Lebih Dari Plester part 13A
Kalau begini jadinya, aku tidak ingin diberitahu akan seperti apa aku nanti. Tuhan, lindungi aku dari keadaan tahu ini!
***
Ify melihat refleksi seorang gadis dalam cermin. Nampak sempurna dengan balutan seragam sekolahnya. Lengkap dengan bletzer biru kotak-kotak berenda. Rambutnya dibiarkan terurai. Kalung perak menjuntai menghiasi lehernya. Apa yang kurang?
Coba perhatikan dari ujung sepatu
katsnya. Bergerak menuju kaus kaki setengah betis dengan hiasan pita. Lalu rok yang ujungnya sedikit di atas lutut. Kemeja putih yang masuk ke dalam rok. Lantas dasi yang dipasang rapi di balik kerah kemeja. Tapi...
Mari lihat wajah polos namun pucat itu. Pucat? Bagaimana urusannya? Mengapa bisa pucat seperti itu? Seakan separuh kehidupan telah meninggalkan raga ringkih itu. Bibirnya putih dan pecah-pecah. Persis seperti seseorang yang sedang sariawan. Ah tentu saja urusan ini lebih dari sekedar sariawan. Sepasang mata itu berkedip sayu. Kadang mengerjap lemas. Satu darinya yang tak pernah berubah. Caping hidung mancung itu tetap saja sama. Bangir dan menggemaskan.
Gadis itu mendengar detak jarum pada jam dinding yang menempel pada tembok bercat biru muda kamarnya. Menyentak lamunannya. Terburu ia menyambar ransel merah mudanya. Lalu berjalan agak tersaruk keluar kamar.
Satu persatu anak tangga dilalui dua kaki mungil itu secara perlahan. Kadang terseok. Mengingat tubuh itu entah mengapa terasa begitu lemas. Hampa seperti kapas.
Sebenarnya, penurunan kondisi tubuh Ify berlangsung sejak kemarin ia pulang dari bermain di lapangan pinggir kota bersama Gabriel. Bahkan sesaat setelah Gabriel mengantarkan Ify sampai rumah, gadis itu langsung jatuh pingsan. Mama panik menelpon Dokter Keke. Dokter yang setia menemani perkembangan Ify sejak tiga tahun yang lalu. Sejak Ify masih tinggal di Bandung. Dulu, satu bulan sekali Ify harus menyambangi rumah sakit tempat Dokter Keke bekerja yang ada di luar kota. Itulah sebabnya mengapa Ify pindah. Supaya Ify mudah memeriksa perkembangan penyakit aneh yang diidapnya. Entah apalah namanya. Ify tidak tahu. Dan sungguh, Ify tidak ingin pernah tahu. Kota tempat tinggal Ify sekarang, adalah kota tempat Dokter Keke bekerja.
Juga Papa. Mama menyuruh Papa segera pulang. Lupakan meeting-meeting itu. Tinggalkan segala berkas yang 'katanya' penting itu. Pulang. Pulang dan lihat betapa gadis kecilnya sungguh menyedihkan. Pulang dan rengkuh tubuh mungil yang memikul semilyar beban itu. Pulang dan kecup dahi berkeringat dingin itu. Pulang dan... Dan doakan keselamatan untuk putri sematawayang mereka. Minta agar Tuhan senantiasa melindunginya. Berharap pada-Nya untuk selalu memberikan kekuatan yang lebih dari apa yang tak pernah terkira.
Mama dan Papa ketar-ketir bertanya setelah Dokter Keke selesai memeriksa.
"Bagaimana dengan Ify, Dok? Ify tidak apa-apa? Matanya? Semuanya?"
"Apakah Ify meminum obatnya secara teratur? Tepat waktu? Karena dari analisa saya, penurunan kondisi Ify disebabkan karena ia tidak meminum obatnya. Ibu dan Bapak sudah tahu bukan khasiat obat itu? Ify memang tidak akan sembuh. Tapi paling tidak, ia masih bisa beraktifitas seperti biasa." panjang lebar Dokter Keke menjelaskan.
Mama menangis histeris. Menciumi wajah putrinya yang terkulai tak berdaya di atas tempat tidurnya. Menutup mata. Sementara Papa masih mendengarkan seksama petuah-petuah dari Dokter cantik itu.
"Bapak harus ketat mengawasi Ify! Jangan sampai ia melewatkan satu kaplet pun dari jadwal rutinnya. Ify bisa melakukan apa saja. Pekerjaan seberat apa pun. Asal Ify minum obat itu. Dan satu lagi. Untuk seminggu ini, Ify harus beristirahat total."
Papa mengangguk mengerti. Mengusap punggung Mama. Menguatkan.
"Baiklah Pak Ozy, Bu Zahra. Saya permisi dulu." Dokter Keke berpamitan. Hendak pulang.
"Ify Pa! Ify! Bagaimana kalau Ify kenapa-napa?" Mama mulai meracau. Tersedu menangis dalam dekapan Papa.
"Sttt! Tidak Ma! Ify anak yang kuat!" begitu Papa bersugesti. Meyakinkan. Keyakinan adalah satu-satunya usaha yang masih tersisa di antara mereka.
Papa dan Mama mengusap wajah pucat namun tetap terlihat polos itu. Ada kilau memancar dari sana. Entah apa. Namun ketika kilauan itu kian bersinar, sungguh siapa pun yang melihatnya akan berdecak terpana. Mengagumkan.
Mereka setia menunggui Ify. Tak sekali pun meninggalkan Ify sendiri. Selalu harus ada salah satu dari mereka yang berjaga. Karena mereka ingin, ketika Ify membuka matanya kembali, ia tidak sedang sendiri. Sungguh, ia tidak akan pernah sendiri.
Maka saat malam hampir mencapai larut, ketika Ify menunjukkan tanda-tanda kehidupan dengan menggerakan jemari tangannya, tepat Mama dan Papa berjaga bersama. Lalu kedua mata itu pun terbuka. Buram pada awalnya. Tapi pada akhirnya, wajah-wajah bersahaja itu jelas dilihatnya. Syukurlah! Ify masih bisa melihat wajah kedua orang tuanya. Karena dari sanalah, keteduhan dan ketenangan didapatnya.
Mama langsung memeluk Ify. Pun dengan Papa. Erat mendekap gadis mungilnya. Berbahagia. Berterimakasih sebesar-besarnya pada Tuhan untuk masih memberikan kekuatan pada Ify agar tetap bertahan.
Sejak saat itu, Mama dan Papa berjanji bahwa mereka tak akan lalai menjaga Ify. Tentu saja. Kalau mereka tidak lalai, mana mungkin Ify terlewat meminum obat.
Karena mereka telah diberi tahu, mereka tak akan menyia-nyiakan satu kedipan mata pun dari waktu.
"Ma..." suara serak itu mengecil di ujungnya. Masuk ke dalam lubang telinga seorang wanita yang tengah duduk bersandar di sofa. Sisa rasa lelah akibat begadang semalam masih menggelayutinya. Wanita itu berada di batas sadar dan tidak. Wanita itu kontan berdiri. Menengok muasal suara. Di sana. Di ujung tangga, putrinya berdiri dengan pakaian rapi. Mau kemana? Sekolah?
"IFY? " Mama memekik. Berlari menghampiri putrinya. Kesadaran sudah benar-benar diraihnya.
"Ify mau kemana?" tanya Mama retoris.
"Ify mau sekolah Ma. Hari ini pelajaran matematika. Pelajaran kesukaan Ify." gadis itu menjawab dengan gaya khasnya. Riang. Walau kali ini terkesan dipaksakan.
Mama menggeleng. "Jangan sekolah dulu ya sayang!"
"Tapi Ma, hari ini banyak PR. Kalau Ify ga ngumpulin PR, nanti Ify dihukum. Sama kaya Rio. Bu gurunya galak."
Blasss...
Hati itu sempurna mencelos. Duhai langit, apakah kau dengar ucapan gadis itu? Bagaimana mungkin dalam keadaannya yang seperti ini, ia masih memikirkan hal kecil sekali ber-PR? Apakah ia tak mempedulikan kondisi tubuhnya? Bahkan ketika dibawa berjalan pun, rasanya seperti melayang.
Sekali lagi Mama menggeleng. "Tidak. Kata Dokter Keke, Ify harus istirahat! Ify tidak boleh sekolah!" ujar Mama dengan suara bergetar. Indikasi bahwa wanita itu tengah menahan tanggul air mata itu untuk tidak pecah.
"Pokoknya Ify ingin sekolah!" nada suaranya perlahan meninggi. "Di rumah tidak seru. Tidak ada Gabriel, Oik, Rio dan teman-teman yang lain. Di rumah tidak seru. Ify sendirian."
Sendirian? Mengapa cepat sekali perasaan itu datang? Bukankah belum waktunya? Mengapa ia harus diberitahu? Sungguh! Ia tidak ingin mengetahuinya.
"Lagian, siapa sih Dokter Keke? Berani benar menyuruh Ify. Dokter Keke tidak berhak." Ify mengusap matanya yang basah. Juga pipi pualamnya yang sedia menjadi tadahan air mata yang pertama. "Ify capek disuruh-suruh Dokter Keke. Sebulan sekali ke rumah sakit lah. Ify ngeri melihat jarum suntik. Ify juga bosan harus minum obat. Saking seringnya Ify minum obat, semua yang dimakan Ify rasanya sama kaya obat!"
Ify memuntabkan keluh kesahnya pagi ini. Dari sana, tersirat bahwa Ify tengah bertanya pada Tuhan. Mempertanyakan kasih-Nya. Mengapa harus ia yang terpilih dari milyaran mahluk bumi untuk mengidap penyakit itu. Karena tiga tahun hidup beriringan dengan penyakit itu, sudah sangat menyiksa.
Mama melompat memeluk Ify. Apa yang didengarnya sudahlah cukup. Ia bisa menebak bahwa putrinya telah berada selangkah lagi menuju keputusasaan. Sebelum akhirnya menyerah. Dan kalah. Tidak boleh! Kalau seperti itu, apalah artinya tiga tahun penuh tantangan itu? Tiga tahun yang melelahkan. Bahkan vonis Dokter Keke yang mengatakan bahwa Ify tidak mampu bertahan lebih dari dua tahun, mampu terpatahkan. Gadis itu berhasil menembus tahun ketiga bersama penyakit itu. Jadi sekarang, Ify hanya perlu bersabar. Sabar sampai waktu yang tak ada ujungnya. Karena sungguh, kesabaran tak memiliki batasan.
"Ify jangan dulu sekolah! Kalau Ify tidak mau melakukannya untuk Ify, lakukanlah demi Mama! Mama mohon!" Mama memelas seraya terus menangis. Nafasnya beberapa kali tersengal.
Maka keegoisan itu luruh seketika. Jangan! Jerit Ify dalam hati. Jangan sampai memelas seperti itu! Karena sudah sepatutnyalah ia melakukan segala apa pun yang diminta Mama. Sungguh! Ify tidak akan menolak. Ify tidak ingin menjadi anak durhaka.
"Iya Ma! Ify tidak akan sekolah. Tapi..." Ify tersengal. "Tapi PR Ify bagaimana?"
"Biar. Biar Mama yang ke sekolah buat kasih PR Ify ke Ibu guru galak itu." ujar Mama. Mencoba tersenyum di antara derai air mata.
Ify ikut tersenyum. Mengeluarkan buku PRnya. Menyerahkannya pada Mama. Lalu mengikuti perintah sang Mama untuk kembali beristirahat di kamar. Tenang saja! Ify tidak akan sendirian di sana. Ada boneka dinosaurus kesayangannya yang selalu setia bertengger di samping bantalnya. Juga pastilah Ify tahu, bahwa si pemberi boneka itu pun tak akan pernah meninggalkannya. Di mana pun sekarang ia berada, hati beserta isinya ada dalam tiap nafas yang terhela. Walau si empunya hati, kini tengah kesulitan menjaga. Semua mudah. Semua mudah karenanya. Selalu itu yang menjadi pedoman langkahnya.
***
Rio menghapus buliran keringat di pelipisnya. Ratusan kali sudah ia memanjat gerbang yang menjulang itu, tapi masih saja berhasil menguras tenaganya. Sial! Nanti-nanti kalau ia terlambat lagi, ia akan membawa tangga. Supaya gampang melewati gerbangnya.
Rio menoleh ke kanan-kirinya. Yes! Tak ada satpam gendut itu. Bagi Rio, satpam gendut itu lebih menyeramkan dari guru yang mengajar di jam pertama. Gurunya paling memberikan hukuman membersihkan toilet. Atau hanya sekedar menegur bahkan. Berbeda dengan satpam gendut itu. Dia tak segan menyuruh siapa saja yang ketahuan terlambat push up lima puluh kali, lari keliling lapangan upacara sepuluh kali, dan memijit kakinya. Ha? Hukuman macam apa itu? Memijit? Apa Rio terlihat seperti tukang pijit? Ck.
Sepanjang sejarah terlambatnya, baru sekali Rio tertangkap basah oleh satpam gendut itu. Dan Rio bertekad, cukup satu kali saja. Tidak pernah terulang lagi sepanjang hidupnya. Rio tidak mau memijit kaki satpam gendut itu. Jarinya bau terasi.
Rio sampai pada rintangan berikutnya. Ruang guru. Seribu kali sial. Kenapa coba kelasnya harus berada di ujung? Kan kalau kesiangan seperti ini jadi susah. Rio merutuk. Bertekad, kalau suatu hari nanti ia menjadi arsitek, ia akan membangun ruang guru di ujung. Agar ketika anak-cucunya terlambat datang, tak akan serepot dirinya.
Rio berjalan mengendap-endap. Meminimalisir derap kakinya. Langkahnya agak dipercepat ketika melintasi ruang guru yang pintunya setengah terbuka. Lantas semakin cepat ketika melangkah menuju kelasnya.
Pemuda itu benar-benar raja telat. Segalanya benar-benar telah dirancang sempurna. Kakinya gesit berlari. Lalu akan berhenti seketika jika dilihatnya siapa saja yang membahayakannya. Seperti sekarang. Rio mengerem langkahnya, saat didapatinya Bu Winda -guru yang mengajar pada jam pertama di kelasnya- tengah berbincang bersama seorang wanita yang seumuran dengan Maminya di depan kelas. Wajah wanita itu seperti tak asing di matanya. Seperti pernah dijumpainya di tempat lain. Tapi siapa? Rio mengerenyit, penasaran. Tanpa sadar melangkah menghampiri mereka. Hendak mencuri dengar. Lupa bahwa seharusnya ia menyelinap masuk kelas. Bukan malah bergabung untuk mengetahui obrolan Bu Winda dan wanita itu. Ah, Rio terlalu penasaran.
"Sekali lagi terimakasih ya Bu! Saya permisi dulu!" wanita itu agak membungkuk, memberi hormat. Lantas melengos meninggalkan Bu Winda. Sekilas nampak tersenyum ketika berpapasan dengan Rio.
"Dia siapa Bu?" tanya Rio.
"Mamanya Ify." jawab Bu Winda.
Rio berkata Oh pelan. Mengangguk. "Mau apa kesini?"
"Nganterin buku PR Ify." Bu Winda menunjukkan beberapa buku yang ada di tangannya. "Ify sakit. Seminggu ke depan, dia ga masuk."
Rio terperanjat. Sakit? Ify sakit? Tapi bukankah kemarin gadis itu baik-baik saja? Malah riang bermain bola dengannya.
Ada rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Menguliti tiap jengkal permukaan organ vital itu. Ketika mengetahui bahwa Ify cantik-nya sakit. Gadis polos itu. Gadis yang tiba-tiba datang dan mencuri sekeping hatinya. Hingga ia merasa perlu merebut kembali kepingan itu. Karena kalau tidak, kepingan hati yang masih bertahan pada tempatnya akan lekas membusuk. Pincang tanpa keping pelengkap.
Sekarang, gadis pencuri kepingan itu sedang sakit. Demam hingga butuh dikompres semalaman. Flu hingga tidak boleh makan eskrim. Bagaimanalah hatinya tidak turut sakit? Karena mencintai adalah tentang kepedulian. Satu sakit, sakitlah semua.
"Rio." Bu Winda menyentak lamunan Rio. "Kamu terlambat lagi?" tanya Bu Winda yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Toh, Bu Winda sudah tahu apa nanti jawabannya. Beliau sudah terlalu hafal. Hampir bosan memarahi Rio. Hampir buntu akalnya berfikir tentang bagaimana agar kebiasaan super jelek Rio itu enyah.
"Hehe..." Rio nyengir. Rio kira, Bu Winda lupa. Menggaruk tengkuknya.
Bu Winda berdecak. Poin kesekian untuk tebakan yang tak pernah sedikit pun melenceng. "Sudahlah!" Melambaikan tangan. "Hukuman untuk kamu hanya duduk di tempat Ify selama Ify tidak masuk. Jadi, berdoalah semoga Ify lekas sembuh. Kamu tidak suka duduk di depan, bukan?" Bu Winda melengos masuk ke dalam kelas.
Sementara Rio masih belum bergerak dari tempatnya. Tertegun. Bukan karena memikirkan hukuman dari Bu Winda. Masa bodoh ia mau duduk dimana. Duduk lebih depan dari meja guru pun ia siap. Tapi ini tentang Ify. Berdoalah semoga Ify lekas sembuh. Kalimat itu terdengar menyayat. Tapi mengapa? Tentu saja ia akan berdoa untuk segala kebaikan Ify cantik-nya. Bukan karena Rio tak ingin duduk di garda depan. Tapi memang itu sudah menjadi kewajibannya. Ia menciptakan fatwa untuk dirinya sendiri. Dan dari seutas kalimat itulah, Rio diberitahu bahwa Ify bukan sakit biasa. Bukan demam atau flu seperti tebakannya. Seperti sebuah teka-teki silang. Beruntun semua jawaban diketahui. Ya, Rio akan segera diberitahu.
Rio melangkah masuk ke dalam kelas. Tak ada satu pun yang menyorakinya. Coba saja bukan Rio yang terlambat, sudah habis diberondong sorakan. Ah, mereka bosan menyoraki orang yang sama setiap pagi. Rio, raja telat seantero sekolah mereka.
Rio lantas duduk di kursi kosong yang ada di samping Gabriel. Biasanya di kursi itu duduk Ify cantik-nya. Selalu menyapa hangat kedatangannya. Ceria melambaikan tangan. Tapi sekarang, gadis itu tak ada. Sakit. Rio mendesah berat. Melepas ranselnya.
"Eh..." Gabriel terkesiap. Mengalihkan perhatian dari buku paket matematikanya. Mendapati siapa yang baru saja lancang duduk di sampingnya. Rio.
"Ini tempat duduk Ify. Ngapain lo duduk disini?" sengit Gabriel bertanya. Rahangnya tiba-tiba mengeras. Semuanya sensitif kalau sudah menyangkut Ify. Bahkan hal sesepele tempat duduk pun, tak akan malas untuk dipermasalahkan.
Rio memutar bola mata. Tolong jangan berlebihan seperti itu! Ini hanya soal tempat duduk. Lagipula, dulu tempat itu adalah tempatnya. Gabriel sendiri yang memaksanya untuk duduk di sana. Meski berulang kali ia berkata, bahwa ia tidak suka duduk di baris paling depan. Tidak bisa tidur ketika guru menerangkan. Tidak bisa mencontek saat ulangan. Ia memberikan ultimatum lewat decakan samarnya. Walau ia pun sadar, ia akan melakukan hal yang lebih dari kategori berlebihan untuk Ify cantik-nya. Rio mengeluarkan perkakas belajarnya.
"Yo!" Gabriel berkata agak keras. Gerah juga dengan sikap Rio yang terkesan mengacuhkannya.
Rio mengerjap. Memandang Gabriel sebal. Tak usah bicara terlalu keras kenapa? Dia tidak tuli. "Ify sakit. Gue telat lagi."
Gabriel mengerenyit mendengar jawaban Rio. Ify sakit? Apa mungkin karena kemarin Ify bermain terlalu semangat? Tapi, bukankah setiap hari gadis itu selalu bersemangat. Gabriel terkesiap. Mengesampingkan sejenak kekhawatirannya akan kondisi Ify. Ia bertanya kembali. Jawaban Rio kurang jelas. Memangnya, apa hubungannya Ify sakit dan Rio telat? Rio kan memang raja telat. Jauh sebelum Ify datang merubah tiap kedip mata mereka yang terasa sangat berharga.
"Apa?"
Rio lagi-lagi berdecak samar. Ia menghela nafas panjang. Menghembusnya perlahan. "Ify sakit, dan dia ga bisa masuk. Terus, gue telat. Hukumannya gue disuruh duduk di sini sama lo. Please ya Yel! Udah ngerti? Lo kan jenius. Lo juara kelas tiap semester. Semester lalu bahkan lo jadi juara umum. Terus lo juga pernah ikut olimpiade. Jadi juara ke berapa waktu itu? Dua ya? Ah, lumayan! Lo juga..."
Gabriel memejamkan mata. Membiarkan celotehan Rio menguap di udara. Sana bicara sampai berbusa! Ia tidak peduli. Kalimat di awal celotehan yang entah kapan ujungnya itu sudah cukup membuat keningnya tak lagi terlipat. Tentu saja. Otak Gabriel terlalu encer. Dia pemuda yang jenius. Tapi kini, apa gunanya kejeniusan itu, kalau menjaga gadis yang dicintainya saja ia tidak bisa. Ify sakit karena bermain dengannya. Ya, pasti karena itu. Padahal kemarin, ia sendiri yang mendeklamasikan ikrar itu. Akan selalu menjaga Ify. Bagaimana ini? Ify bahkan menyanggah ikrar itu. Berkata bahwa akan lebih baik menjaga hatinya terlebih dulu! Lihat! Ify ternyata sudah tahu bahwa Gabriel tidak akan mampu menunaikan ikrar itu. Karena menjaga hatinya sendiri saja, Gabriel tidak bisa. Lantas bagaimana ia akan menjaga Ify? Maaf! Ia tidak bermaksud mengingkarinya. Langit, beri ia kesempatan yang lain!
"...Lomba murid berprestasi. Ah, elo emang pintar Yel! Elo kayaknya cicitnya Eyang Albert Einstein." Rio masih berceloteh. Mumpung Bu Winda belum mulai memberikan materi. Berkutat dengan kertas-kertas entah apalah di mejanya. Lalu baru berhenti ketika ekor matanya tak sengaja menangkap kursi kosong di belakang Gabriel. Kemana penghuninya? Tapi tas selempang merah mudanya masih ada. Rio menyikut Gabriel. Hendak bertanya.
Gabriel tak menggubris sikutan Rio. Sibuk dengan rutukan atas dirinya yang sangat pengecut itu. Kedua matanya terpejam. Seperti sedang melakukan semedi.
Dasar curang! Saat Gabriel bertanya, Rio wajib menjawab. Giliran Rio yang bertanya, terserah Gabriel mau menjawab atau tidak. Orang jenius itu ternyata menyebalkan.
Maka Rio memutuskan untuk bertanya pada Angel, gadis yang duduk di samping Oik.
Rio langsung diam. Tergugu. Mematung menatap papan tulis. Mencelos mendengar keterangan dari Angel. Oik pingsan. Gadis yang pernah menguasai seluruh hatinya itu tengah terbaring lemah di UKS. Padahal, tadi dia baik-baik saja. Masih sempat menempelkan kertas pengumuman di papan mading bersama Patton, sepupunya. Rio menggigit bibir bagian bawahnya. Dua gadis penting dalam hidupnya tengah menderita. Ify dan Oik. Tuhan, kalau diizinkan ia untuk meminta, bolehkah penderitaan kedua gadis itu dialih bebankan saja padanya. Sungguh, ia ikhlas.
Karena cinta, adalah tentang keikhlasan. Rio telah terlebih dahulu diberitahu tentang hal itu. Sedang Gabriel, ia masih menapaki jalan untuk mencari tahu.
***
Rio meninggalkan teman-temannya yang sedang berlatih sepakbola di lapangan. Persiapan untuk pertandingan persahabatan yang akan digelar minggu depan. Rio bilang, ia tak akan lama. Hanya ke toilet saja.
Tapi langkah kakinya tidak seiring dengan ucapannya. Alibi itu hanya untuk menghindari pertanyaan teman-temannya yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Kalau sampai tidak tahu, ujung-ujungnya pasti sok tahu. Menyebalkan. Rio berjalan menuju UKS. Hendak menemui mantan gadisnya. Semoga ia sudah tidak apa-apa. Baik-baik saja.
Pintu yang dicat putih itu menjeblak terbuka. Rio mendorong kenopnya persis bersamaan dengan tarikan seseorang dari dalam. Rio agak terhenyak ketika melihat siluet yang menyembul dari balik pintu. Lalu tersenyum kala siluet itu menyapa hangat dirinya. Patton. Ah, dia memang pemuda paling hangat seluruh dunia.
"Oik ada di dalam, belum siuman." ujar Patton. Seakan tahu apa tujuan Rio menyambangi ruangan itu. "Gue lapar, mau cari makan. Daaa." Patton melengos melewati Rio. Melambaikan tangan dan menghilang di ujung lorong.
Rio lalu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti akibat pertemuan singkat tapi hangatnya dengan Patton. Aroma obat-obatan langsung menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya. Membuat kepalanya agak sedikit pening. Sumpah! Rio benci tempat ini. Rio benci UKS. Rio benci rumah sakit. Rio benci tempat kerja Maminya. Intinya, Rio benci semua tempat yang menyambutnya dengan aroma menyengat obat-obat.
Kalau bukan karena kekhawatirannya pada Oik, ia tabu untuk datang ke tempat itu sekarang. Rio merutuk dalam hati. Demi gadis imut itu, Rio rela bertahan dengan kepala seperti dihantam godam raksasa. Pusing.
Pening, pusing serta kawan-kawannya itu tiba-tiba hilang dari kepala Rio, tatkala ia mendapati seorang gadis imut terkulai di atas ranjang yang sekarang hanya sepelemparan batu saja darinya. Gadis itu tenggelam dalam hela nafas teratur. Berbalut selimut putih garis-garis hitam. Lamat-lamat, Rio semakin mendekat. Lalu ketika telah mampu, tangannya terulur untuk menyentuh wajah manis itu. Wajah yang sangat cantik ketika kesadaran tak merajai raganya. Karena seseorang akan terlihat sangat cantik, ketika ia tertidur. Karena pada saat itu, tidak ada kepalsuan yang berpendar. Semua yang terlihat adalah bentuk kejujuran. Tiada secuil pun kemunafikan.
Dalam senyap, Rio mengagumi kecantikan itu. Masih sama seperti dulu. Tak banyak berubah. Andai saja, rasa untuk gadis itu juga tak berubah. Tetap semagis dulu. Sayang. Walaupun hati itu berada dalam tubuhnya, semuanya di luar kuasanya. Bukan ia yang meminta hatinya untuk merubah perasaan itu. Karena jika ia bisa, ia ingin mencintai gadis itu sampai waktu yang tak ada ujungnya.
Rio menggunakan telunjuknya untuk menyusuri tiap permukaan wajah gadis itu. Dari kening, hidung, hingga bibir mungil itu. Rio berhenti di sana, di antara kedua bibir sang gadis. Pernah ketika dulu gadis itu masih berhak untuknya, ia hendak merasakan bagaimana manisnya bibir mungil itu. Tapi segera ia musnahkan keinginan itu. Ia belum sepenuhnya berhak atas gadis itu. Dan mungkin, ia takkan pernah lagi berhak. Maka, tak bolehlah Rio berangan-angan merasakan bibir mungil itu. Tidak boleh untuk selamanya. Bahkan berkhayal pun, tetap tidak boleh.
Telunjuk itu kemudian tergesa diangkat oleh pemiliknya, kala bibir mungil yang sebelumnya ditapaki tiba-tiba bergerak. Tanda bahwa kesadaran telah kembali usai jauh berkelana. Sejurus kemudian, sepasang mata itu menyusul. Awalnya mengerjap. Cahaya berpilin menyilaukan. Namun lamat-lamat sempurna membelalak.
"Oik? Lo udah sadar? Syukurlah!" Rio mengusap lembut rambut gadis bernama Oik itu. Senyum mengembang dari bibirnya.
Oik mengerjap. Baru menyadari, ada siluet lain yang menghuni ruangan itu selain dirinya. Lebih tepatnya menunggu kesadarannya. Oik meringis. Bercicit pelan. "Rio... Kenapa lo ada di sini?"
"Gue akan selalu ada buat lo, sebelum lo dapat orang lain yang juga akan selalu ada buat lo."
Apa? Oik mengepal tangannya kuat-kuat. Satu fakta mengejutkan baru saja ia dapatkan. Bahwa selama ia belum menemukan tambatan hati yang baru, Rio tak kan angkat tangan. Selalu merasa bahwa dirinya masih berada dalam tanggung jawab pemuda itu. Sungguh. Bukan ini yang ia mau. Ia tak mau menjadi beban untuk orang lain. Apalagi untuk Rio, pemuda yang pernah dicintai dan mencintainya. Kalau boleh ia meminta, ia ingin dicintai dan mencintai Rio lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi.
Tapi kali ini sungguh berbeda. Rio sendiri yang mengatakan pada Oik, bahwa ia telah menemukan gadis yang akan ia limpahi kasih sayang. Lalu kenapa Rio masih begitu peduli padanya? Kalau begitu, bolehkah gadis itu meminta agar ia segera dipertemukan dengan pemuda yang akan ia kucuri sejuta perhatian? Karena dengan itu Rio akan fokus pada gadisnya saja. Tidak ada embel-embel dirinya. Karena Oik takkan pernah tega menjadi benalu di antara mereka. Apalagi setelah ia tahu siapa gadis itu. Ify. Oik sadar, kalau selama ini ia sering menganiaya batin Ify. Walau gadis polos itu tak pernah sedikit pun menyadari. Ia selalu berprasangka baik pada semua orang.
Dan oleh sebab itu, untuk menebus segala kekhilafannya, Oik akan melakukan apa saja demi agar Ify bahagia. Bersama siapa pun gadis itu nantinya. Masa bodoh dengan Sivia. Oik kini tidak peduli pada gadis plester tak tahu balas budi itu. Tak tahukah pengorbanan Oik selama tiga tahun yang dilakukan hanya teruntuk dirinya? Orang yang Oik anggap sebagai sahabatnya. Mana seonggok kata terimakasih yang sepantasnya Oik terima? Tidak ada. Bahkan mengenalinya saja, gadis itu tidak.
Pamrih bukan sifatnya. Hanya saja, Oik tidak terima. Bukan seperti ini yang ia harapkan. Harusnya, Sivia sembuh, lantas pulang, lalu kembali pada Gabriel. Dan semuanya selesai. Maka semuanya terhenti pada kata seharusnya. Sivia memang sembuh. Ia juga telah pulang. Tapi entah ia harus kembali pada siapa. Ia pun tak tahu.
Lalu apakah Gabriel sudah tahu tentang keberadaan Sivia di sekolah mereka? Ah, cepat atau lambat, Gabriel pasti akan tahu. Mereka berada di lingkungan yang sama. Tapi sebelum semua itu terjadi, Oik harus bergerak cepat. Menjadi orang pertama yang memberikan informasi penting itu pada Gabriel. Jangan sampai ia tahu lebih dulu. Atau lebih parah lagi, ia sampai bertemu. Jangan! Akan terlalu mengejutkan. Pemuda itu harus mempersiapkan segalanya. Fisik, mental serta yang paling penting adalah hatinya. Karena sekali ia lengah menjaga hatinya, maka dipastikan ada seseorang yang sangat amat terluka. Ify orangnya. Dan Oik tidak mau itu terjadi. Sejak hari ini, ia berjanji bahwa ia berada di pihak Ify. Orang pertama yang akan membela mati-matian apa yang menjadi hak gadis itu. Semata-mata, untuk melunasi segala kesalahannya.
"Gabriel dimana Yo?"
"Eh... Hah? Di lapangan. Lagi latihan sepakbola." ujar Rio sedikit terbata.
Oik menendang selimut yang sebelumnya menghangatkan tubuhnya. Membuat sang selimut bergulung di ujung ranjang. Lantas, gadis berambut sebahu itu melompat dari ranjang. Hampir saja terjatuh karena topangan kakinya tidak terlalu kuat. Namun bisa terelakan dengan gerakan tangan Rio yang sigap menahan tubuh Oik yang oleng.
"Lo mau kemana Ik? Lo masih lemes. Nanti kalau pingsan lagi gimana?" Rio cemas bertanya.
"Gue harus ketemu Gabriel." Oik menepis tangan Rio dari pinggangnya. Mencoba melangkah, tanpa bantuan siapa pun.
Gagal. Lagi-lagi, Oik hampir terjengkang. Tulang-tulang kakinya seperti berubah menjadi tahu. Lembek. Tak kuasa menopang tubuhnya. Dan lagi-lagi, Rio berhasil menahan tubuh Oik dari belakang. Lalu pada posisi itulah, masing-masing pelihat mereka bertemu. Jaraknya hanya sehembusan angin. Sangat dekat. Hingga Rio jelas mendapati bibir mungil itu menggodanya. Minta dilumat.
Oik merasakan pipinya memanas, kala hela nafas Rio menyapu lembut setiap inci permukaan wajahnya. Bibirnya gemetar berkata. "R-Rio..." pelan. Terkesan seperti sebuah keluhan. Ya, Oik tidak suka dipandangi dengan tatapan setajam itu. Oik risih ketika wajah tampan Rio terlalu dekat dengan wajahnya.
Pemuda itu akhirnya terkesiap. Mengucapkan kata maaf dengan suara tak kalah pelan. Maaf karena ia hampir saja berniat menodai gadis itu. Dan maaf kalau sampai itu terjadi, akan ada gadis lain yang ia kecewakan. Walau ternyata, gadis itu tak seberapa peduli terhadapnya. Dia hanya menganggap dirinya Rio kece. Harusnya, Rio tahu akan hal itu.
"Gue bantu ya!" Rio mengangkat tubuh Oik. Membawa gadis itu ke lapangan untuk bertemu Gabriel. Seperti apa yang diinginkannya. Rio tidak mau di tengah jalan tiba-tiba Oik jatuh tersungkur. Atau kembali pingsan mungkin. Oik belum cukup kuat berjalan sendirian.
Tak ada penolakan dari Oik. Sempat beberapa saat terhenyak, namun tidak membuatnya lantas berontak. Malah sejurus berikutnya, gadis itu melingkarkan kedua tangannya pada leher Rio. Berpegangan. Sekali lagi, kalau ia boleh meminta, ia ingin mencintai dan dicintai Rio selamanya.
***
Kalau saja ia lebih cepat sedikit, mungkin apa yang ditakutkannya takkan terjadi. Tapi, mau bilang apa? Kalau sudah ditakdirkan seperti itu, siapa yang bisa mencegah? Bahkan menunda satu kedipan mata pun, tak akan pernah bisa. Maka yang terjadi, biarkanlah!
Gabriel menendang bola terlalu keras. Melenceng jauh ke luar lapangan. Sejak latihan dimulai, ia memang kurang fokus. Teringat selalu pada Ify yang sakit. Cemas. Pulang sekolah nanti, ia berniat hendak menengok Ify. Sekalian mengembalikan buku PR Ify yang Bu Winda titipkan padanya. Juga, meminjamkan catatan-catatannya agar bisa disalin Ify. Ia memang begitu peduli pada Ify. Bahkan hal sesepele PR sekali pun.
“Maaf maaf! Gue ambil dulu ya bolanya!” ia menyeringai. Untuk kesekian kali memohon maaf atas ketidakfokusannya pada rekan satu timnya. Coba saja kalau ia bukan kapten tim, ia pasti akan alfa dari latihan. Pemuda itu berlari ke depan gedung aula. Entah mengapa, bolanya jauh bergulir ke sana.
Dan disanalah Gabriel diberitahu, bahwa sepotong masa lalunya telah benar-benar melupakannya –meskipun kenyataannya tidak-. Karena itu bisa jadi pertanda, bahwa ia diminta untuk melepaskan masa lalu yang selama ini digenggamnya begitu saja. Biarkan tertinggal di belakang, untuk suatu saat dikenang. Karena pada hakikatnya, masa lalu memang hanya untuk diingat, bukan digenggam erat-erat.
Bola itu tepat berhenti bergulir di ujung sepatu pantopel hitam seorang gadis yang telah dirancang untuk berdiri di sana. Gadis itu menunduk. Memandangi si kulit bundar itu dengan tatapan aneh. Sama rasanya seperti ketika ia melihat benda berbau dinosaurus, ia seakan akrab mengenali benda itu. Karena ternyata, jauh sebelum hari ini, ia pernah begitu menggilai permainan yang menggunakan bola semagai medianya. Tapi ia tidak ingat. Sungguh!
Mata Gabriel hanya terfokus pada satu titik; bola. Karena pada saat bola itu tak lagi bergulir dan berhenti di ujung sepatu pantopel, pemuda itu belum melihat wajah manis pemilik sepatu. Ia bahkan sempat berkata, “itu bola gue.”
Gadis itu mengerjap ketika mendengar seseorang memvonis bahwa bola itu miliknya. Tanpa melihat wajah tampan si empunya bola, gadis itu senang hati membungkuk. Meraih sang bola. Rambut panjangnya bergerai menutupi sebagian wajahnya.
Maka ketika gadis itu kembali berdiri tegap, menyingkirkan beberapa jumput rambutnya ke belakang, sempurna menampilkan wajahnya yang manis berbingkai poni menggemaskan, ketika itu pula Gabriel sempurna mendapati wajah manis itu. Bola coklat yang disukainya. Caping hidung yang mungil. Bibir berah nan basah. Wajah itu. Wajah yang dilihatnya kemarin dulu. Gabriel menggeleng samar. Giginya bergemelut tertahan. Mengapa? Mengapa doanya tidak dikabulkan? Bukankah ia telah memanjatkan doa semalaman agar tak pernah lagi ia melihat wajah cantik itu. Bahkan sekarang, wajah itu terlihat tenang dan dewasa kini. Gurat wajah polos khas anak-anak yang dulu berpendar di sana kini hampir hilang sepenuhnya. Gabriel merasakan ruang pada paru-parunya menyempit seketika. Menyulitkannya untuk menghirup udara yang diperlukan kuota.
Dan gadis itu pun sama. Tubuhnya mengejang seketika. Pegangannya pada bola melonggar, membuat bola itu dengan mudah meloloskan diri. Terjatuh ke lantai. Lantas menggelinding entah kemana. Tenggorokannya seakan tercekik. Menenggelamkan sepenggal kata yang ingin ia lontarkan. Mengapa? Mengapa jantungnya berdegup amat kencang saat melihat wajah tampan pemuda yang sama seperti yang ia jumpai dua hari yang lalu? Codetan bekas luka yang samar terlihat pada kening. Dua pelihat tajam macam elang. Kulit gelap yang menyurukkan kesan bersahaja. Rahang kokoh yang kini terlihat seperti membeku. Ia ingat betul wajah itu. Sudah pernah dilihatnya tempo lalu. Tapi mengapa hatinya berkata bahwa ia sudah lama mengenal sosok itu? Bukankah ia hanya bertemu sekali saja? Itu pun tanpa perbincangan apa-apa. Hanya pertemuan sepinta, karena pemuda itu kabur setelah beberapa menit memandangi wajahnya. Seperti selepas melihat wajah menyeramkan sang iblis. Padahal jelas-jelas wajah itu sangat cantik. Secantik bidadari. Apakah sekarang pemuda itu akan melakukan hal yang persis sama? Karena sampai sejauh ini, tak ada yang berbeda. Mereka saling menumbuk pandangan di dalam diam.
Maka gadis itu maju selangkah. Mendekati pemuda itu. Berharap agar pemuda itu tidak kabur lagi. Jangan takut! Karena gadis itu sama sekali tak berniat menggigit. Walau sejatinya, hati itu telah lama merasakan sakit yang lebih menyakitkan dari sekedar digigit.
Tak pernah ada dua peristiwa yang terjadi persis sama; identik. Maka untuk pertemuan kedua mereka setelah tiga tahun yang menyiksa itu pun terjadi secara berbeda. Awalnya memang sama, saling berpandangan beberapa lama. Namun untuk kali ini, ada kekuatan yang menahan salah satu pelakon untuk tidak menghindari masa lalu yang dulu malah begitu erat digenggamnya. Gabriel. Pemuda itu telah mendapatkan kembali suaranya yang sempat menghilang. Meski ternyata, tak setegas biasanya.
Gabriel menjulurkan tangannya. Gemetar menggapai wajah bidadari itu. Menyentuh kelopak matanya. Beralih menjawil pipinya. Gesture itu sungguh benar-benar sama.
“S-Sivia? Plester di…dinaosaurus?” patah-patah Gabriel berkata. Ingin rasanya pemuda itu menarik tubuh gadis plesternya masuk ke dalam rengkuhannya. Bukti, bahwa sekali lagi ia gagal menjaga hatinya.
Lalu entah dapat bisikan dari mana, gadis itu bercicit pelan. Terlalu pelan untuk dapat didengar oleh siapa saja terkecuali ia sendiri. “C-ceroboh....”
Maka masih pada posisi se’intim’ itu, dua pasang mata memergoki mereka. Oik dan Rio. Hampir mencelat melihat adegan pada radius beberapa meter dari mereka berpijak. Oik menepuk pundak Rio. Meminta pemuda itu menurunkan tubuhnya -Pada saat itu, Oik memang masih digendong Rio-. Mereka berdua memicingkan mata. Memastikan sekali lagi, bahwa apa yang mereka lihat adalah keliru. Sayang, sejuta kali mereka memicing, tak ada yang berubah. Itu mereka. Sepasang anak manusia yang dipertemukan sejak masih belia, beberapa tahun berpisah, lantas dipertemukan kembali ketika mereka telah cukup dewasa. Pemuda ceroboh yang tampan, gadis plester yang cantik. Gabriel dan Sivia. Dua sahabat kental mereka.
Oik menenggelamkan wajah imutnya dibalik kedua telapak tangan. Mendesah kentara. Ia terlambat menyelamatkan Gabriel dari keterkejutan yang luar biasa. Semua salahnya. Ia jatuh tak sadarkan diri lagi.
Darrr!!!
Gabriel mengerjap. Cepat menarik tangannya kembali. Menggelengkan kepala beberapa kali. Tidak. Harusnya, ia tidak melakukan itu. Untuk apa? Karena toh gadis itu pun sepertinya tetap mengenalinya. Gadis itu tak merespon sentuhan terlembut yang pernah diberikannya pada seorang wanita. Jadi, apa gunanya? Lebih baik sekarang, ia jaga benar-benar hatinya. Teguhkan pada satu cinta saja. Jangan tamak akan cinta.
Maka Gabriel melengos pergi. Tak peduli pada gadis yang kini menatap nanar punggungnya. Sungguh! Secantik apa pun gadis itu sekarang, takkan pernah mampu melunasi semua kesakitan dalam rentang tiga tahun yang menyesakan. Gabriel benci gadis itu. Benci gadis plesternya!
Tertinggal gadis itu disana. Bergumul dengan segunung pertanyaan yang memenuhi ruang otaknya. Apa. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang diucapkannya tentang pemuda itu? Ceroboh? Apa maksudnya? Lalu, apa yang dikatakan pemuda itu? Plester dinosaurus? Apa hubungannya dengan dirinya? Siapa. Siapa sebenarnya pemuda itu? Lancang sekali menyentuh mata dan menjawil pipinya. Lalu mengapa. Mengapa tadi ia diam saja ketika diperlakukan seperti itu? Seakan-akan menikmatinya. Bukan! Karena iai mengetahuinya. Seperti telah sangat terbiasa dengan sentuhan dan jawilan itu. Menjadi konsumsi setiap hari-harinya dulu. Hanya saja, ia lupa.
Oleh karenanya, segeralah beritahu mereka!
***
Bersambung