Lebih Dari Plester part 16B
Sivia
tidak pernah bercita-cita menjadi seorang penjahat. Mengambil sesuatu yang
sebenarnya telah menjadi hak orang lain. Tapi ia bisa apa. Perasaan cinta yang
ia punya terlalu besar. Membutakan logikanya. Menumpulkan hati kecilnya.
Mungkin,
selingkuh tidak ada salahnya. Selama ia bisa menutupnya dengan rapat, sah-sah
saja sepertinya. Selama itu, ia tidak menyakiti hati siapa pun, bukan?
Tapi
sampai kapan ia menyembunyikan segalanya? Apakah ia akan kuat bertahan dengan
statusnya yang hanya sebuah rahasia?
Gadis
cantik itu memejamkan mata. Mendesah kelewat berat. Meski satu sisi hatinya
memberikan restu untuk ia terus melanjutkan kejahatan ini, namun bagian hatinya
yang lain keras menolak. Apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan besar.
Karena semakin lama kebusukan itu ia pendam, maka semakin pedih pula luka yang
akan diterimanya. Ah ternyata, ia bukan hanya akan menyakiti hati orang lain.
Ia justru tengah menyiksa dirinya sendiri.
Dan
ketika ia bergumul dengan kegundahan, peristiwa tadi siang tanpa permisi
berkelebat menghampiri otaknya yang sedang kacau. Peristiwa yang membuat ia
terlempar pada sebuah kenyataan, bahwa dirinya sudah tertinggal sangat jauh di
belakang.
Bahwa
ketika Gabriel tidak sengaja menjatuhkan dompetnya, saat itulah Sivia tahu. Terdapat
dalam dompet itu secarik kertas pengkristal sebuah kejadian. Tahu maksudnya?
Sebuah foto. Ya. Dalam foto itu, Gabriel tengah mesra merangkul Ify yang lucu
mengulum bibir. Melihat foto itu saja, telah cukup membuat hatinya patah.
Ditambah lagi dengan apa yang ia dapati selanjutnya. Mereka mengenakan kaos
yang sama. Ah, sungguh serasi mereka. Sivia memegangi dadanya yang berdenyut
memilukan. Tangan yang lain ia gunakan untuk mencengkram dompet laknat itu
kuat-kuat penuh kebencian.
“Wanna
drink a cup of tea?”
Sivia
hampir saja mencelat dari kursinya
ketika mendengar celetukan yang terlalu mengejutkan. Gadis itu mengerjap.
Mendongak melihat wajah seorang pemuda yang kemudian ikut duduk di sampingnya.
Pemuda itu tersenyum. Meletakan secangkir kopi di atas meja, dan satu cangkir
lain masih ada di tangannya untuk kemudia ia sesap isinya.
“No,
thanks. I just…” Sivia mengulum bibirnya sejenak. Entah apa yang harus
dikatakannya pada Cakka, pemuda yang sedang asyik menikmati tehnya. Apakah ia
harus jujur padanya? Ah atau mungkin, Cakka telah mengetahui semuanya sebelum
ia memberitahunya? Mengingat pemuda itu entah mengapa selalu saja tahu apa pun
tentangnya. Sivia akhirnya memilih diam. Bungkam.
Cakka
pun sesungguhnya tahu apa yang menjadi alasan dari kegundahan gadis di
sebelahnya. Apa yang membuat gadis itu bertingkah aneh selama beberapa pekan
terakhir. Gerak-geriknya seperti seseorang yang tengah menutupi sebuah
kejahatan. Ah iya, gadis berwajah bidadari itu memang tengah melakukan
kejahatan paling jahat. Kejahatan hati.
Cakka
mungkin bisa berpura-pura tidak tahu. Cukup fokus dengan dirinya saja. Tapi
semuanya berubah ketika ia mengenal Ify. Gadis polos itu teramat baik jika
hanya untuk disakiti. Mungkin saat ini belum. Tapi nanti? Ketika semuanya
berubah menjadi begitu transparan. Bagaimanalah hati gadis itu? Akan
ditemukannya lagikah senyum riang gadis di setiap harinya?
Cakka
ingat sebuah percakapannya dengan Ify pada suatu hari. Percakapan yang dilatar
belakangi sebuah kebetulan. Kebetulan saat itu, Cakka tengah duduk terpekur
sendirian di bangku taman belakang sekolah. Dan dengan gaya khasnya, Ify datang
menghampirinya. Menawarkan diri untuk menjadi teman berbagi. Tapi bukannya
Cakka yang bercerita, malah sebaliknya. Ify yang lebih banyak bercerita. Tentang
masa kecilnya yang menyenangkan. Tentang sekolahnya di Bandung yang
menyenangkan. Dan dengan cerita-cerita menyenangkan lainnya. Ah, hidup gadis
itu selalu bergelimang kesenangan.
Hingga
akhirnya, Ify sampai pada kisah cintanya yang klasik namun menarik. Ia
mengatakan pada Cakka, bahwa dulu tidak pernah terlintas di otaknya untuk bisa
menjalin hubungan dengan Gabriel. “Gabriel itu galak. Ify sering dibentak. Ify
pernah berdarah karenanya. Pokoknya, dia kaya dinosaurus.” begitu tutur Ify
ketika ditanya alasannya mengapa.
“Tapi,
ternyata Gabriel adalah pemuda yang bertanggung jawab. Dia mengobati luka di
wajah Ify. Dia juga baik. Memberikan Ify boneka dinosaurus dan sebuah kalung
yang cantik. Juga gelang ini.” Ify menunjukan pergelangan tangannya yang dililit
sebuah gelang beraksen kepala dinosaurus. Kemudian melanjutkan. “Gabriel
memperkenalkan banyak hal pada Ify. Pada dinosaurus. Pada sepakbola. Pada cara
mencintai dengan sederhana.”
“Ify
mencintai Gabriel?” tanya Cakka.
Gadis
itu menghela nafas, tersenyum kemudian mantap berkata, “Ify mencintai Gabriel,
seperti Ify mencintai mata Ify. Sangat sederhana.”
Dan
setelah mendengar kalimat menggetarkan itulah, Cakka tahu banyaknya cinta Ify
untuk Gabriel melebihi volume air laut di seluruh bumi ini. Dan begitu
berharganya Gabriel untuk Ify. Mensejajarkannya dengan sepasang mata. Seakan
jika tidak ada, maka ia akan buta. Kehilangan seluruh kebahagiaan hidunya.
Lantas
mana mungkin Cakka membiarkan Ify kehilangan sepasang matanya, sementara ia
sendiri melihat dengan jelas-jelas, seseorang tengah dalam proses mencokel mata
itu dari kelopaknya. Sejahat itukah dirinya pada Ify? Yang bahkan dianggap
gadis itu seorang malaikat. “Cakka baik
sekali. Ify kira malaikat itu punya sayap dan punya lingkaran halo di atas
kepalanya. Ternyata, malaikat Ify justru cowok keren dan tampan. Iya, Cakka seperti
malaikat untuk Ify.” Cakka mendesah berat. Ia tidak akan pernah tega.
Baiklah! Mulai saat ini, ia akan bersikap tegas pada Sivia. Gadis itu terlalu
baik untuk menjadi seorang penjahat.
***
"Sudah siap?" Gabriel bertanya setelah Ify menaiki motor Gabriel.
Gadis itu meletakkan tangannya di pinggang Gabriel. Berpegangan.
Ify mengangguk cepat. Helmnya yang agak longgar terantuk pada punggung
Gabriel. Gadis itu antusias sekali dengan ajakan Gabriel. Sekaligus terkejut,
mengingat pertengkaran yang cukup hebat antara mereka dua hari yang lalu. Ify
kira, Gabriel takkan mau lagi bertemu dengannya. Tapi sore ini, perkiraan itu
terpatahkan.
Gabriel mulai melajukan motornya. Menerabas sore yang masih terik. Dengan
matahari yang masih superior bersinar. Merasa agak canggung dengan Ify yang
melingkarkan kedua tangannya. Gabriel sangka, Ify tidak mau menerima ajakannya.
Mengingat dua hari yang lalu, ia telah membuat Ify menangis tersungkur. Namun
prasangka itu kini terbantahkan.
Ify dan Gabriel sudah sampai di lapangan pinggiran kota. Ify langsung
menjerit tepat ketika kakinya menjejak tanah lapangan yang lembek. Sisa dari
hujan yang semalaman membungkus kota. Ia tidak menyangka dapat kembali lagi ke
tempat itu. Kalau begitu, ia bisa bermain sepakbola dan berperang lumpur lagi
bersama Ray. Ah ya, bocah itu kemana ya? Mengapa batang hidungnya tidak nampak
sama sekali? Ah. Sore ini lapangan sepi. Ray dan anak-anak lain raip entah
kemana. Ify mengeluh tertahan. Kalau sepi, kan tidak seru. Gadis itu menunduk
lemah.
Gabriel mendapati Ify yang merubah ekspresi wajahnya menjadi murung. Pemuda
itu tersenyum miring. Melangkah mendekati gadisnya.
"Ada apa?" tanya Gabriel. Sebisa mungkin mencairkan kebekuan suasana
antara mereka.
Ify terkesiap. Mendongakan kepala menatap Gabriel. Ia memicingkan mata. Agak
silau dengan sinar matahari yang jatuh pada wajah pemudanya. Ify kemudian
menoleh lagi ke depan.
"Ray mana? Anak-anak yang lain mana? Kalau tidak ada mereka, lebih baik
kita pulang saja." cicit Ify pelan.
Gabriel mendesah kentara. Ia menyisir seluruh sudut lapangan. Mengucapkan
mantra berulang-ulang dalam hati. Datanglah! Datanglah! Datanglah! Tak sejurus
pun berhenti. Sampai akhirnya, yang ia tunggu datang. Ray. Bocah yang sudah
diwanti-wantinya untuk dapat bekerja sama memberikan kejutan untuk Ify. Bocah
itu berlari seraya menarik layang-layang dinosaurus jumbo yang sangat keren.
Sama persis dengan layang-layang yang -ingin dilihat Ify tempo lalu.
"Kak Ifyyyyyyy!" Ray berteriak memanggil Ify. Tubuhnya sedikit
oleng karena angin yang terlalu kuat menerpa layangan yang dibawanya.
Ify mengerjap. Menoleh ke sumber suara. Senyum langsung tersungging di
wajahnya. "Ray?" Ia langsung berlari memburu Ray. Memeluk sayang
bocah itu.
"Kak, ini untuk kakak. Dari Kak Gabriel." Ray menyerahkan gulungan
benang yang tersambung pada layang-layang yang masih menari-nari di udara.
Gadis itu meraih gulungan benang dengan terbata. Lantas mendongak dan
mendapati sebuah layang-layang yang sangat besar berenang-renang membelah
langit. Ekornya bergoyang menggemaskan.
“I-Ify
suka?” Gabriel melangkah patah-patah mendekati Ify.
Ify
terkesiap. Lalu berpaling menatap Gabriel. Yang ditatapi nampak gugup dan salah
tingkah. Tak tahan untuk tidak membuat Ify terkikik geli. Gadis itu kemudian
menghambur memeluk Gabriel. Memekik girang tepat pada lubang telinga pemuda
itu.
“AAAAAA!!!
IFY SUKA SEKALI!!!! KEREEEENNN!!!!”
Gabriel
melingkarkan kedua tangannya untuk balas memeluk Ify. Tak peduli telinganya
pekak mendengar jeritan Ify yang sudah seperti mercon tahun baru. Ia terlalu
senang mendapati respon Ify yang sangat baik terhadap hadiahnya. Dan soal
pekikan itu, Gabriel ternyata merindukan suara melengking gadisnya. Sudah lama
tidak didengarnya. Akhir-akhir ini, gadis itu memang berubah menjadi agak lebih
pendiam. Tidak secerewet biasanya.
Pemuda
itu tak menyadari, bahwa perubahan Ify terjadi karena ia sendirilah yang
berubah. Terlalu sering mengabaikan Ify, membuat gadis itu lelah bercerita.
Untuk apa? Toh, ia diacuhkan begitu saja.
Gabriel
lalu mengangkat tubuh mungil Ify. Membawanya melayang berputar-putar. Membuat
sang layang-layang turut berputar di atas mereka.
“Aduhhhh
Gabrieelll! Hahaha!” gelak tawa Ify pecah seketika. Ify lupa bahwa sebelumnya
atmosfer ketegangan menyelimuti mereka. Yang ia tahu saat ini adalah, ia sangat
bahagia.
“Duhh,
kesenengan ya kamu. Udah ah berat!” Gabriel menurunkan Ify. Mengulum bibir.
Berpura-pura merajuk.
“Mana
ada.” Ify mencubit perut Gabriel. Membuat pemuda itu mengaduh kesakitan.
Rafi
tersenyum menyeringai. Menjawil pucuk hidung bangir Ify. Membuat gadis itu
langsung tersipu. Pipi pualamnya sempurna menyemburatkan wana kemerahan.
“Kak
Gabriel, Kak Ify, layang-layangnya mau jatuh.”
Suara
renyah seorang bocah laki-laki membuat Gabriel maupun Ify terperanjat. Keduanya
lupa bahwa di sana ada Ray. Jadi, semua adegan romantis tadi disaksikan bocah
berusia enam tahun itu? Aduh! Kan tidak boleh. Gabriel tersenyum meringis.
Merogoh selembar uang kertas berwarna biru dari saku celananya. Memberikannya
pada Ray.
“Kamu
pergi dulu ya! Lapangannya kakak sewa dulu sampai besok.” Gabriel berbisik pada
Ray. Bocah kecil itu mengangguk mengerti. Lantas segera bergegas pergi.
Beres!
Gabriel menjentikan jarinya. Tersenyum menyeringai.
“Ray
diapakan? Diusir?” tanya Ify menyelidik.
Gabriel
hanya mengangkat bahu tak acuh. Lantas merebut gulungan benang dari tangan Ify.
Mengambil alih kendali layang-layang agar membumbung jauh tinggi ke angkasa.
Sempurna membuat Ify hanya melongo melihat aksinya. Sangat lihai menarik-ulur
sang benang. Melesakkan layang-layang keren itu menembus bentangan langit.
Bergabung bersama gerombolan burung yang tak henti melenguh merdu. Berpadu
bersama semilir angin menjadi sebuah orchestra alam yang menakjubkan.
Layang-layang
berbentuk dinosaurus itu kian meninggi. Ify mendongak. Memicingkan mata. Ify
ternganga karena terkagum menyaksikannya. Itulah tarian paling indah yang
pernah ditontonnya. Tarian layang-layang. Gadis itu menarik ujung-ujung
bibirnya ke atas. Mengucap segunung syukur. Ia masih diberikan kesempatan untuk
dapat melihat layang-layang berbentuk dinosaurus itu. Ternyata, Gabriel memang
tidak pernah berbohong. Layang-layang itu memang sungguh keren. Ify saja jatuh
cinta. Dan untuk semiliyar kalinya, Ify pun jatuh cinta pada pemuda yang sama.
Dia, tidak pernah berubah. Selalu melunasi seluruh janjinya. Selalu menjadi
matanya yang dapat membuat Ify melihat banyak hal. Termasuk tarian
layang-layang.
Namun
ketika layang-layang itu kian meninggi, makan semakin buramlah terlihatnya oleh
mata Ify. Beberapa jurus kemudian bahkan sempurna tidak terlihat. Ify mengeluh
tertahan. Sudahlah! Jangan bersedih Ify! Gadis itu mengupahi dirinya sendiri.
Bukankah tadi ia sudah melihatnya? Apa tidak cukup? Jangan serakah! Semuanya
sudah teramat cukup untuk dapat membuktikan bahwa dirinya masih berarti untuk
Gabriel. Belum –dan ia berharap tidak akan- tergantikan oleh gadis mana pun.
Tidak juga Sivia. Ify mengerjap. Entah mengapa, gadis itu terlintas di otaknya.
Ify
lalu menyusupkan lengannya pada pinggang Gabriel. Lantas mendaratkan kepalanya
pada bahu sang pemuda. Menatap langit yang ia yakin masih menjadi lautan tempat
layang-layang itu berlayar. Membiarkan pemudanya terus beraksi. Sementara ia
sendiri, menangis dalam diam. Tahu, semakin hari, kedua matanya semakin
kehilangan fungsi.
“Ini
hanya bagian kecil dari perwujudan semua janji aku. Masih banyak sekali yang
akan aku lakukan untuk kamu. Menjadi matamu. Menjadi seseorang yang tidak akan
menolak untuk menjadi sandaran kamu, menjadi tempat kamu berkeluh kesah.
Menjadi seseorang yang tidak akan pernah membuat kamu sendirian. Sungguh! Demi
langit! Kamu tidak akan pernah sendiri, Ify! Karena untuk itulah aku ada. Untuk
senantiasa menemanimu.”
Ify
memejamkan mata ketika Gabriel lancar sekali mengutarakan kalimat-kalimat indah
itu. Apa? Bagaimana mungkin ia pernah suatu kali mengganggap Gabriel telah
mengkhianatinya? Kalau kalimat itu saja, diucapkan dengan begitu tulus.
Percayalah! Seluruh penghuni langit bergetar mendengarnya.
Maka
sejak sore itu, Ify berjanji untuk selalu berbaik sangka pada Gabriel. Tidak
akan menuduhnya macam-macam. Ia mempercayakan seluruh hatinya untuk dijaga
dengan baik oleh pemuda itu. Bahkan ketika ia nanti sudah tidak dapat melihat
lagi, ia akan tetap percaya bahwa Gabriel tidak akan berlari menjauh lantas
meninggalkannya. Hatinya akan melihat bahwa Gabriel sungguh benar-benar
mencintainya dengan tulus.
Walau
pada akhirnya, kelak suatu hari nanti hatinya pun akan melihat bahwa hati yang
dicintainya telah terbelah.
***
Rio
menggigit roti selai coklatnya dengan bersemangat. Menelannya sampai habis.
Lalu setelah itu, meneguk segelas susu.
Mami
yang duduk di seberang meja menatap putranya heran. Mengapa hari ini pemuda itu
nampak begitu bersemangat? Ah, bukan hanya hari ini. Hari-hari sebelumnya pun
begitu. Padahal, yang Mami tahu putra sematawayangnya itu pemalas sekali. Jam
segini, masih berkutat dengan guling dan selimut. Tidak akan bangun sebelum
Mami mengomel. Tapi sekarang? Ah, pemuda itu sudah rapi dengan seragam
sekolahnya.
“Ehm…”
Mami berdeham. Membersihkan tenggorokannya dari sisa-sisa roti yang baru
ditekannya. “Mami kok merasa ada yang berubah ya dari kamu. Kamu ga apa kan?”
Rio
menyeringai. Mengambil sepotong roti yang sudah diolesi selai dari piring Mami.
Membuat wanita itu memelototi Rio. Habis, Rio tidak tega membiarkan roti itu
menganggur di piring Mami. Kasihan.
“Kamu
sekarang, jadi lebih rajin. Lebih semangat sekolah. Beberapa kali, Mama mergoki
kamu lagi belajar. Ada apa?”
“Rio
kan calon dokter. Ya harus rajin dan semangat dong.” Rio mengangkat alisnya
secara bergantian.
Mami
ternganga. Dokter? Rio? Jangan bercanda! Lelucon yang tidak lucu. Mami memutar
kedua bola mata.
“Duuhh,
Mami ga percaya? Lihat aja nanti deh! Nanti, Rio bakalan jadi dokter kaya Mami.
Eh ga deng. Rio akan jadi dokter yang lebih hebat daripada Mami. Kalau Mami
Cuma jadi dokter mata, Rio akan jadi dokter hidung, telinga, jantung, hati,
kulit, semuanya deh. Haha.” Rio mencomot telunjuknya yang terkena lelehan
selai.
“Rioooooo…”
Mami meneguk ludah. Tak percaya.
***
Pagi
ini, Rio berangkat ke sekolah dengan menumpang bis. Ia sengaja tidak membawa
motor atau mobil. Ingin juga merasakan sensasi dari menaiki bis. Ternyata,
cukup menantang. Panas dan sesak. Rio mendapat tempat duduk di dekat jendela.
Pemuda
tampan itu mengeluarkan kamera dari tasnya. Melihat ratusan gambar yang
berhasil ia potret. Dan objek dari setiap gambar itu selalu orang yang sama.
Seorang gadis imut bertubuh mungil dan berhidung mancung. Ify. Ya, semuanya
potret Ify. Ify tengah mengerjakan latihan soal. Ify tengah menyeruput minuman
kaleng. Ify tengah riang menangkap bola. Ify tengah bersama Gabriel. Sayang,
tidak ada potret Ify tengah bersamanya. Setelah ia tahu bahwa berdekatan dengan
Ify akan menjadi hal yang tabu, ia perlahan menarik dirinya agar menjauh. Ia
tidak ingin mengganggu kebahagiaan Ify. Ia memilih untuk membuntuti gadis itu
dari jauh. Dari tempat yang takkan gadis itu tahu. Ah ya, gambar-gambar tadi
diambil tanpa izin dan sepengetahuan Ify. Kalau Rio tidak bisa mencuri hati
Ify, maka yang bisa ia lakukan hanya mencuri pandang untuk dapat mengkristalkan
segala gerak-gerik gadisnya. Untuk suatu saat ia tilik dengan seksama.
Rio
telah sampai di sekolah. Ia langsung menuju mading. Tidak ke kelas karena
kegiatan belajar-mengajar telah usai. Ia memastikan bahwa nilai-nilainya telah
tuntas. Tidak ada yang perlu diperbaiki. Dan Gotcha! Ia lolos dari jeratan
remedial. Pemuda itu berseru senang.
“Heh!
Tumben ga diremedial!” celetuk seorang gadis dari belakang.
Julio
mengulum bibir. Kurang ajar ya! Apa gadis itu tidak tahu kalau Rio sekarang
sudah membuang atribut malasnya. Sekarang, dia sudah menjelma menjadi Rio yang
rajin.
Pemuda
tampan itu membalikkan tubuhnya dengan dongkol. Mau memarahi habis-habisan
gadis tidak sopan tadi. Ketika akhirnya ia bungkam mendapati Oiklah yang baru
saja berbicara seenak udelnya.
“Gitu
banget ya sama gue! Gue kan juga bisa pintar kali. Emang Gabriel sama Ify
doang. Lihat deh besok. Rapor gue pasti kece. Ya kaya gue!” ujar Rio agak
sedikit sebal.
“Hahaha.
Oke oke! Gue percaya!” Oik menepuk bahu Rio. “Kantin yuk!” gadis itu melintas
di hadapan Rio.
“Eh?”
Rio bergerak cepat menyusul Oik. Mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu.
Bersama-sama menuju kantin.
“Gue
ga ngerti ya kenapa semua orang yang ada di sekitar gue pada berubah.” Oik menggembungkan
pipinya. Duduk di salah satu kursi. Diikuti Rio yang duduk di sebrangnya,
“Di
sekitar lo power ranger semua kali.”
“Rioooooo!
Please!” gadis itu memutar kedua bola mata. “Lo berubah. Lo sekarang jadi
rajin. Gue sih ga keberatan. Tapi yang gue heran, kenapa lo sekarang jadi ngejauhin
kita? Iya. Gue, Gabriel , sama Ify. Ada masalah?”
Rio
menatap Oik serius. Beberapa detik hingga pada akhirnya pemuda itu tertawa
terbahak-bahak. “Hahaha, perasaan doang kali! Oh iya deh! Sorry gue selingkuh.
Habis, buku-buku pelajaran lebih seru daripada kalian. Ah Oik, gue kan sibuk
belajar.” Pemuda itu menepuk-nepuk meja.
Oik
mengelus dada. Sabar ya Oik! Rio memang rada-rada.
“Oke!
Bukan cuma lo. Ify sama Gabriel juga. Kayaknya mereka lagi ada masalah deh.”
Rio terkesiap mendengar nama Ify beserta Gabriel disebut.
Ada masalah? Apa? Bukankah mereka selalu terlihat mesra? Ah, Rio ternyata
tertinggal banyak hal. Bukan hanya tentang
mendapatkan hati Ify.
“Gue
sih curiganya sama Sivia.” ujar Oik. Sempurna membuat Rio terbatuk. Pemuda itu
menatap gadis di hadapannya heran. Menunggu kelanjutan ucapan Oik.
“Gue
takut, Gabriel bakalan ninggalin Ify
karena Sivia.”
Bagai
tersambar tegangan listrik ribuan volt, Rio terkejut bukan main. Ah, mengapa ia
baru teringat hal itu sekarang? Dan itu pun karena Oik. Harusnya Rio selalu
ingat, betapa dulu Gabriel begitu mencintai Sivia. Jadi kemungkinan mereka
untuk kembali berdua selalu bisa terjadi kapan saja.
‘Gue
udah relain Ify buat lo. Jangan sampai gue nyesel udah lakuin itu!’ Rio merutuk
dalam hati. Berjanji, ketakutan Oik tidak akan terjadi. Pemuda itu mengepalkan
tangannya kuat-kuat.
***