Lebih Dari Plester part 14A
Oik menyesal telah menanyakan sebab dari ketidakhebohan Ify tadi. Lihat sekarang! Gadis itu bahkan jauh lebih heboh dari biasanya. Gabriel begini, heboh. Gabriel begitu, heboh. Oik sih tidak masalah selama tidak mengganggunya. Ini sih namanya bukan mengganggu lagi. Tapi sudah membahayakan.
Kalau saja tidak ada pemuda yang refleks menahan tubuhnya, pastilah Oik sudah jatuh terjengkang. Bergabung bersama kuman dan bakteri yang menempel pada alas kaki setiap orang yang berjejalan di sana. Untung saja. Dua kali tersenggol, dua kali pula diselamatkan oleh pemuda yang sama. Oik sempat tertegun sejenak ketika melihat wajah pemuda itu. Baru pertama dilihatnya
di sekolah. Tapi ia merasa pernah mendapati wajah itu di tempat lain.
Namun Oik terburu mengerjap. Membungkuk mengucapkan terimakasih atas kesigapan menahan tubuhnya. Juga maaf, karena terpaksa mengganggu kenyamanan pemuda itu yang ternyata tengah berbincang dengan seorang gadis berambut keriting. Dari seragam yang dikenakannya, jelas menunjukkan bahwa gadis itu berasal dari sekolah tamu.
Setelah pemuda itu menggeleng, kode bahwa ia sama sekali tidak keberatan, senang bisa menolong Oik, gadis itu memutuskan kabur. Melengos meninggalkan Ify. Biar saja gadis yang kelewat polos itu heboh sendirian. Yang penting, Oik aman. Maka melangkahlah Oik dengan mengendap-endap. Takut ketahuan oleh Ify. Bisa bisa, Ify mengikat tubuhnya agar tidak bisa kemana-mana.
Dan disanalah Oik sekarang. Sendirian di taman belakang sekolah. Nanar menatapi jalanan yang posisinya berada di bawah permukaan tanah yang tengah dipijaknya. Hari itu jalanan ramai sekali. Heran juga. Pada jam kerja dan sekolah seperti saat ini, masih saja banyak yang berlalu lalang memadati jalan. Ah, kotanya memang tak pernah sepi. Kecuali kalau hari raya tiba. Hampir seluruh penghuni kotanya melakukan tradisi pulang kampung. Saat itulah, ia bisa sejenak menikmati kelengangan kotanya.
Jalanan di bawah sana membawa Oik kembali melihat bagaimana peristiwa yang hampir dua tahun yang lalu terjadi. Setiap detail masih ingat. Saat itu...
Ah... Oik mengerang. Membekap mulutnya, tak percaya. Bagaimana bisa reka adegan mengenaskan itu selalu menghantui setiap harinya? Tak pernah pergi dari benaknya sejak peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang membuat ia kehilangan orang yang paling dikasihinya. Oik merasa matanya mulai perih. Selalu begini setiap kali ia menahan tangis.
"Kak, maafin Oik! Oik selalu buat mata Kakak sakit tiap kali Oik ingat peristiwa itu." tukasnya dengan nada lirih. Menyentuh kedua matanya yang ia biarkan terpejam. Supaya rasa perih itu perlahan teredam.
Oik tahu, mata yang ia gunakan sekarang, bukan matanya. Ia terpaksa meminjam mata sang kakak yang telah terlebih dahulu meninggalkannya.
***
Ada kilat yang sambar-menyambar di benaknya. Bagai bunga api yang berpendar di langit ketika malam tiba. Ketika dua bulatan itu jatuh menumbuk tepat di matanya. Wajah imut si empunya bulatan, memang tak dikenalinya. Tapi bulatan itu sungguh teramat diketahuinya. Dan juga disayanginya.
Dengan beberapa kejap menelusuri bulatan itu, hatinya sudah dapat bereaksi. Merasa mendapatkan tohokan yang teramat lantang.
Cakka diam. Masih membayangkan binar bola mungil tadi.
“Jadi, lo belum jengukin dia?” Suara renyah seorang gadis membuyarkan lamunan Cakka. Pemuda itu menatap wajah sang gadis yang kini mengangkat kedua alisnya. Menunggu jawaban yang ingin sekali didengarnya terlontar dari mulut Cakka.
Cakka menggigit bibir. Apa? perlukah hal itu ditanya? Karena bukankah sudah jelas jawabannya. Maka apa yang ia katakana bukanlah sudah atu tidak, tapi alasan mengapa sampai sekarang, ia masih belum melakukan apa yang menjadi keharusan untuknya. Padahal peristiwa itu terjadi lebih dari setahun yang lalu.
“Gue belum punya keberanian buat jenguk dia. Setiap gue ingat dia aja, udah cukup bikin gue ngerasa bersalah. Lo tahu rasa bersalah itu kaya gimana? Kaya dibuntutin sama malaikat pencabut nyawa. Apalagi kalau gue lihat dia yang sekarang. Istirahat di tempat yang abadi. Bisa-bisa si malaikat langsung cabut nyawa gue. Gue bakal mati.” Cakka menggigit bibir. Menutup rapat mukanya. Berharap bayangan masa lalunya tidak lagi mengacaukan otaknya. Tapi ternyata, dalam gelap, bayangan itu semakin jelas terlihat. Dia, menari dengan bahagia. Walau wajahnya tidak seperti biasanya. Menyeramkan. Dan menyedihkan.
Gadis berambut keriting itu menyentuh bahu Cakka yang masih enggan menampakkan wajahnya. “Tapi lo harus jenguk dia. Gue yakin, setelah lo datang dan minta maaf sama dia, rasa bersalah lo akan hilang dengan sendirinya. Rasa itu ada, karena lo ga pernah berani melawannya.”
“Lo ga ngerti.” Akhirnya Cakka mengurai penutup wajah tampannya. Ia menatap tajam pada gadis keriting itu. “Bunga, gue ngerasa ga berhak buat jenguk dia. Gue yang udah buat dia pergi. Gue…” Cakka menghembuskan nafas sangat kentara. Mengeluh lewat sapuan udara. “Gue pembunuh.” Vonisnya teruntuk dirinya sendiri.
Gadis bernama Bunga itu mengerutkan kening. Terkejut sekaligus tak mengerti dengan apa yang Cakka ucapkan. Lalu kalau ia mengakui bahwa segala akar permasalahan ini ia sendiri penyebabnya, mengapa ia tak segera menyelesaikannya. Bukannya melarikan diri. Bersembunyi selama lebih dari setahun. Kini kembali tanpa secuil pun rasa bernama berani.
Emosi Bunga pun tak dapat teredam lagi. Merembet kemana-mana. “Elo emang ga pernah berhak buat nemuin dia.” Bunga bangkit dari duduknya. Menundukkan kepala agar dapat melihat wajah Cakka yang telah lama kehilangan auranya. Lantas melanjutkan apa yang ingin ia muntabkan. “Tapi itu udah jadi kewajiban lo. Datangi dia! Dan setelah itu lo bebas mau melakukan apa pun. Bukankah selama setahun ini lo terkekang?”
Dan setelah itu, Bunga pun berlalu. Seiring dengan berakhirnya pertandingan sepakbola yang dimenangkan oleh kesebelasan tuan rumah. Maka dengan itu, satu persatu siswa yang memadati penonton berbondong-bondong pergi. Semakin lama, semakin lengang. Hingga pada akhirnya, hanya benar-benar menyisakan Cakka seorang. Tertunduk lemas tak berdaya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Karena meskipun Bunga telah memberikan tekanan yang teramat kuat, ia masih belum punya cukup keberanian untuk datang ke tempat itu. Menemui seseorang yang pernah menjadi berarti untuknya, yang kini jiwanya telah tenang berada di langit-Nya.
***
Ify berhenti menjadi gadis yang peduli. Ia tak peduli banyak siswa yang merutukinya karena tak sengaja menabrak, tergesa berlari. Ia tak peduli lalu lalang manusia mengaburkan pandangannya. Sungguh, ia tidak peduli. Yang ada dalam batok kepalanya hanya satu. Secepat mungkin menemui Gabriel. Mengucapkan selamat atas kemenangan gemilang yang diraih pemuda itu hari ini.
Gabriel adalah pemuda yang tak acuh. Dan kadar ketakacuhannya bertambah berkali lipat saat ini. Ia mengabaikan rekan satu timnya yang heboh menikmati euporia. Ia mengabaikan banyak siswa yang hampir semuanya perempuan yang mengerubutinya, genit memuji dan memuja permainan lincahnya. Ia mengabaikan segalanya teruntuk satu alasan saja. Satu nama yang juga menjadi alasannya bermain sepakbola semenakjubkan tadi. Ify. Sesegara mungkin, ia harus menemui gadis polos luar biasa itu. Membocorkan sebuah rahasia tentang bagaimana bisa ia menciptakan empat gol yang semuanya indah di pertandingan tadi.
Maka bertemulah kedua insan yang saling memedulikan satu sama lain itu, tak bisa mengabaikan walau hanya satu helaan nafas. Di sana, di tempat yang masih ramai oleh para siswa. Ify dan Gabriel. Tidak sedikit pun keliru. Tak ada kesalahan sekecil biji sawi pun. Ditautkanlah kedua tangan mereka. Lantas bersama-sama tertawa. Riang berputar-putar. Bagai dua bocah yang baru saja mendapat kabar bahwa mereka akan pergi ke taman bermain.
"Gabriel hebat. Main bolanya keren banget!" Puji Ify. Lalu mempraktekan aksi Gabriel tadi. "Tendang sana, tendang sini. Sundul sana, sundul sini. Gol deh!
Horeeeee!!!" Ify melepaskan tangannya dari cengkraman tangan Gabriel. Mengangkatnya setinggi mungkin ke udara.
Gabriel tersenyum lebar. Senang melihat Ify bisa tertawa selepas itu, berkata seheboh itu. Hampir saja menitikan air mata, karena ia menyadari satu hal. Bahwa ia memang benar-benar merindukan Ify. Satu minggu tanpa kepolosan Ify, membuat hari Gabriel merana.
"Empat gol tadi, buat Ify." Ujar Gabriel.
"Buat Ify?" ulang Ify tak percaya. "Makasih! Ify suka!"
"Sembilan puluh menit tadi, juga untuk Ify." Ujar Gabriel tulus. Dalam hati menambahkan 'Dan semoga sisa hidup aku, bisa aku hadiahkan untuk kamu, Fy. Hanya kamu.'
Kali ini Ify tak bisa berkata apa pun. Terharu mendengar apa yang terucap dari Gabriel -dan mungkin, hatinya juga bisa mendengar doa tulus yang dipanjatkan Gabriel dalam hati. Kedua matanya mengerjap. Tanpa pernah ia sendiri sadari, hatinya mengamini.
Gabriel melihat perubahan ekspresi wajah Ify. Gadis itu hampir menangis. Bibir merah mudanya bergetar. Pemuda itu mengerenyit. "Kenapa? Ify ga suka?"
Ify menggeleng cepat. Merengut sebal. "Gabriel gimana sih? Mana bisa Ify ga suka? Ify akan selalu suka semua yang Gabriel lakukan untuk Ify."
"Lalu?" Gabriel mengangkat sebelah alisnya.
"Lalu... Ummm..." Ify menggaruk kepalanya salah tingkah. Menggigit bibir bawah bagian dalamnya. "Ify kan suka Gabriel." Ujar Ify pada akhirnya. Tetap dengan wajah polos dan kerjapan mata lucunya.
Gabriel menyeringai. Menepuk kepala Ify gemas. Lantas melakukan seremoni yang tak pernah ia lupakan setiap kali menikmati detik yang terlewat bersama Ify. Menjawil caping hidung Ify yang selalu nampak bangir dan menggoda. Seperti boneka barbie. Dan hal kecil itulah yang tak pernah membuat Ify tidak tersipu. Lihatlah kini. Pipi pualamnya bersemu merah. Ranum seperti buah tomat.
"Main yuk!" kata Gabriel tiba-tiba.
"Hah? Kemana?" Tanya Ify refleks.
Gabriel menjawab dengan santai. "Kemana-mana." Seraya memainkan kedua alisnya agar naik turun secara bergantian.
"Dih!" Ify mengulum bibir. Sok merajuk.
"Haha, serius tahu! Aku ngambil tas dulu. Kamu tunggu di pos satpam aja ya! Jangan kemana-mana!" Gabriel memegang kedua bahu Ify. Memutar tubuh kurus gadis itu hingga 180 derajat, sempurna membelakanginya. Membisikkan sesuatu yang berhasil membuat hati Ify berdesir. Kemudian mendorong tubuh Ify. Isyarat agar gadis itu segera menunaikan titah Gabriel. Sementara Gabriel menanti siluet Ify menghilang dari batas penglihatan. Barulah setelah itu, berlalu mengambil tas yang ia tinggalkan di kelas.
Gabriel sempurna mengabaikan segalanya. Berkutat hanya pada buncahan rasa bahagianya saja. Ia seakan menulikan telinganya. Sama sekali tak mendengar bahwa ada derap kaki lain yang mengikuti kemana kakinya bergerak. Kaki dengan balutan sepatu pantopel cantik nan mahal.
Maka sejurus setelah Gabriel menyambar tasnya, berbalik dan hendak bersegera melaksanakan apa yang ia janjikan pada Ify, terkejut bukan main dirinya. Melihat siapa yang berdiri di depannya. Menjadi penghuni lain yang menempati ruang kelas yang telah sepi. Dia. Gadis plester berwajah bidadari itu. Nanar menatapinya.
Gabriel menggelengkan kepala. Tak pernah lagi ingin mendapati gadis yang kini malah berada tepat di hadapannya. Memamerkan kedua mata indahnya. Karena meski hatinya telah menemukan penawar lain, beberapa dari organ tubuhnya masih tetap bereaksi terhadap kerlingan mata itu. Matanya yang tak bisa ia cegah untuk menumbuk manik itu. Tangannya yang tak pernah bisa ia perintah untuk tidak menyentuh kelopak itu. Dan mulutnya, yang tak bisa ia tahan untuk tidak menggumamkan nama si empunya kesemua itu. "Sivia..."
Sivia membuka mulutnya. Lagi-lagi perasaan pernah-mengenal-dan-dekat itu menjegal hatinya. Apa? Pemuda itu pun bahkan tahu siapa namanya. Fasih mengucapkannya. Tidak keliru melafalkannya. Apa memang dugaannya benar? Bahwa Gabriel yang mematung di depannya, adalah Gabriel-nya?
Sivia menarik nafas panjang. Menyusun beberapa kata sebagai awal untuk mengurai misteri yang selalu menghantui setiap sudut harinya.
"Dari mana kamu tahu nama aku?"
Sekonyong-konyong tukang bubur yang bisa naik haji sampai tiga kali, Gabriel merasa sebilah pedang baru saja menancap di inti jantungnya. Adakah pertanyaan yang lebih konyol dari itu? Seluruh dunia pun tahu betul bahwa Gabriel sangat hafal nama itu. Bukan hanya nama. Tapi semua tentang si empunya nama, Gabriel mengetahuinya. Apa warna favoritnya. Makanan apa yang membuatnya alergi. Binatang apa yang membuatnya bergidik ngeri. Semuanya. Kecuali dua hal.
"Aku tahu semuanya tentang kamu, Sivia. Dan kamu juga harusnya tahu semua tentang aku." Gabriel meneguk ludah. Mengeraskan tatapannya. "Tentang kita." Kemudian melangkah melalui Sivia yang hanya bisa tertegun. Berusaha mencerna lesatan kata yang ternyata cukup menohok hatinya.
"Gabriel..." Ucap Sivia tertahan.
Gabriel yang baru saja akan menghilang di balik pintu langsung tercekat. Refleks menghentikan gerakan kakinya. Apa yang baru saja ia dengar? Sivia menyebut namanya? Sivia tidak benar-benar mengubur semua ingatan tentang dirinya? Diam-diam, Gabriel mendesah lega.
"Beri aku alasan kenapa aku harus tahu semua tentang kamu! Beri aku penjelasan tentang siapa kamu untuk aku, karena setiap aku bertemu kamu, aku selalu merasa kita begitu dekat. Aku... Maaf aku ga bisa sedikit pun mengingat tentang kamu. Tentang kita." Kata Sivia dengan suara bergetar. Meringis seraya memegangi kepalanya yang kembali diserang rasa sakit. Efek dari ia yang memaksakan diri mengorek ingatan yang sebenarnya telah dimusnahkan bersamaan dengan tumor sialan itu.
"Apa maksud ka..." Gabriel membalikkan tubuhnya. Terkaget ketika melihat Sivia jatuh tersungkur di lantai. Mengaduh sakit dan memukuli kepalanya. Sontak Gabriel menghampiri Sivia. Memeluk tubuh gadis itu erat.
"Sakiittt...." Sivia mengigit bibirnya. Kedua tangannya mencengkram bahu Gabriel. Menahan rasa sakit yang setiap detik bertambah berjuta kali lipat. Kini, matanya yang ia pejamkan, mengalirkan sungai yang membelah pipi mulusnya. Menangis.
"Aku mohon jangan nangis! Dari dulu, aku ga pernah bisa lihat kamu nangis! Maaf! Maaf aku selalu saja ceroboh." Gabriel menggendong Sivia yang jatuh pingsan dalam dekapannya. Membawanya ke dalam mobil. Mengantarkannya pulang. Dulu, ia biasa mengantar Sivia pulang dengan sepeda. Dulu.
Gabriel tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Hatinya mengakui, bahwa ia begitu merindukan gadis yang kini terkulai di bangku penumpang belakang mobilnya. Melihatnya menahan sakit, berhasil membuat dadanya menyempit. Mendekap tubuhnya, merasakan aroma feminin alaminya, mampu melemparkan ia pada nostalgia yang dipadati euporia. Dan berada dalam euporia, menjadikannya lupa bahwa ada gadis yang setia menantinya di pos satpam. Bahkan sampai senja berhujan datang.
***
Sekarang, yang bisa Ify lakukan hanya bengong. Nanar menatapi lalu lalang kendaraan yang melintas di jalanan. Wangi hujan sisa setengah jam yang lalu masih terkuar.
Setengah hati Ify, ia menyesal telah membentak Rio. Habis Rio menyebalkan. Masa menyuruhnya pulang. Mengatakan bahwa Gabriel tidak lagi berada di sekolah. Itu tidak mungkin. Masa Gabriel berbohong padanya. Mungkin, Gabriel sedang di toilet. Ha? Di toilet lebih dari tiga jam? Ah, kalau sudah menyangkut hati, logika kadang sama sekali tidak berfungsi.
Tadi sih Ify baik-baik saja. Ada satpam gendut yang bersedia mendengarkan celotehan Ify. Tadi juga sempat menemaninya beberapa menit seorang pemuda tampan berwajah oriental. Pemuda itu baik sekali. Meminjamkan Ify kupluk lucu beraksen kepala kucing untuk menghangatkannya. Ah, tadi Ify sempat menggigil kedinginan akibat hujan yang datang terlalu tiba-tiba.
Coba lihat sekarang. Ify sendirian. Hampir menangis ketakutan. Ya, Ify selalu takut sendirian. Sungguh, ia tidak ingin sendirian.
Namun satu yang harusnya Ify tahu. Ia tidak akan pernah benar-benar sendirian, sekalipun memang ia hanya sendiri. Seperti sore ini. Dia, Rio. Mengawasi setiap gerak-gerik Ify dari jauh. Memastikan bahwa gadis itu aman dan selamat. Matanya awas menatapi apa yang terjadi. Karena hanya sekedar bentakan, takkan membuat Rio menyerah dan angkat tangan. Ia masih di sana. Dengan cinta tulusnya, tangguh bertahan.
Rio merogoh tasnya. Mengambil ponsel dan menulis sebaris pesan. Pendek saja. Lalu ia menekan tombol ok. Dan melesatlah pesan singkat itu menuju 12 deret angka yang ia tulis di kolom penerima.
"Ga ada yang boleh mensia-siakan Ify. Tak terkecuali elo, Gabriel Stevent." Desis Rio tajam. Menggenggam ponselnya kuat-kuat.
***
Pintu kamar itu keras menjeblak, setelah sebelumnya ditendang sangat keras oleh si empunya kamar. Gabriel. Kepalanya menyembul dari balik pintu. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Ransel hitamnya melayang ia lemparkan ke udara. Lalu akhirnya, menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Gabriel memejamkan mata. Merasakan harum itu masih beterbangan di sekitarnya. Semakin menariknya masuk ke dalam jerat euporia. Ia bahkan kini tak percaya. Gadis plesternya begitu dekat dengannya. Sempat beberapa lama berada dalam lingkar tangannya. Gadis itu, perlahan menebus janjinya. Tanpa sadar, Gabriel menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Mendesah lega.
Tapi dari segala efek euporia itu, ada satu hal yang membuatnya gundah. Sebuah rasa kehilangan. Ia tidak tahu yang hilang itu apa. Mungkin ia melupakannya. Ah tidak. Gabriel bukan bermaksud melupakannya. Hanya saja... Hanya mungkin, hal itu adalah hal yang kecil tidak terlalu penting. Begitu ucap sebagian hatinya. Dan sebagian yang lain, berkoar sebalikanya. Sungguh! Hal itu sangat penting. Hal itu...
Gabriel terburu mengambil ponselnya. Membaca pesan singkat terakhir yang ia terima hampir 30 menit yang lalu. Dari Rio. Yang ia anggap pesan paling tidak jelas sepanjang masa. Hanya berisi tiga kata saja. 'Pos satpam, Yel!'
Astaga! Gabriel langsung mencelat dari tempat tidurnya. Melejit keluar rumah. Menghidupkan mobil dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi. Membelah jalanan sore yang menyisakan beberapa genangan bekas hujan satu jam silam. Ya Tuhan, kenapa ia bisa lupa? Hal yang ia lupakan bahkan teramat penting untuknya.
Seraya menginjak pedal gas kuat-kuat, awas memutar kendali, Gabriel memanjat doa dalam hati. Merapalnya berulang-ulang sampai menggantung di langit-langit mobilnya. Semoga Ify masih setia menantinya. Semoga ketika ia menemuinya nanti, Ify tidak akan marah, tidak mau lagi berbicara dengannya. Jangan! Karena ia tidak akan pernah sanggup menerima sikap itu dari Ify.
“Uhuk…” Gabriel tiba-tiba terbatuk. Seketika merasa ada yang menohok hatinya. Apa harapannya terlalu muluk-muluk? Berharap bahwa Ify masih di sana. Di pos satpam yang mungkin akan sangat menyeramkan kala sore kelabu seperti ini. Sabar menunggu lebih dari empat jam. Oh Tuhan! Maafkan ia yang melanggar janji yang bahkan ia ucapkan di hari yang masih sama. Bahwa seumur hidupnya akan ia hadiahkan untuk Ify. Hanya untuk Ify. Namun ternyata, hatinya masih terbagi. Menyisakan satu ruang untuk menjadi singgasana masa lalunya. Yang entah seberapa luasnya. Bisa saja lebih lapang dari yang ia sediakan untuk masa depannya. Ia masih belum bisa mengukurnya. Tidak bisa. Tidak ada yang bisa mengukur seberapa lapang hati seseorang dengan akurat. Hati itu adalah ruang dengan luas tak berhingga.
Tapi hati Gabriel jauh lebih tertohok ketika harapan yang dilesaknya justru terkabul. Ify masih di sana. Duduk di kursi panjang di depan pos satpam. Sendirian dengan wajahnya yang terlihat lelah. Matanya seperti biasa mengerjap menggemaskan.
Ah Ify. Kenapa tidak pulang saja? Kenapa masih menungguinya? Apakah tidak lelah? Perutmu tidak lapar? Bagaimana dengan vitamin? Nanti kalau jatuh sakit lagi bagaimana? Sejuta perasaan bersalah menggelayuti hatinya.
Gabriel menyeret langkahnya untuk menghampiri Ify. Berat rasanya harus menemuinya gadis itu. Gabriel merasa, ia adalah pemuda paling jahat sejagad raya.
“I-Ify…” suara berat itu terdengar bergetar.
Ify yang sedang menguap langsung mengerjap. Mencelat dari kursi panjang yang ia duduki. Matanya langsung membelalak. Melihat siluet tampan yang kini berdiri di hadapannya. Masih berbalutkan kaos sepakbola. Ify berjalan mendekati Gabriel. Memamerkan lengkungan senyum mempesona. Membuat Gabriel mencelos. Lihat! Bahkan Ify tidak marah padanya. Atau kecewa? Ah, wajah itu terlihat begitu tulus menghadiahkan seulas senyum.
“Ify ngapain masih di sini? Harusnya, terlambat beberapa menit saja, Ify pulang. Bukan menunggu sampai sesore ini.” Gabriel mengepalkan tangannya kuat-kuat. Berharap hatinya remuk saja. Daripada terus menerus merasakan pesakitan ketika melihat Ify tetap tampil dengan ekspresi polosnya.
Ify menggeleng. Kunciran rambutnya yang sudah acak-acakan bergoyang kesana-kemari. “Gabriel tidak pernah terlambat untuk Ify. Tidak pernah sedetik pun. Gabriel selalu tepat waktu. Seperti matahari. Tidak pernah terlambat bersinar. Gabriel seperti mata untuk Ify. Gabriel membuat Ify bisa ‘melihat’”
“Ifyyyy…”
Ify tersenyum. Menarik tangan Gabriel masuk ke dalam mobil. “Ayo pulang!”
Kini, Gabriel sudah siap di balik kemudi. Lengkap dengan sabuk pengamannya. Ify pun sama. Duduk manis di bangku penumpang bagian depan.
“Jalan yuuuk!” pekik Ify begitu ceria. Mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Namun Gabriel belum mau menghidupkan mesin mobil. Pemuda itu termenung. Memaki dirinya sendiri dalam hati. Bagaimana bisa, ia telah berbuat kesalahan yang begitu besar, dan Ify baik-baik saja? Tidak marah, tidak merajuk. Bahkan bertanya ia kemana saja pun tidak. Tuhan…
Ify mengerutkan kening. Memicingkan mata menatap Gabriel. Dari samping, Ify bisa melihat rahang Gabriel bergemeletuk tertahan. “Kenapa? Ayo jalan!”
“Kamu kenapa ga marah sama aku sih Fy? Atau bilang kamu kecewa sama aku. Kenapa? Kenapa kamu selalu baik? Kamu selalu saja sama semua orang.” tukas Gabriel dengan tatapan lurus ke depan. Tak sanggup melihat wajah Ify yang pasti akan membuatnya semakin dihantui perasaan bersalah.
Gabriel tidak sadar, bahwa apa saja ia saja racau, ternyata melukai hatinya.
Mengapa ia tidak marah? Karena kalau Ify marah, gadis itu akan melampiaskannya pada dirinya sendiri. Sebelum pindah ke kotanya yang sekarang, Ify berjanji untuk tidak pernah marah lagi. Mama selalu sedih kalau ia marah.
Mengapa ia tidak mengungkapkan kekecewaannya? Untuk apa? Toh bagi Ify, Gabriel tidak pernah mengecewakan. Selalu memberikan yang terbaik untuknya. Buktinya, saat bermain sepakbola tadi.
Dan mengapa ia selalu berbuat baik kepada semua orang? Karena sebelum waktunya tiba, Ify ingin menabung segunung kebaikan. Karena setelah waktu itu tiba, mungkin ia tidak bisa lagi berbuat baik. Bahkan ia hanya akan merepotkan banyak orang –walau sebenarnya tidak. Ify hanya memanfaatkan waktu yang ia miliki dengan melakukan kebaikan sebanyak mungkin. Ah waktu. Selalu saja menjadi momok menakutkan nomor satu.
Ify menengadahkan kepalanya. Menahan agar air yang mulai menggenangi matanya tidak lantas terjatuh. Ia tidak mau menyiksa matanya sendiri. Tapi cara itu, tidak bisa mencegah dorongan kristal bening yang terlalu kuat. Setetes jatuh. Maka yang lain pun turut jatuh. Ify menangis. Menunduk menyembunyikan wajahnya sesenggukan.
Gabriel terkesiap mendengar isakan Ify. Lagi-lagi ia membuatnya menangis. Entah untuk yang keberapa kali. Aduh! Kenapa dirinya selalu menjadi dinosaurus yang galak sih untuk Ify.
“Ifyyyy…” Gabriel menjulurkan tangannya. Menggapai kepala Ify, dan mengelusnya lembut. “Jangan nangis! Tolong! Maafin aku!” ujar Gabriel dengan nada memelas.
Ify mengangkat wajahnya. Dengan masih menyisakan sedikit isakan, ia berusaha mengukir senyuman. Ify menatap Gabriel lembut. Agak buram sebenarnya. Akibat air mata yang masih menggenang di sana. Juga kemampuan matanya yang kian hari kian menurun.
“Ify hanya mau, Gabriel tetap menjadi mata untuk Ify. Ify ingin ‘melihat’ selamanya.”
Gabriel mengangguk samar. Apapun untuk Ify. Ia sanggup lakukan. Menjadi mata untuk Ify bisa melihat begitu indahnya dunia. Menjadi telinga untuk Ify bisa mendengar senandung kebahagiaan dari alam. Menjadi hati untuk Ify bisa merasakan letupan-letupan perasaan menyenangkan. Walau sesungguhnya, hanya ‘melihat’ yang benar-benar Ify butuhkan. Karena makna yang sebenarnya dari ungkapan Ify tadi adalah, Ify ingin Gabriel menjadi matanya. Meskipun ia tidak bisa melihat wujud Gabriel nanti, paling tidak, ia tahu kalau Gabriel selalu ada dimana pun ia tinggal. Itu saja, sudah cukup. Karena untuk berharap ‘melihat’ saja, serasa mustahil untuknya. Walau Tuhan berjanji tidak ada yang mustahil bagi-Nya.
“Ayo pulang!” ucap Ify. Belum memindahkan manik yang ia letakkan pada kedua pelihat elang itu.
Gabriel tersenyum. Mulai menghidupkan mesin. Dan melajukan mobil mewahnya. Mengantarkan Ify pulang. Sepanjang perjalanan, ia menyulam bermilyar doa. Semoga ia tidak akan pernah mengecewakan Ify. Kalaupun sampai terjadi, ia akan mengutuk dirinya sendiri.
***
Bersambung