HUJAN, Kita Dan Mimpi part 24

Minggu, 26 Agustus 2012

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 24



Satu hari menuju kepindahan Keke. Semua semakin aneh saja. Keke yang belum mau menceritakan penyebab mengapa ia berubah menarik dirinya dari dunia luar. Hanya sekolah, setelah itu tak ada lagi. Keke menolak Gabriel yang memintanya untuk kembali aktif dalam kegiatan ekskul musik. Sebaliknya, ia juga tak membiarkan dunia luar menjamah harinya. Aku, Gabriel dan Agni yang hampir setiap hari mengunjungi rumahnya tak pernah ia temui. Meminta sang mama atau pembantunya untuk mengusir lembut kami. Ia tak ingin diganggu. Ia hanya ingin sendiri saat ini.

Begitu pun saat tadi siang ketika ia pulang sekolah.
Ia memilih berjalan sendirian, tanpa iringan sahabatnya. Dan ia juga sendirian saat berjumpa dengan seorang lelaki gagah berjas hitam. Seorang wanita berpenampilan elegant mendampingi. Keke gemetar dihampiri mereka.

“P-Papa…” ujar Keke. Mundur beberapa langkah. Seakan takut melihat sosok di hadapannya. Wajahnya berubah pucat pasi.

Lelaki yang dipanggil Papa itu bergerak maju memeluk Keke. Walau gadis itu sebenarnya jengah mendapatkan pelukan itu. Hanya beberapa detik saja, setelah itu Keke memberontak. Terburu-buru keluar dari pelukan sang Papa.

Papa terkesiap. Menyentuh pipi tembem . Seketika ditepis Keke.

“Besok, Keke pindah. Keke sama mama mau pulang.” ujar Keke. Dari sudut matanya mengalir setetes kristal bening. Lancar membelah pipi. Menggantung di ujung dagu.

“Kamu mau biarin Papa sendiri?” tanya Papa sarkatis. Ia menatap nanar putrinya.

Keke mendengus. “Papa ga sendiri. Papa punya dia.” Keke menunjuk wanita di sebelah Papa. Wanita yang didatangkan takdir untuk memaksa Mama dan dirinya mengalah dan pindah. Yang ditunjuk malah menunduk.

“Tapi sayang, Papa butuh kamu. Tak bisakah kamu tetap tinggal? Biar Papa yang pergi dari rumah. Jangan kamu!” kata Papa. Terdengar memelas.

“Keke harus pergi. Kalau Keke tetap disini, Keke hanya akan menyiksa Mama. Cukup Papa aja yang buat Mama nangis.” Keke melengos. Melewati Papa dan wanita yang masih menundukan kepala.

Angin yang tersapu akibat berlalunya Keke membuat Papa terkesiap. Papa berbalik. Memanggil Keke. Gadis yang dipanggil tetap berjalan. Kuncirannya menari kesana kemari.

“Keke…” panggil Papa lagi. Suara yang tercipta sedikit parau.

Keke tak menggubris panggilan itu. Tetap angkuh berjalan, walau perih yang dirasakan. Ia mengusap kasar pipinya yang basah.

“Gabriel Angeline Thalita…” panggilan ketiga yang terdengar lebih bertenaga itu pun akhirnya membuat Keke luluh. Ia menghentikan langkahnya.

“K-Keke…” sekali lagi Keke mendengar namanya terhantar lewat udara. Kali ini lebih memelas dari sebelumnya. Keke tertegun sejenak. Sejurus kemudian gemetar memutar tubuh. Ia terhenyak kala mendapati Papa yang memberikan tatapan sendu padanya. Ah, jangan begitu Papa. Keke membalasnya dengan nanar. Menggigit bibir.

Papa merentangkan tangannya. Menanti Keke untuk kembali kepadanya dan menghambur memeluk dirinya.

Melihat Papa yang sampai memasang ekspresi memelas yang teramat kentara itu membuat hati Keke trenyuh. Papa, kau tak harus sampai seperti itu. Karena apa pun yang terjadi, Keke takkan bisa menolak untuk tidak memeluk tubuh kuatmu. Ya, Keke anak yang baik. Mana tega ia membuat Papanya kecewa. Tak mungkin. Maka Keke berlari menghampiri Papa. Berlomba bersama arakan angin. Lantas tanpa segan meloncat memeluk Papa.

Akhirnya, Papa bisa tersenyum. Mengecup ubun-ubun Keke beberapa saat, seraya menitipkan segudang rindu pada putri manisnya. Dan Keke menikamti detik-detik yang terlewat dalam rengkuh hangat sang Papa. Karena nanti, ia akan butuh waktu yang lama untuk mendapatkan kembali rengkuhan yang sama.

“Maafin Keke Pa!” kata Keke. Papa mengurai pelukannya. “Keke harus ninggalin Papa. Tapi, bukankah sampai kapan pun, Papa akan tetap jadi Papanya Keke? Jadi, Papa jangan khawatir! Keke…” air matanya semakin deras mengalir. Sempurna jatuh mendarat di tanah. Ia sudah tak lagi mampu melanjutkan ucapannya.

Langsunglah Papa menarik kembali Keke ke dalam pelukannya. Agar Keke lebih tenang untuk mengucapkan kalimat terakhirnya.

Benar saja, dalam peluk hangat itu, saat ia bisa merasakan dengan leluasa bagaimana jantung itu mencipta detak berirama, Keke menuntaskan ucapannya.

“Keke sayang Papa, akan selalu sayang Papa!”

                                                                        ***


Agni menyimpan kembali cangkir keramik itu setelah ia menyesap isinya. Lalu melanjutkan obrolan penting bersamaku dan Gabriel. “jadi gimana?” tanya Agni.

“Ga tahu. Bingung. Keke kan ga pernah begini sebelumnya. Ia pasti cerita masalah sekecil apa pun.” ujarku.

“Berarti, kali ini dia punya masalah besar.” celetuk Agni. Aku dan saling berpandangan. Maksudnya? Kami bertiga itu mengerutkan kening.

Kami akhirnya terkesiap saat mendengar ketukan memburu pada pintu. Siapa yang hendak bertamu di malam berhujan ini? Aku meminta izin untuk membukakannya. Lantas bergegas menuju pintu.

Aku meraih kenop pintu. Memutarnya perlahan. Lantas setelah terdengar ceklikan engsel pintu yang berderit, pintu sempurna terbuka, menampilkan gadis dalam balutan pakaian kuyup. Ah, sekujur tubuh gadis itu kuyup. Rambut ikalnya yang basah menempel dan membingkai wajah manisnya. Aku terperanjat. “KEKE?” .Langsung menarik Keke masuk dan menuntun langkahnya. Aku bisa merasakan tubuh Keke gemetar. Giginya bergemeletuk. Menggigil kedinginan.

Aku membawa Keke ke ruang bermain yang ada di kamar. Tempat dimana juga ada Gabriel dan Agni disana. Maka Gabriel dan Agni mencelat dari duduknya, mendapati keadaan Keke yang sangat kacau. Menyambut Keke untuk bergabung. Patah-patah gadis itu duduk di antara mereka berdua.

Beberapa detik kemudian, Bi Surti datang membawa handuk yang diminta olehku tadi. Menyerahkannya padaku. Lantas dengan lembut, aku mengusap buliran-buliran air yang masih mengantungi wajahnya. Berlanjut ke lengannya dan seluruh tubuhnya. Hujan. Aku mendesah. Hujan pasti yang mengantarkan Keke ke rumahku. Ah ya, Keke kan tidak berani keluar rumah sendirian, apalagi malam hari seperti ini.

Selesai. Aku meletakan handuk tersebut. Menatap Keke. Yang ditatapi malah menunduk. Mengumpulkan keberanian dan kekuatan untuk mengatakan apa yang telah membuatnya seperti ini. Ya, Keke harus bisa. Ia menyoraki dirinya dalam hati.

Agni mendengus. Hendak memuntahkan jutaan pertanyaan yang menyeruak di benaknya. Namun, segera ditahan Gabriel. Pemuda itu tahu, cara Agni yang terkesan tak sabaran itu takkan berarti apa-apa. Hanya akan membuat Keke takut dan membatalkan niatnya untuk mengurai teka-teki yang dibuatnya sendiri. Agni mempelototi Gabriel. Namun akhirnya bisa mengerti. Ia mendesah.

“Keke kenapa? Keke bisa cerita semuanya sama aku, sama kita semua.” Aku menyentuh lembut tangan Keke. “Kita kan sahabat.”

Delit mendongak. Menangkap jelas ketulusan yang dipancarkan oleh kedua mataku. Keke tertegun. Sahabat? Iya. Aku, Gabriel dan Agni adalah sahabatnya. Tapi apakah ia mampu mengatakan sendiri bahwa ia harus pergi meninggalkan sahabat-sahabatnya itu? Relakah ia kalau sahabatnya merasakan kehilangan akan dirinya? Ia menggeleng. Tangisnya tergambar kentara. Tak lagi bisa terkamuflase hujan seperti sebelumnya.

“Dan aku bukan hanya sahabat Keke.” Gabriel berujar. Keke menoleh pada Gabriel. “Aku kakaknya Keke. Ingat?”

Keke menggertakkan rahangnya. Gabriel. Pemuda yang sudah ia anggap kakak laki-lakinya sendiri. Tentu saja ia ingat. Bagaimana tidak? Gabriel itu yang mengajarkannya banyak hal, termasuk bermain seksopon. Gabriel yang selalu melindunginya, meminjami jaket saat ia harus terjebak hujan. Gabriel juga yang selalu memberinya berbagai nasihat yang ajaib, agar Keke tak lagi menjadi gadis yang manja. Keke ingat. Ia takkan pernah melupakan itu. Tangisnya semakin tak tertahankan.

“Aku juga hey!” ujar Agni. Mengangkat wajahnya tinggi-tinggi agar tak menitikan air mata. “Aku kan ibu tiri kamu.”

Ha? Keke mendelik pada Agni. Mengulum bibir. Agni memang ibu tirinya yang kejam. Ia selalu memaksanya untuk melakukan lari pagi hampir setiap minggu. Mengajaknya bermain basket, walau ia tahu betul bahwa Agni mengajaknya hanya agar ada orang yang bisa ia suruh mengambil bola basket kalau keluar lapangan. Agni memang licik. Tapi, bisakah Keke menjalani hari-harinya tanpa akal bulus Keke? Entahlah, ia sudah sangat terbiasa dengan hal itu.

“Jadi, tunggu apa lagi? Ceritakanlah! Kamu alasan mengapa kita ada disini sekarang.” Aku meyakinkan Keke. Menyibak rambut gadis itu ke belakang telinga.

Itu pulalah alasan mengapa ia juga ada disana bersama mereka. Rela menerabas hujan demi bertemu mereka. Demi untuk menceritakan segala masalah yang membuatnya harus mengalah. Ya, itulah tujuan utama Keke mendatangi rumahku. Keke mengangguk. Ia harus segera melakukan eksekusi. Tak bisa ditunda-tunda lagi, karena ia yakin tak ada lagi kata nanti untuk masalah peliknya. Ia tersudut. Terhimpit di pojok ketidakberdayaan.

Pada akhinya, setelah Keke menghela nafas berat, mengalirlah rentetan cerita menyedihkan dari bibir gadis itu. Mulai dari bagaimana mencelosnya hatinya saat mendapati hampir setiap malam Mama dan Papa bertengkar hebat. Puncaknya, saat seminggu yang lalu ia ditampar telak oleh kenyataan bahwa Mama dan Papa sudah tak bisa bersatu kembali. Mereka bercerai. Memutuskan untuk memilih sendiri bagaimana kelanjutan dan akhir dari sebuah kisah yang telah mereka bangun, seperti dirinya. Papa memilih bersama wanita lain yang Keke temui saat Papa datang ke sekolah. Dan Mama dipaksa harus mengalah, memilih untuk pindah. Pulang ke kota asalnya. Menutup kisahnya di kota mereka yang penuh warna. Ya, Keke harus mengikuti jejak Mama. Memenggal kisahnya. Meninggalkan kota mereka.

Maka, tak ada satu pun dari kami berempat yang tak menangis. Agni yang paling anti menangis, Gabriel yang selalu terlihat kuat, apalagi aku yang memang adalah tipe gadis perasa, dan tentunya Keke, si empunya cerita, menangis. Berpelukan erat. Berharap dengan itu, ketentuan akan berkata bukan. Ya, bukan seperti ini jalan hidup yang harus kami susuri. Bukan jalan terjal menyedihkan yang harus memisahkan kami saat bertemu dengan persimpangan.

Namun, apakah harapan mereka didengar? Tentu saja. Mereka orang-orang hebat. Dan masalah dikabulkan atau tidak, siapalah yang hendak mengalahkan kuasa sang ketentuan? Menentang Tuhan? Tak ada. Sekalipun mereka, orang-orang hebat itu. Kini, biarkanlah ketentuan itu menyusun penggalan-penggalan kisah ini dengan baik. Walau rasa kehilangan akan segera menyergap mereka. Tapi lihat saja nanti, penghujung kisah sederhana ini akan seiring sejalan dengan mimpi-mimpi mereka. Percayalah.

                                                                        ***

Keke sudah pulang sejak sepuluh menit yang lalu, diantar Gabriel dan Agni. Kini, tinggalah aku sendiri. Aku melirik sebuah foto yang terpajang di atas meja belajar. Tersenyum miring. Esok, salah satu siluet dalam foto itu akan pergi. Aku mendengus. Kalau saja aku tahu bahwa aku tak memiliki waktu banyak untuk bersama Keke, aku takkan pernah membuat gadis itu sekalipun menangis. Tak akan. Sayang, waktu tak pernah membocorkan rahasia hidup kepada pelakon hidup itu sendiri. Ia membiarkan lakon itu yang menguraikannya.

Aku mengerjap. Meraih cardigan hitam yang tergantung di balik pintu. Lantas meminta Mang Ujang untuk mengantarku ke suatu tempat. Menemui seseorang.

Hujan masih enggan mereda. Tetap mengguyur kotaku dengan semangatnya. Aku menatap keluar jendela. Kembali  terlarut dalam renungan ‘rutin’ku. Kini, pikiranku jauh berkelana. Membayangkan apa yang akan aku lakukan besok, saat melepas kepergian sahabat manisku. Menangis? Pastilah. Lebih dari menangis? Entah. Aku menyentuh kaca jendela. Dalam hati bergumam, “Hujan, bantu aku!” memejamkan mata. Menyandarkan kepala pada kaca jendela.

Mobil hitam yang ku tumpangi berhenti di depan sebuah rumah mewah. Aku keluar dari mobil. Berlari menerobos hujan dan masuk ke halaman rumah yang gerbangnya baru saja dibukakan oleh seorang satpam. Aku berhenti tepat di hadapan pintu. Menghela nafas, lantas mengetuk pintu itu.

Tak butuh waktu lama, pintu itu terbuka. Dari baliknya menyembul seorang pemuda. Pemuda itu terperanjat. Mengerutkan kening mendapati siapa yang bertamu malam-malam. Ia memekik. Menarik lenganku untuk masuk ke dalam rumah . Namun aku segera menahannya. Menatap pemuda itu. Tak perlu.

“Rio…” aku menggigit bibir.

“Ada apa? Aduhh… kamu basah gitu! Ujan-ujanan lagi ya? Ckckc!” Rio berdecak.

“Rio, besok kamu datang ya ke rumah Keke.” aku menatap nanar Rio. Yang ditatap malah memalingkan muka. Enggan membahas gadis yang menjadi tujuanku menemuinya.

“Aku mohon! Keke besok pergi. Aku ga mau saat kepergiannya, Keke kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan orang yang dicintainya.” aku menggigit bibir lebih kuat. Entah mengapa, berat untuk mengatakan kalimat berikutnya. Namun mau tak mau, aku harus mengucapkannya. “Pangeran mataharinya.” Ada perasaan mencelos saat kalimat itu tercipta dan mengalir dari bibirku.

Rio menoleh. Pergi? Kemana? Pergi dari hatinya? Ah, itu sudah dilakukan Keke saat ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kisah mereka. Jadi, mau pergi kemana pun ia sekarang, terserah. Rio tak akan ambil pusing dibuatnya. Ia menatap datar tanpa ekspresi.

Dan aku harus berusaha lebih keras agar membuat cakrawala keangkuhan Rio runtuh. Menangis? Aku sudah menangis sejak kedatanganku ke rumah Rio. Bukannya trenyuh atau merasa tersentuh, Rio malah membentak. Mengatakan bahwa aku tak perlu menangisi gadis jahat seperti Keke. Tidak. Aku membantah. Keke tidak jahat. Tidak akan pernah. Selamanya Keke akan menjadi gadis yang baik.

Kini, sampailah aku pada usaha yang terakhir. Semoga caraku kali ini dapat membujuk Rio agar bersedia menemui Keke esok untuk yang terakhir kalinya.

Cara ini mungkin sedikit memalukan. Ah, biar saja. Aku menyingkirkan dulu gengsiku. Demi sahabat manisku. Aku menjatuhkan tubuhku di lantai. Bersujud di kaki Rio. Mencengkram kaki Rio dengan sangat kuat. Menangis semakin tersedu.

“Aku mohon! Temui Keke! Buat dia yakin, bahwa kepergiannya takkan menyakiti siapa pun!” aku memelas. Mengguncang kaki Rio.

Siapa yang tega melihat gadis sebaik Ify sampai bersujud-sujud agar permohonannya terkabulkan? Ah, tidak ada. Rio menunduk. Jatuh dari sudut matanya setetes bening yang sempurna mendarat tepat di puncak kepala Ify. Jangan! Jangan melakukan itu. Karena hati Rio sungguh mencelos melihatnya. Rio meraih tubuh Ify. Membantunya berdiri. Lantas meminjamkan dadanya. Ya, menangislah di dada kokoh itu. sepuasnya. Sampai air matanya kering tak bersisa. Agar ia juga dapat leluasa memeluk tubuh mungil gadis itu. Ia rela, walau sisa hidupnya harus  dihabiskan hanya dengan memeluk gadis itu. Ia bersedia.

“Temui dia! Aku mohon Rio!” sekali lagi aku memelas. Tersedu sedan dalam pelukan Rio.

Rio berdecak. Terpaksa menyanggupi permintaan menyedihkan dariku. “Iya iya, aku besok datang! Tapi kamu harus ingat, aku datang karena kamu, untuk kamu!”

Ify mendesah lega. Menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Senang bahwa Rio bersedia memenuhi permohonannya. Keke juga pasti akan senang. Tapi, tahukah alasan lain yang lebih kuat mengapa Ify merasa senang? Kalimat penghujung Rio. Rio akan datang menemui Keke karenanya, untuk dirinya. Sesungguhnya, itulah pemicu terbesar rasa senang itu. Ah, bukankah sudah sangat kentara rasa asing yang ditiupkan sang amor itu? Sambil menikmati  setiap jengkal kehangatan yang tersalur dari pelukan itu, tanpa sadar sang monster itu membentangkan sayapnya. Mengepak liar di perutnya.

Reas pun ternyata sama. Rasa itu muncul kembali. Rasa asing yang ternyata sangat ia rindukan kehadirannya. Ah, ternyata rasa menggelitik hati itu hanya muncul kala ia bersama gadis berdagu runcing itu. bersama pelanginya. Lalu mengapa ia dulu tega mencampakkan gadis itu dan memilih gadis lain yang sekarang malah mengabaikannya? Dimana letak hatinya? Hati tempat ia menyimpan baik-baik rasa asing itu? Mungkin dulu, semuanya masih kasat mata. Terkamuflase kilatan cahaya Aurora.


                                                                        ***

Keke menarik kopernya keluar. Di depan rumah, telah menanti beberapa orang. Aku, Gabriel, Agni dan juga Papa Keke. Berat menyeret langkahnya. Keke menghampiri ketiga sahabatnya yang sudah sejak pagi tadi berkumpul di rumahnya. Sementara papa tengah membicarakan suatu hal dengan Mama. Urusan orang dewasa, begitu kata Papa saat Keke bersikeras untuk mengetahui topik obrolan mereka.

“Akhirnya, Keke pergi juga! Maafin Keke ya!” Keke membenarkan kacamata yang ia kenakan untuk menutupi matanya yang berkantung. Sembab akibat menangis semalaman..

“Keke jangan sedih hey! Nanti, kita kan bisa ketemu lagi!” Gabriel mengacak rambut Keke yang dibiarkan terurai.

“Kalau Keke sedih, aku bakalan nyuruh kamu berenang di sungai Nil.” ujar Agni. Ia menjawil pipi Keke. Mereka tertawa menyeringai.

Sementara itu, aku disibukan dengan perasaan gusar yang menderaku. Takut kalau-kalau Rio mengingkari janjinya tadi malam. Aku akan menjadi manusia terhina kalau Rio sampai tega melakukan itu. Aku menggigiti bibir. Kalut menanti Rio.

“Kenapa Fy?” Keke menyentuh lenganku.

“Eh…iya.” Aku terkesiap. Tersenyum dan menggaruk pipi. “Enggak…”

Keke mengangkat bahu.

“Keke, kita pergi sekarang.” kata Mama, terlebih dahulu masuk ke mobil.

“iya ma.” Keke menatap bergantian kami bertiga. “Keke pamit ya! Jangan lupain Keke!” Keke tersungkur memeluk tubuhku. Agni juga ikut berpelukan. Sementara Gabriel mengusap-usap punggung Keke.

Aku menarik Keke keluar dari pelukanku. Menyentuh pipi pualam gadis itu. “Mana mungkin aku lupain Keke. Ga akan bisa!” mengalir mulus kristal itu dari kedua pelihat beningku. Bergelayut menggemaskan membasahi dagu runcingku. Dalam hati masih ketar-ketir mengharapkan kedatangan Rio. Ayolah! Keke butuh pemuda itu untuk melapangkan hatinya. Dan lebih dari itu, aku sendirilah yang membutuhkan siluetnya untuk hanya sekedar menjadi tempatku nanti mencurahkan betapa menyesakkannya melepas Keke. Atau mungkin, menjadi sandaran tangis ternyaman bagiku. Walau aku seharusnya tahu, ada pemuda lain yang setiap saat selalu menyediakan semua apa yang dibutuhkan olehku. Entah itu dada lapangnya, maupun hati malaikatnya. Maka aku seharusnya tak perlu khawatir apabila pemuda yang diharapkan olehku itu tak kunjung datang. Sayang, tanpa sadar, aku memupus sedikit demi sedikit kenyataan itu.

Agni juga turut menangis. Harusnya, Keke berbangga diri karena ia telah berhasil membuat Agniyang tangguh itu menangis. Bahkan sampai tersedu sedan. Itu karena Keke. Karena ia akan kehilangan sahabat manisnya itu.

Gabriel. Pemuda itu memang selalu terlihat paling dewasa dan tegar dari semuanya. Ia tak menitikan setetes pun air mata. Ia menepuk puncak kepala Keke. Membisikan kalimat ajaib padanya.

“Pergilah dengan ikhlas. Lalu setelah itu, semuanya akan kembali baik-baik saja.”

Keke mengerjap. Memandang Gabriel yang tengah menampakan senyum lebar padanya. Keke mengangguk. Ia akan belajar mengikhlaskan takdirnya. Gabriel mengusap air mata yang berlinang mencipta tangis yang paling deras di antara tangis yang lain. Menepuk pipi tembem itu.

Papa menarik tangan Keke. Memapah langkahnya menuju mobil. Aku, Gabriel dan Agni melangkah mengekori. Di detik-detik kepergian Keke, aku masih tetap melambungkan harap itu, setinggi-tingginya sampai menyentuh ujung langit. Ayo datang! Aku berteriak dalam hati. Kalau tidak, maka akan ada dua hati yang kecewa.

Papa terlebih dulu masuk ke dalam mobil, menyusul Mama. Ya, Papa yang akan mengantar mereka sampai bandara. Keke masih enggan mengikuti jejak keduanya. Ia merasa masih ada yang tertinggal, entah apa. Namun setelah mendengar Mama berdeham, Keke memutuskan untuk membuka pintu mobil, segera masuk. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Mendesah pasrah.

Tepat saat Keke hendak menjejakan kaki kanannya ke dalam mobil, pemuda itu datang. Pemuda yang ditunggu-tunggu olehku–sepertinya Keke juga-berlari menyongsong Keke. Tanpa permisi merengkuh tubuh gadis itu. Mengecup kening gadis itu beberapa kali.

Keke menggeliat. Melepaskan tubuhnya dari pelukan Rio. Sejujurnya, ia senang Rio datang dan langsung memeluknya. Tapi kalau ia biarkan terlalu lama, maka ia tak yakin bisa mengikhlaskan ini semua. Seperti apa yang dipetuahkan Gabriel padanya.

“Maaf ya aku terlambat. Abis, aku nyari mereka dulu!” kata Rio. Masih mengatur nafasnya yang terengah-engah.

“Mereka?” ulang Keke.

Rio mengangguk cepat. “Yeah, mereka! Hey bocaaahhhh!!! Kesini kalian!” teriak Rio.

Entah darimana datangnya, tiba-tiba dua bocah lelaki menggemaskan muncul dari balik tubuh Rio. Mereka mengulum bibir. Memeluk Keke.

“Deva? Ozy?” pekik Keke tak percaya. Mengusap kepala bocah-bocah itu lembut. Penuh kasih sayang. Memperlakukan mereka layaknya adik sendiri.

“Kakak tembem mau pergi ya? Nanti pacar Deva siapa?” tanya Deva polos. Ia mengulum bibir.

“Iya. Nanti siapa yang nemenin Ozy sama Deva lagi di taman? Kakak jelek? Ih, ga mau layawww!” Ozy melirik Rio. Rio terkekeh.

Keke menunduk. Menyamakan tingginya dengan kedua bocah lugu itu.Menatap gurat wajah tanpa dosa bocah-bocah teman bermainnya itu. Ia menggigit bibir. Merasa jahat harus membiarkan mereka berdua bermain tanpa adanya ia. Namun Keke kembali diingatkan bahwa ia harus belajar mengihklaskan. Ia juga harus ikhlas kehilangan berjuta tawa renyah akibat melihat kepolosan yang selalu diciptakan bocah-bocah ajaib di hadapannya.

“Hey! Deva akan tetap punya pacar kok. Tuh, pilih sendiri!” Keke menunjuk ke arahku dan Agni. Deva mengikuti arah telunjuk Keke. “Jadi, Deva ga usah takut ya! Deva kan hebat.” Keke mengacungkan jempolnya. Deva mengangguk. “Dan kalian juga ga usah khawatir, bukan cuma kakak jelek yang akan nemenin kalian main, kan ada kakak ganteng itu!” kali ini Keke menunjuk Gabriel. Pemuda itu mengangguk mantap. Tersenyum lebar menyambut tatapan ingin tahu Deva dan Ozy padanya.

Keke memeluk Deva dan Ozy sekaligus. Tangisnya tak sejenak pun mereda. Beberapa menit kemudian mengurai pelukannya. Kembali berdiri. Menatap pemuda bergigi gingsul yang tengah berdiri dua meter di hadapannya. Pemuda itu semakin mendekatkan siluetnya pada Keke.

“Kamu melupakan sesuatu.” ujar Rio. Meraih ransel yang digendong Deva. Mengambil sesuatu dari dalamnya.

“Ini.” Rio menyerahkan seksopon milik Keke yang minggu lalu tertinggal di mobilnya. “Kamu tak boleh pergi tanpa seksopon ini.”

Keke tersenyum. Meraih seksopon itu. Pantas saja ia merasa ada sesuatu yang ia tinggalkan sehingga ia berat sekali menyeret langkahnya menjauhi rumah. Ternyata seksopon itulah penyebabnya. Benda berharga kesayangannya. Benda yang juga telah membuat Rio dulu jatuh cinta padanya. Walau Keke tak pernah tahu, bahwa cinta yang ia terbitkan di hati Rio layaknya sinar Aurora. Cantik mempesona. Namun sekejap lalu memudar. Seperti saat ini.

“Makasih Rio!” Keke memeluk erat seksopon itu dengan riang. Seperti seorang ibu yang telah lama terpisah dari anaknya.

Rio mengangguk.

Entah dapat kekuatan dari mana, tapi tiba-tiba saja Keke mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya. Ganjalan akibat fakta yang seminggu ini telah ia dapatkan. Fakta kedekatan Rio dengan gadis selain dia. Bahkan kedekatan itu, nampak seperti sebuah kesempurnaan. “Maafin aku ya! Aku udah jahat sama kamu. Sekarang, aku udah bisa ikhlas untuk pergi. Karena aku tahu, kamu akan tetap bahagia tanpa adanya aku. Dan sepertinya, kamu sudah menemukan kebahagiaan kamu yang sesungguhnya.” Keke menghela nafas. Ia telah benar-benar ikhlas. “Percayalah!”

“Ehm…” Mama kembali berdeham dari dalam mobil. “Ayo Keke!”

Keke memberikan senyumannya yang terakhir, sebelum akhirnya ia melengos. Membuka pintu mobil, hendak masuk.

Namun sekali lagi, sebelum Keke benar-benar memasuki mobil, Rio menahan lengan Keke. Menarik Keke hingga tubuhnya kembali menghadap Rio. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah manis Keke. Gadis itu menatap terpana. Lalu baru menyadari bibir Rio sudah sangat dekat dengan keningnya. Sejurus kemudian, bibir itu sempurna menempel pada dahi gadis manis itu. Mengecup lembut dan hangat. Keke terkesiap dan spontan memejamkan mata. Menikmati kecupan terakhir yang didapatkannya dari pemuda bergigi gingsul itu. Ia tersenyum. Setetes air mata yang meninggalkan mata bulat itu terjun bebas menghujam tanah.

Sementara gadis lain yang menyaksikan adegan mengharukan itu membuang muka. Entah kenapa merasa perih melihatnya. Ah, bukankah ia sudah terbiasa melihat adegan itu? Mengapa ia bisa sesakit ini? Sama seperti sakit yang ia rasa ketika pertama mendapati adegan itu di lapangan basket yang semarak oleh hujan. Nyatanya, sakit itu diakibatkan oleh kebuasan sang monster yang tengah mencakar-cakar organ bagian dalam tubuhnya. Monster itu tak pernah rela apabila ketentuan itu ditentang.

Seruan tertahan dari Mama membuat lakon adegan itu mengerjap. Rio menyudahi kecupannya. Tersenyum menunjukan gigi gingsulnya. Mendesah dan berkata, “Pergilah!”

Pergilah. Pergilah. Pergilah. Bawalah ragamu kemana pun kau menjejak langkah. Hingga sejuta rasa rindu menggunung dalam relung. Dan biarkanlah indahmu tetap tinggal, agar bisa dikenang saat rindu itu meminta tuntutannya untuk dipenuhi.

Maka akhirnya, Keke sempurna masuk ke dalam mobil. Lantas mesin mobil dihidupkan, mulai melaju membelah jalanan. Membawa raganya yang cantik luar biasa. Asap knalpot yang mengepul menandakan bahwa seluruh keceriaannya masih tetap tinggal mengiringi tiap hela nafas dalam kuota. Dan kami yang tertinggal melepas gadis manis itu dengan lambaian tangan. Tangis haru dan mengikhlaskan.

Perpisahan termanis yang mereka rasakan. Disuguhkan oleh gadis manis yang kini telah menghilang di antah berantah.


                                                            ***