HUJAN, Kita Dan Mimpi part 25A
Aku menghempaskan tubuhku ke atas
kursi. Mendesah dan melirik kursi di sebelahku. Kosong. Kemana pula gadis itu? Bukankah
dia tak pernah terlambat? Ck. Aku berdecak.
Baru sadar, penghuni tetap kursi itu telah pergi. Kemarin. Aku mengulum bibir.
"Hey! Kenapa?" tanya
Gabriel. Ia baru
saja masuk kelas bersama Debo.
"Duduk sendiri." ujarku,
wajahku murung.
"Kamu, maunya sendiri atau
berdua?" Gabriel bertanya lagi.
Aku
menyeringai. "Berdua lebih baik lah!"
"Oke, aku duduk sama
kamu." Gabriel menyimpan tasnya di atas meja. Berputar lalu duduk di
sampingku. "Oh ya, menurut kamu, kalau lebih dari berdua, baik
nggak?"
Aku menautkan kedua alis. Tersenyum
menyeringai. "Lebih banyak, lebih baik dong! Iya, kan?" mengerjapkan
mata.
"Yang lebih itu, justru kurang
baik lho!" kata Gabriel. Air mukanya sedikit berubah. Seperti sedang
memikirkan sesuatu.
Konotasi. Kadang, aku kesulitan
mengartikan apa-apa yang diucapkan Gabriel. Bahasa pemuda itu terlalu tinggi
dan indah. Layaknya bahasa dewa. Mungkin, tak cukup sebuah kamus untuk dapat
mengerti apa sesungguhnya makna dari kalimat ajaib itu. Seperti kalimat pemuda
itu kali ini. Aku sama sekali tak memahaminya. Aku menggaruk kepala.
Kebingungan.
"Ga ngerti ya?" Gabriel sudah
bisa menebaknya. Aku tersenyum jengah. "Tenang. Nanti kamu pasti
mengerti."
Lagi-lagi aku hanya tersenyum
menyeringai. Mengangguk. "Iya! Kamu kan ajaib! Kamu yang selalu ngerti
aku. Walaupun kenyataannya, aku selalu terlambat mengerti sesungguhnya diri
kamu."
Pemuda berhati malaikat itu
menampakan senyum lebarnya yang khas. Memutuskan untuk mengganti topik
perbincangan mereka. "Nanti kamu pulang sendiri ya! Aku mau main basket
dulu. Berani, kan?"
"Apaan sih?" aku memukul
bahu Gabriel pelan. "Dulu kan aku selalu pulang sendiri. Eh sama hujan
deh!” Dan bersama pemuda itu. Lanjut hati kecilku. Berbisik lembut.
“Haha…Ify Ify!” Gabriel mengacak
gemas poniku.
***
Hujan. Berkah tak terhingga yang
dianugerahkan Tuhan itu hadir siang ini. Menemani langkahku. Mengantarkanku
menuju halte.
Terkejutnya aku saat mendapati
bahwa halte tua favoritku itu berpenghuni. Seorang pemuda tampan tengah duduk
bersandar di kursi halte yang catnya telah memudar karena usia. Segeralah
kakiku bergegas menghampiri pemuda itu.
“Rio!” seruku tertahan.
Pemuda itu-Rio mengerjap. Menoleh
padaku. Kemudian tersenyum.
Aku bergerak untuk mengambil posisi
duduk di samping Rio. “Kok ga main basket? Gabriel sama temen-temen lagi main
lho!”
“Enggak ah.” kata Rio. Terlihat
kurang bersemangat.
Aku membulatkan mulut. Mengerti
bahwa ketidakhadiran Keke membuat pemuda itu malas bermain basket. Ah ya, dia
terbiasa didampingi Keke yang mendukungnya dari pinggir lapangan.
“Pulang bareng yuk! Naik bis.” Rio
mengerjapkan mata beberapa kali.
Aku mengetukan telunjuk pada dagu
runcingku. Menimbang-nimbang. “Umm… gimana ya?” aku berpura-pura berpikir.
Mendelik pada Rio yang nampak mengulum bibir. Sebal.
“Ayolah! Udah lama ga tidur di bahu
kamu. Hehe…” Rio merapatkan kedua telapak tangannya.
“Bohong banget! Minggu lalu kan
kamu juga tidur di bahu aku, waktu nganterin aku pulang dari pestanya Gabriel.”
aku memutar bola mata. Masih ingin mengerjai Rio.
Rio mendengus. Apa boleh buat, ia
terpaksa harus melakukan cara yang kasar. Ia mencengkram lenganku. Menarikku
menaiki bis yang beberapa detik lalu singgah di halte tua itu. Dan cara itu
berhasil. Karena aku tak bisa menolak. Pasrah ikut masuk ke dalam bis. Lantas
memilih duduk di baris ketiga. Seperti bisasa-walau telah lama tidak
dilakukan-aku duduk di dekat jendela, Rio berada tepat di sampingku. Posisi
yang sama ketika kami melakukan perjalanan pulang pertama. Kala hujan sore itu.
“Yang minggu lalu ga dihitung
tauuuu!” kata Rio. Tersenyum bangga, merasa menjadi pemenang.
“Curang!” aku memalingkan wajah.
Mendapati titik-titik hujan ramai mengetuk jendela. Aku tersenyum. Tanpa sadar,
kembali memasuki dunia renungan rutinku.
Hanya butuh beberapa menit untuk
membuat Rio menguap. Ah, pemuda bergigi gingsul itu memang tukang tidur. Ia
segera mendaratkan kepalanya pada bahuku. Berkedip lemah dan menanti untuk
sempurna memejamkan kedua pelihatnya.
Aku sama sekali tak terkejut. Aku sudah
menduga pasti perlakuan apa yang diberikan oleh Rio. Aku sudah sangat hafal.
Maka aku membiarkannya terlelap. Menyentuh kaca jendela yang lembab berembun. Terpejam
dan melemaskan tubuh. Merasa terbang dibawa rinai hujan. Hujan yang baik dan
menyenangkan.
Setelah
ini, dikembalikanlah mereka yang –tanpa sadar- mengingkari ketentuan kepada
masa lalu. Memperbaiki kekeliruan. Menjalani jengkal demi jengkal kisah
sederhana ini dengan semestinya. Mengikuti arahan ketentuan dan tuntunan sang
hujan.
***
Rio mengambil ponselnya. Mengirim
sebuah pesan singkat. Setelah itu meletakan kembali ponselnya itu ke atas nakas
tempat tidurnya. Ia lantas berbaring. Kedua tangannya disimpan di bawah kepala.
Ia menatap langit-langit kamarnya.
Entah apa yang membuat pemuda itu
kini merenung. Berkutat dengan perasaan yang ada di hatinya. Bicara tentang hal
tak teraba itu, ia justru sulit memahaminya. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Berjuta
kalimat tanya berawalan mengapa menjuntai di benaknya.
Mengapa yang pertama. Mengapa ia
bisa sangat dengan mudah merelakan kepergian -mantan- gadisnya? Apa karena
gadis itu pernah melukai hatinya? Mencekoki dadanya dengan gas berbahaya yang
berpotensi meracuni?
Kedua, mengapa tak ada sesak yang
mengungkung dadanya kala gadis Auroranya itu menjauh dari jangkauannya? Ia
bahkan lapang melepas gadis itu berkelana sendirian dalam rimba hidup yang
sejatinya sangat kejam.
Dan mengapa yang paling banyak
mengisi benak ialah, mengapa ia sebegitu nyamannya berada di dekat gadis
berdagu runcing itu? Apakah ia telah menemukan seseorang yang mau menerima
dengan tulus hatinya? Hati yang kosong diabaikan pemilik sebelumnya. Rasa? Rasa
apa yang dimaksud? Bisakah terurai?
Petir menyambar. Mengkilat cahayanya
menembus jendela kamar. Rio yang limbung dengan rentetan pertanyaan itu
mengerjap. Memandang ke luar jendela. Hujan. Seakan pemuda itu dilemparkan pada
fantasi yang berlalu lalang memberikan jawaban.
Yang menyebabkan ia dengan mudah
melepaskan gadisnya itu karena dengan mudah pula ia mengaguminya. Hanya
mengagumi, pada pipi kembang kempisnya, tawa renyahnya, rengekan manjanya, dan
wajah manisnya. Semua berjalan instan. Tak ada proses pengenalan. Cinta? Bukan.
Bahkan mereka tak saling mengenal satu sama lain. Pemuda itu cukup cerdas.
Harusnya ia memahami pengertian dari Aurora. Ya, nama yang ia berikan untuk
gadis itu. Aurora adalah fenomena pancaran cahaya yang menyala-nyala,
menyebabkan seolah-olah matahari akan terbit dari sana. Seolah-olah saja. Bukan
yang sesungguhnya. Maka yang ia rasakan selama ini saat bersama Keke bukan
benar-benar cinta. Pantaslah jika ia tak menghalangi gadis itu pergi. Malah
memberi jalan yang lapang. Pergilah.
Sesak. Ia sudah terlebih dahulu
merasakan perasaan menyedihkan itu, kala Keke memutuskan untuk tak lagi
mempertahankan kisah semunya. Sesak yang lain juga ia kecap saat melihat gadis
lain yang berlutut memohon di hadapannya agar mau menemui Keke untuk yang
terakhir kalinya. Jadi, mengapa ia harus merasakan sesak itu kembali?
Biarkanlah Keke pergi. Mencabuti kekagumannya pada segala apa yang ada dalam
diri gadis manis itu sampai ke akar-akarnya. Karena dengan itu, ia bisa leluasa
mengikuti kemana ombak itu berdebur. Dan satu-satunya lakon dalam kisah ini
yang harus terhindar dari sesak adalah dia. Dia sang pangeran matahari. Hujan rela
mengorbankan rinainya.
Nyaman. Mengapa pula ia baru
menyadari akan hal itu? Sudah jauh-jauh hari ia dihinggapi kenyamanan itu.
Sebenarnya, pemuda itu bukan tukang tidur. Bahkan ia sering didera insomnia
menyebalkan. Lalu harusnya ia sadar, mengapa ia selalu menguap dan akhirnya
terlelap dalam nafas teratur kala bersama gadis pelanginya. Itu karena ia
merasa nyaman. Ia lupa, hampir setiap ia menghabiskan waktu dengan gadis itu,
ia selalu mendaratkan kepala pada bahu gadis itu. Hanya kepada gadis itulah dia
melakukan semuanya.
Maka kini apa lagi yang dituntut
Rio? Uraian tentang rasa asing itu? Ah, ini hanya masalah waktu. Dan nanti,
apabila waktu itu telah berhasil diburu, dirinya sendirilah yang akan
menguraikannya.
***
Keesokan harinya, ketika jam istirahat
tiba, di pojok perpustakaan, aku tengah mebolak-balik novelku. Tak berniat
membaca. Gundah gulana menanti siapa yang sebentar lagi akan menemuiku. Ah,
mengapa aku bisa segugup itu? Aku bisa bersikap biasa saja. Tenang. Ah, mana
mungki aku bisa tenang? Sebanyak apa pun frekuensi kebersamaanku dengan pemuda
itu, selalu ada yang tidak beres dengan hatiku. Baik karena getaran misterius
itu atau pun monster menyebalkan itu. Keduanya sama-sama mengacaukan. Dan kali
ini, sang monster yang berperan. Ia berjungkir balik mengoyak perut. Membuat
mual. Aku memegangi perut. Menelungkupkan wajah di atas meja.
Keadaan itu diperparah saat pemuda pemicu
kekacauan fungsi otakku itu tiba. Mario Stevano. Pemuda bergigi gingsul itu
mengenakan kaos basket merahnya. Tubuhnya basah oleh keringat. Menguarkan aroma
minyak telon yang bercampur harum maskulin alaminya yang sangat kentara. Rio
menarik kursi. Lalu duduk di sana. Menatapnya tanpa jeda.
“Alyssa Saufika Umari.” Rio
berseru.
Aku mengerjap. Berhenti menatap
terpana pada pemuda itu. Nyengir seraya menggaruk pipi.
“Mau tagih sesuatu nih.” Rio
mengangkat kedua alisnya. Tersenyum jahil.
“Aku ga punya hutang.” aku mengulum
bibir. Meladeni Rio.
“Aduh Ifyyyy…” Rio menepuk
jidatnya. “Semalam kan udah aku SMS. Errr…” Rio memutar bola matanya. Melipat
kedua tangan di depan dada.
“Bayar.” aku menengadahkan telapak.
Tersenyum miring.
“Iya iya. Nanti aku bayar. Pakai…”
Rio mengetukan telunjuknya pada kepala. Berpura-pura berpikir. “Pakai apa ya?
Argth… pokoknya aku bakalan bayar deh! Tunggu aja!” Rio terkekeh. “Sekarang,
mana pesanan aku!” Rio mengerjap-ngerjapkan mata.
“Yelaahh…” aku mendesah. Mendorong
sebuah kotak makanan keluar dari pagar yang dibuat tanganku. Membuka tutupnya.
Memperlihatkan beberapa potong pisang goreng yang menggugah selera.
Kedua mata Reio membelalak.
Produksi air liurnya meningkat beberapa kali lipat. Tangannya gesit mengambil
sepotong pisang goreng. Langsung memasukannya ke dalam mulut. Mengunyah
penganan yang menjadi favoritnya itu. Aku membekap mulut, menahan tawa saat melihat
ekspresi lucu Rio saat memakan pisang goreng. Lelehan minyak melumuri seluruh
bagian bibirnya.
“Aku baru sadar, rasa pisang goreng
kamu sama pisang goreng Keke beda.” Rio mengambil kembali potongan pisang
goreng berikutnya.
“Emang apa bedanya? Pisang goreng
kayaknya gitu-gitu terus deh!”
“Ya beda lah! Pisang goreng kamu
lebih…” Rio menelan kunyahannya. “Lebih ajaib!”
Aku mengangkat bahu. Membiarkan
ucapan Rio berlalu.
Namun, apabila Ify lebih peka sedikit saja,
ucapan itu justru adalah pertanda bahwa ia lebih baik dari gadis yang telah
jauh meninggalkannya. Rio yang membanding-bandingkan ia dengan Keke adalah
bukti, bahwa tak ada yang bisa menandingi pesona pelangi sekali pun Aurora
berusaha sekuat tenaga.
“Kangen deh sama pisang goreng
kamu. Kangen juga deh sama kamu.” celetuk Rio.
Celetukan yang biasa diciptakan Rio
itu membuatku terperanjat. Aku memandang setiap lekuk wajah tampan Rio. Bibirku
gemetar hendak berujar. Monster itu tengah beraliran, seraya bersorak, menyuarakan
kegirangannya. Pipi tirusku memanas. Tersundut korek api hingga menimbulkan
bercak merah menyala. Pipi pualam itu pun merona.
“Fy…” Rio menyentuh tanganku.
Menyusupkan jemarinya pada jemari lentikku. “Aku boleh kan panggil kamu pelangi
lagi?” Rio menatap penuh harap.
“Tentu.” aku tersenyum.
Menganggukan kepala.
“Lalu…” Rio menggigit bibir bagian
dalamnya. “Aku juga boleh kan minta kamu untuk tetap ada di samping aku?” Rio
mendesah. “Aku butuh kamu. Selalu.”
Aku terkesima. Apa tadi katanya?
Jantungku berdebar lebih cepat dari semestinya. Berdentuman menepuk dada.
Kebuasan sang monster makin menggila. Membangunkan getaran misterus itu untuk
bersama-sama menghalangi syaraf-syaraf otak. Aku merasakan jemariku dibawa.
Rio mengangkat tautan jemarinya.
Menyimpannya di dada. Lantas bergumam pelan. Terdapat nada berharap di setiap indah
katanya. “Semoga, kamu mau tinggal disini.” Rio menatap tajam ke kedalaman
pelihatku.
Empunya
bening itu pun nyatanya tak berusaha menghindar dari tatapan itu. Malah
meletakan manik matanya pada danau itu. Danau yang kini menghasilkan ombak yang
sama. Gelungan yang menunjukan ada sebuah perasaan asing yang berpendar di
bagian teristimewa dari hatinya. Kalau gadis itu masih menemukan ombak dahsyat
itu disana, maka berarti rasa itu masih ada. Apa? Lalu memangnya sejak kapan
pemuda punya rasa itu? Teruntuk gadis pengagum hujan itu? Sepertinya, ia baru
menyadarinya saat merenung bersama hujan semalam. Hey! Apakah kalian lupa?
Pemuda itu kan tidak peka. Sesungguhnya rasa itu sudah menyelinap masuk ke
dalam hatinya saat pertama kali ia menemukan gadis itu di halte tua. Tuhan
memerintahkan sang amor untuk menyelipkan rasa itu kala pertama ia melewati
hujan bersama. Ingatkah dulu, ia selalu lekat memandang inci demi inci wajah
cantik gadis itu yang tengah merenung?
Dan pada saat aku hendak mengangguk,
mengisyaratkan bahwa aku bersedia untuk menjadi penghuni hati pemuda itu,
tiba-tiba saja muncul dari bagian hatiku yang lain, sebuah monster lainnya.
Mungkin, monster itu tak terlalu menyeramkan. Wajahnya bahkan terlihat seperti
seorang malaikat. Dari punggungnya tumbuh sayap berbulu putih lembut. Namun
kekuatannya masih tetap sama. Hanya saja, monster itu melakukannya dengan
bersahaja. Tidak brutal seperti monster lain yang tersungkur didepak monster
bersayap itu. Kini, hanya dia yang berkuasa.
Monster bersayap itu menaburkan
serbuk mengagetkan pada kedua pelihatku. Menyebabkannya mengerjap. Terburu-buru
aku mengambil kembali tanganku. Menghempaskan jemari lain yang berselang-seling
di antara jemarinya. Aku melihat ke sekeliling. Gugup mengendalikan diri.
Rio melongo. Menatap tak percaya.
“Ada apa?”
Aku menggeleng cepat. Bukan
apa-apa. Hanya saja… Hanya saja ada yang berbeda di hatiku. Aku membuka mulut.
Entah harus mengatakan apa. Keringat sebesar biji jagung menggantungi wajah.
Mataku berkaca-kaca. Ada yang aku lupakan. Yang aku abaikan sementara menikmati
euphoria kehangatan bersama pemuda di hadapanku ini.
“Aku pergi dulu.” aku memutuskan
untuk melesat pergi. Tak sempat Rio menahan tubuhku. Aku menghilang keluar dari perpustakaan. Rio
hanya melongo. Tidak mengerti.
Sebenarnya, aku juga tak tahu
hendak kemanakah diriku. Aku hanya mengikuti kaki mungilku yang bergerak atas
perintah monster bersayap. Hingga sampai kaki itu berhenti di depan sebuah
ruangan kedap suara. Tapi, masih bisa ku dengar suara gesekan biola dari celah
jendela. Aku mendorong pintu ruangan itu pelan-pelan. Terkesiap mendapati siapa
yang ada di tengah ruangan. Sendirian menguasai seluruh sudut. Berdiri tegap
memainkan biola. Menghasilkan simfoni indah bak dihantarkan malaikat-malaikat
surga. Aku menyaksikannya dari ambang pintu.
Pertama kalinya melihat pemuda itu memainkan alat musik gesek itu. Dan
aku langsung terkagum-kagum padanya. Sungguh mempesona.
Simfoni surga itu terhenti, seiring
dengan gesekan biola yang sengaja dihentikan oleh si pemuda. Merasakan sejuk
akibat angin yang menerpanya. Lantas memanas mengetahui ada seseorang yang
berdiri pada radius beberapa meter darinku. Dan dari jarak serupa, aku bisa
mencium aroma yang sudah sangat dikenali indra pembauku. Pemuda itu menurunkan
biolanya.
“Sejak
kapan kamu di sana?” tanpa melihat wajahnya pun, ia sudah bisa menerka siapa
siluet yang mematung di sana. Karena aroma yang mengontaminasi udara yang
dihirupnya, juga karena hatinya. Hati itu selalu sensitif apabila ada
pemicunya. Ah, gadis itu bagai adiksi saja.
“Sejak monster bersayap itu muncul.
Menyadarkan aku bahwa ada kamu di sini. Yang tak sengaja aku lupakan.” aku menunduk. Merasa bersalah.
“Ayo kesini!” pemuda itu
melambaikan tangan. Aku melangkah menghampirinya.
“Sengaja atau tidak, kamu memang
akan melupakan aku.” kata pemuda itu. Membetulkan poniku yang sedikit
acak-acakan.
Aku menggeleng cepat. Apa
maksudnya? Aku keras menyanggahnya. Tidak. Aku tak akan pernah bisa melupakan
pemuda berhati malaikat itu. Bagaimana ia dengan segala kesederhanaan hatinya
membantuku menyusun puzzle hatiku yang hancur berantakan. Memberikan sebongkah
ketulusan untuk melengkapi bagian dari hati yang cacat. Bagaimana ia yang
dengan lapangnya membiarkanku tersungkur memeras habis air mata. Ah ya, dia tak
pernah melarangku menangis. Bahkan ia memberikan kesempatan seleluasa mungkin
untukku melakukan hal yang bagi kebanyakan orang adalah sebuah tanda kelemahan.
Menangis. Ah, bukankah hujan yang tabah pun selalu menangis? Jadi, buat apa ia
membatasi seseorang untuk menangis. Justru tugasnya adalah mengkamuflase tangis
itu hingga pada akhirnya, meluruhlah segalanya. Bagaimana ia menjadi yang
paling ajaib dengan semua yang ada pada dirinya. Mata elang yang bekhasiat
mengendalikan. Senyuman lebar yang menenangkan. Kalimat-kalimat sederhana yang
selalu rancu terdengar oleh orang awam. Segalanya. Mana mungkin aku melupakannya?
Aku masih punya kuota memori yang cukup di otakku untuk menampung segala
kenangan tentangnya. Untuk mengingat-ingat kebaikannya. Otak? Lalu bagaimana dengan hatnyai? Masihkah juga menyediakan ruang
untuk pemuda itu apabila tiba saatnya dimana hatinya dijejali oleh satu
penghuni saja? Penghuni istimewa.
“Kamu ngomong apa? Please Yel,
jangan buat aku pusing dan keliru. Aku ga mau nanti aku salah, dan aku akan
menyakiti pemuda sebaik kamu.” aku meraih lengan Gabriel. Mendekatkannya pada
bibir. Mengecupnya.
Gabriel tersenyum. Dengan tangannya
yang lain, ia menepuk ubun-ubunku. “Tenang. Aku akan menuntun kamu. Kamu, harus
belajar untuk meraih mimpi dan takdir kamu.”
Aku mengangkat wajah. Mengerenyit
memandang Gabriel. “Mimpi dan takdir?” aku mengulang ucapannya.
“Yap! Mimpi dan takdir. Kamu
berharap meraih keduanya, kan? Aku akan bantu.”
“Mimpi aku cuma satu, hidup
bahagia. Lalu, apa takdir aku? Apa yang harus ku raih sementara aku sendiri ga
tahu tentang takdir itu.” aku mendesah berat.
Gabriel
hanya tersenyum. Pahit, setengah dipaksakan. “Pastinya bukan aku takdir kamu.”
ucapnya putus asa dalam hati.
“Takdir kamu, adalah tempat kamu
kembali.” ujar Gabriel. Penghabisan. Ia berjalan keluar ruangan. Meninggalkanku
itu sendirian. Hanya berteman berjuta tanya dalam benak.
Takdir.
Takdir. Takdir. Takdirnya ialah tempat ia kembali. Apa? Siapa? Ia merutuki
dirinya sendiri. Terlalu naïf.
***
Gadis itu kembali melakukan
renungan rutinnya, setelah ia menutup rapat buku catatan berwarna kuning
keemasannya. Ia mendekap buku itu di depan dada. Tatapannya menerawang. Ia
telah menghabiskan hampir satu jam untuk merenung di sana, di halte tua
favoritnya. Ia juga melewatkan beberapa bis yang sejenak singgah di halte.
Menunggu bis yang paling akhir untuk hari ini.
Ah, ada apa dengan dirinya? Hatinya
seakan terbelah menjadi dua kubu yang luas masing-masing kubu sama. Satu dihuni
oleh monster menyebalkan dan yang satunya lagi oleh monster bersayap. Kedua
kubu itu saling bertolak belakang. Apabila kubu yang pertama memintanya untuk
melakukan suatu hal, maka kubu lainnya bersikeras menentang. Menolak dan
mencegah hal itu terjadi.
Ia membuka kembali catatannya.
Mengamati setiap kata yang tertulis di atasnya. Dari semua kalimat yang pernah
ia goreskan di sana, selalu berawal dengan kata hujan. Apa pun bentuk
kalimatnya. Ah, hujan memang menjadi bagian terkrusial dari setiap jengkal
kisah sederhannya. Lantas di sudut lembar pertama, ia menemukan sebuah nama. Mario
Stevano. Setelah itu, beruntunlah cerita tentangnya. Tentang bagaimana ia selalu
menjadi Rio yang berbeda di hadapannya. Rio yang polos. Rio yang manja. Rio
tukang tidur. Gadis itu terkekeh. Pada lembar itulah, ia mulai menyadari rasa
asing telah bersemai di hatinya. Ia mulai meninggalkan lembar menyenangkan itu.
Gadis itu sampai pada lembar
berikutnya. Berisikan bagaimana pemuda yang menjadi topik utama halaman
sebelumnya berubah sekian derajat. Tak ada lagi Rio yang selalu membuatnya
merona, tersipu atau semacamnya. Tak ada lagi yang bersandar di bahunya. Tak
ada lagi yang menemaninya menyaksikan pulangnya mentari ke peraduan. Rio pergi.
Menemukan penerbit cintanya. Aurora. Pada saat itu, tertorehlah jutaan luka
menganga di hatinya. Dibubuhi serbuk perih yang menyesakkan. Dari sanalah
keluar nanah. Mengenaskan. Gadis itu tersenyum miring. Ia sudah merelakan
kejadian itu. Menghempaskannya ke dasar palung terdalam. Ia tidak merasa
dendam.
Berlalu lembar kelam itu,
tergantikan lembar berisi berjuta ketulusan. Saat ia benar-benar menyerah.
Kalah dan memilih diam tersungkur di sudut pesakitan, muncul satu nama. Gabriel
Stevent. Pemuda berhati malaikat yang membasuh jutaan luka itu. Membalutnya
dengan milyaran kebaikan. Dan ia mencabut kembali keputusannya. Ia tak akan
menyerah pada kisahnya sendiri. Ia akan bangkit. Berdiri dan patas berlari.
Mengejar kembali sang mimpi. Maka kini, ia menjadi gadis yang kuat dan akan
selalu kuat. Seperti apa yang disugestikan pemuda itu padanya.
Kini, di lembar berikutnya, kosong.
Tak ada apa-apa. Ia belum menggoreskan tinta hitam penanya disana. Apa yang harus
ia tulis? Ah, sesungguhnya ia tak perlu bingung. Ia seharusnya tahu kata apa
yang akan ia tuliskan di barisan paling atas lembar terbarunya. Hujan. Gadis
itu menulis kata hujan. Pastilah. Kisah ini kan disusun oleh tiap kesederhanaan
rinai hujan. Namun kini, setelah ia membubuhkan tanda koma setelah kata
pertamanya, tangannya berhenti bergerak. Tersendat. Kata apa yang selanjutnya
harus ia tulis? Apa? Apa?
Gadis itu mendengus. Frustasi.
Menutup kasar catatannya. Ia tentu bisa menulis tentang kebaikan-kebaikan
pemuda berhati malaikat itu. Atau kutipan-kutipan kalimat ajaibnya. Atau
kehebatannya memainkan berbagai alat musik. Atau apa saja tentang pemuda itu.
Ia bisa, kan?
Tapi sekarang, berbeda. Masihkah ia
bisa menulis kesemua itu, sementara ada pemuda lain yang berharap namanya
kembali masuk ke dalam episode kisah sederhana ini? Terukir menjadi nama yang
paling istimewa.
Atau ia menulis tentang pemuda
bergigi gingsul itu saja? Tentang kebiasaannya terlelap di bahunya. Tentang
caranya memakan pisang goreng yang menggemaskan. Tentang kedua danau miliknya
yang selalu menyuguhkan deburan ombak setinggi lebih dari lima kaki. Ya, ia
bisa menulis itu saja. Cukup menarik.
Gadis itu membuka tutup penanya,
mulai menulis apa yang sudah mengantri dalam benaknya. Namun seketika antrian
itu buyar, tertiup desahan monster bersayap. Ia berhenti menulis. Tega ia hanya
akan menulis tentang pemuda bergigi gingsul itu? Yang notabene pelaku dari luka
lingkar pesakitan itu? Dimanakah hatinya? Yang katanya sederhana? Monster itu
semangat berorasi. Membentak gadis itu dengan kata-kata yang menampar telak
hatinya. Berteriak bahwa pemuda berhati malaikat itulah yang lebih pantas untuk
mengisi setiap lembar kosong itu. Mengatakan bahwa sesungguhnya, setiap kali
air mata meluncur mulus membelah pipi tirusnya, setiap sesak seakan mencekat
rongga pernafasannya, setiap hatinya tersentuh baret luka, bahkan ketika
bongkahan hatinya hilang entah kemana, pemuda itulah yang akan dicarinya. Bukan
yang lain. Setelah berjuta prahara telah menjejalinya dengan pedih, gadis itu
selalu kembali. Ya, tempat terlapang untuk gadis itu kembali adalah
kesederhanaan pemuda berhati malaikat.
Kembali? Ia dilemparkan pada
kejadian siang tadi. Kembali? Sesungguhnya
takdir adalah tempatnya kembali. Mungkinkah takdir yang dimaksud adalah
dirinya? Lalu kalau itu semua benar adanya, mengapa pemuda itu terkesan
menolaknya? Seakan apa yang keluar dari mulutnya tak berbanding lurus dengan
gerak lakunya. Bukankah ia tadi juga kembali padanya, setelah beberapa saat tak
sengaja melupakannya? Lihat! Hanya pemuda itu tempatnya kembali. Jadi, apa lagi
yang harus dipermasalahkan dari teka-teki sang takdir. Toh, ia juga telah
berhasil memecahkannya. Ya, ia yakin bahwa pemuda berhati malaikat itulah
takdirnya.
Monster bersayap berseru riang.
Bersujud mengucap syukur. Tersenyum lebar merasa menang. Si monster
menyeramkan, hanya bisa terdiam. Mengucap harap agar ketentuan segera membenahi
kisah ini, sebelum kekeliruan terlambat dihentikan.
***