Kehilangan (part 2)

Minggu, 23 Juni 2013

Kehilangan (part 2)



Konsentrasi Cakka ketika menyetir terbagi. Antara jalanan dan gadis di sebelahnya. Ify. Gadis itu mendekap boneka beruang jumbonya. Seperti sayang sekali pada sang boneka yang baru didapatnya beberapa jam yang lalu. Namun kedua matanya menatap kosong. Jiwanya entah berkelana ke negeri mana. Jauh meninggalkan raganya.


Ada apa dengan gadis itu? Apakah dia menyesal dengan pilihannya tadi? Ya. Tadi Cakka menyaksikan semuanya. Ikut harap-harap cemas seperti penonton yang lain. Tapi bagi Cakka, apapun jawabannya, kalau bisa membuat Ify bahagia, ia setuju saja. Itu karena Cakka sudah teramat menyayangi Ify. Cakka sudah menganggap Ify adiknya. Begitu juga sebaliknya.

Cakka sempat terkejut ketika mengetahui pilihan Ify. Dia menolak Mario Sang Elang. Siswa paling populer seantero sekolah. Ah, bahkan pamor Cakka sebagai ketua OSIS pun kalah oleh pesona Sang Mario.

Pada akhirnya, Cakka tidak sedikit pun mengusik lamunan Ify. Ia membiarkan Ify berkutat dengan segala pikirannya seraya menerka-nerka. Mungkin memang benar Ify menyesal telah menolak Mario. Pemuda berwajah oriental itu kini berkonsentrasi penuh pada jalanan kota yang mulai padat. Sore begini, memang jalanan kotanya rawan sekali akan macet.

Terkaan Cakka salah besar. Ify sama sekali tidak menyesal dengan pilihannya. Toh, dia memang tidak sedikit pun mencintai Mario. Masa bodoh pemuda itu telah mengejarnya sejak lama. Pemuda itu tidak tahu bagaimana menjaga kehormatan perasaannya sendiri.

Ify termenung seraya memeluk Mario Unyu-nya karena ia teringat masa kanak-kanaknya yang ia habiskan separuhnya di sebuah panti asuhan pinggiran kota. Bersama puluhan anak yang 'beruntung' lainnya. Dibimbing Ibu panti yang galaknya luar biasa. Sering sekali menghukum Ify kecil yang nakal. Namun Ify tidak pernah dendam pada Ibu panti. Ia tahu Ibu panti bersikap seperti itu untuk mendidik anak-anaknya. Beliau tidak ingin mereka lalai terhadap peraturan. Beliau tidak mau mereka menjadi anak-anak yang lemah, mudah menyerah. Tak terhitung doa yang telah Ify panjat untuk kebahagiaan beliau. Sebagai ungkapan terimakasih pada beliau atas jasanya yang besar tak terkira.

Kini, Ify bisa leluasa memeluk boneka. Bahkan yang ukurannya sebesar dirinya. Di rumah pun, Ify punya beberapa boneka. Dan kalau ia mau, ia bisa membeli banyak boneka yang diinginkannya. Tapi dulu? Bahkan untuk mendapatkan sebuah boneka yang tidak seberapa bagusnya, Ify harus merajuk. Tidak mau makan. Membantah pada Ibu panti. Walau pada akhirnya, ia tetap tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Ify tidak mau makan! Pokoknya Ify ingin boneka!" Ify mengulum bibir. Melipat kedua tangannya di depan dada. Membuang muka dan tidak mau menatap Ibu panti.

Ibu panti mendesah. Mencoba sekali lagi. "Nanti ya, sayang! Ify makan dulu! Dari kemarin, Ify kan belum makan. Kasihan perut Ify."

"Pokoknya Ify tidak mau makan. Ify hanya mau boneka." Ify tetap keras kepala.

Ibu panti akhirnya menyerah. Dia mendesah berat. "Terserah Ify saja! Kalau begitu, jatah makan Ify ibu ambil. Mubazir dikasih sama Ify yang tidak mau." Ibu panti melengos pergi. Membiarkan Ify kecil yang bebal sendirian di kamar.

Ify memonyongkan bibirnya. Memukul bantal butut penuh bercak pulau. Ibu panti jahat. Masa memberinya boneka saja tidak mau! Selama ini kan Ify tidak pernah minta apa-apa. Bocah kecil itu menenggelamkan wajah imutnya pada bantal berpulaunya. Lalu menangis di sana.

"Tuhan, Ibu panti jahat!" Ify mengadu. Menangis semakin kencang. Sesekali sesenggukan.

"Tuhan, hukum Ibu panti yang udah jahat sama Ify, Tuhan! Huhuhu..."

Duhai! Maafkan bocah kecil yang terlalu polos itu. Sungguh ia tidak tulus mengatakannya. Hanya racauan anak yang belum tahu apa-apa. Kelak ketika ia telah memahami alasan mengapa Ibu panti bersikap seperti itu, doa yang akan teruntai adalah doa keselamatan.

Tap. Tap. Tap. Suara beradu sepasang sepatu dengan lantai menghentikan tangis Ify tiba-tiba. Bocah itu mengangkat kepalanya. Seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam sekolah nampak mendekatinya.

"Ify kenapa menangis?" tanya bocah lelaki itu dengan wajah penasaran yang menggemaskan.

Ify menyingkirkan sejumput rambut yang menempel pada pipinya yang basah. Melompat turun dari tempat tidurnya.

"Kak Ray, Ify ingin boneka." Ify menjawab dengan diselipi isakan.

"Boneka? Tenang, nanti Kakak belikan." Bocah yang dipanggil kak Ray itu bangga menepuk dadanya. "Jangan menangis lagi!" Kak Ray mengeringkan pipi tembam khas anak-anak Ify.

"Ify lebih cantik kalau tersenyum. Ify tahu, orang yang sakit parah, hampir meninggal, akan langsung sehat kalau melihat kecantikan Ify." Bocah laki-laki berkulit kuning langsat itu tersenyum. Pandai sekali menyusun kata-kata.

"Sekarang, Ify makan dulu. Yuk!" Kak Ray menggapai lengan mungil Ify. Menariknya menuju ruang makan.

"Tapi kak..." Ify menahan langkah bersemangat kak Ray. "Pagi ini, Ify tidak diberi jatah makan oleh Ibu panti." Ify menunduk. Memegangi perutnya yang mulai menimbulkan suara-suara aneh.

"Kan masih ada jatah makanan aku. Kita bagi dua aja. Tapi, kalau Ify laparnya pakai banget, jatah makan aku, buat Ify aja. Hehe." kak Ray menaikturunkan alisnya. Meyakinkan Ify.

"Kita bagi dua aja kak!" seru Ify.

Kak Ray menyeringai senang. Ia memang selalu berhasil membujuk Ify. Dua bocah dengan perbedaan umur dua tahun itu beriringan menuju ruang makan.

Terkejut sekali Ify ketika melihat di mejanya, tersedia piring berisi nasi beserta lauk-pauk. Lho, bukannya Ify tidak dapat jatah sarapan pagi ini? Ify menggigit bibir. Menoleh pada Ibu panti yang nampak sibuk melayani anak-anak panti. Selalu menjadi orang terakhir yang dapat menikmati makanan. Memastikan semua anak-anaknya mendapatkan makanan yang cukup.

Ify sedikit menyesal telah bersikap buruk pada Ibu panti. Ah tapi tetap saja Ibu panti jahat. Tidak mau membelikannya boneka. Ibu panti pelit!

Gadis itu mulai melahap sarapannya. Sayur bening dan tempe goreng. Enak! Tempe itu kesukaan Ify.

***

"Nanti aku pulang sehabis maghrib. Kamu tunggu di kamar ya! Nanti aku kasih bonekanya lewat jendela."

Ify mengangguk mengerti mendengar arahan Kak Ray.

"Aku pergi dulu ya! Kamu jangan nakal! Akan lebih baik, kamu minta maaf sama Ibu." ujar Kak Ray. Menepuk puncak kepala Ify. Lantas berbalik. Menyusul anak lain yang telah bergegas.

"Kak..." seru Ify tertahan. Membuat Kak Ray refleks menoleh. Kembali memutar tubuhnya.

"Kak Ray hati-hati ya!" ujar Ify. "Ify sayang Kakak!" Bocah itu membenarkan posisi dasi kakaknya yang agak miring. "Belajar yang pintar ya kak! Biar bisa bahagiakan Ibu!" ucap Ify, masih sangat peduli terhadap Ibu Panti.

Kak Ray mengangguk mantap. Lalu benar-benar bergegas. Meninggalkan Ify yang seharian gelisah. Makan tidak berselera. Cemas menanti Kak Ray. Takut kak Ray tidak bisa menepati janjinya. Takut pula terjadi apa-apa dengan Kak Ray. Ify kan sayang Kak Ray. Di panti ini hanya Kak Ray yang benar-benar memahami dirinya. Tidak nakal seperti Daud yang suka mengerjainya. Tidak menyebalkan layaknya Zahra yang suka sekali cari perhatian pada Ibu. Kak Ray sungguh baik. Setiap Ify dihukum, Kak Ray selalu turut. Mengaku ia yang bersalah. Walau jelas-jelas Ify tersangkanya.

Maka ketika malam tiba, selepas makan malam bersama, Ify langsung bergegas ke kamar. Mematuhi perintah Kak Ray. Dia mengorbankan waktu menonton tv yang tidak lebih dari satu jamnya itu. Duduk memeluk lutut di bawah jendela kamar. Menanti Kak Ray untuk segera pulang, tentu saja membawa boneka pesanannya.

Empat puluh menit berlalu. Ify masih berada di tempatnya. Dan Kak Ray belum pulang juga? Aduh! Kak Ray kemana sih? Katanya selepas maghrib akan segera pulang. Mana sebentar lagi jam menonton tv habis. Lima orang teman sekamarnya pasti akan segera menyusulnya masuk kamar. Nanti kan ketahuan. Mending kalau mereka tidak cerewet dan menyebalkan mengadu pada Ibu. Kan ada Zahra yang mulutnya seperti ember bocor. Tidak bisa menjaga rahasia. Aduh! Ify memainkan ujung-ujung baju tidurnya yang sudah kumal. Warnanya sudah memudar.

Darrr!!!

Ify refleks menutup kedua telinganya. Petir membelah langit yang semula cerah. Disusul rintikan hujan yang membungkus malam. Hujan pertama di bulan ini. Ya Tuhan, kak Ray kemana sih? Sekarang, Ify sudah tidak peduli pada boneka impiannya. Lihat! Keinginannya hanya membuat repot orang-orang yang dikasihinya. Tadi pagi Ibu panti marah. Sekarang, ia tidak tahu bagaimana keadaan kak Ray. Pasti dia terjebak hujan. Berteduh di emperan toko. Ah, bagaimana kalau ada penjahat? Penculik? Ify menggeleng. Semua salahnya.

Bocah kecil itu menenggelamkan wajah pada tekukan lututnya. Memanjatkan doa di sana.

"Tuhan, maafkan Ify! Tolong lindungi Kak Ray!"

Darrr!!! Petir yang lebih keras tiba-tiba menyambar. Tepat ketika sepatah doa itu menguap di langit-langit kamar. Membuat seisi kamar lengang seketika. Ify menengadahkan kepalanya. Dan begitu terkejutnya ia ketika melihat Kak Ray pelan mengetuk jendela. Terlalu pelan sehingga Ify tidak bisa mendengarnya. Tersaput semarak orchestra rintikan hujan. Padahal, sudah sejak satu menit yang lalu Kak Ray di sana. Menggigil kedinginan. Memegangi dadanya yang sesak.

"Kak Ray?" Ify memekik. Meloncat membuka kaca jendela. Memegangi tangan Kak Ray yang sedingin es antartika. Membantu bocah yang seluruh tubuhnya basah kuyup serta gemetar itu untuk masuk lewat sana. Entah mendapat kekuatan dari mana, Ify-bocah bertubuh mungil itu berhasil membawa Kak Ray masuk ke dalam kamarnya.

"Kak Ray!" seru Ify tertahan. Bingung melihat kakak tersayangnya itu menggerakkan mulutnya tanpa suara. Apa? Ify tidak mengerti. Bocah itu pun tidak mengerti kenapa ia tiba-tiba menangis melihat wajah kak Ray yang pucat pasi.

"Ibuuuuuuuu!!!" Ify menjerit memanggil Ibu panti. Suara cempreng khas anak-anak Ify meluncur dengan kecepatan sepersekian detik hingga akhirnya sampai di ruang menonton tv. Ibu dan anak-anak panti langsung melejit bergegas menuju asal suara.

***

Ify menunduk dalam. Memainkan ujung piama kumalnya. Tak ada sedikit pun nyali untuknya menatap wajah Ibu panti. Bocah berumur lima tahun itu tahu pasti Ibu panti sangat marah padanya yang sudah nakal, hampir mencelakakan Kak Ray.

Nyatanya, Ibu Panti tidak melakukan apa pun. Setelah keluar dari kamar, membiarkan Kak Ray beristirahat, beliau hanya menatap Ify sekilas. Lantas berlalu melewati Ify dan anak-anak lain yang sejak tadi setia menanti di depan kamar.

Ify bisa merasakan sehembus angin menerpa tubuhnya. Menandakan seseorang baru saja melaluinya. Ify tahu itu Ibu Panti. Tapi mengapa ia tidak marah? Menghukum Ify seperti biasanya? Seperti kala Ify memecahkan vas bunga kesayangan Ibu Panti. Ah, urusan ini lebih dari sekedar vas bunga. Ify terlalu belia untuk memahaminya.

Ify mendongakan kepala. Menoleh ke belakang. Menatap punggung Ibu Panti yang bungkuk pergi menjauh. Semakin kecil hingga akhirnya menghilang di ujung lorong. Ify memegangi dadanya. Merasa perih ketika diacuhkan Ibu Panti. Ia tidak tahu dari mana datangnya perasaan itu. Tiba-tiba muncul dan menggigit dadanya. Ify lebih memilih dimarahi Ibu panti habis-habisan, daripada harus didiamkan seperti ini. Dianggap tidak ada padahal ada. Disamakan dengan partikel udara yang hampa.

"Eh teman-teman, nanti jangan main sama Ify lagi. Lihat! Kak Ray sekarang sakit gara-gara Ify." tukas Zahra. Memprovokasi teman-temannya.

Dan bocah-bocah polos itu mengangguk setuju. Memutuskan untuk pergi dari sana. Meninggalkan Ify yang mengeluh tertahan. Tapi untungnya, Ify tidak sendirian. Masih ada anak laki-laki berkulit legam, nampak lucu dengan rambut keritingnya. Bocah itu menepuk pundak Ify. Membuat Ify mengerjap kaget. Ia pikir, tidak ada lagi yang peduli padanya.

"Daud?" pekik Ify tidak percaya.

"Tenang Fy! Aku masih mau main sama kamu kok. Hehe..." Daud tertawa menyeringai. Memperlihatkan deretan giginya yang sudah tanggal satu.

Ify menatap terpana. Daud ternyata baik juga. Meskipun ia sering mengerjai Ify, tapi dia masih mau berteman dengan Ify. Ify tersenyum. Membiarkan air mata terakhirnya menuntaskan tarian di pipinya.

"Kita tidur di sini yuk! Jagain kak Ray. Aku ke kamar dulu ya! Ngambil bantal sama selimut." Daud berlari menuju kamarnya. Membiarkan Ify semakin terpana padanya. Kemudian jatuh terduduk di lantai. Bersandar pada tembok kamar. Ify tahu, di balik tembok ini Kak Ray sedang terlelap; pingsan. Dan semua itu karena dirinya. Ify menutup matanya. Teringat kembali wajah pucat kak Ray yang berusaha menggapai udara. Padahal udara ada di sekelilingnya. Ify tidak tahu mengapa kak Ray bisa seperti itu.

Ify juga tidak pernah tahu, ketika Ibu Panti sudah memasuki kamarnya, wanita paruh baya itu langsung tersungkur di lantai. Merutuki dirinya sendiri yang tidak becus menjaga anak-anaknya. Ia tidak menyalahkan siapa pun atas kejadian ini. Yang salah adalah dirinya. Anak-anak itu tanggung jawab penuh dirinya. Maka hukumlah ia atas segala kekhilafan mereka. Karena setiap kekhilafan mereka adalah bentuk kelalaiannya mendidik mereka selama ini.

Malam itu, ketika langit masih dibungkus hujan, janji masa depan itu diberikan Tuhan. Menggantung di langit-langit harapan. Kelak suatu saat nanti, semua anak-anak beruntung itu akan menjemput janji masa depannya masing-masing. Satu persatu. Bertahap.

***
"Fy..."

"Eh..." Ify mengerjap. Melihat sekitarnya. "Udah sampai ya? Hehe maaf!" Ify tersenyum menyeringai.

"No prob!" Cakka mengangkat bahu. "So?"

Ify mendesah kentara. "Thanks ya udah mau nemenin aku nari!" Gadis itu mengusap lengan Cakka. Lalu membuka pintu mobil, keluar dari sana.

"Makasih ya Kka!" ujar Ify lagi setelah berada di luar mobil.

"Sip! Gue pulang ya! Bye! Bye Mario Unyu!" Cakka melambaikan tangan. Mulai menginjak pedal gas, melajukan mobil berwarna hitam mengkilapnya. Menjauhi bangunan rumah Ify.

Ify tersenyum kala mobil Cakka sudah menghilang di ujung penglihatannya. Gadis itu meninju Mario Unyu. Terkekeh pelan lantas membalikkan badan. Berjalan melewati gerbang rumahnya.

Saat Ify sudah berada dalam rumahnya, ia mendapati seorang wanita paruh baya yang biasa ia panggil Bunda tengah berkutat dengan laptop dan beberapa kertas di ruang tamu. Ify menggeleng samar. Menghampiri Bunda.

"Bunda." Ify meraih tangan Bunda dan menciumnya. Lantas terduduk di sampingnya.

"Bagaimana hari ini, sayang? Sekolahmu? Menarimu?" tanya Bunda perhatian, meski tetap jemari dan matanya tidak beralih dari sang laptop.

"Bundaaa." Ify merengek. Merangkul tubuh Bunda. "Bisa ga kalau di rumah, Bunda tidak usah bekerja? Bunda istirahat."

Bunda mengangkat jemarinya dari keyboard laptop. Wanita itu menoleh ke arah Ify. "Bunda baik-baik saja!" Bunda menyusupkan sejumput rambut Ify ke balik telinga putri sematawayangnya itu.

"Tapi..."

"Udah! Kamu mandi gih! Abis itu kita makan malam bareng ya!" Bunda tersenyum. Teduh sekali melihatnya. Senyum paling menenangkan seluruh dunia.

Ify mengangguk pelan. Bergegas menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Ia menelusuri satu persatu anak tangga. Tentu saja dengan menjinjing Mario Unyunya.

***

Malam berbalut gerimis tiba. Ify baru saja selesai mengerjakan tugas biologinya. Gadis itu menguap lebar. Sudah pukul sepuluh. Jam tidurnya sudah terlewat tiga puluh menit yang lalu. Gadis itu memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa lagi. Ia melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Menyembunyikan tubuhnya dalam selimut. Memejamkan mata. Mencoba terlelap dalam nafas satu-satu

Baru sekitar dua menit Ify tertidur, ponselnya dengan tanpa dosa menjerit-jerit. Ah! Siapa pula yang meneleponnya malam-malam begini? Seperti tidak ada kerjaan saja. Awas saja kalau tidak penting. Akan ia cincang sampai halus.

Ify menyibak selimutnya. Meraih ponsel dan mendapati dua belas digit nomor yang disimpan di kontaknya dengan nama 'Mario Rese' berada di layarnya yang berkedip-kedip. Ify mendengus sebal. Mau apa lagi sih dia? Tak cukupkah seharian di sekolah mengganggunya? Mengapa ia selalu menguntitnya kemana-mana? Berikan ruang untuk Ify bernafas lega tanpa Mario. Kalau begini jadinya, Ify ingin berimigrasi ke planet mars. Tak apa bertemankan para alien. Paling tidak, alien sudah jelas keanehannya. Tidak seperti Mario. Sudah aneh, tidak jelas pula.

"Dasar cowok ga peka! Udah tahu gue ga suka. Terus aja ngejar. Tahu ga, gue ngerasa jadi banci kaleng dan lo kantibnya." Ify menggerutu pada ponselnya. Lalu dengan ogah-ogahan, menekan tombol hijau. Menempelkan ponsel pada telinganya.

"Ify!" sambar Mario dari seberang.

"Apa lo?" ujar Ify dengan nada seketus mungkin. Biar Mario sakit hati. Biar kapok mendekatinya. Percuma saja. Hati Ify terlalu batu untuk ditaklukan sentuhan tak berarti yang diberikan Mario.

"Ify, gue kangen sama Mario unyu. Gue mau ngomong sama dia."

Eh? Ify menjauhkan ponsel dari telinganya. Apa tadi kata Mario? Dia ingin berbicara dengan Mario Unyu? Oh My! Mario unyu kan hanya boneka beruang gendut bodoh yang tentu saja tak bisa berbicara. Mario memang sudah benar-benar gila. Ify berdecak tak percaya.

"Iyaa!" Ify menekan tombol loadspeaker. Melemparkan ponselnya pada Mario Unyu. Sana melepas rindu dengan boneka gendutnya. Ify mau tidur. Sudah mengantuk. Gadis itu menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut hangat. Memejamkan mata. Meski ternyata, kedua telinganya mencuri dengar percakapan konyol antara Mario dan Mario Unyu.

'Halo Mario unyuuuu! Duhhh, kangen nih sama lo. Padahal pisahnya baru tadi siang ya! Hahaha...' Mario tergelak tertawa.

"Alay!" Desis Ify. Bergerak membenahi selimutnya.

'Ify gimana? Baik-baik aja, kan? Jagain dia ya buat gue. Lo tahu sendiri kan, gue sayang banget sama dia.'

Ify menahan nafas. Meminimalisir suara sekecil apa pun. Mendengarkan dengan seksama kelanjutan ucapan Mario.

'Gue yakin, Ify tahu kok kalau gue cinta sama dia. Dan gue juga yakin, yang dia tahu hanya seperseratus dari rasa cinta gue buat dia.'

Eh? Ify tertegun sejenak, lantas menjulurkan tangannya untuk meraih ponsel. Ia menatap layar ponselnya dengan nanar. Ucapan Mario tadi agaknya membuat Ify mencelos. Perasaan bersalah menyesah hatinya. Sebegitu besarkah rasa cinta Mario untuknya?

"Yo." ucap Ify pelan.

"Hai Fy!" Mario terdengar sumringah.

"Udahan ya! Lo tidur gih! Mario unyu juga mau tidur." kata Ify dengan nada lebih lembut dari biasanya.

"Oke! Selamat tidur, fy! Selamat tidur juga buat Mario unyu!"

Klik. Sambungan telepon terputus. Ify melemparkan ponselnya hingga meluncur keluar gundukan selimut. Gadis itu mengeluh tertahan di balik persembunyiannya. "Kalau aja gue ga pernah patah hati, mungkin ga akan terlalu sulit buat gue belajar meminjamkan hati gue buat lo, yo! So sorry!" Gadis itu tenggelam dalam rasa sakit yang kian tak tertahankan. Hingga akhirnya, terjatuh dalam nafas teratur hingga esok sang fajar kembali menunaikan janjinya.

***

Ify tengah berjalan beriringan dengan seorang pemuda sipit berkacamata di tepi lapangan basket. Mereka baru saja kembali dari perpustakaan. Mengembalikan beberapa buku yang minggu lalu dipinjam.

"Beberapa hari yang lalu, gue pergi ke toko buku. Nyari buku biologi yang terbitan Erlangga. Tapi ga ada. Katanya buku itu emang udah jarang. Padahal bagus lho, Vin!" ujar Ify menyesal.

Pemuda bernama Alvin itu memperbaiki posisi kacamatanya yang agak melorot. "Gue punya toko buku online langganan. Nanti deh gue cari di sana. Kali aja ada."

Ify mengangguk. Ah, kalau masalah perbukuan ia sepertinya tidak usah khawatir. Alvin ini sudah seperti perpustakaan baginya. Butuh buku apa pun, selalu ada. Buku pelajaran, karangan fiksi, non fiksi, semuanya ada. Entah itu memang koleksi, atau sengaja membeli untuk dipinjamkan bahkan dijual lagi pada Ify.

Langkah keduanya tiba-tiba terhenti ketika sesosok pemuda tampan dengan postur tinggi menjulang menghadang mereka. Pemuda itu sengaja menepi dan meninggalkan permainan basket yang sedang seru-serunya. Hanya untuk gadis yang dipujanya. Tidak salah lagi. Dia Mario.

"Hai! Kantin yuk!" Mario menaik turunkan alisnya. Tersenyum manis pada Ify. Lalu mendelik tajam pada pemuda cupu di sebelah gadis cantiknya itu.

Ify mendesah kentara. Hendak menolak Mario dengan kasar seperti biasanya. Tapi demi mengingat ucapan Mario lewat telepon kemarin malam, ia urung. Mencoba sedemikian keras untuk bersikap 'biasa' di hadapan Mario.

"Gue kenyang Yo!" jawab Ify singkat.

"Ayolah Ify! Please!" kata Mario dengan nada yang teramat memelas.

Gadis bermata jeli itu mengeluh tertahan. Memutar bola matanya sebal. Tidak usah berlebihan seperti itu kenapa? Pengemis yang tidak makan tiga hari tiga malam saja, tidak sampai seperti itu. Mario memang norak.

"Gimana, Fy?" tanya Mario. Masih dengan wajah yang butuh dikasihani. Menanti jawaban Ify dengan segunung harap.

"Gimana, Vin?" Ify menoleh pada Alvin. Pemuda itu agak heran dengan pertanyaan Ify. Bukankah ia yang ditawari, mengapa harus meminta pendapatnya?

Alvin baru saja membuka mulutnya, ketika Mario seenak udelnya menyambar. Seraya memelototi Alvin. Mengancam pemuda itu untuk diam dan tidak memprotesnya. "Alvin ga keberatan tahu, Fy." Mario menepuk bahu Alvin. Berpura-pura akrab. Padahal dalam hati, ingin sekali menendang pemuda cupu itu hingga Australia. Biar saja bertemankan dengan para kangguru.

Alvin meringis tertahan. Menyunggingkan senyum yang setengah dipaksakan. "Iya. Lo sana gih sama Mario. Gue... Gue juga ada urusan nih. Hehe..." ujar Alvin, langsung melipir pergi. Tak mau berlama-lama berurusan dengan Mario.

Tinggalah Ify berdua dengan Mario. Gadis itu jengah mendapati Mario tengah mengerjap-ngerjapkan matanya jahil. Menyeringai tertawa. Merasa tengah berada di atas angin.

"Jadi ga ke kantinnya?" tanya Ify kesal. Habis, dari tadi Mario hanya memandanginya hingga salah tingkah. Pipi pualamnya pun ikut merona.

Mario terkesiap. "Jadi dong! Ayo!" kata Mario cepat. Menyeret Ify untuk mengikutinya ke kantin.

***

Ify memakan semangkuk mie ayamnya dengan semangat. Tak peduli Mario hanya bisa melongo. Takjub sekaligus tak percaya melihat cara makan gadis itu. Bodo amat. Ify tidak peduli. Biar saja. Kalau sedang kesal, Ify melampiaskannya dengan hal ini. Makan. Lebih positif. Daripada main silet, golok, pedang, samurai dan sebangsanya. Jangan coba-coba ya! Meskipun tubuh Ify mungil, ia bisa menghabiskan tiga mangkok mie ayam sekaligus kalau ia mau.

"Fy..." Mario bercicit pelan.

"Apa? Lo ga suka gue makan banyak gini? Lo keberatan?" Ify mendesis tajam. Masih bernafsu menghancurkan makanannya.

"Enggak. Lo mau nambah lagi?"

Celetukan yang berhasil membuat Ify tersedak. Panas menyesah tenggorokannya. Gadis itu kelabakan mencari air minum. Ketika Mario menyodorkannya segelas air putih, langsung disambarnya. Meneguknya habis tanpa bersisa.

"Lo ga pa-pa, Fy?" Mario mengusap-usap punggung Ify. Terlihat sekali wajahnya yang cemas.

Ify memutar bola mata. Menoleh tidak suka pada Mario. Hati pemuda itu terbuat dari apa sih? Besi sekalipun akan luluh oleh panas. Ya Tuhan, berapa derajat lagi Ify harus menaikkan tingkat kegalakannya agar Mario menyerah mengejarnya? Lihat, bukannya ilfeel, Mario malah menawarkannya makanan tambahan. Dia mau Ify gendut apa? Coba kalau Ify gendut, memangnya Mario masih mau padanya? Ah, Ify tidak yakin.

Namun nyatanya, meskipun Ify nanti berubah menjadi segendut patrick, sebodoh patrick, sejorok patrick, Mario akan tetap suka. Karena yang Mario tahu, Ify adalah patricknya. Bintang lautnya.

***

Bersambung