Dongeng

Minggu, 23 Juni 2013

Dongeng



Aku menyampaikannya. Karena aku pikir, waktuku telah habis untuk menyimpan semuanya sendirian. Dengan segala kerendahan hati aku persembahkan rasa ini. Yang telah ku sembunyikan bahkan sebelum kamu tahu ada aku di sekitarmu.

***

Ify tidak suka pada keramaian. Karena
berada di tengahnya membuat ia merasa asing. Mungkin karena gadis itu cenderung introvert. Atau mungkin karena alasan lain. Seperti keharusannya ia untuk menjadi orang lain. Bukan Ify yang sebenarnya. Entahlah. Yang jelas, Ify tidak menyukainya.

Namun ternyata Ify lebih tidak suka pada keheningan. Sunyi membuatnya selalu ingin kembali. Hening memaksanya untuk bergeming. Sepi menjebaknya pada rekam memori. Yang takkan pernah sanggup untuk ia ingkari. Hingga mungkin akan dibawanya sampai mati.

Bersama deru bus antar kota yang sedang ditumpanginya, Ify mendesah kentara. Mengeluarkan sebuah bundelan kusam dari tasnya. Lantas membukanya. Ia ternganga. Sama sekali tidak percaya.

***

Aku manusia. Aku boleh jatuh cinta. Tapi bolehkah aku jatuh cinta padamu?

*

Brukkk!

Ify terperanjat ketika sebuah bola sepak menghantam lengannya, membuat lengannya sakit dan barang-barang bawaannya terjatuh lantas berserakan di lantai. Entah siapa yang menendangnya. Namun tak berapa lama, ia segera menunduk dan memunguti barang-barangnya.

"Sorry ya ga sengaja!" ujar seorang pemuda yang tidak lain adalah oknum penendang bola. Pemuda itu toh hanya melewati Ify. Mengambil bolanya. Tidak ada niatan untuk membantu Ify membereskan barangnya yang kelewat banyak itu.

Ify hanya bergumam pelan. Agak kesal sebenarnya mendapati ponselnya juga ikut terjatuh. Ponselnya sih baik-baik saja. Tapi gantungannya itu loh. Sebuah gantungan berbentuk lumba-lumba yang terbuat dari kaca, patah menjadi dua. Errr. Itu kan lumba-lumba kesayangannya.

"Yel! Cepetan napa ambil bolanya? Lama amat!" teriak seseorang dari tengah lapangan. Ify tertegun sebentar. Lalu seakan sudah hapal dengan suara itu, ia tersenyum. Mendongak dan menoleh ke tengah lapangan. Benar. Memang dia. Mario Stevano. Kerap disapa Rio. Salah satu pemain sepakbola andalan sekolah.

"Ah elu Yo! Elo yang nendang, gue yang susah! Rese lo!" ujar pemuda yang mengambil bola. Dengan bersungut-sungut, ia kembali ke lapangan. Menyambangi Rio yang malah menertawakannya. Gigi gingsul menggelikan nampak kentara begitu ia tertawa.

Ify tersenyum menyeringai. Menyentuh lengan yang tadi berdenyut menyakitkan sekarang terasa hangat dan menyenangkan. Ah tentu saja. Rio yang menendang, bukan? Karena bagi Ify, apa yang dilakukan Rio selalu menyenangkan. Bukankah Rio adalah idolanya? Pemuda yang sejak ia pertama masuk sekolah dikaguminya? Tidak. Lebih dari itu ternyata. Ify telah jatuh cinta pada Rio sejak saat itu. Sejak pertama Ify melihatnya, Rio sudah mencium hatinya.

***

Aku hanya berani memimpikan sosokmu. Tidak pernah lebih.

*

Waktu itu tak sengaja, entah karena apa, Rio nampak bermain sepakbola sendirian. Sedangkan Ify masih harus menjelajahi perpustakaan untuk mencari beberapa buku yang akan dijadikannya referensi untuk membuat karya tulis.

Dan ketika hujan tiba-tiba datang, Rio segera menepi. Ia berlari menuju gedung perpustakaan yang berhadapan langsung dengan lapangan. Tepat ketika Ify keluar dari sana, dan tak sengaja juga mereka hampir bertabrakan.

"Eh?" Ify terkesiap. Hampir mencelat dan membanting bukunya ketika ia tahu siapa yang baru saja hampir menabraknya. Gadis itu mengatur napasnya yang tak beraturan ketika diciumnya aroma maskulin alami pemuda itu yang bersatu padu dengan wangi khas hujan. Dan itu membuatnya tahu, bahwa mereka berada dalam jarak yang begitu dekat. Sehingga Ify bisa melihat dengan jelas setiap lekuk pahatan sempurna pemuda itu. Tampan. Ya, Rio yang tampan.

"Sorry sorry!" Rio menepuk lengan Ify. Lalu menyingkir dan memberi Ify ruang untuk berjalan.

Ify mengangguk samar. Harus menahan napas ketika melangkah melalui pemuda itu. Tubuhnya terlihat sangat tegang. Namun akhirnya, ia bisa juga melewati pemuda itu.

"Tunggu!" ujar Rio, menahan lengan Ify. Seketika membuat Ify terkesiap lalu berbalik. Refleks menarik lengannya.

"Maaf." cicit Rio dengan perasaan bersalah. "Lo mau kemana?"

"Pulang." jawab Ify dengan teramat singkat.

"Yakin mau pulang saat hujan deras begini? Di sini aja dulu sama gue. Gue ga ada temen ngobrol. Ya?" pinta Rio.

Seakan tengah dihipnotis, Ify toh tidak menolak permintaan Rio untuk menemani pemuda itu mengobrol. Walau kebanyakan ia hanya menjadi pendengar. Tidak apa. Duduk berdampingan saja ternyata jauh lebih dari cukup. Tidak pernah terbayangkan olehnya.

Hujan sore itu dihabiskan Ify untuk menelan bulat-bulat profil tampan yang ternyata sangat cerewet itu. Untuk ia jadikan penawar ketika rindu, pembalut ketika terluka, penyembuh ketika sakit, dan penguat ketika lemah. Walau ternyata, itu semua tak cukup banyak untuk membuatnya bisa berhenti mengagumi sang pemuda. Tidak akan bisa. Walau hanya sekejap mata.

***

Aku berjanji, kamu akan tahu tentang rasa ini. Tapi bukan sekarang. Tidak juga esok atau lusa. Mungkin suatu hari. Boleh jadi aku sendiri tidak tahu kapan.

*

Esok harinya, peristiwa yang sama berulang. Rio berteduh dari hujan di depan perpustakaan lalu meminta Ify untuk mendengar ceritanya. Dan Ify kembali berkesempatan untuk menatap lekat-lekat wajah tampan yang begitu dikaguminya itu.

Esok berikutnya, tanpa kedatangan hujan pun, pemuda tetap menepi ke perpustakaan. Bercerita hal lain pada Ify. Entahlah. Ceritanya seperti tidak pernah habis setiap hari. Selalu menyuguhkan kisah yang berbeda pada Ify. Pemuda itu pendongen yang sangat baik.

Lagi-lagi esok semuanya terjadi kembali. Seperti sudah menjadi rutinitas, keniscayaan. Setiap hari terus terjadi. Layaknya sebuah kaset yang setiap hari tidak pernah bosan diputar.

Rio tidak pernah tahu, bahwa dongeng-dongengnya meneteskan harapan pada hati gadis itu. Harapan yang selalu berusaha dionggoknya karena tahu sekuat apa pun ia berusaha tidak akan pernah bisa diwujudkannya. Harapan agar sepanjang hidupnya ia bisa menikmati dongeng-dongeng lainnya dari pemuda itu yang ia pikir takkan ada habisnya.

Dan hingga pertemuan kesekian kalinya pun, Rio tidak pernah tahu. Ify menyimpan semuanya baik-baik. Ah tidak. Bahkan siapa Ify pun, pemuda itu tidak tahu. Berbanding terbalik dengan Ify yang tahu hampir semuanya tentang pemuda itu. Kedengarannya tidak adil memang. Tapi Ify menikmati ketidakadilan itu. Rio tidak perlu tahu tentang dirinya. Dia tidak cukup penting untuk diketahui Rio.

***

Aku masih bertahan. Tapi aku tidak tahu apa yang ku pertahankan.

*

"Lo tahu ga mimpi terbesar gue apa?" tanya Rio suatu hari, entah hari ke berapa. Ify bahkan tidak bisa lagi menghitungnya. Sudah begitu banyak.

Ify hanya menggeleng. Selalu itu tanggapannya. Menggeleng, mengangguk, bilang ya, bilang tidak. Repetitif.

"Gue pengen suatu hari nanti gue ketemu sama jodoh gue, tulang rusuk gue, istri gue. Seseorang yang akan ngasih gue anak-anak yang lucu. Dan setiap hari gue akan mendongeng buat mereka. Sebelum mereka berangkat sekolah, pulang sekolah, setelah mengerjakan PR, sebelum tidur, dan kapan pun mereka minta." ujar Rio, matanya terlihat berbinar.

Ify menoleh. Menatap takjub pada Rio. "Boleh, gue jadi tulang rusuk lo?" tanya gadis itu retoris, dalam hati tentu saja. Ia takkan pernah berani mengungkapkannya.

"Dan lo tahu, gue udah siapin banyak dongeng buat mereka. Dongeng eksklusif yang ga pernah siapa pun dengar di dunia ini. Semuanya khusus gue bikin buat istri dan anak-anak gue nanti."

Ify hampir saja menangis. Sakit sekali hatinya. Sadar dirinya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Dan dengan itu pula, ia takkan penah bisa mendengarkan dongeng-dongeng eksklusif yang ia yakin akan sangat menakjubkan itu.

"Kalau mimpi lo apa?"

Ify hampir saja mencelat dari tempat duduknya. Gadis itu menyingkirnkan sejumput rambut panjangnya ke belakang telinga. Lantas menghembuskan napas tertahan.

"Gue..." Ify menggigit bibir. "Mimpi gue sederhana kok. Cuma pengen lo tahu, gue suka sama lo. Gue ga memimpikan agar lo juga suka gue. Gue tahu diri." lanjut Ify dalam hati. Seperti biasa, ia tidak berani.

"Apa?"

"Eh? Ummm... Ga penting." ujar Ify singkat.

"Sekecil apa pun mimpi lo, itu selalu penting." ucap Rio pelan.

"Maksudnya, lo ga penting buat tahu."

Rio kemudian mendesah entah untuk alasan apa. Wajahnya berubah sendu juga entah karena apa.


***

"Lo datang kan pas acara perpisahan nanti?"

"Ga tahu. Gue kayaknya lagi sibuk ngurusin kuliah gue. Oh iya. Gue udah diterima di perguruan tinggi impian gue. Di Jakarta."

Rio mengatakan O tanpa suara. Lalu air mukanya berubah menjadi tidak bergairah. Senyum yang sebelumnya tersungging, perlahan hilang. Pupus.

***

Kalau bukan karena desakan Sivia, sahabatnya, Ify tidak akan sudi menghadiri acara perpisahan sekolahnya. Perpisahan kok dirayakan?

"Ini kesempatan terakhir lo! Lo harus bilang ke dia! Kalau enggak, lo bakalan nyesel. Seenggaknya, lo bisa memulai hidup lo yang baru di Jakarta dengan tenang, tanpa embel-embel perasaan lo ke dia."

Kalimat-kalimat itulah yang membuat Ify akhirnya bersedia menghadiri acara malam ini. Mendadak sekali. Tadi pagi ia menumpang sebuah kereta. Siang hari baru sampai. Beristirahat sebentar di rumah Sivia, dan malam harinya pergi ke tempat dihelatnya acara.

Dan Ify menuntaskannya sendiri malam itu. Dengan dukungan menggebu-gebu dari Sivia, ia memberanikan diri untuk menghampiri Rio, pemuda yang hingga tiga tahun terlewati masih saja ia cintai.

"Rio..." Ify menyentuh punggung Rio. Membuat pemuda itu refleks memutar tubuhnya.

Ify hampir saja terjengkang ketika Rio melompat merengkuh tubuhnya. Merasakan jantungnya berloncatan ketika dirasanya jantung Rio berdetak melebihi aturan. Dan tenggorokannya pun tercekat saat hangat hembusan napas sang pemuda menyapu salah satu sisi lehernya.

Dalam ketidakberdayaan, nyatanya Ify diam-diam masih terus berharap. Berharap bahwa waktu berhenti pada detik itu juga. Agar ia bisa membeku dalam pelukan pemudanya.

"Ify lo kemana aja? Gue kangen sama lo." Rio mengurai pelukannya. Meletakkan dua tangannya pada bahu Ify. "Lo tahu, gue libur mendongeng pas lo ga ada."

Ify tersenyum tipis. Agak kaget sebenarnya mendengar Rio menyebut namanya untuk kali pertama. Dengan halus ia menjauhkan kedua tangan Rio dari tubuhnya. "Sorry."

Rio terkesiap. Menggaruk belakang kepala entah untuk apa, padahal kepalanya sama sekali tidak gatal.

Ify menghela napas berat. Wajah tampan Rio agak banyak membuat nyalinya ciut. Hampir meruntuhkan niatannya. Tapi ia harus tetap melakukannya. Walau tujuannya tentu saja tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin terbuka, melepasnya, lalu dengan mudah melupakannya.

Dan karena tekad kelewat bulay itu, Ify pun memulainya. Memulai untuk mengakhirinya. "Yo, kalau ada pertanyaan siapa orang yang paling kurang ajar di dunia ini, itu gue, Yo! Ify Umari."

Rio mengerenyit bingung. Apa? Sama sekali tak mengerti.

"Iya. Kurang ajar banget ga sih gue? Gue berani-beraninya suka sama lo. Dan nyembunyiin itu selama hampir 3 tahun." ujar Ify cepat hanya dalam satu tarikan napas.

Rio cuma bisa menganga. Wajahnya berubah menjadi super pilon.

"Lo mau tahu mimpi gue apa? Yang bahkan waktu itu gue bilang lo ga penting untuk tahu. Mimpi gue cuma pengen lo tahu kalau gue cinta sama lo. Kayak hujan yang tahu kalau bumi selalu sedia menerima kedatangannya. Kayak bulan yang tahu selalu ada bintang yang menemaninya, bahkan ketika langit paling gelap sekalipun. Kaya musik yang tahu bahwa jutaan orang menikmatinya. Sesederhana itu, Yo!" Ify memegangi dadanya yang ia rasa menyempit hingga membuatnya sesak.

Rio masih menganga.

"Oh iya. Saking kurang ajarnya gue, gue pernah berharap kalau gue bisa dengerin dongeng-dongeng eksklusif lo." Ify tercekat. Tak sanggup melanjutkan lagi ucapannya. Tangis yang ditahannya sejak melihat siluet di hadapannya itu pun pecah. Ia menangis. Untuk pemuda itu.

"Ify..." cicit Rio pelan.

Ify menyeringai. "Lo jangan terbebani ya sama perasaan ga penting gue. Lagipula, gue ga menginginkan jawaban apa pun dari lo. Yang terpenting, perasaan gue tersampaikan. Supaya gue bisa lanjutin hidup gue dengan tanpa lo dan perasaan gue buat lo."

"Ify..." Lagi-lagi Rio hanya bisa mencicit pelan.

Gadis manis itu merogoh tasnya. Mengeluarkan sebuah benda. Menyusupkannya pada tangan Rio. "Buat lo. Itu benda kesayangan gue. Patah karena bola sepak lo waktu itu. Tapi tenang, gue udah perbaikin. Kaya hati gue. Hari ini mungkin patah. Tapi esok, lusa atau entah kapan, hati gue akan sembuh kok. Dengan sendirinya. Lo ga usah repot-repot untuk menyembuhkannya."

"Gue pamit ya, Yo! Abis ini, gue balik lagi ke Jakarta. Keluarga gue udah menetap di sana. Dan karena itu, gue ga bisa pastiin kapan gue balik ke kota yang menyenangkan ini." Ify menepuk bahu Rio. "Sukses ya buat kuliah ekonomi lo di sini. Harusnya lo masuk sastra tahu. Ehehe." Gadis itu masih saja berusaha terlihat kuat. Walau hatinya sudah penuh baretan luka.

"Sukses buat mimpi besar lo ya! Jangan kalah sama gue. Gue aja udah raih mimpi gue kok."

Kalimat penghabisan. Penutup dari segala apa yang telah dimulainya. Ify memutar tubuhnya. Berat menyeret kakinya untuk melangkah. Pergi. Meninggalkan semua kisah yang akan ia simpan untuk dikenang kelak suatu hari nanti.

Dan Rio. Hanya bisa membuka mulutnya tanpa suara, tanpa pernah bisa berkata-kata. Membuka semuanya. Ia ternyata memang kalah dari gadis itu yang berani jujur pada dunia. Bahwa sejak dongeng pertama yang ia perdengarkan pada gadis itu, telah tumbuh di hatinya perasaan yang sama. Cinta.

Karena mimpi besarnya itu pun juga berisikan gadis itu. Ratusan dongeng yang ada disela kebersamaan mereka khusus diciptakan Rio. Untuk diceritakan kembali berdua pada anak-anak mereka nantinya.

Tapi sekarang, gadis itu justru melepasnya. Bagaimana bisa? Lalu dongeng-dongeng ekslusif itu? Mimpinya? Hatinya? Cintanya?

Dan Rio terjebak dalam perasaan sakitnya. Sehingga ia hanya bisa mematung di tempatnya. Tidak berusaha mengejar dan menahan gadis itu untuk tetap tinggal lalu mendengar kenyataan yang ada. Pun dengan berteriak untuk sekedar memanggil namanya. Rio membiarkan gadis itu tetap berjalan angkuh. Pergi. Meninggalkannya sendiri. Di sana. Bersama ratusan dongeng-dongengnya.

Rio membuka telapak tangannya. Menatapi benda yang ada di sana. Sebuah lumba-lumba kecil yang dibebat oleh pita. Pemuda itu tersenyum sarkatis.

***

"Halo anak-anakku! Perkenalkan, aku ayahmu, Mario. Buku ini berisikan dongeng-dongeng yang aku ciptakan sendiri khusus untuk kalian. Kalian tahu, pertama kali aku menulis dongeng ini ketika aku masih duduk di bangku SMA. Ketika itulah, pertama kalinya aku bertemu dengan Ibu kalian yang sangat cantik, Ify Umari...."

Ify tidak bisa menahan matanya untuk tidak menitikan air mata. Bahkan ia baru membuka halaman pertama bundelan di pangkuannya. Baru membaca sepenggal paragraf saja. Tapi semuanya telah cukup. Terlalu cukup.

Rio? Juga mencintainya? Ah, Tuhan! Mengapa ia terlambat mengetahuinya? Mengapa ia tidak memberi kesempatan Rio untuk berbicara tadi malam?

Ify menutup buku dongeng Rio yang dititipkan pemuda itu pada Sivia untuk diberikan padanya. Lalu menyimpannya di depan dada. Memejamkan mata. Memutus rantai air matanya.

Tiba-tiba, ponsel yang ia simpan didalam daypacknya berdering. Sebuah pesan. Malas Ify merogohnya. Dua belas digit nomor yang tidak dikenalnya. Ia menekan tombol baca. Dan seutas pesan pendek muncul di sana.

"Gue titip buku dongeng itu untuk suatu saat lo balikin. Seperti gue titip sepotong hati gue yang kalau ga lo balikin, gue ga akan pernah sempurna. Gue cinta lo, Burung Camar."

Maka mengembanglah senyum kebahagiaan di wajah cantik gadis itu. Mendekap lebih erat buku dongengnya. Karena seutas pesan itu telah begitu cukup untuk menjamin berapa banyak waktu yang akan ia arungi sendiri. Dan ia tahu, pada siapa ia akan kembali nanti kala ia berhasil meretas mimpi.

Kini, Ify hanya berharap ujung kisahnya akan berakhir bahagia. Sama seperti dongeng-dongen ekslusif yang diciptakan untuknya.

"Gue juga cinta sama lo, Pangeran Ombak!"

*

Ditemani roda bus antar kota, aku menjemput bahagia.

***

Tamat