapi Gabriel kini tidak bisa mengelak lagi, saat Ify mendorong tubuhnya untuk bersegera memenuhi permintaan gadis cantik itu. Kata Papa, tidak baik membuat seseorang terlalu lama menunggu. Ify sama sekali tidak curiga pada Sivia. Ia selalu berprasangka baik pada semua orang.
Akhirnya, Gabriel dan Sivia pun berlalu dari sana. Menyisakan Ify dan Cakka berdua. Cakka menatap terpana pada Ify. Jadi, gadis polos yang ia pinjamkan kupluk itulah gadis yang membuat Sivia sempat menyerah?
Lalu Ify balik menatap Cakka. "Ada apa?" tanya Ify.
Eh Cakka terkesiap. Langsung menggelengkan kepala cepat. "Ga apa. Aku antar ke kelas yuk! Takut kamu diculik. Nanti Gabriel marah."
Ify hanya tertawa menanggapi gurauan Cakka. Lalu mereka bersama-sama menuju kelas Ify.
"Maaf ya! Kupluknya ga aku bawa. Hehe..." ujar Ify ketika sampai di pintu kelasnya. Selamat diantarkan Cakka. Tidak lecet sedikit pun.
Cakka terkesiap. Tertawa menyeringai. "Simpan aja buat kamu!" Cakka mengusap kepala Ify tanpa sungkan. Merasa sudah mengenal Ify sangat lama. Sudah menyayangi gadis itu ketika pertama jumpa.
Ify menganggukkan kepala. Lalu teringat untuk menanyakan nama pemuda tampan di hadapannya itu.
"Aku Cakka." Lantas tanpa diminta, Cakka memperkenalkan nama gadis yang entah berada dimana sekarang bersama Gabriel, yang sontak membuat Ify tertegun. Gadis polos itu merasa ada yang mengigit dadanya. Sakit sekali. Ia tidak tahu karena apa. Yang pasti, ia langsung teringat pada kalung perak yang kini melingkari leher dinosarusnya. Juga pembatas buku yang ia temukan pada buku jumbo Gabriel. Apa hubungan Gabriel dengan...
"Dia Sivia."
***