Lebih Dari Plester part 16B

Sabtu, 02 Februari 2013

Lebih Dari Plester part 16B



Sivia tidak pernah bercita-cita menjadi seorang penjahat. Mengambil sesuatu yang sebenarnya telah menjadi hak orang lain. Tapi ia bisa apa. Perasaan cinta yang ia punya terlalu besar. Membutakan logikanya. Menumpulkan hati kecilnya.

Mungkin, selingkuh tidak ada salahnya. Selama ia bisa menutupnya dengan rapat, sah-sah saja sepertinya. Selama itu, ia tidak menyakiti hati siapa pun, bukan?
Tapi sampai kapan ia menyembunyikan segalanya? Apakah ia akan kuat bertahan dengan statusnya yang hanya sebuah rahasia?

Gadis cantik itu memejamkan mata. Mendesah kelewat berat. Meski satu sisi hatinya memberikan restu untuk ia terus melanjutkan kejahatan ini, namun bagian hatinya yang lain keras menolak. Apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan besar. Karena semakin lama kebusukan itu ia pendam, maka semakin pedih pula luka yang akan diterimanya. Ah ternyata, ia bukan hanya akan menyakiti hati orang lain. Ia justru tengah menyiksa dirinya sendiri.

Dan ketika ia bergumul dengan kegundahan, peristiwa tadi siang tanpa permisi berkelebat menghampiri otaknya yang sedang kacau. Peristiwa yang membuat ia terlempar pada sebuah kenyataan, bahwa dirinya sudah tertinggal sangat jauh di belakang.

Bahwa ketika Gabriel tidak sengaja menjatuhkan dompetnya, saat itulah Sivia tahu. Terdapat dalam dompet itu secarik kertas pengkristal sebuah kejadian. Tahu maksudnya? Sebuah foto. Ya. Dalam foto itu, Gabriel tengah mesra merangkul Ify yang lucu mengulum bibir. Melihat foto itu saja, telah cukup membuat hatinya patah. Ditambah lagi dengan apa yang ia dapati selanjutnya. Mereka mengenakan kaos yang sama. Ah, sungguh serasi mereka. Sivia memegangi dadanya yang berdenyut memilukan. Tangan yang lain ia gunakan untuk mencengkram dompet laknat itu kuat-kuat penuh kebencian.

“Wanna drink a cup of tea?”

Sivia  hampir saja mencelat dari kursinya ketika mendengar celetukan yang terlalu mengejutkan. Gadis itu mengerjap. Mendongak melihat wajah seorang pemuda yang kemudian ikut duduk di sampingnya. Pemuda itu tersenyum. Meletakan secangkir kopi di atas meja, dan satu cangkir lain masih ada di tangannya untuk kemudia ia sesap isinya.

“No, thanks. I just…” Sivia mengulum bibirnya sejenak. Entah apa yang harus dikatakannya pada Cakka, pemuda yang sedang asyik menikmati tehnya. Apakah ia harus jujur padanya? Ah atau mungkin, Cakka telah mengetahui semuanya sebelum ia memberitahunya? Mengingat pemuda itu entah mengapa selalu saja tahu apa pun tentangnya. Sivia akhirnya memilih diam. Bungkam.

Cakka pun sesungguhnya tahu apa yang menjadi alasan dari kegundahan gadis di sebelahnya. Apa yang membuat gadis itu bertingkah aneh selama beberapa pekan terakhir. Gerak-geriknya seperti seseorang yang tengah menutupi sebuah kejahatan. Ah iya, gadis berwajah bidadari itu memang tengah melakukan kejahatan paling jahat. Kejahatan hati.

Cakka mungkin bisa berpura-pura tidak tahu. Cukup fokus dengan dirinya saja. Tapi semuanya berubah ketika ia mengenal Ify. Gadis polos itu teramat baik jika hanya untuk disakiti. Mungkin saat ini belum. Tapi nanti? Ketika semuanya berubah menjadi begitu transparan. Bagaimanalah hati gadis itu? Akan ditemukannya lagikah senyum riang gadis di setiap harinya?

Cakka ingat sebuah percakapannya dengan Ify pada suatu hari. Percakapan yang dilatar belakangi sebuah kebetulan. Kebetulan saat itu, Cakka tengah duduk terpekur sendirian di bangku taman belakang sekolah. Dan dengan gaya khasnya, Ify datang menghampirinya. Menawarkan diri untuk menjadi teman berbagi. Tapi bukannya Cakka yang bercerita, malah sebaliknya. Ify yang lebih banyak bercerita. Tentang masa kecilnya yang menyenangkan. Tentang sekolahnya di Bandung yang menyenangkan. Dan dengan cerita-cerita menyenangkan lainnya. Ah, hidup gadis itu selalu bergelimang kesenangan.

Hingga akhirnya, Ify sampai pada kisah cintanya yang klasik namun menarik. Ia mengatakan pada Cakka, bahwa dulu tidak pernah terlintas di otaknya untuk bisa menjalin hubungan dengan Gabriel. “Gabriel itu galak. Ify sering dibentak. Ify pernah berdarah karenanya. Pokoknya, dia kaya dinosaurus.” begitu tutur Ify ketika ditanya alasannya mengapa.

“Tapi, ternyata Gabriel adalah pemuda yang bertanggung jawab. Dia mengobati luka di wajah Ify. Dia juga baik. Memberikan Ify boneka dinosaurus dan sebuah kalung yang cantik. Juga gelang ini.” Ify menunjukan pergelangan tangannya yang dililit sebuah gelang beraksen kepala dinosaurus. Kemudian melanjutkan. “Gabriel memperkenalkan banyak hal pada Ify. Pada dinosaurus. Pada sepakbola. Pada cara mencintai dengan sederhana.”

“Ify mencintai Gabriel?” tanya Cakka.

Gadis itu menghela nafas, tersenyum kemudian mantap berkata, “Ify mencintai Gabriel, seperti Ify mencintai mata Ify. Sangat sederhana.”

Dan setelah mendengar kalimat menggetarkan itulah, Cakka tahu banyaknya cinta Ify untuk Gabriel melebihi volume air laut di seluruh bumi ini. Dan begitu berharganya Gabriel untuk Ify. Mensejajarkannya dengan sepasang mata. Seakan jika tidak ada, maka ia akan buta. Kehilangan seluruh kebahagiaan hidunya.

Lantas mana mungkin Cakka membiarkan Ify kehilangan sepasang matanya, sementara ia sendiri melihat dengan jelas-jelas, seseorang tengah dalam proses mencokel mata itu dari kelopaknya. Sejahat itukah dirinya pada Ify? Yang bahkan dianggap gadis itu seorang malaikat. “Cakka baik sekali. Ify kira malaikat itu punya sayap dan punya lingkaran halo di atas kepalanya. Ternyata, malaikat Ify justru cowok keren dan tampan. Iya, Cakka seperti malaikat untuk Ify.” Cakka mendesah berat. Ia tidak akan pernah tega. Baiklah! Mulai saat ini, ia akan bersikap tegas pada Sivia. Gadis itu terlalu baik untuk menjadi seorang penjahat.

***

"Sudah siap?" Gabriel bertanya setelah Ify menaiki motor Gabriel. Gadis itu meletakkan tangannya di pinggang Gabriel. Berpegangan.

Ify mengangguk cepat. Helmnya yang agak longgar terantuk pada punggung Gabriel. Gadis itu antusias sekali dengan ajakan Gabriel. Sekaligus terkejut, mengingat pertengkaran yang cukup hebat antara mereka dua hari yang lalu. Ify kira, Gabriel takkan mau lagi bertemu dengannya. Tapi sore ini, perkiraan itu terpatahkan.
Gabriel mulai melajukan motornya. Menerabas sore yang masih terik. Dengan matahari yang masih superior bersinar. Merasa agak canggung dengan Ify yang melingkarkan kedua tangannya. Gabriel sangka, Ify tidak mau menerima ajakannya. Mengingat dua hari yang lalu, ia telah membuat Ify menangis tersungkur. Namun prasangka itu kini terbantahkan.

Ify dan Gabriel sudah sampai di lapangan pinggiran kota. Ify langsung menjerit tepat ketika kakinya menjejak tanah lapangan yang lembek. Sisa dari hujan yang semalaman membungkus kota. Ia tidak menyangka dapat kembali lagi ke tempat itu. Kalau begitu, ia bisa bermain sepakbola dan berperang lumpur lagi bersama Ray. Ah ya, bocah itu kemana ya? Mengapa batang hidungnya tidak nampak sama sekali? Ah. Sore ini lapangan sepi. Ray dan anak-anak lain raip entah kemana. Ify mengeluh tertahan. Kalau sepi, kan tidak seru. Gadis itu menunduk lemah.

Gabriel mendapati Ify yang merubah ekspresi wajahnya menjadi murung. Pemuda itu tersenyum miring. Melangkah mendekati gadisnya.

"Ada apa?" tanya Gabriel. Sebisa mungkin mencairkan kebekuan suasana antara mereka.

Ify terkesiap. Mendongakan kepala menatap Gabriel. Ia memicingkan mata. Agak silau dengan sinar matahari yang jatuh pada wajah pemudanya. Ify kemudian menoleh lagi ke depan.

"Ray mana? Anak-anak yang lain mana? Kalau tidak ada mereka, lebih baik kita pulang saja." cicit Ify pelan.

Gabriel mendesah kentara. Ia menyisir seluruh sudut lapangan. Mengucapkan mantra berulang-ulang dalam hati. Datanglah! Datanglah! Datanglah! Tak sejurus pun berhenti. Sampai akhirnya, yang ia tunggu datang. Ray. Bocah yang sudah diwanti-wantinya untuk dapat bekerja sama memberikan kejutan untuk Ify. Bocah itu berlari seraya menarik layang-layang dinosaurus jumbo yang sangat keren. Sama persis dengan layang-layang yang -ingin dilihat Ify tempo lalu. 

"Kak Ifyyyyyyy!" Ray berteriak memanggil Ify. Tubuhnya sedikit oleng karena angin yang terlalu kuat menerpa layangan yang dibawanya.

Ify mengerjap. Menoleh ke sumber suara. Senyum langsung tersungging di wajahnya. "Ray?" Ia langsung berlari memburu Ray. Memeluk sayang bocah itu.

"Kak, ini untuk kakak. Dari Kak Gabriel." Ray menyerahkan gulungan benang yang tersambung pada layang-layang yang masih menari-nari di udara.

Gadis itu meraih gulungan benang dengan terbata. Lantas mendongak dan mendapati sebuah layang-layang yang sangat besar berenang-renang membelah langit. Ekornya bergoyang menggemaskan.

“I-Ify suka?” Gabriel melangkah patah-patah mendekati Ify.

Ify terkesiap. Lalu berpaling menatap Gabriel. Yang ditatapi nampak gugup dan salah tingkah. Tak tahan untuk tidak membuat Ify terkikik geli. Gadis itu kemudian menghambur memeluk Gabriel. Memekik girang tepat pada lubang telinga pemuda itu.

“AAAAAA!!! IFY SUKA SEKALI!!!! KEREEEENNN!!!!”

Gabriel melingkarkan kedua tangannya untuk balas memeluk Ify. Tak peduli telinganya pekak mendengar jeritan Ify yang sudah seperti mercon tahun baru. Ia terlalu senang mendapati respon Ify yang sangat baik terhadap hadiahnya. Dan soal pekikan itu, Gabriel ternyata merindukan suara melengking gadisnya. Sudah lama tidak didengarnya. Akhir-akhir ini, gadis itu memang berubah menjadi agak lebih pendiam. Tidak secerewet biasanya.

Pemuda itu tak menyadari, bahwa perubahan Ify terjadi karena ia sendirilah yang berubah. Terlalu sering mengabaikan Ify, membuat gadis itu lelah bercerita. Untuk apa? Toh, ia diacuhkan begitu saja.

Gabriel lalu mengangkat tubuh mungil Ify. Membawanya melayang berputar-putar. Membuat sang layang-layang turut berputar di atas mereka.

“Aduhhhh Gabrieelll! Hahaha!” gelak tawa Ify pecah seketika. Ify lupa bahwa sebelumnya atmosfer ketegangan menyelimuti mereka. Yang ia tahu saat ini adalah, ia sangat bahagia.

“Duhh, kesenengan ya kamu. Udah ah berat!” Gabriel menurunkan Ify. Mengulum bibir. Berpura-pura merajuk.

“Mana ada.” Ify mencubit perut Gabriel. Membuat pemuda itu mengaduh kesakitan.

Rafi tersenyum menyeringai. Menjawil pucuk hidung bangir Ify. Membuat gadis itu langsung tersipu. Pipi pualamnya sempurna menyemburatkan wana kemerahan.

“Kak Gabriel, Kak Ify, layang-layangnya mau jatuh.”

Suara renyah seorang bocah laki-laki membuat Gabriel maupun Ify terperanjat. Keduanya lupa bahwa di sana ada Ray. Jadi, semua adegan romantis tadi disaksikan bocah berusia enam tahun itu? Aduh! Kan tidak boleh. Gabriel tersenyum meringis. Merogoh selembar uang kertas berwarna biru dari saku celananya. Memberikannya pada Ray.

“Kamu pergi dulu ya! Lapangannya kakak sewa dulu sampai besok.” Gabriel berbisik pada Ray. Bocah kecil itu mengangguk mengerti. Lantas segera bergegas pergi.

Beres! Gabriel menjentikan jarinya. Tersenyum menyeringai.

“Ray diapakan? Diusir?” tanya Ify menyelidik.

Gabriel hanya mengangkat bahu tak acuh. Lantas merebut gulungan benang dari tangan Ify. Mengambil alih kendali layang-layang agar membumbung jauh tinggi ke angkasa. Sempurna membuat Ify hanya melongo melihat aksinya. Sangat lihai menarik-ulur sang benang. Melesakkan layang-layang keren itu menembus bentangan langit. Bergabung bersama gerombolan burung yang tak henti melenguh merdu. Berpadu bersama semilir angin menjadi sebuah orchestra alam yang menakjubkan.

Layang-layang berbentuk dinosaurus itu kian meninggi. Ify mendongak. Memicingkan mata. Ify ternganga karena terkagum menyaksikannya. Itulah tarian paling indah yang pernah ditontonnya. Tarian layang-layang. Gadis itu menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Mengucap segunung syukur. Ia masih diberikan kesempatan untuk dapat melihat layang-layang berbentuk dinosaurus itu. Ternyata, Gabriel memang tidak pernah berbohong. Layang-layang itu memang sungguh keren. Ify saja jatuh cinta. Dan untuk semiliyar kalinya, Ify pun jatuh cinta pada pemuda yang sama. Dia, tidak pernah berubah. Selalu melunasi seluruh janjinya. Selalu menjadi matanya yang dapat membuat Ify melihat banyak hal. Termasuk tarian layang-layang.

Namun ketika layang-layang itu kian meninggi, makan semakin buramlah terlihatnya oleh mata Ify. Beberapa jurus kemudian bahkan sempurna tidak terlihat. Ify mengeluh tertahan. Sudahlah! Jangan bersedih Ify! Gadis itu mengupahi dirinya sendiri. Bukankah tadi ia sudah melihatnya? Apa tidak cukup? Jangan serakah! Semuanya sudah teramat cukup untuk dapat membuktikan bahwa dirinya masih berarti untuk Gabriel. Belum –dan ia berharap tidak akan- tergantikan oleh gadis mana pun. Tidak juga Sivia. Ify mengerjap. Entah mengapa, gadis itu terlintas di otaknya.

Ify lalu menyusupkan lengannya pada pinggang Gabriel. Lantas mendaratkan kepalanya pada bahu sang pemuda. Menatap langit yang ia yakin masih menjadi lautan tempat layang-layang itu berlayar. Membiarkan pemudanya terus beraksi. Sementara ia sendiri, menangis dalam diam. Tahu, semakin hari, kedua matanya semakin kehilangan fungsi.

“Ini hanya bagian kecil dari perwujudan semua janji aku. Masih banyak sekali yang akan aku lakukan untuk kamu. Menjadi matamu. Menjadi seseorang yang tidak akan menolak untuk menjadi sandaran kamu, menjadi tempat kamu berkeluh kesah. Menjadi seseorang yang tidak akan pernah membuat kamu sendirian. Sungguh! Demi langit! Kamu tidak akan pernah sendiri, Ify! Karena untuk itulah aku ada. Untuk senantiasa menemanimu.”

Ify memejamkan mata ketika Gabriel lancar sekali mengutarakan kalimat-kalimat indah itu. Apa? Bagaimana mungkin ia pernah suatu kali mengganggap Gabriel telah mengkhianatinya? Kalau kalimat itu saja, diucapkan dengan begitu tulus. Percayalah! Seluruh penghuni langit bergetar mendengarnya.

Maka sejak sore itu, Ify berjanji untuk selalu berbaik sangka pada Gabriel. Tidak akan menuduhnya macam-macam. Ia mempercayakan seluruh hatinya untuk dijaga dengan baik oleh pemuda itu. Bahkan ketika ia nanti sudah tidak dapat melihat lagi, ia akan tetap percaya bahwa Gabriel tidak akan berlari menjauh lantas meninggalkannya. Hatinya akan melihat bahwa Gabriel sungguh benar-benar mencintainya dengan tulus.

Walau pada akhirnya, kelak suatu hari nanti hatinya pun akan melihat bahwa hati yang dicintainya telah terbelah.

***


Rio menggigit roti selai coklatnya dengan bersemangat. Menelannya sampai habis. Lalu setelah itu, meneguk segelas susu.

Mami yang duduk di seberang meja menatap putranya heran. Mengapa hari ini pemuda itu nampak begitu bersemangat? Ah, bukan hanya hari ini. Hari-hari sebelumnya pun begitu. Padahal, yang Mami tahu putra sematawayangnya itu pemalas sekali. Jam segini, masih berkutat dengan guling dan selimut. Tidak akan bangun sebelum Mami mengomel. Tapi sekarang? Ah, pemuda itu sudah rapi dengan seragam sekolahnya.

“Ehm…” Mami berdeham. Membersihkan tenggorokannya dari sisa-sisa roti yang baru ditekannya. “Mami kok merasa ada yang berubah ya dari kamu. Kamu ga apa kan?”

Rio menyeringai. Mengambil sepotong roti yang sudah diolesi selai dari piring Mami. Membuat wanita itu memelototi Rio. Habis, Rio tidak tega membiarkan roti itu menganggur di piring Mami. Kasihan.

“Kamu sekarang, jadi lebih rajin. Lebih semangat sekolah. Beberapa kali, Mama mergoki kamu lagi belajar. Ada apa?”

“Rio kan calon dokter. Ya harus rajin dan semangat dong.” Rio mengangkat alisnya secara bergantian.

Mami ternganga. Dokter? Rio? Jangan bercanda! Lelucon yang tidak lucu. Mami memutar kedua bola mata.

“Duuhh, Mami ga percaya? Lihat aja nanti deh! Nanti, Rio bakalan jadi dokter kaya Mami. Eh ga deng. Rio akan jadi dokter yang lebih hebat daripada Mami. Kalau Mami Cuma jadi dokter mata, Rio akan jadi dokter hidung, telinga, jantung, hati, kulit, semuanya deh. Haha.” Rio mencomot telunjuknya yang terkena lelehan selai.

“Rioooooo…” Mami meneguk ludah. Tak percaya.

***

Pagi ini, Rio berangkat ke sekolah dengan menumpang bis. Ia sengaja tidak membawa motor atau mobil. Ingin juga merasakan sensasi dari menaiki bis. Ternyata, cukup menantang. Panas dan sesak. Rio mendapat tempat duduk di dekat jendela.

Pemuda tampan itu mengeluarkan kamera dari tasnya. Melihat ratusan gambar yang berhasil ia potret. Dan objek dari setiap gambar itu selalu orang yang sama. Seorang gadis imut bertubuh mungil dan berhidung mancung. Ify. Ya, semuanya potret Ify. Ify tengah mengerjakan latihan soal. Ify tengah menyeruput minuman kaleng. Ify tengah riang menangkap bola. Ify tengah bersama Gabriel. Sayang, tidak ada potret Ify tengah bersamanya. Setelah ia tahu bahwa berdekatan dengan Ify akan menjadi hal yang tabu, ia perlahan menarik dirinya agar menjauh. Ia tidak ingin mengganggu kebahagiaan Ify. Ia memilih untuk membuntuti gadis itu dari jauh. Dari tempat yang takkan gadis itu tahu. Ah ya, gambar-gambar tadi diambil tanpa izin dan sepengetahuan Ify. Kalau Rio tidak bisa mencuri hati Ify, maka yang bisa ia lakukan hanya mencuri pandang untuk dapat mengkristalkan segala gerak-gerik gadisnya. Untuk suatu saat ia tilik dengan seksama.

Rio telah sampai di sekolah. Ia langsung menuju mading. Tidak ke kelas karena kegiatan belajar-mengajar telah usai. Ia memastikan bahwa nilai-nilainya telah tuntas. Tidak ada yang perlu diperbaiki. Dan Gotcha! Ia lolos dari jeratan remedial. Pemuda itu berseru senang.

“Heh! Tumben ga diremedial!” celetuk seorang gadis dari belakang.

Julio mengulum bibir. Kurang ajar ya! Apa gadis itu tidak tahu kalau Rio sekarang sudah membuang atribut malasnya. Sekarang, dia sudah menjelma menjadi Rio yang rajin.

Pemuda tampan itu membalikkan tubuhnya dengan dongkol. Mau memarahi habis-habisan gadis tidak sopan tadi. Ketika akhirnya ia bungkam mendapati Oiklah yang baru saja berbicara seenak udelnya.

“Gitu banget ya sama gue! Gue kan juga bisa pintar kali. Emang Gabriel sama Ify doang. Lihat deh besok. Rapor gue pasti kece. Ya kaya gue!” ujar Rio agak sedikit sebal.

“Hahaha. Oke oke! Gue percaya!” Oik menepuk bahu Rio. “Kantin yuk!” gadis itu melintas di hadapan Rio.

“Eh?” Rio bergerak cepat menyusul Oik. Mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu. Bersama-sama menuju kantin.

“Gue ga ngerti ya kenapa semua orang yang ada di sekitar gue pada berubah.” Oik menggembungkan pipinya. Duduk di salah satu kursi. Diikuti Rio yang duduk di sebrangnya,

“Di sekitar lo power ranger semua kali.”

“Rioooooo! Please!” gadis itu memutar kedua bola mata. “Lo berubah. Lo sekarang jadi rajin. Gue sih ga keberatan. Tapi yang gue heran, kenapa lo sekarang jadi ngejauhin kita? Iya. Gue, Gabriel , sama Ify. Ada masalah?”

Rio menatap Oik serius. Beberapa detik hingga pada akhirnya pemuda itu tertawa terbahak-bahak. “Hahaha, perasaan doang kali! Oh iya deh! Sorry gue selingkuh. Habis, buku-buku pelajaran lebih seru daripada kalian. Ah Oik, gue kan sibuk belajar.” Pemuda itu menepuk-nepuk meja.

Oik mengelus dada. Sabar ya Oik! Rio memang rada-rada.

“Oke! Bukan cuma lo. Ify sama Gabriel juga. Kayaknya mereka lagi ada masalah deh.”

Rio  terkesiap mendengar nama Ify beserta Gabriel disebut. Ada masalah? Apa? Bukankah mereka selalu terlihat mesra? Ah, Rio ternyata tertinggal banyak hal. Bukan hanya tentang  mendapatkan hati Ify.

“Gue sih curiganya sama Sivia.” ujar Oik. Sempurna membuat Rio terbatuk. Pemuda itu menatap gadis di hadapannya heran. Menunggu kelanjutan ucapan Oik.

“Gue takut,  Gabriel bakalan ninggalin Ify karena Sivia.”

Bagai tersambar tegangan listrik ribuan volt, Rio terkejut bukan main. Ah, mengapa ia baru teringat hal itu sekarang? Dan itu pun karena Oik. Harusnya Rio selalu ingat, betapa dulu Gabriel begitu mencintai Sivia. Jadi kemungkinan mereka untuk kembali berdua selalu bisa terjadi kapan saja.

‘Gue udah relain Ify buat lo. Jangan sampai gue nyesel udah lakuin itu!’ Rio merutuk dalam hati. Berjanji, ketakutan Oik tidak akan terjadi. Pemuda itu mengepalkan tangannya kuat-kuat.

***