Lebih Dari Plester part 16A

Sabtu, 02 Februari 2013

Lebih Dari Plester part 16A


Gabriel merasa dirinya kembali menjadi anak-anak. Ia merasa dilemparkan kepada masa kecilnya di mana ia gemar sekali bermain kucing-kucingan. Dulu, ia biasa bermain dengan Rizky dan Daud. Mengelabuhi dua sahabat ciliknya itu dengan sangat sempurna. Bersembunyi di tempat yang sangat tertutup. Rizky dan Daud yang kebagian jaga tidak pernah berhasil menemukan Gabriel. Gabriel kucing yang handal.

Sekarang, ia kembali bermain kucing-kucingan. Bukan dengan Rizky atau Daud yang sudah jelas-jelas pindah ke luar kota sejak mereka masuk ke sekolah menengah pertama. Kini, ia bermain dengan Ify, Rio, Oik dan semua orang yang berpotensi membahayakan posisinya. Kali
ini, ia memang tidak bersembunyi. Tidak menghindar dari gadis dan teman-temannya. Ia justru menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh seorang pun tahu. Sesuatu yang ia pun sadar adalah sebuah kesalahan. Yang jika semuanya terbongkar akan menyakiti hati banyak orang. Termasuk gadisnya.

Mengerti maksudnya? Ah ayolah! Apa nama lain dari kucing-kucingan dalam sebuah hubungan percintaan? Selingkuh? Eh.

Mungkin, memang bisa dikatakan Gabriel berselingkuh dari Ify. Jahat memang kedengarannya. Tapi mau dikatakan apa lagi. Memang begitulah adanya. Gabriel berselingkuh dari Ify. Ah gadis mana pula yang berani memikat Gabriel? Jahat sekali membuat hatinya terbagi. Ya Tuhan, siapa kalau bukan gadis plester itu; Sivia.

"Aku ingat kamu, Gabriel. Aku ingat tentang kita." Sivia mengguncang lengan Gabriel. Membuat pemuda itu sempurna ternganga. Menceloskan hatinya. Hingga membekukan sekujur tubuhnya. Apa maksudnya? Setelah berkali-kali bertemu dan gadis itu sama sekali tidak mengenalinya, sekarang dia tiba-tiba datang dan dengan ceria mengatakan bahwa ia telah mengingatnya. Permainan macam ini? Truth or Dare? Atau apa? Jelaskan! Jangan buat Gabriel selalu menerka-nerka segalanya.

Dan Sivia sempurna menjelaskannya. Sempurna pula membelah hati Gabriel. Membaginya pada dua nama.

"Aku ingat pertemuan pertama kita. Saat itu, kamu terjatuh dari sepeda. Aku menolongmu. Membebat luka di lutut dan dahimu dengan plester dinosaurus. Sejak itu, kamu jadi sering datang padaku. Berpura-pura jatuh agar bisa aku obati. Ah, aku dokter yang hebat, bukan?" Sivia terkekeh.

Gabriel menundukkan kepala. Memilih memandangi lantai saja. Paling tidak ia terhindar dari wajah bidadari yang selalu terlihat menggoda.

"Tapi kamu ga pernah tahu, dokter hebat sepertiku juga bisa sakit. Aku sakiittt!" Sivia mengeluh tertahan. Sejenak tertegun, sejurus kemudian melanjutkan. "Di dalam sini." Sivia menyimpan kedua telapak tangannya pada dada.

Gabriel sontak mendongakkan kepala. Mendapati Sivia tengah memegangi dadanya. Sakit? Gabriel mengerenyit. Selama ini, gadis plesternya itu sakit? Mengapa ia tidak pernah diberi tahu? Gabriel menyentuh pundak Sivia. Mengusapnya lembut.

Sivia tersenyum lemah. "Kamu tahu, pergi meninggalkan kamu ternyata jauh lebih sakit." Sivia menggigit bibir. Sadar, setetes air mata baru saja jatuh dari pelupuknya. "Aku pergi bukan untuk menyakitimu. Aku justru menghindarkan kamu dari rasa sakit yang jauh lebih besar. Tapi ternyata, aku terlalu lama di sana. Menunggu donor ginjal. Ah iya. Sekarang yang ada dalam tubuhku bukan ginjalku. Aku meminjam milik orang lain." Sivia menghela nafas panjang. Mengusap pelan matanya yang basah.

"S-Sivia..." ucap Gabriel teramat pelan. Bahkan untuk mengucapkan nama Sivia saja, ia tidak mampu. Tiga tahun gadis itu menderita, dan ia tidak pernah mengetahuinya? Selama ini yang ia lakukan hanya memaki kepergian Sivia. Memvonis gadis plesternya itu sebagai penjahat. Sekarang, yang sebenarnya penjahat siapa? Dasar ceroboh!

"Saat itu aku pikir aku sembuh. Aku bisa pulang. Ketemu kamu. Tapi ternyata, aku punya penyakit lain. Tumor, Yel! Di sini." Sivia memegangi kepalanya. "Sakiiitttt banget!" Sivia menutup kedua matanya. Mendorong air matanya untuk segera menjauhi pelupuknya.

"Siviaaaa!" Gabriel menarik tubuh Sivia untuk direngkuhnya. Di balik lingkar tangan Gabriel, Sivia menumpahkan tangisnya. Membiarkan air matanya menari sepuasnya.

"Sumpah demi apa pun, aku ga pernah sekali pun melupakanmu. Tumor itu yang memaksanya." Sivia menjambak rambutnya. Marah atas ia yang dikalahkan penyakit sialan itu.

Gabriel mencengkram lengan Sivia. Mencoba menghentikan amukan gadis itu. "Sttt! Udah Vi! Udah! Aku ga apa. Please berhenti!" Gabriel mengecup punggung tangan Sivia. Menenangkannya.

Sivia akhirnya berhenti meronta-ronta. Tangisnya pun mereda. Ia menormalkan nafasnya yang tersendat-sendat.

"Tapi kamu tahu, ga ada yang berubah dari hati aku. Di sana selalu ada kamu. Tidak pernah tergantikan siapa pun!"

Gabriel mengurai pelukannya. Membiarkan Sivia menghela nafas secara leluasa. Pemuda itu miris menatap gadis cantik di hadapannya. Mengapa? Mengapa ia tidak diberi tahu sejak pertama? Karena sekarang, ia kembali pun rasanya percuma. Tidak ada lagi rasa yang tersisa untuk Sivia, selain mungkin segenggam iba.

Namun kadang, perasaan tidak selalu berwujud nyata. Tidak ada batasan yang jelas antara perasaan yang satu dengan lainnya. Antara sedih dan marah. Antara senang dan kecewa. Juga antara cinta dan iba.

"Sekarang aku pulang, Yel! Untuk kamu yang menjadi alasan terbesarku bertahan. Untuk menunaikan semua janjiku." Sivia mengeluarkan sebuah kotak berwarna putih dari tasnya. Menyerahkannya pada Gabriel.

Gabriel gemetar memegangi kotak itu. Ia mengangkat kotak itu ke udara. "Apa?"

Sivia menyeringai. "Plester dinosaurus. Aku pulang dan membayar lunas hutangku." Sivia melangkah mendekati Gabriel, lalu mencoba memeluk pemuda itu.

Tak dinyana, Gabriel justru refleks mundur selangkah. Menghindari Sivia. Membuat gadis itu sedikit tersinggung dan menatapnya dengan kedua alis bersatu.

"Kamu tahu aku sudah punya Ify, kan?" tanya Gabriel. Menguatkan tembok pertahanannya. Menjaga penuh hatinya hanya untuk Ify.

Sivia tersenyum miring. "Aku tahu. Makanya aku ajak kamu kesini. Aku ga mau dia mendengar percakapan kita." Sivia mendesah berat. Sebenarnya tidak yakin dengan sikap yang diambilnya. "Tapi kamu masih cinta sama aku, kan? Aku bisa lihat dari mata kamu."

Glek. Gabriel meneguk ludah. Merasa terpojok dengan ucapan Sivia. Namun ia masih mau bertahan untuk Ify. Pemuda itu menepis tangan Sivia yang berusaha menggapainya. "Aku sudah memilih Ify!"

Sivia menyambar ucapan Gabriel cepat. "Tapi kamu masih mencintai aku!"

"Aku mencintai Ify!" ujar Gabriel tegas.

"Kamu juga masih mencintai aku." Sivia mencoba memeluk Gabriel lagi. Dan untuk kali ini, Gabriel tidak menangkisnya. Ia mengizinkan Sivia melingkarkan kedua tangan pada tubuhnya. Hingga Sivia berkata. "Kamu bisa mencintai aku dan Ify sekaligus."

Dan hati yang sudah berikrar hanya mencintai satu nama saja itu pun berkhianat. Ia membaginya menjadi dua kubu. Satu untuk Ify, satu untuk Sivia. Ya, mungkin ini jalan terbaiknya. Ia tidak harus mengorbankan salah satunya, bukan? Jalan ini tentu tidak akan menyakiti dua gadisnya. Tapi Gabriel tidak pernah tahu, justru dengan mencintai keduanya bersamaan, hatinya justru disesah kesakitan. Luka dari perselingkuhan ternyata lebih menyakiti pelakunya dibandingkan sang korban.

***

Ify merasa sikap Gabriel berubah, setidaknya pada dirinya. Gabriel seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Menutupi sebuah rahasia. Ify bukan tipe cewek-cewek rese yang selalu mau tahu urusan pacarnya. Hanya saja, perubahan Gabriel yang cukup signifikan ternyata mengganggu kenyamanannya.

Terhitung dari selasa lalu. Sejak Gabriel berbicara empat mata dengan Sivia. Semenjak itu, Gabriel jadi berubah. Jarang memerhatikan Ify. Hanya bengong kala diajak berbicara. Selalu menolak bermain sepakbola. Ketika ditanya, malah melengos dan mengalihkan pembicaraan.

Namun, Ify tidak mau terlalu pusing dibuatnya. Besok lusa, sudah ujian akhir semester gasal. Ify tidak mau masalah ini mengganggu persiapan ujiannya. Walau pada akhirnya, ketika ia sedang diam tak melakukan apa-apa, masalah Gabriel tanpa permisi melayang-layang di otaknya. Seperti malam ini. Ketika dirinya sudah merebahkan tubuh di atas kasur, bersiap beristirahat, matanya justru tidak bisa diajak bekerja sama. Semakin dipaksa terpejam, semakin ia tidak bisa terlelap.

Ify mendesah berat. Lalu melirik boneka dinosaurus berkacamata di sebelahnya. "Hallo Dino!" Ify mengusap moncong sang dino.

Ify kemudian mengerjap ketika cahaya dari lampu kamarnya terpantul pada kalung sivia sang dino mengenai matanya. Gadis itu menyentuh bandul kalung bertuliskan 'sivia'. Tersenyum miring.

"Kenapa setiap lihat kamu, Ify jadi takut ya? Padahal kamu kan cantik." Ify berkata pada kalungnya. Menatap lekat tiap lekuk sang kalung beberapa detik.

Ify kemudian melepaskan tangannya dari kalung sivia. Ia menarik selimutnya lebih atas. Lalu terdiam dan memandang ke luar jendela. Bintang-gemintang menggantung di sana. Ify kemudian menemukan satu bintang yang bersinar paling terang, mengalahkan yang lainnya. Melihat bintang itu membuat Ify teringat binar sepasang mata paling cantik milik seseorang. Milik Sivia.

Ify mengerjap. Mengacak rambutnya sendiri. Ada apa sih dengannya malam ini? Mengapa dalam lamunannya selalu terbersit nama Sivia? Memangnya dia siapa? Kenal dekat juga tidak. Bertatap muka langsung pun hanya dua kali. Tapi mengapa bisa, berkali-kali Sivia mengacaukan pikirannya. Ify mendesah kentara.

Ify mungkin tidak sadar, sesungguhnya ia dihantui rasa takut yang lebih dari batas normal. Ify takut pada Sivia. Takut gadis itu memiliki hubungan terselubung dengan Gabriel. Ah ya. Kalung berbandul Sivia itu, pembatas buku berukir nama Sivia itu, keduanya dari Gabriel. Dan tempo lalu, Sivia mengajak Gabriel bicara berdua. Ify boleh saja curiga, kan? Karena selama ini, setiap gadis selalu terang-terangan mengobrol dengan Gabriel di depan mata kepala Ify. Dan Ify tidak masalah dengan itu. Bukankah ia juga suka mengobrol dengan Rio juga Cakka di hadapan Gabriel? Dan pemudanya itu juga sama sekali tidak keberatan.

Drttt... Suara getaran teredam dari ponsel yang tergeletak di atas nakas itu membuat Ify terperanjat. Langsung ia meraih ponselnya. Lalu mendapati sebuah pesan baru saja diterimanya. Dari sebuah kontak yang ia beri nama Gabrielsaurus. Ya, dari Gabriel.

'Ify? Sudah tidur? Aku ga bisa tidur. Ingat Ify terus. Maaf untuk tadi siang ya! Ga bisa main sama Ify.'

Gadis berhidung mancung itu kemudian termenung setelah membaca seutas pesan dari salah satu penyebab kegalauannya malam ini. Tanpa sadar, tangan yang tidak memegang ponsel ia kepal kuat-kuat. Ia tidak marah pada Gabriel karena telah menolak untuk menemani Ify bermain tadi siang. Hanya saja, ada satu bagian di hatinya yang entah mengapa bisa sesakit ini. Seperti tersundut pentul korek api. Cara menolak Gabriel, berbeda dari biasanya. Nada bicaranya pun berbeda, terdengar gugup dan gelisah. Bagai anak kecil yang berbohong pada orang tuanya ketika ditanya siapa yang memecahkan vas bunga.

Ify memejamkan mata. Sambil memainkan jarinya di atas ponsel. Mengetikkan satu kalimat singkat yang hanya terdiri dari satu kata; 'Belum'. Kemudian menekan tombol send. Terkirim. Dan ia menambahkan dalam hati, 'Bagaimana bisa Ify bisa tidur? Ify pun sama. Memikirkan sikap Gabriel yang berubah. Membuat Ify hampir tidak mengenali Gabriel.' Ify mendesah lemah.

Drtt... Drtt... Drtt... Ify langsung membuka matanya. Mengecek kembali ponselnya. Gabrielsaurus is Calling. Ify menatap ponselnya sejenak. Ragu-ragu menekan tombol berwarna hijau di sana. Setelah itu, ia menempelkan sang ponsel pada telinganya.

"Ify!" terdengar suara baritone yang khas dari seberang sana.

Ify berdeham pelan. Mencoba menormalkan suaranya. "Hallo Gabriel!"

"Ify kenapa belum tidur? Ify kan tidak boleh kelelahan." ujar Gabriel dengan nada khawatir.

Ify terdiam sebentar. Menghela nafas berat. "Ify belum ngantuk. Hehe." Ify terkekeh pelan.

"Apa yang bisa buat Ify mengantuk? Akan aku lakukan!"

"Ify hanya ingin Gabriel tidak berbohong pada Ify. Tidak menyembunyikan apa pun." Ify segera membekap mulutnya ketika sadar ia telah salah berbicara. Aduh! Gabriel pasti curiga padanya. Ihh! Ify mencubit bibirnya gemas.

"Maksud Ify apa? Aku ga pernah berbohong. Tidak ada yang aku sembunyikan." tukas Gabriel dengan nada yang meninggi. Agak tersinggung dengan ucapan Ify barusan.

'Tuh, kan!' ucap Ify dalam hati. Nanti-nanti kalau mau bicara dipikirkan dulu. Gabriel sekarang jadi marah, kan? Ify menggigit bibir. "Maaf!"

Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Hening.

"Emmm Fy!" Dehaman dari Gabriel menghapus keheningan. Mau mendengar aku bernyanyi?

Setelah Ify menggumamkan iya pelan, Gabriel mulai menyenandungkan sebuah lagu yang sangat manis dari penyanyi favorit Ify; Gita Gutawa. Lagu yang cocok untuk menjadi pengantar tidur Ify malam ini.

"Dengar suaraku untuk temani tidurmu. Kan ku lantunkan nada-nada yang indah. Rasakan dunia ada di dalam hatimu. Semoga esok kau terjaga dalam bahagia."

Ify merasa hatinya mencelos mendengar suara lembut Gabriel ketika menyanyikan lagu itu. Bagaimana bisa ia menaruh curiga pada pemudanya itu? Kalau sudah semalam ini pun, Gabriel rela meneleponnya, menyuruhnya segera tidur, mencemaskannya. Tak ada yang berubah dari Gabriel. Dia tetap pemudanya yang perhatian.

"Bila hari ini, tak seperti yang kau bayangkan, yang kau inginkan. Coba pejamkanlah kedua matamu. Lupakan apa yang terjadi."

Ify tersenyum. Ya, Gabriel tidak sedikit pun berubah. Mungkin, ia terlalu sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nanti. Pasti karena itu. Ify sempurna menghapus segala kecurigaannya pada Gabriel. Dan soal Sivia? Masa bodoh dengan gadis itu. Bukankah ia mengajak Gabriel berbicara hanya sekali. Setelah itu, tidak ada lagi. Lalu kalung dan pembatas buku itu, mungkin saja memang kedua benda itu bermerk sivia. Ya, tentu saja. Ify memejamkan mata. Menikmati setiap alunan merdu bak senandung rindu para malaikat.

"Kan ku ajak kau melayang menjauh mendekati mimpi. Meretas asa yang ada tanpa henti. Rasakan dunia ada di dalam hatimu. Semoga esok kau terjaga dalam bahagia."

Ify sudah tertidur pulas, ketika Gabriel mengakhiri lagunya. Gabriel berujar pelan. "Selamat tidur Ify! Berbahagialah selalu!" Pemuda itu mengecup dua jari tangannya. Lantas menempelkannya pada layar ponsel. Semoga kecupan itu tersampaikan pada Ify. Menjaga Ify hingga esok pagi ia terjaga kembali. Ia menekan tombol berwarna merah. Mengakhiri panggilannya.

Gabriel kemudian menatap dua buah kotak yang ia letakan di atas nakas yang isinya sama; plester dinosaurus. Ia menatap keduanya dengan perasaan bersalah. "I love you. But I love her too!"

Untuk malam ini dan malam-malam yang akan datang, Gabriel merasa ia adalah orang paling jahat sedunia. Tega sekali menyakiti gadis sepolos Ify. Tega sekali mengaku dirinya mencintai Ify sepenuh hati padahal hatinya kini terbagi. Tega sekali membohongi dirinya sendiri. Berujar mencintai Sivia padahal sesungguhnya tidak. Tega sekali memberi harapan kosong pada Sivia yang justru berharap banyak padanya. Sangat tega.

***

"Yuhuuuuu! Akhirnya ujiannya selesai juga!" Ify merentangkan kedua tangannya. Seperti biasa, berbicara dengan gaya khasnya yang ceria.

"Gue penasaran deh, nanti yang berhasil jadi juara satu di kelas siapa ya? Lo mesti hati-hati deh sama cewek lo ini." Oik mendelik pada Ify yang tengah berpura-pura tersinggung. Memonyongkan bibirnya lucu.

"Haha, ga apa sih kalau emang nanti Ify yang dapat ranking satu. Bangga kali punya pacar yang pintar." Gabriel gemas mengacak rambut Ify. Jahil menjawil caping hidung mancung gadisnya. Ify makin memonyongkan bibirnya.

"Ciyeee!" Oik mencolek dagu Ify. Senang sekali menggoda gadis itu. Selalu bekerja sama dengan Gabriel untuk membuat pipi pualam Ify semakin merona.

"Udah ah! Ayo pulang! Main ke rumah Ify! Mama tadi janji mau bikin kue. Kue putu ayu. Enak tahuuu!" ujar Ify. Menyombongkan kue buatan Mamanya. Mengangkat kedua jempolnya. Meyakinkan Oik dan Gabriel untuk bersedia menerima undangannya.

"Asyiikkk! Yuk yuk!" kata Oik. Disambut anggukan kepala dari Gabriel. Mereka sepakat untuk bergegas ke rumah Ify. Menumpang mobil Gabriel.

"Eh bentar. Rio mana ya?" Ify menghentikan langkah Gabriel dan Oik. Gadis itu menyisir sekitarnya. Memicingkan mata mencari Rio. Akhir-akhir ini, Rio terkesan menjauhi dirinya. Tidak pernah lagi ikut dalam acara berkumpul bersama. Ify jadi merasa kehilangan Rio. Gadis itu menggigit bibir.

"Kenapa Fy? Rio akhir-akhir ini emang sibuk. Tahu ga, dia belajar keras lho buat ujian kali ini. Seumur-umur kenal dia, baru kali ini lihat dia belajar serius kayak gitu." jelas Oik.

"Masa sih Ik?" tanya Gabriel agak kurang percaya. Bukannya meremehkan. Gabriel dan Rio ini kan sudah berteman sejak kanak-kanak. Jadi Gabriel heran saja dengan perubahan Rio yang terlalu tiba-tiba. Yang semestinya menjadi alasan bahwa dirinya juga harus tahu, perubahan sikapnya juga di mata Ify teramat tiba-tiba, mengejutkan.

"Ya ampun Rioooo! Jadi ga sabar nunggu hasilnya. Pengen lihat hasil kerja keras Rio." ujar Ify riang. Tidak sadar, bahwa Gabriel agak tidak nyaman dengan ucapan Ify barusan.

Mereka akhirnya sampai di tempat mobil Gabriel terparkir. Ify dan Oik masuk ke tempat penumpang bagian belakang. Disusul Gabriel yang berjalan memutar untuk masuk ke tempat pengemudi. Namun sebelum itu, Gabriel terdiam sebentar. Matanya tertumbuk pada satu titik. Entah mengapa, ia merasa di sana ada sepasang mata yang tengah memperhatikan gerak-geriknya sejak ia keluar dari kelas. Tapi siapa? Mungkinkah dia? Iya. Sesuatu yang tidak dikehendakinya untuk diketahui siapa pun.

"Gabriel cepat! Mama sudah neror Ify terus!" ujar Ify dari dalam mobil. Membuat Gabriel mengerjap. Dan menghilangkan prasangkanya. Pemuda itu pun masuk ke dalam mobil. Duduk di balik lingkaran kemudi. Menghidupkan mesin. Dan melakukan beberapa prosedur lainnya untuk melajukan mobil. Menyusuri jalanan kota yang tengah dinaungi langit yang terik. Sangat cocok untuk menerbangkan layang-layang. Gabriel tersenyum tipis. Bergumam dalam hati. 'Bersabarlah untuk layang-layang keren sampai besok Fy! Dan bersabarlah mencintaiku, selamanya!'

Dan ketika mobil yang ditumpangi Gabriel, Ify dan Oik itu sudah tak lagi kentara, seorang gadis cantik keluar dari tempat persembunyiannya. Gadis yang mengenakan bandana kuning itu mendesah berat. Menatap sedih kepergian sang mobil.

"Aku ga pernah menyangka, aku berada dalam situasi ini. Mengalah untuk mencintai kamu. Harusnya, seluruh dunia tahu tentang kita. Aku lelah hanya sekedar menjadi rahasia." gadis itu memegangi dadanya. Sakit sekali di sana. Lebih sakit dari penyakit yang pernah diidapnya. Kesakitan itu berada di inti hatinya. Mungkin, ketika hatinya tak lagi bisa menahan bubuhan kepedihan, ia akan kembali jatuh sakit. Sakit hati. Dan ia bersumpah, ia takkan sudi hatinya diganti. Separah apa pun nanti.

Tak jauh dari gadis itu berada, seorang pemuda bertubuh jangkung juga ternyata tengah melakukan hal yang sama. Mengawasi tiga targetnya yang kini telah berada di antah berantah. Pemuda itu tersenyum. Melipat kedua tangannya di depan dada.

"Gue lihat dan dengar semuanya, Fy! Lo bahagia banget pas tahu gue rajin belajar. Andai gue tahu bentuk kebahagiaan menurut versi lo apa, gue akan berhenti jadi pemalas tepat saat pertama kita ketemu. Semoga, hasil usaha gue nanti bisa buat lo makin bahagia. Gue percaya kok, hasil itu berbanding lurus sama niat, usaha, dan doa."

Pemuda itu mengangguk samar. Mungkin, memang harus seperti ini jalannya. Ia tidak harus selalu bersama Ify untuk dapat membahagiakannya. Mungkin, membiarkan gadis itu memilih jalannya sendiri, adalah keputusan terbaik. Tidak membebani gadis itu dengan berbagai macam hal. Ia tahu, gadis ceria itu telah menanggung beban yang jauh lebih berat dari semesta. Perasaannya sama sekali tidak boleh menambah beban itu. Karena sekuat apa pun seseorang, selalu ada kemungkinan untuk tersungkur pada jurang keputus asaan. Ia tidak mau Ify menyerah. Ify harus terus berjuang. Biarkan pemuda itu sendirilah yang tetap diam dan tertinggal jauh di belakang. Hanya bisa memerhatikan. Cinta diam-diam kadang bisa jadi alternatif pilihan.

***

Bersambung.