HUJAN, Kita Dan Mimpi part 25A

Kamis, 07 Februari 2013

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 25A




Aku menghempaskan tubuhku ke atas kursi. Mendesah dan melirik kursi di sebelahku. Kosong. Kemana pula gadis itu? Bukankah dia tak pernah terlambat? Ck. Aku  berdecak. Baru sadar, penghuni tetap kursi itu telah pergi. Kemarin. Aku mengulum bibir.
"Hey! Kenapa?" tanya Gabriel. Ia baru
saja masuk kelas bersama Debo.
"Duduk sendiri." ujarku, wajahku murung.
"Kamu, maunya sendiri atau berdua?" Gabriel bertanya lagi.
Aku  menyeringai. "Berdua lebih baik lah!"
"Oke, aku duduk sama kamu." Gabriel menyimpan tasnya di atas meja. Berputar lalu duduk di sampingku. "Oh ya, menurut kamu, kalau lebih dari berdua, baik nggak?"
Aku menautkan kedua alis. Tersenyum menyeringai. "Lebih banyak, lebih baik dong! Iya, kan?" mengerjapkan mata.
"Yang lebih itu, justru kurang baik lho!" kata Gabriel. Air mukanya sedikit berubah. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
Konotasi. Kadang, aku kesulitan mengartikan apa-apa yang diucapkan Gabriel. Bahasa pemuda itu terlalu tinggi dan indah. Layaknya bahasa dewa. Mungkin, tak cukup sebuah kamus untuk dapat mengerti apa sesungguhnya makna dari kalimat ajaib itu. Seperti kalimat pemuda itu kali ini. Aku sama sekali tak memahaminya. Aku menggaruk kepala. Kebingungan.
"Ga ngerti ya?" Gabriel sudah bisa menebaknya. Aku tersenyum jengah. "Tenang. Nanti kamu pasti mengerti."
Lagi-lagi aku hanya tersenyum menyeringai. Mengangguk. "Iya! Kamu kan ajaib! Kamu yang selalu ngerti aku. Walaupun kenyataannya, aku selalu terlambat mengerti sesungguhnya diri kamu."
Pemuda berhati malaikat itu menampakan senyum lebarnya yang khas. Memutuskan untuk mengganti topik perbincangan mereka. "Nanti kamu pulang sendiri ya! Aku mau main basket dulu. Berani, kan?"
"Apaan sih?" aku memukul bahu Gabriel pelan. "Dulu kan aku selalu pulang sendiri. Eh sama hujan deh!” Dan bersama pemuda itu. Lanjut hati kecilku. Berbisik lembut.
“Haha…Ify Ify!” Gabriel mengacak gemas poniku.

                                                            ***

Hujan. Berkah tak terhingga yang dianugerahkan Tuhan itu hadir siang ini. Menemani langkahku. Mengantarkanku menuju halte.
Terkejutnya aku saat mendapati bahwa halte tua favoritku itu berpenghuni. Seorang pemuda tampan tengah duduk bersandar di kursi halte yang catnya telah memudar karena usia. Segeralah kakiku bergegas menghampiri pemuda itu.
“Rio!” seruku tertahan.
Pemuda itu-Rio mengerjap. Menoleh padaku. Kemudian tersenyum.
Aku bergerak untuk mengambil posisi duduk di samping Rio. “Kok ga main basket? Gabriel sama temen-temen lagi main lho!”
“Enggak ah.” kata Rio. Terlihat kurang bersemangat.
Aku membulatkan mulut. Mengerti bahwa ketidakhadiran Keke membuat pemuda itu malas bermain basket. Ah ya, dia terbiasa didampingi Keke yang mendukungnya dari pinggir lapangan.
“Pulang bareng yuk! Naik bis.” Rio mengerjapkan mata beberapa kali.
Aku mengetukan telunjuk pada dagu runcingku. Menimbang-nimbang. “Umm… gimana ya?” aku berpura-pura berpikir. Mendelik pada Rio yang nampak mengulum bibir. Sebal.
“Ayolah! Udah lama ga tidur di bahu kamu. Hehe…” Rio merapatkan kedua telapak tangannya.
“Bohong banget! Minggu lalu kan kamu juga tidur di bahu aku, waktu nganterin aku pulang dari pestanya Gabriel.” aku memutar bola mata. Masih ingin mengerjai Rio.
Rio mendengus. Apa boleh buat, ia terpaksa harus melakukan cara yang kasar. Ia mencengkram lenganku. Menarikku menaiki bis yang beberapa detik lalu singgah di halte tua itu. Dan cara itu berhasil. Karena aku tak bisa menolak. Pasrah ikut masuk ke dalam bis. Lantas memilih duduk di baris ketiga. Seperti bisasa-walau telah lama tidak dilakukan-aku duduk di dekat jendela, Rio berada tepat di sampingku. Posisi yang sama ketika kami melakukan perjalanan pulang pertama. Kala hujan sore itu.
“Yang minggu lalu ga dihitung tauuuu!” kata Rio. Tersenyum bangga, merasa menjadi pemenang.
“Curang!” aku memalingkan wajah. Mendapati titik-titik hujan ramai mengetuk jendela. Aku tersenyum. Tanpa sadar, kembali memasuki dunia renungan rutinku.
Hanya butuh beberapa menit untuk membuat Rio menguap. Ah, pemuda bergigi gingsul itu memang tukang tidur. Ia segera mendaratkan kepalanya pada bahuku. Berkedip lemah dan menanti untuk sempurna memejamkan kedua pelihatnya.
Aku sama sekali tak terkejut. Aku sudah menduga pasti perlakuan apa yang diberikan oleh Rio. Aku sudah sangat hafal. Maka aku membiarkannya terlelap. Menyentuh kaca jendela yang lembab berembun. Terpejam dan melemaskan tubuh. Merasa terbang dibawa rinai hujan. Hujan yang baik dan menyenangkan.
Setelah ini, dikembalikanlah mereka yang –tanpa sadar- mengingkari ketentuan kepada masa lalu. Memperbaiki kekeliruan. Menjalani jengkal demi jengkal kisah sederhana ini dengan semestinya. Mengikuti arahan ketentuan dan tuntunan sang hujan.

***

Rio mengambil ponselnya. Mengirim sebuah pesan singkat. Setelah itu meletakan kembali ponselnya itu ke atas nakas tempat tidurnya. Ia lantas berbaring. Kedua tangannya disimpan di bawah kepala. Ia menatap langit-langit kamarnya.
Entah apa yang membuat pemuda itu kini merenung. Berkutat dengan perasaan yang ada di hatinya. Bicara tentang hal tak teraba itu, ia justru sulit memahaminya. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Berjuta kalimat tanya berawalan mengapa menjuntai di benaknya.
Mengapa yang pertama. Mengapa ia bisa sangat dengan mudah merelakan kepergian -mantan- gadisnya? Apa karena gadis itu pernah melukai hatinya? Mencekoki dadanya dengan gas berbahaya yang berpotensi meracuni?
Kedua, mengapa tak ada sesak yang mengungkung dadanya kala gadis Auroranya itu menjauh dari jangkauannya? Ia bahkan lapang melepas gadis itu berkelana sendirian dalam rimba hidup yang sejatinya sangat kejam.
Dan mengapa yang paling banyak mengisi benak ialah, mengapa ia sebegitu nyamannya berada di dekat gadis berdagu runcing itu? Apakah ia telah menemukan seseorang yang mau menerima dengan tulus hatinya? Hati yang kosong diabaikan pemilik sebelumnya. Rasa? Rasa apa yang dimaksud? Bisakah terurai?
Petir menyambar. Mengkilat cahayanya menembus jendela kamar. Rio yang limbung dengan rentetan pertanyaan itu mengerjap. Memandang ke luar jendela. Hujan. Seakan pemuda itu dilemparkan pada fantasi yang berlalu lalang memberikan jawaban.
Yang menyebabkan ia dengan mudah melepaskan gadisnya itu karena dengan mudah pula ia mengaguminya. Hanya mengagumi, pada pipi kembang kempisnya, tawa renyahnya, rengekan manjanya, dan wajah manisnya. Semua berjalan instan. Tak ada proses pengenalan. Cinta? Bukan. Bahkan mereka tak saling mengenal satu sama lain. Pemuda itu cukup cerdas. Harusnya ia memahami pengertian dari Aurora. Ya, nama yang ia berikan untuk gadis itu. Aurora adalah fenomena pancaran cahaya yang menyala-nyala, menyebabkan seolah-olah matahari akan terbit dari sana. Seolah-olah saja. Bukan yang sesungguhnya. Maka yang ia rasakan selama ini saat bersama Keke bukan benar-benar cinta. Pantaslah jika ia tak menghalangi gadis itu pergi. Malah memberi jalan yang lapang. Pergilah.
Sesak. Ia sudah terlebih dahulu merasakan perasaan menyedihkan itu, kala Keke memutuskan untuk tak lagi mempertahankan kisah semunya. Sesak yang lain juga ia kecap saat melihat gadis lain yang berlutut memohon di hadapannya agar mau menemui Keke untuk yang terakhir kalinya. Jadi, mengapa ia harus merasakan sesak itu kembali? Biarkanlah Keke pergi. Mencabuti kekagumannya pada segala apa yang ada dalam diri gadis manis itu sampai ke akar-akarnya. Karena dengan itu, ia bisa leluasa mengikuti kemana ombak itu berdebur. Dan satu-satunya lakon dalam kisah ini yang harus terhindar dari sesak adalah dia. Dia sang pangeran matahari. Hujan rela mengorbankan rinainya.
Nyaman. Mengapa pula ia baru menyadari akan hal itu? Sudah jauh-jauh hari ia dihinggapi kenyamanan itu. Sebenarnya, pemuda itu bukan tukang tidur. Bahkan ia sering didera insomnia menyebalkan. Lalu harusnya ia sadar, mengapa ia selalu menguap dan akhirnya terlelap dalam nafas teratur kala bersama gadis pelanginya. Itu karena ia merasa nyaman. Ia lupa, hampir setiap ia menghabiskan waktu dengan gadis itu, ia selalu mendaratkan kepala pada bahu gadis itu. Hanya kepada gadis itulah dia melakukan semuanya.
Maka kini apa lagi yang dituntut Rio? Uraian tentang rasa asing itu? Ah, ini hanya masalah waktu. Dan nanti, apabila waktu itu telah berhasil diburu, dirinya sendirilah yang akan menguraikannya.

                                                            ***

Keesokan harinya, ketika jam istirahat tiba, di pojok perpustakaan, aku tengah mebolak-balik novelku. Tak berniat membaca. Gundah gulana menanti siapa yang sebentar lagi akan menemuiku. Ah, mengapa aku bisa segugup itu? Aku bisa bersikap biasa saja. Tenang. Ah, mana mungki aku bisa tenang? Sebanyak apa pun frekuensi kebersamaanku dengan pemuda itu, selalu ada yang tidak beres dengan hatiku. Baik karena getaran misterius itu atau pun monster menyebalkan itu. Keduanya sama-sama mengacaukan. Dan kali ini, sang monster yang berperan. Ia berjungkir balik mengoyak perut. Membuat mual. Aku memegangi perut. Menelungkupkan wajah di atas meja.
Keadaan itu diperparah saat pemuda pemicu kekacauan fungsi otakku itu tiba. Mario Stevano. Pemuda bergigi gingsul itu mengenakan kaos basket merahnya. Tubuhnya basah oleh keringat. Menguarkan aroma minyak telon yang bercampur harum maskulin alaminya yang sangat kentara. Rio menarik kursi. Lalu duduk di sana. Menatapnya tanpa jeda.
“Alyssa Saufika Umari.” Rio berseru.
Aku mengerjap. Berhenti menatap terpana pada pemuda itu. Nyengir seraya menggaruk pipi.
“Mau tagih sesuatu nih.” Rio mengangkat kedua alisnya. Tersenyum jahil.
“Aku ga punya hutang.” aku mengulum bibir. Meladeni Rio.
“Aduh Ifyyyy…” Rio menepuk jidatnya. “Semalam kan udah aku SMS. Errr…” Rio memutar bola matanya. Melipat kedua tangan di depan dada.
“Bayar.” aku menengadahkan telapak. Tersenyum miring.
“Iya iya. Nanti aku bayar. Pakai…” Rio mengetukan telunjuknya pada kepala. Berpura-pura berpikir. “Pakai apa ya? Argth… pokoknya aku bakalan bayar deh! Tunggu aja!” Rio terkekeh. “Sekarang, mana pesanan aku!” Rio mengerjap-ngerjapkan mata.
“Yelaahh…” aku mendesah. Mendorong sebuah kotak makanan keluar dari pagar yang dibuat tanganku. Membuka tutupnya. Memperlihatkan beberapa potong pisang goreng yang menggugah selera.
Kedua mata Reio membelalak. Produksi air liurnya meningkat beberapa kali lipat. Tangannya gesit mengambil sepotong pisang goreng. Langsung memasukannya ke dalam mulut. Mengunyah penganan yang menjadi favoritnya itu. Aku membekap mulut, menahan tawa saat melihat ekspresi lucu Rio saat memakan pisang goreng. Lelehan minyak melumuri seluruh bagian bibirnya.
“Aku baru sadar, rasa pisang goreng kamu sama pisang goreng Keke beda.” Rio mengambil kembali potongan pisang goreng berikutnya.
“Emang apa bedanya? Pisang goreng kayaknya gitu-gitu terus deh!”
“Ya beda lah! Pisang goreng kamu lebih…” Rio menelan kunyahannya. “Lebih ajaib!”
Aku mengangkat bahu. Membiarkan ucapan Rio berlalu.
 Namun, apabila Ify lebih peka sedikit saja, ucapan itu justru adalah pertanda bahwa ia lebih baik dari gadis yang telah jauh meninggalkannya. Rio yang membanding-bandingkan ia dengan Keke adalah bukti, bahwa tak ada yang bisa menandingi pesona pelangi sekali pun Aurora berusaha sekuat tenaga.
“Kangen deh sama pisang goreng kamu. Kangen juga deh sama kamu.” celetuk Rio.
Celetukan yang biasa diciptakan Rio itu membuatku terperanjat. Aku memandang setiap lekuk wajah tampan Rio. Bibirku gemetar hendak berujar. Monster itu tengah beraliran, seraya bersorak, menyuarakan kegirangannya. Pipi tirusku memanas. Tersundut korek api hingga menimbulkan bercak merah menyala. Pipi pualam itu pun merona.
“Fy…” Rio menyentuh tanganku. Menyusupkan jemarinya pada jemari lentikku. “Aku boleh kan panggil kamu pelangi lagi?” Rio menatap penuh harap.
“Tentu.” aku tersenyum. Menganggukan kepala.
“Lalu…” Rio menggigit bibir bagian dalamnya. “Aku juga boleh kan minta kamu untuk tetap ada di samping aku?” Rio mendesah. “Aku butuh kamu. Selalu.”
Aku terkesima. Apa tadi katanya? Jantungku berdebar lebih cepat dari semestinya. Berdentuman menepuk dada. Kebuasan sang monster makin menggila. Membangunkan getaran misterus itu untuk bersama-sama menghalangi syaraf-syaraf otak. Aku merasakan jemariku dibawa.
Rio mengangkat tautan jemarinya. Menyimpannya di dada. Lantas bergumam pelan. Terdapat nada berharap di setiap indah katanya. “Semoga, kamu mau tinggal disini.” Rio menatap tajam ke kedalaman pelihatku.
Empunya bening itu pun nyatanya tak berusaha menghindar dari tatapan itu. Malah meletakan manik matanya pada danau itu. Danau yang kini menghasilkan ombak yang sama. Gelungan yang menunjukan ada sebuah perasaan asing yang berpendar di bagian teristimewa dari hatinya. Kalau gadis itu masih menemukan ombak dahsyat itu disana, maka berarti rasa itu masih ada. Apa? Lalu memangnya sejak kapan pemuda punya rasa itu? Teruntuk gadis pengagum hujan itu? Sepertinya, ia baru menyadarinya saat merenung bersama hujan semalam. Hey! Apakah kalian lupa? Pemuda itu kan tidak peka. Sesungguhnya rasa itu sudah menyelinap masuk ke dalam hatinya saat pertama kali ia menemukan gadis itu di halte tua. Tuhan memerintahkan sang amor untuk menyelipkan rasa itu kala pertama ia melewati hujan bersama. Ingatkah dulu, ia selalu lekat memandang inci demi inci wajah cantik gadis itu yang tengah merenung?
Dan pada saat aku hendak mengangguk, mengisyaratkan bahwa aku bersedia untuk menjadi penghuni hati pemuda itu, tiba-tiba saja muncul dari bagian hatiku yang lain, sebuah monster lainnya. Mungkin, monster itu tak terlalu menyeramkan. Wajahnya bahkan terlihat seperti seorang malaikat. Dari punggungnya tumbuh sayap berbulu putih lembut. Namun kekuatannya masih tetap sama. Hanya saja, monster itu melakukannya dengan bersahaja. Tidak brutal seperti monster lain yang tersungkur didepak monster bersayap itu. Kini, hanya dia yang berkuasa.
Monster bersayap itu menaburkan serbuk mengagetkan pada kedua pelihatku. Menyebabkannya mengerjap. Terburu-buru aku mengambil kembali tanganku. Menghempaskan jemari lain yang berselang-seling di antara jemarinya. Aku melihat ke sekeliling. Gugup mengendalikan diri.
Rio melongo. Menatap tak percaya. “Ada apa?”
Aku menggeleng cepat. Bukan apa-apa. Hanya saja… Hanya saja ada yang berbeda di hatiku. Aku membuka mulut. Entah harus mengatakan apa. Keringat sebesar biji jagung menggantungi wajah. Mataku berkaca-kaca. Ada yang aku lupakan. Yang aku abaikan sementara menikmati euphoria kehangatan bersama pemuda di hadapanku ini.
“Aku pergi dulu.” aku memutuskan untuk melesat pergi. Tak sempat Rio menahan tubuhku.  Aku menghilang keluar dari perpustakaan. Rio hanya melongo. Tidak mengerti.
Sebenarnya, aku juga tak tahu hendak kemanakah diriku. Aku hanya mengikuti kaki mungilku yang bergerak atas perintah monster bersayap. Hingga sampai kaki itu berhenti di depan sebuah ruangan kedap suara. Tapi, masih bisa ku dengar suara gesekan biola dari celah jendela. Aku mendorong pintu ruangan itu pelan-pelan. Terkesiap mendapati siapa yang ada di tengah ruangan. Sendirian menguasai seluruh sudut. Berdiri tegap memainkan biola. Menghasilkan simfoni indah bak dihantarkan malaikat-malaikat surga. Aku menyaksikannya dari ambang pintu.  Pertama kalinya melihat pemuda itu memainkan alat musik gesek itu. Dan aku langsung terkagum-kagum padanya. Sungguh mempesona.
Simfoni surga itu terhenti, seiring dengan gesekan biola yang sengaja dihentikan oleh si pemuda. Merasakan sejuk akibat angin yang menerpanya. Lantas memanas mengetahui ada seseorang yang berdiri pada radius beberapa meter darinku. Dan dari jarak serupa, aku bisa mencium aroma yang sudah sangat dikenali indra pembauku. Pemuda itu menurunkan biolanya.
“Sejak kapan kamu di sana?” tanpa melihat wajahnya pun, ia sudah bisa menerka siapa siluet yang mematung di sana. Karena aroma yang mengontaminasi udara yang dihirupnya, juga karena hatinya. Hati itu selalu sensitif apabila ada pemicunya. Ah, gadis itu bagai adiksi saja.
“Sejak monster bersayap itu muncul. Menyadarkan aku bahwa ada kamu di sini. Yang tak sengaja aku lupakan.”  aku menunduk. Merasa bersalah.
“Ayo kesini!” pemuda itu melambaikan tangan. Aku melangkah menghampirinya.
“Sengaja atau tidak, kamu memang akan melupakan aku.” kata pemuda itu. Membetulkan poniku yang sedikit acak-acakan.
Aku menggeleng cepat. Apa maksudnya? Aku keras menyanggahnya. Tidak. Aku tak akan pernah bisa melupakan pemuda berhati malaikat itu. Bagaimana ia dengan segala kesederhanaan hatinya membantuku menyusun puzzle hatiku yang hancur berantakan. Memberikan sebongkah ketulusan untuk melengkapi bagian dari hati yang cacat. Bagaimana ia yang dengan lapangnya membiarkanku tersungkur memeras habis air mata. Ah ya, dia tak pernah melarangku menangis. Bahkan ia memberikan kesempatan seleluasa mungkin untukku melakukan hal yang bagi kebanyakan orang adalah sebuah tanda kelemahan. Menangis. Ah, bukankah hujan yang tabah pun selalu menangis? Jadi, buat apa ia membatasi seseorang untuk menangis. Justru tugasnya adalah mengkamuflase tangis itu hingga pada akhirnya, meluruhlah segalanya. Bagaimana ia menjadi yang paling ajaib dengan semua yang ada pada dirinya. Mata elang yang bekhasiat mengendalikan. Senyuman lebar yang menenangkan. Kalimat-kalimat sederhana yang selalu rancu terdengar oleh orang awam. Segalanya. Mana mungkin aku melupakannya? Aku masih punya kuota memori yang cukup di otakku untuk menampung segala kenangan tentangnya. Untuk mengingat-ingat kebaikannya. Otak? Lalu bagaimana dengan hatnyai? Masihkah juga menyediakan ruang untuk pemuda itu apabila tiba saatnya dimana hatinya dijejali oleh satu penghuni saja? Penghuni istimewa.
“Kamu ngomong apa? Please Yel, jangan buat aku pusing dan keliru. Aku ga mau nanti aku salah, dan aku akan menyakiti pemuda sebaik kamu.” aku meraih lengan Gabriel. Mendekatkannya pada bibir. Mengecupnya.
Gabriel tersenyum. Dengan tangannya yang lain, ia menepuk ubun-ubunku. “Tenang. Aku akan menuntun kamu. Kamu, harus belajar untuk meraih mimpi dan takdir kamu.”
Aku mengangkat wajah. Mengerenyit memandang Gabriel. “Mimpi dan takdir?” aku mengulang ucapannya.
“Yap! Mimpi dan takdir. Kamu berharap meraih keduanya, kan? Aku akan bantu.”
“Mimpi aku cuma satu, hidup bahagia. Lalu, apa takdir aku? Apa yang harus ku raih sementara aku sendiri ga tahu tentang takdir itu.” aku mendesah berat.
Gabriel hanya tersenyum. Pahit, setengah dipaksakan. “Pastinya bukan aku takdir kamu.” ucapnya putus asa dalam hati.
“Takdir kamu, adalah tempat kamu kembali.” ujar Gabriel. Penghabisan. Ia berjalan keluar ruangan. Meninggalkanku itu sendirian. Hanya berteman berjuta tanya dalam benak.
Takdir. Takdir. Takdir. Takdirnya ialah tempat ia kembali. Apa? Siapa? Ia merutuki dirinya sendiri. Terlalu naïf.

                                                            ***

Gadis itu kembali melakukan renungan rutinnya, setelah ia menutup rapat buku catatan berwarna kuning keemasannya. Ia mendekap buku itu di depan dada. Tatapannya menerawang. Ia telah menghabiskan hampir satu jam untuk merenung di sana, di halte tua favoritnya. Ia juga melewatkan beberapa bis yang sejenak singgah di halte. Menunggu bis yang paling akhir untuk hari ini.
Ah, ada apa dengan dirinya? Hatinya seakan terbelah menjadi dua kubu yang luas masing-masing kubu sama. Satu dihuni oleh monster menyebalkan dan yang satunya lagi oleh monster bersayap. Kedua kubu itu saling bertolak belakang. Apabila kubu yang pertama memintanya untuk melakukan suatu hal, maka kubu lainnya bersikeras menentang. Menolak dan mencegah hal itu terjadi.
Ia membuka kembali catatannya. Mengamati setiap kata yang tertulis di atasnya. Dari semua kalimat yang pernah ia goreskan di sana, selalu berawal dengan kata hujan. Apa pun bentuk kalimatnya. Ah, hujan memang menjadi bagian terkrusial dari setiap jengkal kisah sederhannya. Lantas di sudut lembar pertama, ia menemukan sebuah nama. Mario Stevano. Setelah itu, beruntunlah cerita tentangnya. Tentang bagaimana ia selalu menjadi Rio yang berbeda di hadapannya. Rio yang polos. Rio yang manja. Rio tukang tidur. Gadis itu terkekeh. Pada lembar itulah, ia mulai menyadari rasa asing telah bersemai di hatinya. Ia mulai meninggalkan lembar menyenangkan itu.
Gadis itu sampai pada lembar berikutnya. Berisikan bagaimana pemuda yang menjadi topik utama halaman sebelumnya berubah sekian derajat. Tak ada lagi Rio yang selalu membuatnya merona, tersipu atau semacamnya. Tak ada lagi yang bersandar di bahunya. Tak ada lagi yang menemaninya menyaksikan pulangnya mentari ke peraduan. Rio pergi. Menemukan penerbit cintanya. Aurora. Pada saat itu, tertorehlah jutaan luka menganga di hatinya. Dibubuhi serbuk perih yang menyesakkan. Dari sanalah keluar nanah. Mengenaskan. Gadis itu tersenyum miring. Ia sudah merelakan kejadian itu. Menghempaskannya ke dasar palung terdalam. Ia tidak merasa dendam.
Berlalu lembar kelam itu, tergantikan lembar berisi berjuta ketulusan. Saat ia benar-benar menyerah. Kalah dan memilih diam tersungkur di sudut pesakitan, muncul satu nama. Gabriel Stevent. Pemuda berhati malaikat yang membasuh jutaan luka itu. Membalutnya dengan milyaran kebaikan. Dan ia mencabut kembali keputusannya. Ia tak akan menyerah pada kisahnya sendiri. Ia akan bangkit. Berdiri dan patas berlari. Mengejar kembali sang mimpi. Maka kini, ia menjadi gadis yang kuat dan akan selalu kuat. Seperti apa yang disugestikan pemuda itu padanya.
Kini, di lembar berikutnya, kosong. Tak ada apa-apa. Ia belum menggoreskan tinta hitam penanya disana. Apa yang harus ia tulis? Ah, sesungguhnya ia tak perlu bingung. Ia seharusnya tahu kata apa yang akan ia tuliskan di barisan paling atas lembar terbarunya. Hujan. Gadis itu menulis kata hujan. Pastilah. Kisah ini kan disusun oleh tiap kesederhanaan rinai hujan. Namun kini, setelah ia membubuhkan tanda koma setelah kata pertamanya, tangannya berhenti bergerak. Tersendat. Kata apa yang selanjutnya harus ia tulis? Apa? Apa?
Gadis itu mendengus. Frustasi. Menutup kasar catatannya. Ia tentu bisa menulis tentang kebaikan-kebaikan pemuda berhati malaikat itu. Atau kutipan-kutipan kalimat ajaibnya. Atau kehebatannya memainkan berbagai alat musik. Atau apa saja tentang pemuda itu. Ia bisa, kan?
Tapi sekarang, berbeda. Masihkah ia bisa menulis kesemua itu, sementara ada pemuda lain yang berharap namanya kembali masuk ke dalam episode kisah sederhana ini? Terukir menjadi nama yang paling istimewa.
Atau ia menulis tentang pemuda bergigi gingsul itu saja? Tentang kebiasaannya terlelap di bahunya. Tentang caranya memakan pisang goreng yang menggemaskan. Tentang kedua danau miliknya yang selalu menyuguhkan deburan ombak setinggi lebih dari lima kaki. Ya, ia bisa menulis itu saja. Cukup menarik.
Gadis itu membuka tutup penanya, mulai menulis apa yang sudah mengantri dalam benaknya. Namun seketika antrian itu buyar, tertiup desahan monster bersayap. Ia berhenti menulis. Tega ia hanya akan menulis tentang pemuda bergigi gingsul itu? Yang notabene pelaku dari luka lingkar pesakitan itu? Dimanakah hatinya? Yang katanya sederhana? Monster itu semangat berorasi. Membentak gadis itu dengan kata-kata yang menampar telak hatinya. Berteriak bahwa pemuda berhati malaikat itulah yang lebih pantas untuk mengisi setiap lembar kosong itu. Mengatakan bahwa sesungguhnya, setiap kali air mata meluncur mulus membelah pipi tirusnya, setiap sesak seakan mencekat rongga pernafasannya, setiap hatinya tersentuh baret luka, bahkan ketika bongkahan hatinya hilang entah kemana, pemuda itulah yang akan dicarinya. Bukan yang lain. Setelah berjuta prahara telah menjejalinya dengan pedih, gadis itu selalu kembali. Ya, tempat terlapang untuk gadis itu kembali adalah kesederhanaan pemuda berhati malaikat.
Kembali? Ia dilemparkan pada kejadian siang tadi. Kembali? Sesungguhnya takdir adalah tempatnya kembali. Mungkinkah takdir yang dimaksud adalah dirinya? Lalu kalau itu semua benar adanya, mengapa pemuda itu terkesan menolaknya? Seakan apa yang keluar dari mulutnya tak berbanding lurus dengan gerak lakunya. Bukankah ia tadi juga kembali padanya, setelah beberapa saat tak sengaja melupakannya? Lihat! Hanya pemuda itu tempatnya kembali. Jadi, apa lagi yang harus dipermasalahkan dari teka-teki sang takdir. Toh, ia juga telah berhasil memecahkannya. Ya, ia yakin bahwa pemuda berhati malaikat itulah takdirnya.
Monster bersayap berseru riang. Bersujud mengucap syukur. Tersenyum lebar merasa menang. Si monster menyeramkan, hanya bisa terdiam. Mengucap harap agar ketentuan segera membenahi kisah ini, sebelum kekeliruan terlambat dihentikan.

                                                            ***