HUJAN, Kita Dan Mimpi part 24
Satu
hari menuju kepindahan Keke. Semua semakin aneh saja. Keke yang belum mau
menceritakan penyebab mengapa ia berubah menarik dirinya dari dunia luar. Hanya
sekolah, setelah itu tak ada lagi. Keke menolak Gabriel yang memintanya untuk
kembali aktif dalam kegiatan ekskul musik. Sebaliknya, ia juga tak membiarkan dunia
luar menjamah harinya. Aku, Gabriel dan Agni yang hampir setiap hari
mengunjungi rumahnya tak pernah ia temui. Meminta sang mama atau pembantunya
untuk mengusir lembut kami. Ia tak ingin diganggu. Ia hanya ingin sendiri saat
ini.
Begitu
pun saat tadi siang ketika ia pulang sekolah.
Ia memilih berjalan sendirian,
tanpa iringan sahabatnya. Dan ia juga sendirian saat berjumpa dengan seorang
lelaki gagah berjas hitam. Seorang wanita berpenampilan elegant mendampingi.
Keke gemetar dihampiri mereka.
“P-Papa…”
ujar Keke. Mundur beberapa langkah. Seakan takut melihat sosok di hadapannya.
Wajahnya berubah pucat pasi.
Lelaki
yang dipanggil Papa itu bergerak maju memeluk Keke. Walau gadis itu sebenarnya
jengah mendapatkan pelukan itu. Hanya beberapa detik saja, setelah itu Keke
memberontak. Terburu-buru keluar dari pelukan sang Papa.
Papa
terkesiap. Menyentuh pipi tembem . Seketika ditepis Keke.
“Besok,
Keke pindah. Keke sama mama mau pulang.” ujar Keke. Dari sudut matanya mengalir
setetes kristal bening. Lancar membelah pipi. Menggantung di ujung dagu.
“Kamu
mau biarin Papa sendiri?” tanya Papa sarkatis. Ia menatap nanar putrinya.
Keke
mendengus. “Papa ga sendiri. Papa punya dia.” Keke menunjuk wanita di sebelah
Papa. Wanita yang didatangkan takdir untuk memaksa Mama dan dirinya mengalah
dan pindah. Yang ditunjuk malah menunduk.
“Tapi
sayang, Papa butuh kamu. Tak bisakah kamu tetap tinggal? Biar Papa yang pergi
dari rumah. Jangan kamu!” kata Papa. Terdengar memelas.
“Keke
harus pergi. Kalau Keke tetap disini, Keke hanya akan menyiksa Mama. Cukup Papa
aja yang buat Mama nangis.” Keke melengos. Melewati Papa dan wanita yang masih
menundukan kepala.
Angin
yang tersapu akibat berlalunya Keke membuat Papa terkesiap. Papa berbalik.
Memanggil Keke. Gadis yang dipanggil tetap berjalan. Kuncirannya menari kesana
kemari.
“Keke…”
panggil Papa lagi. Suara yang tercipta sedikit parau.
Keke
tak menggubris panggilan itu. Tetap angkuh berjalan, walau perih yang
dirasakan. Ia mengusap kasar pipinya yang basah.
“Gabriel
Angeline Thalita…” panggilan ketiga yang terdengar lebih bertenaga itu pun
akhirnya membuat Keke luluh. Ia menghentikan langkahnya.
“K-Keke…”
sekali lagi Keke mendengar namanya terhantar lewat udara. Kali ini lebih
memelas dari sebelumnya. Keke tertegun sejenak. Sejurus kemudian gemetar
memutar tubuh. Ia terhenyak kala mendapati Papa yang memberikan tatapan sendu
padanya. Ah, jangan begitu Papa. Keke membalasnya dengan nanar. Menggigit
bibir.
Papa
merentangkan tangannya. Menanti Keke untuk kembali kepadanya dan menghambur
memeluk dirinya.
Melihat
Papa yang sampai memasang ekspresi memelas yang teramat kentara itu membuat
hati Keke trenyuh. Papa, kau tak harus sampai seperti itu. Karena apa pun yang
terjadi, Keke takkan bisa menolak untuk tidak memeluk tubuh kuatmu. Ya, Keke
anak yang baik. Mana tega ia membuat Papanya kecewa. Tak mungkin. Maka Keke
berlari menghampiri Papa. Berlomba bersama arakan angin. Lantas tanpa segan
meloncat memeluk Papa.
Akhirnya,
Papa bisa tersenyum. Mengecup ubun-ubun Keke beberapa saat, seraya menitipkan
segudang rindu pada putri manisnya. Dan Keke menikamti detik-detik yang
terlewat dalam rengkuh hangat sang Papa. Karena nanti, ia akan butuh waktu yang
lama untuk mendapatkan kembali rengkuhan yang sama.
“Maafin
Keke Pa!” kata Keke. Papa mengurai pelukannya. “Keke harus ninggalin Papa.
Tapi, bukankah sampai kapan pun, Papa akan tetap jadi Papanya Keke? Jadi, Papa
jangan khawatir! Keke…” air matanya semakin deras mengalir. Sempurna jatuh
mendarat di tanah. Ia sudah tak lagi mampu melanjutkan ucapannya.
Langsunglah
Papa menarik kembali Keke ke dalam pelukannya. Agar Keke lebih tenang untuk
mengucapkan kalimat terakhirnya.
Benar
saja, dalam peluk hangat itu, saat ia bisa merasakan dengan leluasa bagaimana
jantung itu mencipta detak berirama, Keke menuntaskan ucapannya.
“Keke
sayang Papa, akan selalu sayang Papa!”
***
Agni
menyimpan kembali cangkir keramik itu setelah ia menyesap isinya. Lalu melanjutkan
obrolan penting bersamaku dan Gabriel. “jadi gimana?” tanya Agni.
“Ga
tahu. Bingung. Keke kan ga pernah begini sebelumnya. Ia pasti cerita masalah
sekecil apa pun.” ujarku.
“Berarti,
kali ini dia punya masalah besar.” celetuk Agni. Aku dan saling berpandangan.
Maksudnya? Kami bertiga itu mengerutkan kening.
Kami
akhirnya terkesiap saat mendengar ketukan memburu pada pintu. Siapa yang hendak
bertamu di malam berhujan ini? Aku meminta izin untuk membukakannya. Lantas bergegas
menuju pintu.
Aku
meraih kenop pintu. Memutarnya perlahan. Lantas setelah terdengar ceklikan
engsel pintu yang berderit, pintu sempurna terbuka, menampilkan gadis dalam
balutan pakaian kuyup. Ah, sekujur tubuh gadis itu kuyup. Rambut ikalnya yang
basah menempel dan membingkai wajah manisnya. Aku terperanjat. “KEKE?” .Langsung
menarik Keke masuk dan menuntun langkahnya. Aku bisa merasakan tubuh Keke
gemetar. Giginya bergemeletuk. Menggigil kedinginan.
Aku
membawa Keke ke ruang bermain yang ada di kamar. Tempat dimana juga ada Gabriel
dan Agni disana. Maka Gabriel dan Agni mencelat dari duduknya, mendapati keadaan
Keke yang sangat kacau. Menyambut Keke untuk bergabung. Patah-patah gadis itu
duduk di antara mereka berdua.
Beberapa
detik kemudian, Bi Surti datang membawa handuk yang diminta olehku tadi.
Menyerahkannya padaku. Lantas dengan lembut, aku mengusap buliran-buliran air
yang masih mengantungi wajahnya. Berlanjut ke lengannya dan seluruh tubuhnya.
Hujan. Aku mendesah. Hujan pasti yang mengantarkan Keke ke rumahku. Ah ya, Keke
kan tidak berani keluar rumah sendirian, apalagi malam hari seperti ini.
Selesai.
Aku meletakan handuk tersebut. Menatap Keke. Yang ditatapi malah menunduk.
Mengumpulkan keberanian dan kekuatan untuk mengatakan apa yang telah membuatnya
seperti ini. Ya, Keke harus bisa. Ia menyoraki dirinya dalam hati.
Agni
mendengus. Hendak memuntahkan jutaan pertanyaan yang menyeruak di benaknya.
Namun, segera ditahan Gabriel. Pemuda itu tahu, cara Agni yang terkesan tak
sabaran itu takkan berarti apa-apa. Hanya akan membuat Keke takut dan
membatalkan niatnya untuk mengurai teka-teki yang dibuatnya sendiri. Agni
mempelototi Gabriel. Namun akhirnya bisa mengerti. Ia mendesah.
“Keke
kenapa? Keke bisa cerita semuanya sama aku, sama kita semua.” Aku menyentuh
lembut tangan Keke. “Kita kan sahabat.”
Delit
mendongak. Menangkap jelas ketulusan yang dipancarkan oleh kedua mataku. Keke
tertegun. Sahabat? Iya. Aku, Gabriel dan Agni adalah sahabatnya. Tapi apakah ia
mampu mengatakan sendiri bahwa ia harus pergi meninggalkan sahabat-sahabatnya
itu? Relakah ia kalau sahabatnya merasakan kehilangan akan dirinya? Ia
menggeleng. Tangisnya tergambar kentara. Tak lagi bisa terkamuflase hujan
seperti sebelumnya.
“Dan
aku bukan hanya sahabat Keke.” Gabriel berujar. Keke menoleh pada Gabriel. “Aku
kakaknya Keke. Ingat?”
Keke
menggertakkan rahangnya. Gabriel. Pemuda yang sudah ia anggap kakak
laki-lakinya sendiri. Tentu saja ia ingat. Bagaimana tidak? Gabriel itu yang
mengajarkannya banyak hal, termasuk bermain seksopon. Gabriel yang selalu
melindunginya, meminjami jaket saat ia harus terjebak hujan. Gabriel juga yang
selalu memberinya berbagai nasihat yang ajaib, agar Keke tak lagi menjadi gadis
yang manja. Keke ingat. Ia takkan pernah melupakan itu. Tangisnya semakin tak
tertahankan.
“Aku
juga hey!” ujar Agni. Mengangkat wajahnya tinggi-tinggi agar tak menitikan air
mata. “Aku kan ibu tiri kamu.”
Ha?
Keke mendelik pada Agni. Mengulum bibir. Agni memang ibu tirinya yang kejam. Ia
selalu memaksanya untuk melakukan lari pagi hampir setiap minggu. Mengajaknya
bermain basket, walau ia tahu betul bahwa Agni mengajaknya hanya agar ada orang
yang bisa ia suruh mengambil bola basket kalau keluar lapangan. Agni memang
licik. Tapi, bisakah Keke menjalani hari-harinya tanpa akal bulus Keke?
Entahlah, ia sudah sangat terbiasa dengan hal itu.
“Jadi,
tunggu apa lagi? Ceritakanlah! Kamu alasan mengapa kita ada disini sekarang.” Aku
meyakinkan Keke. Menyibak rambut gadis itu ke belakang telinga.
Itu
pulalah alasan mengapa ia juga ada disana bersama mereka. Rela menerabas hujan
demi bertemu mereka. Demi untuk menceritakan segala masalah yang membuatnya
harus mengalah. Ya, itulah tujuan utama Keke mendatangi rumahku. Keke
mengangguk. Ia harus segera melakukan eksekusi. Tak bisa ditunda-tunda lagi,
karena ia yakin tak ada lagi kata nanti untuk masalah peliknya. Ia tersudut.
Terhimpit di pojok ketidakberdayaan.
Pada
akhinya, setelah Keke menghela nafas berat, mengalirlah rentetan cerita
menyedihkan dari bibir gadis itu. Mulai dari bagaimana mencelosnya hatinya saat
mendapati hampir setiap malam Mama dan Papa bertengkar hebat. Puncaknya, saat
seminggu yang lalu ia ditampar telak oleh kenyataan bahwa Mama dan Papa sudah
tak bisa bersatu kembali. Mereka bercerai. Memutuskan untuk memilih sendiri
bagaimana kelanjutan dan akhir dari sebuah kisah yang telah mereka bangun,
seperti dirinya. Papa memilih bersama wanita lain yang Keke temui saat Papa
datang ke sekolah. Dan Mama dipaksa harus mengalah, memilih untuk pindah.
Pulang ke kota asalnya. Menutup kisahnya di kota mereka yang penuh warna. Ya,
Keke harus mengikuti jejak Mama. Memenggal kisahnya. Meninggalkan kota mereka.
Maka,
tak ada satu pun dari kami berempat yang tak menangis. Agni yang paling anti
menangis, Gabriel yang selalu terlihat kuat, apalagi aku yang memang adalah
tipe gadis perasa, dan tentunya Keke, si empunya cerita, menangis. Berpelukan
erat. Berharap dengan itu, ketentuan akan berkata bukan. Ya, bukan seperti ini
jalan hidup yang harus kami susuri. Bukan jalan terjal menyedihkan yang harus
memisahkan kami saat bertemu dengan persimpangan.
Namun, apakah harapan
mereka didengar? Tentu saja. Mereka orang-orang hebat. Dan masalah dikabulkan
atau tidak, siapalah yang hendak mengalahkan kuasa sang ketentuan? Menentang
Tuhan? Tak ada. Sekalipun mereka, orang-orang hebat itu. Kini, biarkanlah
ketentuan itu menyusun penggalan-penggalan kisah ini dengan baik. Walau rasa
kehilangan akan segera menyergap mereka. Tapi lihat saja nanti, penghujung
kisah sederhana ini akan seiring sejalan dengan mimpi-mimpi mereka. Percayalah.
***
Keke
sudah pulang sejak sepuluh menit yang lalu, diantar Gabriel dan Agni. Kini,
tinggalah aku sendiri. Aku melirik sebuah foto yang terpajang di atas meja
belajar. Tersenyum miring. Esok, salah satu siluet dalam foto itu akan pergi.
Aku mendengus. Kalau saja aku tahu bahwa aku tak memiliki waktu banyak untuk
bersama Keke, aku takkan pernah membuat gadis itu sekalipun menangis. Tak akan.
Sayang, waktu tak pernah membocorkan rahasia hidup kepada pelakon hidup itu
sendiri. Ia membiarkan lakon itu yang menguraikannya.
Aku
mengerjap. Meraih cardigan hitam yang tergantung di balik pintu. Lantas meminta
Mang Ujang untuk mengantarku ke suatu tempat. Menemui seseorang.
Hujan
masih enggan mereda. Tetap mengguyur kotaku dengan semangatnya. Aku menatap
keluar jendela. Kembali terlarut dalam
renungan ‘rutin’ku. Kini, pikiranku jauh berkelana. Membayangkan apa yang akan
aku lakukan besok, saat melepas kepergian sahabat manisku. Menangis? Pastilah. Lebih
dari menangis? Entah. Aku menyentuh kaca jendela. Dalam hati bergumam, “Hujan,
bantu aku!” memejamkan mata. Menyandarkan kepala pada kaca jendela.
Mobil
hitam yang ku tumpangi berhenti di depan sebuah rumah mewah. Aku keluar dari
mobil. Berlari menerobos hujan dan masuk ke halaman rumah yang gerbangnya baru
saja dibukakan oleh seorang satpam. Aku berhenti tepat di hadapan pintu.
Menghela nafas, lantas mengetuk pintu itu.
Tak
butuh waktu lama, pintu itu terbuka. Dari baliknya menyembul seorang pemuda.
Pemuda itu terperanjat. Mengerutkan kening mendapati siapa yang bertamu
malam-malam. Ia memekik. Menarik lenganku untuk masuk ke dalam rumah . Namun
aku segera menahannya. Menatap pemuda itu. Tak perlu.
“Rio…”
aku menggigit bibir.
“Ada
apa? Aduhh… kamu basah gitu! Ujan-ujanan lagi ya? Ckckc!” Rio berdecak.
“Rio,
besok kamu datang ya ke rumah Keke.” aku menatap nanar Rio. Yang ditatap malah
memalingkan muka. Enggan membahas gadis yang menjadi tujuanku menemuinya.
“Aku
mohon! Keke besok pergi. Aku ga mau saat kepergiannya, Keke kehilangan
kesempatan untuk bertemu dengan orang yang dicintainya.” aku menggigit bibir
lebih kuat. Entah mengapa, berat untuk mengatakan kalimat berikutnya. Namun mau
tak mau, aku harus mengucapkannya. “Pangeran mataharinya.” Ada perasaan
mencelos saat kalimat itu tercipta dan mengalir dari bibirku.
Rio
menoleh. Pergi? Kemana? Pergi dari hatinya? Ah, itu sudah dilakukan Keke saat
ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kisah mereka. Jadi, mau pergi kemana pun
ia sekarang, terserah. Rio tak akan ambil pusing dibuatnya. Ia menatap datar
tanpa ekspresi.
Dan
aku harus berusaha lebih keras agar membuat cakrawala keangkuhan Rio runtuh.
Menangis? Aku sudah menangis sejak kedatanganku ke rumah Rio. Bukannya trenyuh
atau merasa tersentuh, Rio malah membentak. Mengatakan bahwa aku tak perlu menangisi
gadis jahat seperti Keke. Tidak. Aku membantah. Keke tidak jahat. Tidak akan
pernah. Selamanya Keke akan menjadi gadis yang baik.
Kini,
sampailah aku pada usaha yang terakhir. Semoga caraku kali ini dapat membujuk
Rio agar bersedia menemui Keke esok untuk yang terakhir kalinya.
Cara
ini mungkin sedikit memalukan. Ah, biar saja. Aku menyingkirkan dulu gengsiku.
Demi sahabat manisku. Aku menjatuhkan tubuhku di lantai. Bersujud di kaki Rio.
Mencengkram kaki Rio dengan sangat kuat. Menangis semakin tersedu.
“Aku
mohon! Temui Keke! Buat dia yakin, bahwa kepergiannya takkan menyakiti siapa
pun!” aku memelas. Mengguncang kaki Rio.
Siapa yang tega melihat
gadis sebaik Ify sampai bersujud-sujud agar permohonannya terkabulkan? Ah,
tidak ada. Rio menunduk. Jatuh dari sudut matanya setetes bening yang sempurna
mendarat tepat di puncak kepala Ify. Jangan! Jangan melakukan itu. Karena hati
Rio sungguh mencelos melihatnya. Rio meraih tubuh Ify. Membantunya berdiri.
Lantas meminjamkan dadanya. Ya, menangislah di dada kokoh itu. sepuasnya.
Sampai air matanya kering tak bersisa. Agar ia juga dapat leluasa memeluk tubuh
mungil gadis itu. Ia rela, walau sisa hidupnya harus dihabiskan hanya dengan memeluk gadis itu. Ia
bersedia.
“Temui
dia! Aku mohon Rio!” sekali lagi aku memelas. Tersedu sedan dalam pelukan Rio.
Rio
berdecak. Terpaksa menyanggupi permintaan menyedihkan dariku. “Iya iya, aku
besok datang! Tapi kamu harus ingat, aku datang karena kamu, untuk kamu!”
Ify mendesah lega.
Menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Senang bahwa Rio bersedia memenuhi
permohonannya. Keke juga pasti akan senang. Tapi, tahukah alasan lain yang
lebih kuat mengapa Ify merasa senang? Kalimat penghujung Rio. Rio akan datang
menemui Keke karenanya, untuk dirinya. Sesungguhnya, itulah pemicu terbesar
rasa senang itu. Ah, bukankah sudah sangat kentara rasa asing yang ditiupkan
sang amor itu? Sambil menikmati setiap
jengkal kehangatan yang tersalur dari pelukan itu, tanpa sadar sang monster itu
membentangkan sayapnya. Mengepak liar di perutnya.
Reas pun ternyata sama.
Rasa itu muncul kembali. Rasa asing yang ternyata sangat ia rindukan
kehadirannya. Ah, ternyata rasa menggelitik hati itu hanya muncul kala ia
bersama gadis berdagu runcing itu. bersama pelanginya. Lalu mengapa ia dulu
tega mencampakkan gadis itu dan memilih gadis lain yang sekarang malah mengabaikannya?
Dimana letak hatinya? Hati tempat ia menyimpan baik-baik rasa asing itu?
Mungkin dulu, semuanya masih kasat mata. Terkamuflase kilatan cahaya Aurora.
***
Keke
menarik kopernya keluar. Di depan rumah, telah menanti beberapa orang. Aku, Gabriel,
Agni dan juga Papa Keke. Berat menyeret langkahnya. Keke menghampiri ketiga
sahabatnya yang sudah sejak pagi tadi berkumpul di rumahnya. Sementara papa
tengah membicarakan suatu hal dengan Mama. Urusan orang dewasa, begitu kata
Papa saat Keke bersikeras untuk mengetahui topik obrolan mereka.
“Akhirnya,
Keke pergi juga! Maafin Keke ya!” Keke membenarkan kacamata yang ia kenakan
untuk menutupi matanya yang berkantung. Sembab akibat menangis semalaman..
“Keke
jangan sedih hey! Nanti, kita kan bisa ketemu lagi!” Gabriel mengacak rambut
Keke yang dibiarkan terurai.
“Kalau
Keke sedih, aku bakalan nyuruh kamu berenang di sungai Nil.” ujar Agni. Ia
menjawil pipi Keke. Mereka tertawa menyeringai.
Sementara
itu, aku disibukan dengan perasaan gusar yang menderaku. Takut kalau-kalau Rio
mengingkari janjinya tadi malam. Aku akan menjadi manusia terhina kalau Rio sampai
tega melakukan itu. Aku menggigiti bibir. Kalut menanti Rio.
“Kenapa
Fy?” Keke menyentuh lenganku.
“Eh…iya.”
Aku terkesiap. Tersenyum dan menggaruk pipi. “Enggak…”
Keke
mengangkat bahu.
“Keke,
kita pergi sekarang.” kata Mama, terlebih dahulu masuk ke mobil.
“iya
ma.” Keke menatap bergantian kami bertiga. “Keke pamit ya! Jangan lupain Keke!”
Keke tersungkur memeluk tubuhku. Agni juga ikut berpelukan. Sementara Gabriel
mengusap-usap punggung Keke.
Aku
menarik Keke keluar dari pelukanku. Menyentuh pipi pualam gadis itu. “Mana
mungkin aku lupain Keke. Ga akan bisa!” mengalir mulus kristal itu dari kedua
pelihat beningku. Bergelayut menggemaskan membasahi dagu runcingku. Dalam hati
masih ketar-ketir mengharapkan kedatangan Rio. Ayolah! Keke butuh pemuda itu
untuk melapangkan hatinya. Dan lebih dari itu, aku sendirilah yang membutuhkan
siluetnya untuk hanya sekedar menjadi tempatku nanti mencurahkan betapa
menyesakkannya melepas Keke. Atau mungkin, menjadi sandaran tangis ternyaman
bagiku. Walau aku seharusnya tahu, ada pemuda lain yang setiap saat selalu
menyediakan semua apa yang dibutuhkan olehku. Entah itu dada lapangnya, maupun
hati malaikatnya. Maka aku seharusnya tak perlu khawatir apabila pemuda yang
diharapkan olehku itu tak kunjung datang. Sayang, tanpa sadar, aku memupus
sedikit demi sedikit kenyataan itu.
Agni
juga turut menangis. Harusnya, Keke berbangga diri karena ia telah berhasil membuat
Agniyang tangguh itu menangis. Bahkan sampai tersedu sedan. Itu karena Keke.
Karena ia akan kehilangan sahabat manisnya itu.
Gabriel.
Pemuda itu memang selalu terlihat paling dewasa dan tegar dari semuanya. Ia tak
menitikan setetes pun air mata. Ia menepuk puncak kepala Keke. Membisikan
kalimat ajaib padanya.
“Pergilah
dengan ikhlas. Lalu setelah itu, semuanya akan kembali baik-baik saja.”
Keke
mengerjap. Memandang Gabriel yang tengah menampakan senyum lebar padanya. Keke mengangguk.
Ia akan belajar mengikhlaskan takdirnya. Gabriel mengusap air mata yang
berlinang mencipta tangis yang paling deras di antara tangis yang lain. Menepuk
pipi tembem itu.
Papa
menarik tangan Keke. Memapah langkahnya menuju mobil. Aku, Gabriel dan Agni
melangkah mengekori. Di detik-detik kepergian Keke, aku masih tetap
melambungkan harap itu, setinggi-tingginya sampai menyentuh ujung langit. Ayo
datang! Aku berteriak dalam hati. Kalau tidak, maka akan ada dua hati yang
kecewa.
Papa
terlebih dulu masuk ke dalam mobil, menyusul Mama. Ya, Papa yang akan mengantar
mereka sampai bandara. Keke masih enggan mengikuti jejak keduanya. Ia merasa
masih ada yang tertinggal, entah apa. Namun setelah mendengar Mama berdeham,
Keke memutuskan untuk membuka pintu mobil, segera masuk. Aku menutup wajah
dengan kedua telapak tangan. Mendesah pasrah.
Tepat
saat Keke hendak menjejakan kaki kanannya ke dalam mobil, pemuda itu datang.
Pemuda yang ditunggu-tunggu olehku–sepertinya Keke juga-berlari menyongsong
Keke. Tanpa permisi merengkuh tubuh gadis itu. Mengecup kening gadis itu
beberapa kali.
Keke
menggeliat. Melepaskan tubuhnya dari pelukan Rio. Sejujurnya, ia senang Rio
datang dan langsung memeluknya. Tapi kalau ia biarkan terlalu lama, maka ia tak
yakin bisa mengikhlaskan ini semua. Seperti apa yang dipetuahkan Gabriel
padanya.
“Maaf
ya aku terlambat. Abis, aku nyari mereka dulu!” kata Rio. Masih mengatur
nafasnya yang terengah-engah.
“Mereka?”
ulang Keke.
Rio
mengangguk cepat. “Yeah, mereka! Hey bocaaahhhh!!! Kesini kalian!” teriak Rio.
Entah
darimana datangnya, tiba-tiba dua bocah lelaki menggemaskan muncul dari balik
tubuh Rio. Mereka mengulum bibir. Memeluk Keke.
“Deva?
Ozy?” pekik Keke tak percaya. Mengusap kepala bocah-bocah itu lembut. Penuh
kasih sayang. Memperlakukan mereka layaknya adik sendiri.
“Kakak
tembem mau pergi ya? Nanti pacar Deva siapa?” tanya Deva polos. Ia mengulum
bibir.
“Iya.
Nanti siapa yang nemenin Ozy sama Deva lagi di taman? Kakak jelek? Ih, ga mau layawww!”
Ozy melirik Rio. Rio terkekeh.
Keke
menunduk. Menyamakan tingginya dengan kedua bocah lugu itu.Menatap gurat wajah
tanpa dosa bocah-bocah teman bermainnya itu. Ia menggigit bibir. Merasa jahat
harus membiarkan mereka berdua bermain tanpa adanya ia. Namun Keke kembali
diingatkan bahwa ia harus belajar mengihklaskan. Ia juga harus ikhlas
kehilangan berjuta tawa renyah akibat melihat kepolosan yang selalu diciptakan
bocah-bocah ajaib di hadapannya.
“Hey!
Deva akan tetap punya pacar kok. Tuh, pilih sendiri!” Keke menunjuk ke arahku
dan Agni. Deva mengikuti arah telunjuk Keke. “Jadi, Deva ga usah takut ya! Deva
kan hebat.” Keke mengacungkan jempolnya. Deva mengangguk. “Dan kalian juga ga
usah khawatir, bukan cuma kakak jelek yang akan nemenin kalian main, kan ada
kakak ganteng itu!” kali ini Keke menunjuk Gabriel. Pemuda itu mengangguk
mantap. Tersenyum lebar menyambut tatapan ingin tahu Deva dan Ozy padanya.
Keke
memeluk Deva dan Ozy sekaligus. Tangisnya tak sejenak pun mereda. Beberapa
menit kemudian mengurai pelukannya. Kembali berdiri. Menatap pemuda bergigi
gingsul yang tengah berdiri dua meter di hadapannya. Pemuda itu semakin mendekatkan
siluetnya pada Keke.
“Kamu
melupakan sesuatu.” ujar Rio. Meraih ransel yang digendong Deva. Mengambil
sesuatu dari dalamnya.
“Ini.”
Rio menyerahkan seksopon milik Keke yang minggu lalu tertinggal di mobilnya.
“Kamu tak boleh pergi tanpa seksopon ini.”
Keke
tersenyum. Meraih seksopon itu. Pantas saja ia merasa ada sesuatu yang ia
tinggalkan sehingga ia berat sekali menyeret langkahnya menjauhi rumah.
Ternyata seksopon itulah penyebabnya. Benda berharga kesayangannya. Benda yang
juga telah membuat Rio dulu jatuh cinta padanya. Walau Keke tak pernah tahu,
bahwa cinta yang ia terbitkan di hati Rio layaknya sinar Aurora. Cantik
mempesona. Namun sekejap lalu memudar. Seperti saat ini.
“Makasih
Rio!” Keke memeluk erat seksopon itu dengan riang. Seperti seorang ibu yang
telah lama terpisah dari anaknya.
Rio
mengangguk.
Entah
dapat kekuatan dari mana, tapi tiba-tiba saja Keke mengeluarkan semua yang mengganjal
di hatinya. Ganjalan akibat fakta yang seminggu ini telah ia dapatkan. Fakta
kedekatan Rio dengan gadis selain dia. Bahkan kedekatan itu, nampak seperti
sebuah kesempurnaan. “Maafin aku ya! Aku udah jahat sama kamu. Sekarang, aku
udah bisa ikhlas untuk pergi. Karena aku tahu, kamu akan tetap bahagia tanpa
adanya aku. Dan sepertinya, kamu sudah menemukan kebahagiaan kamu yang
sesungguhnya.” Keke menghela nafas. Ia telah benar-benar ikhlas. “Percayalah!”
“Ehm…”
Mama kembali berdeham dari dalam mobil. “Ayo Keke!”
Keke
memberikan senyumannya yang terakhir, sebelum akhirnya ia melengos. Membuka
pintu mobil, hendak masuk.
Namun
sekali lagi, sebelum Keke benar-benar memasuki mobil, Rio menahan lengan Keke.
Menarik Keke hingga tubuhnya kembali menghadap Rio. Ia mendekatkan wajahnya
pada wajah manis Keke. Gadis itu menatap terpana. Lalu baru menyadari bibir Rio
sudah sangat dekat dengan keningnya. Sejurus kemudian, bibir itu sempurna
menempel pada dahi gadis manis itu. Mengecup lembut dan hangat. Keke terkesiap
dan spontan memejamkan mata. Menikmati kecupan terakhir yang didapatkannya dari
pemuda bergigi gingsul itu. Ia tersenyum. Setetes air mata yang meninggalkan
mata bulat itu terjun bebas menghujam tanah.
Sementara gadis lain
yang menyaksikan adegan mengharukan itu membuang muka. Entah kenapa merasa
perih melihatnya. Ah, bukankah ia sudah terbiasa melihat adegan itu? Mengapa ia
bisa sesakit ini? Sama seperti sakit yang ia rasa ketika pertama mendapati
adegan itu di lapangan basket yang semarak oleh hujan. Nyatanya, sakit itu
diakibatkan oleh kebuasan sang monster yang tengah mencakar-cakar organ bagian
dalam tubuhnya. Monster itu tak pernah rela apabila ketentuan itu ditentang.
Seruan
tertahan dari Mama membuat lakon adegan itu mengerjap. Rio menyudahi
kecupannya. Tersenyum menunjukan gigi gingsulnya. Mendesah dan berkata,
“Pergilah!”
Pergilah.
Pergilah. Pergilah. Bawalah ragamu kemana pun kau menjejak langkah. Hingga
sejuta rasa rindu menggunung dalam relung. Dan biarkanlah indahmu tetap tinggal,
agar bisa dikenang saat rindu itu meminta tuntutannya untuk dipenuhi.
Maka
akhirnya, Keke sempurna masuk ke dalam mobil. Lantas mesin mobil dihidupkan,
mulai melaju membelah jalanan. Membawa raganya yang cantik luar biasa. Asap
knalpot yang mengepul menandakan bahwa seluruh keceriaannya masih tetap tinggal
mengiringi tiap hela nafas dalam kuota. Dan kami yang tertinggal melepas gadis
manis itu dengan lambaian tangan. Tangis haru dan mengikhlaskan.
Perpisahan termanis
yang mereka rasakan. Disuguhkan oleh gadis manis yang kini telah menghilang di
antah berantah.
***