Lebih Dari Plester part 11
Keduanya
mulai beraksi. Terjun ke jalanan dengan menggunakan baju yang sama. Medan utama
mereka adalah area lampu merah dengan target para pengguna jalan raya yang
tentu saja tengah berhenti. Mereka memberikan masing-masing satu plester
dinosaurus dan selembar brosur kepada setiap pengguna jalan. Brosur ajakan
untuk saling mengasihi antar sesama. Saling berbagi. Alangkah indahnya kalau
semua penghuni bumi dapat melakoninya. Dengan ketulusan hati dan kebijakan
diri.
Ify
bersemangat melakukannya. Menghampiri pesepeda motor. Memberikan plester dan
brosur. Memberikan senyuman termanisnya. Beralih pada yang lain. Mengetuk
jendela mobil. Sang empunya mobil membukanya secara perlahan. Langsung disuguhi
plester dinosaurus. Berterimakasih. Lantas berpindah pada mangsa-mangsa
lainnya. Begitu terus sampai satu jam ke depan. Tanpa lelah ia membagikan
plester-plester menggemaskan itu. Melupakan sejenak keterbatasan yang
bersemayam dalam tubuh mungil nan ringkihnya. Ify hanya ingin berbagi
kebahagiaan siang ini.
Awalnya
Gabriel setengah hati melakukannya. Buang-buang waktu dan tenaganya saja.
Begitu pikir Gabriel. Ia malas-malas membagikan plester. Senyum miring pula
yang ia suguhkan. Tanpa keikhlasan. Tapi melihat Ify yang begitu bersemangat
melakukan gerakan seribu plester dinosaurus yang menurutnya aneh itu, hati
Gabriel
merasa tertohok. Bagaimana mungkin ia berbagi tanpa diiringi rasa
ikhlas? Sia-sia. Hanya demi agar Ify tidak merajuk padanya? Klise. Kalau
begitu, lebih baik tidak usah saja.
Maka
Gabriel bertekad melampaui apa yang dilakukan Ify. Ia tak boleh kalah dari
gadis aneh itu. Semangat ia melakukannya. Berapi-api menjelaskan tentang
gerakan seribu plester dinosaurus pada setiap orang yang penasaran bertanya.
Mengembangkan senyum khas lebar kebanggaannya. Ia bahkan hampir mengalahkan Ify
pada torehan siapa yang paling banyak membagikan plester. Hanya beda lima buah.
Angka yang kecil. Dengan mudah Gabriel akan melalui perolehan angka itu.
Apalagi sekarang Ify nampak mengurangi kegesitannya. Ia mulai didera rasa
lelah. Deru nafasnya terhela tanpa aturan. Terengah-engah seperti dikejar
setan. Ify memutuskan beristirahat. Duduk di trotoar jalanan.
Gabriel
mendengus ketika lampu yang menyala kini berganti hijau. Ia harus menunggu
lampu merah yang berikutnya agar beberapa plester yang tersisa segera habis.
Kasihan Ify. Beberapa kali ia melirik gadis itu. Mendapatinya tengah memegangi
dada. Pasti ia sangat kelelahan
Gabriel
bukan pengecut yang akan membiarkan seorang gadis -terlebih gadis yang
diam-diam berhasil mencuri hatinya itu- terlantar sendirian. Menahan rasa lelah
yang ia yakin telah hampir mencapai batas kemampuan. Maka segera ia beranjak
menuju warung terdekat. Membeli sebotol air mineral untuk Ify. Ya, air pasti
sangat dibutuhkan oleh gadis itu kini. Untuk menghapus dahaga sekaligus meredam
rasa lelah.
"Nih!"
Gabriel menyodorkan botol air mineral itu pada Ify, sejurus setelah ia duduk di
samping gadis itu. Ify menoleh. Tersenyum. Lantas meraihnya.
"Elo
capek ya? Ya udah, pulang yuk! Udahan kampanyenya. Gue juga udah capek."
ujar Gabriel. Sebenarnya lebih karena mengkhawatirkan kondisi Ify. Terlebih
setelah ia melihat wajah Ify yang sangat pucat. Buliran keringat berjatuhan
dari pelipisnya. Gabriel cemas Ify kenapa-napa.
"Aku
cuma butuh ini kok." Ify mengeluarkan sebuah botol kecil berisi beberapa
kaplet obat. Mengeluarkan satu biji. Lantas mencekokannya ke dalam mulut.
Ditutup dengan seteguk air mineral yang menyegarkan.
"Itu
apa?" Gabriel mengedikan kepala. Penasaran terhadap kaplet-kaplet yang
ditelan Ify. Kalau obat, obat apa? Memangnya Ify sakit apa?
Ify
menyeringai. "Vitamin." memasukan botol yang konon berisi vitamin itu
ke dalam saku rok abu-abunya. Ia menoleh ke arah Gabriel. "Masih ada
beberapa plester lagi. Kalau kamu capek, istirahat aja. Aku bisa sendiri
kok." Ify mengangkat kedua alisnya secara bergantian.
"Heh!
Enak aja! Elo udah paksa gue buat kampanye gila kaya gini. Dan sekarang, elo
nyuruh gue istirahat? Demen banget mainin perasaan orang." hardik Gabriel.
Yang
dihardik mengerutkan kening. Kenapa Gabriel sekarang suka tiba-tiba jadi
cerewet? Dulu saat pertama bertemu, hanya sepatah dua patah kata yang pemuda
itu ucapkan. Sisanya lebih banyak diam. Ify bergidik ngeri. Demi melihat kedua
mata Gabriel yang memelototinya. Seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Pada
dasarnya Gabriel memang tipikal pemuda yang cerewet. Suka berceramah panjang
lebar. Tentang inilah, itulah, apalah. Terutama yang bersangkutan dengan
gadisnya (dulu memang kata ganti gadisnya merujuk pada gadis plester. Sedangkan
sekarang mungkin tidak lagi berlaku hukum itu. Gadis dihadapannya boleh jadi
mendapatkan sandangan itu). Jadi mulai sekarang, Ify sebaiknya membiasakan diri
dengan sikap Gabriel yang seperti itu. Karena nanti, akan ada banyak sekali
ceramahan yang dijejalkan padanya. Sedikit saja Ify melakukan kekeliruan, maka
telinga, hati, dan otaknya harus siap kala Gabriel memuntabkan sejuta kalimat
dewanya yang memiliki kelebihan untuk mengendalikan.
"Jadi?"
Ify menunggu apa yang dilakukan Gabriel selanjutnya.
"Sini!"
Gabriel merampas beberapa brosur dan plester yang ada di pangkuan Ify.
Menyatukannya dengan miliknya. "Elo duduk imut di sini. Biar gue yang
beresin semuanya. Setelah itu kita pulang. Ga boleh protes. Oke!" Gabriel
menepuk ubun-ubun gadis yang hanya bisa ternganga mendengar celotehannya.
Lantas berbalik dan berlari ke jalanan yang tak lagi lengang. Lampu sudah
memerah lagi. Memburu setiap mobil dan motor yang memenuhi tiap ruas jalanan.
Ify
mengangkat bahu tak acuh. Siapa juga yang mau protes? Ia kan juga lelah. Mana
Bunda telah menerornya untuk segera pulang. Jadi masih berniatkah dia untuk
melakukan prosedur protes yang tidak penting itu?
Sekembalinya
Gabriel ke jalanan, ia mempercepat gerakannya. Ayo! Sedikit lagi. Rapalnya
berulang-ulang dalam hati.
Giliran
mobil berwarna hitam dengan kaca jendela yang sempurna tertutup yang dihadapi
oleh Gabriel. Pemuda itu mengetuk pelan kaca jendela. Lamat-lamat membuka
setelah si pengemuda menekan sebuah tombol. Menyembul siluet seorang pemuda
berkulit putih yang sebaya dengan Gabriel dari balik jendela. Kepalanya sedikit
terjulur. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya pemuda itu dengan halus.
Tutur katanya sangat lembut untuk ukuran seorang lelaki.
Gabriel
tersenyum. Menyodorkan secarik brosur dan sebuah plester dinosaurus pada pemuda
itu.
Lekat
pemuda itu mengamati dua benda yang diserahkan padanya. Memindai tulisan yang
ada pada brosur itu. Gerakan seribu plester dinosaurus. Unik. Pemuda itu
mengangguk-anggukan kepalanya. Memahami. Ternyata, masih tersisa rasa kasih
antar sesama di kota kerasnya itu. Kepekaan sosial yang cukup tinggi ditengah
sikap individualisme para penduduk kota tercintanya. Pemuda itu sedikit-banyak
mencelos hatinya.
"Hoaammm!"
seseorang yang duduk di kursi penumpang depan terdengar menguap. Sedikit
mengerang. Lantas merentangkan tangannya. Menggeliat. Sepertinya, ia baru saja
terjaga dari tidurnya.
Gabriel
mengerenyit. Baru sadar, ada siluet lain yang menghuni mobil itu selain daripada
pemuda dengan rambut yang lumayan gondrong itu. Gabriel membungkukkan tubuhnya.
Berharap dapat melihat siapa yang menguap tadi. Telinganya seperti telah
mengenal suara yang manja tadi.
"Kita
udah sampai mana, Kka?" si penguap tadi bertanya pada pengemudi yang
dipanggilnya dengan 'Kka'. Dia adalah seorang gadis. Setiap orang pasti setuju
dengan pernyataan bahwa gadis itu sangatlah manis. Dia nampak mengucek-ngucek
matanya. Rambut panjangnya berantakan tak karuan. Tapi tetap saja gadis itu
terlihat manis.
Tepat
ketika sang gadis menurunkan tangannya, pada saat itu pulalah Gabriel menangkap
jelas wajah manis itu. Sepasang bola mata berwarna coklat. Caping hidung yang
mungil. Bibir merah dan basah. Gabriel membuka mulutnya. Berbicara benar-benar
tanpa suara. Lalu membelalakan mata. Nyatakah apa yang dilihatnya? Gadis itu.
Hanya sepelemparan batu saja darinya. Sungguh sulit dipercaya. Bagaimana ini
bisa terjadi?
"Itu
apa Kka?" gadis itu acuh bertanya. Tak mengindahkan tatapan nanar Gabriel
padanya.
Si
pengemudi menoleh. "Plester dinosaurus. Mau?"
Cepat
gadis itu mengangguk. Tersengat oleh kata 'plester dinosaurus'. Entah mengapa
merasa dekat dengan benda itu.
"Mas,
boleh minta satu lagi?" si pengemudi menoleh ke arah jendela. Diikuti oleh
wajah penasaran gadis di sebelahnya.
Lantas,
apa yang terjadi selanjutnya? Gadis itu terhenyak melihat wajah yang melongo
dari luar mobilnya. Codetan kecil bekas luka pada kening. Sepasang pelihat
elang. Kulit gelap yang memetakan ketegasan. Dua rahang yang begitu kokoh. Semuanya.
Seperti sangat dikenalinya.
Keduanya
bersitatap dalam diam. Namun siapa yang tahu bahwa masing-masing hati mereka
tengah riuh bergemuruh.
Gabriel.
Tentu ia sungguh terhenyak ketika melihat wajah polos gadis itu. Setelah tiga
tahun, dan itu tak bisa menghapuskan ingatan-ingatan akan gadis plesternya. Ya,
gadis dalam mobil itu adalah gadis plester yang beberapa waktu terakhir
berusaha diacuhkannya. Ia masih hafal bagaimana wajahnya. Bahkan berapa tahi
lalat yang ada di sana, ia masih hafal. Disimpan rapat-rapat dalam memori
otaknya. Lalu sekarang, apa yang harus dilakukannya? Bahkan otak jeniusnya tak
berfungsi sama sekali. Lupa bagaimana caranya menyapa seseorang yang baru
dijumpainya setelah tiga tahun lamanya. Lupa bagaimana harus melonjak gembira ketika
melihat sosok penetes rindu di hatinya yang nyatanya saat ini hampir saja
mengering. Kerontang ditanduskan masa. Gabriel benar-benar tidak tahu apa yang
mesti diperbuatnya. Apalagi melihat lipatan kebingungan pada kening sang gadis?
Itu tanda apa? Apa jangan-jangan lipatan itu mengindikasikan bahwa gadis itu
sama sekali tak mengenalinya? Tapi, kenapa bisa?
Dan
terkaan Gabriel memang benar. Gadis itu tak tahu siapa nama dari pemilik wajah
tampan itu. Keras ia mengorek-orek ingatannya. Tapi bukankah ingatan paling
krusial itu telah hilang bersama tumornya? Kini, ia hanya menggunakan hatinya.
Tentu saja hatinya teramat mengenal siluet itu. Meski untuk mengingat sebuah
nama, tetap otaknya yang berperan.
Akhirnya,
si pengemudi memecah keheningan. Lampu sudah berwarna kuning. Aba-aba agar para
pengendara bersiap melajukan kembali kendaraannya. Ia bertanya dengan
pertanyaan yang sama. "Boleh minta satu lagi?"
Gabriel
mengerjap. Gelagapan ia hendak berbicara. Tak sempat. Maka akhirnya, dengan
gemetar ia menyerahkan brosur dan plester dinosaurus yang masih tersisa di
sana. Lantas berlari menjauh. Langkahnya terseok-seok. Hampir terjatuh. Ia tak
peduli. Sungguh kejutan yang terlalu mengejutkan. Ia belum menyiapkan diri
beserta hati yang tanpa sadar telah ia tawarkan untuk gadis yang lain.
"Ayo
pulang!" tukas Gabriel cepat. Menarik tangan Ify menuju motornya. Mencegah
gadis itu untuk jangan dulu bertanya ada apa. Menyuruh Ify naik ke atas
motornya. Sebelum akhirnya, Gabriel melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Hampir 140 km/jam. Untung saja Ify berpegangan pada pinggang Gabriel. Jadi
tubuh mungilnya tidak akan melayang ke mana-mana.
Mulut
Ify sebenarnya sudah gatal ingin bertanya. Apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba
Gabriel mengajaknya pulang? Tanpa alasan? Tak membiarkan Ify melontarkan
sepenggal kata pun. Tapi Ify mencoba mengerti. Ia bisa merasakan ada sebuah
ketidakberesan dalam diri Gabriel. Wajahnya yang pucat serta berlumur keringat.
Sengalan nafas yang tanpa aturan. Kenapa? Ify akhirnya menemukan waktu yang
tepat. Saat ini. Ketika Gabriel perlahan mengurangi laju motornya. Tak lagi
seugal-ugalan beberapa saat sebelumnya.
"Yel,
kamu kenapa? Tadi ada yang jahatin kamu ya? Siapa? Bilang sama Ify! Nanti Ify
kasih pelajaran deh! Masa..."
Cekittt...
Bunyi berdecit akibat gesekan roda depan motor dengan aspal terdengar
melengking. Gabriel menekan rem depannya
dengan sangat dalam dan tiba-tiba. Membuat sang motor berhenti mendadak. Tubuh
Ify terdorong ke depan. Tak sengaja membentur punggung Gabriel. Ify membenarkan
posisi pelindung kepalanya yang agak miring. Mengerenyit bingung.
"Elo
kalau ga bisa diam, turun sekarang juga!" bentak Gabriel.
Ify
tak bersuara. Bagaimanalah ia akan menjawab, kalau tiba-tiba batang
tenggorokkannya seperti teronggok sesuatu. Ify hanya mampu menggeleng lemah.
Wajahnya memucat kembali.
Gabriel
terkesiap. Ia menyadari akan sikapnya yang terlalu keras pada Ify. Apa ia tak
ingat dengan ikrar yang dibuatnya sendiri kala itu? Bersikap baik pada gadis
yang teramat baik padanya. Sepanjang sisa perjalanan, Gabriel merutuki dirinya
sendiri.
Mereka
telah sampai di depan gerbang sebuah rumah bernuansa klasik. Rumah Ify.
Gabriel
jeli memandangi Ify. Rasa bersalahnya menggelembung makin besar, kala
didapatinya wajah Ify yang pucat pasi. Setelah ia membentaknya tadi, gadis itu
bagai jangkrik yang terinjak. Diam tak bersuara.
"Gue
ga papa! Selama masih ada lo." Gabriel berbisik. Menenangkan Ify.
Dari rombongan pertanyaan gadis itu
padanya tadi, Gabriel bisa menangkap rasa khawatir yang disiratkan gadis itu.
Ify
merekahkan senyumnya. Mengerjapkan kedua mata yang tiba-tiba berubah berbinar.
Mood gadis itu memang mudah sekali membaik. Tak pernah ia berlama-lama menekuri
rasa sedih.
Maka
senyum itulah yang juga menghantarkan Gabriel pergi. Mungkin ia bisa membenarkan
kekacauan hatinya di tempat lain. Tidak di depan Ify.
Di
waktu yang sama, dua penghuni mobil mewah itu kembali melanjutkan perjalanan
berkeliling kota tersayang mereka. Si pengemudi melirik gadis di sebelahnya
dari sudut matanya. Mengamati ekspresi sang gadis ketika mengamati beberapa
plester dinosaurus beraneka warna.
"Kenapa
Vi?" tanya si pengemudi dengan fokus tetap pada jalanan di depannya.
"Nothing."
gadis itu menggeleng. Melambaikan tangannya. Tidak penting. Mungkin hanya
perasaannya saja. Gadis itu mencoba tak menghiraukan kelebatan wajah pemuda
yang ditemuinya tadi. Biarkan bayangannya menguap di langit-langit mobilnya.
"Plesternya
lucu. Ada dinosaurusnya." gadis itu berseru. Membuat si pengemudi terkekeh
pelan.
***
Pemuda
itu menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Memejamkan kedua mata.
Berharap setengah mati, bahwa peristiwa satu jam yang lalu itu tak pernah
terjadi. Terlalu mengejutkan baginya.
Namun
ketika ia membuka matanya lagi, ia terpaksa meneguk ludah. Semuanya benar-benar
nyata. Ia tak bisa menyangkalnya.
Kalau
mengikuti logika, harusnya Gabriel senang dengan kejadian sore tadi. Harusnya,
ia merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Mengembalikan setumpuk rindu yang
telah ia titipkan selama lebih dari tiga tahun. Rindu yang tersisa beberapa
tetes saja. Dikikis habis oleh kepolosan gadis yang lain. Tapi apa? Mengucap
namanya saja ia tak mampu. Sampai sekarang ia masih belum mampu. Walau
nyatanya, gadis itu sudah tak ada lagi di dekatnya. Bukan. Bukan karena ia lupa
akan namanya. Tapi mengingat nama itu saja, cukup membuat dadanya sesak.
Apalagi sampai mengucapkannya.
Tapi
kalau sudah menyangkut rasa, logika kadang tak ada kaitannya. Ini tentu saja
berhubungan dengan hati.
Gabriel
melirik sebuah rak berisikan pernak-pernik dinosaurus yang ada di salah satu
sudut kamarnya. Tempat khusus dimana ia menyimpan berbagai benda kenangan masa
lalunya bersama gadis plesternya. Ia tersenyum menyeringai. Mengapa kehadiran
orang yang dinantinya selama tiga tahun, justru membuat keterkejutan yang luar
biasa? Padahal sudah sepantasnya Gabriel merasa senang. Itu berarti sikapnya
yang bersikukuh menggenggam pesan sederhana itu tidak percuma. Apa? Bukankah
dengan ikrar-ikrar yang ia buat untuk gadis aneh itu telah menjadi sebuah
pengingkaran atas keangkuhannya selama ini?
Bahwa
sekarang, setiap kali Gabriel memikirkan gadis plesternya, justru gadis lain
tanpa permisi berlalu lalang dalam benaknya. Ya, keadaannya telah jauh berbeda.
Sosok itu kembali, saat ia telah membukakan pintu hatinya untuk sosok yang
lain. Dan kini, kedua sosok itu bergantian menjejali pikiran. Membuat kepalanya
limbung. Hingga jatuh tersungkur di atas kasur berseprai dinosaurus.
Bertemankan guling bergambar dinosaurus
.***
Gabriel
mengerjap-ngerjapkan mata. Cahaya datang berpilin menyilaukan. Pemuda itu
terbangun dari tidurnya. Sudah pagi. Ia bergegas menuju kamar mandi.
Sehelai
handuk baru saja disampirkan ke bahunya, ketika Gabriel menyadari bahwa ia
masih mengenakan kaos dari Ify. Ah, mengapa pagi begini, bayangan gadis itu
sudah mengusiknya? Gabriel mendesah berat. Entah mengapa, untuk hari ini ia
belum siap bertemu dengan gadis itu di sekolah. Walau tanpa sadar, semalaman
suntuk ia telah mengumpulkan amunisi rindu.
Lalu
bagaimana dengan gadis plesternya? Apakah masih ada rindu tercipta untuk dan
karenanya? Sepertinya tidak. Kalaupun benar adanya, Gabriel akan mati-matian
menyanggahnya. Ia juga berharap, hari ini dan seterusnya, tak lagi ia jumpai
gadis itu. Semoga kemarin adalah kesempatan terakhir mereka bersua. Karena bagi
Gabriel, mengetahui keadaan gadis itu
yang -sepertinya lebih dari baik itu pun sudah cukup. Tentulah. Gadis itu sudah
berbahagia dengan hidupnya yang sekarang. Lihatlah pipi tirusnya yang telah
menghilang. Juga pemuda yang pastinya lebih dari sekedar supir pribadi.
Sehingga gadis itu tak merasa penting untuk dapat mengenalinya. Dirinya yang
bahkan telah mengorbankan bermilyar debar jantungnya, hanya untuk menjaga pesan
itu. Jadi, mengapa tak Gabriel remukkan saja isi pesan itu? Biarkan enyah
bersama debu. Dan ia bisa menyongsong masa depan bersama sosok lain yang telah
berhasil menyentuh kenelangsaan hatinya. Itu akan lebih baik. Setidaknya untuk
hari ini. Tidak tahu esok dan hari-hari menjelangnya.
Di
kediaman mewah lainnya, gadis bermata coklat itu terburu menyusuri satu persatu
anak tangga. Bergegas menuju ruang makan. Di sana, sudah ada seorang lelaki
yang wajahnya tersembunyi dibalik bentangan koran. Wanita berdaster yang
menjabat sebagai pembantu di rumah mewah itu terlihat menuangkan susu ke dalam
tiga gelas yang tersedia. Gadis itu melompat ke atas kursi. Membuat lelaki tadi
menurunkan sejenak koran paginya. Berdecak mendapati siapa yang baru saja
membuatnya agak terkejut. Lantas berkutat kembali dengan sang koran.
"Ayah,
Cakka mana sih?" tanya gadis itu. Menyendok nasi goreng yang sudah siap di
atas piringnya.
"Masih
di kamar, sayang." jawab lelaki yang dipanggil 'Ayah' tersebut dengan
fokus tetap pada bacaan dalam koran.
"Ish!
Cakka kalau dandan lama. Sok ganteng! Mau tebar pesona ya? Awas aja!"
gadis itu mendengus. "Cakkaaaaaaa."
Ayah
meletakan korannya. Menegur putri tunggalnya dengan pelototan. Tidak baik
berteriak seperti itu. Memangnya dia tinggal di hutan?
Gadis
itu nyengir. Meminta maaf. "Abisan Cakka lama, Yah. Ini kan hari pertama
kami sekolah. Nanti kalau telat gimana? Sivia ga mau dihukum." gadis
bernama Sivia itu membela diri.
Ayah
tertawa menyeringai. "Ini masih pukul 6, sayang!" Berdecak. Namun
beliau sangat memaklumi sikap Sivia yang tidak sabaran. Karena enam bulan
lamanya, gadis itu sudah terlalu memegang teguh kesabaran.
Seorang
pemuda berpostur tinggi tegap kemudian muncul dan duduk bergabung di meja
makan. Wajah tampannya nampak berseri-seri. Tubuhnya pun menyeruakkan aroma
farfum yang semerbak mewangi.
"Morning
Om! Morning cantik!" sapa pemuda itu ramah.
"Lama
banget." Sivia berujar ketus. Memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam
mulutnya.
Cakka
-pemuda itu mengangkat bahu tak acuh. Tak apa. Nanti juga Sivia bersikap manis
lagi padanya. Melahap makanan yang sama.
Dan
pada jarak beberapa kilo dari sana, gadis yang membuat kisah ini menjadi
berbeda tengah bersiap diri di dalam kamarnya. Ify. Memasang jepitan beledu
pada dua kuncir rambutnya. Membenarkan posisi kacamata berplesternya yang agak
miring. Ia tersenyum mendapati siluetnya di dalam cermin.
Ify
tiba-tiba tertegun. Meraba lehernya yang tak dililiti apa pun. Ify mengetukan
jemarinya ke ujung dagu runcingnya. Berpikir.
Ting!
Ify mengerjapkan mata. Tergesa meraih boneka dinosaurus yang ia letakkan di
atas tempat tidur. Lalu melepaskan sebuah kalung perak dari leher sang dino
untuk dikenakannya. Senyumnya kian merekah. Kemudian keluar dari kamarnya.
Kalung
itu kelak akan membawanya pada sebuah pemahaman. Akan masa lalu yang tak pernah
terpisah dari apa yang terjadi sekarang dan masa yang akan datang. Itulah yang
diberi nama sejarah.
***
"Wah,
sekolahnya keren!" ucap Sivia ketika memasuki pelataran gedung sekolahnya.
Salah satu sekolah menengah atas bergengsi di kota tersayangnya. Sengaja
dipilihkan oleh Ayah. Karena lelaki itu ingin memberikan sebaik-baiknya usaha
untuk putri kecilnya.
Cakka
menggamit lengan Sivia, kala Ayah mengedikan kepala. Menyuruh mereka untuk
mengikuti langkahnya. Sivia ringan dituntun Cakka. Menikmati harum yang menguar
dari tubuh sang pemuda.
Sekolah
itu kedatangan dua penghuni baru yang tidak biasa dari segi fisik dan tampilan
luarnya. Yang perempuan adalah Sivia Azizah yang berwajah manis. Kulitnya
kuning bersinar. Matanya coklat menyala. Tubuhnya tinggi nan langsing.
Rambutnya lurus berwarna hitam. Berhiaskan bando dengan aksen bunga berwarna
merah muda. Semuanya dibalut benda-benda bermerk. Menunjukkan status sosialnya.
Sedang yang lelaki adalah Cakka Nuraga. Pemuda pemilik wajah menawan. Campuran
antara Indonesia dan Jerman. Putih bersih kulitnya. Tinggi tegap perawakannya.
Gaya rambutnya agak berbau harajuku. Semua yang dikenakannya juga sama;
bermerk. Keduanya memang berhubungan satu sama lain. Berangkat dari rumah yang
sama. Menumpang mobil yang sama.
Maka
tak heran ketika mereka berjalan menyusuri koridor, membuntuti lelaki berkaca
mata, tiap pasang mata menatap kagum pada keduanya. Yang perempuan memandangi
yang lelaki. Dan sebaliknya. Terpesona.
Sivia
menatap risih ke sekelilingnya. Terpaksa membalas setiap senyuman yang
dipersembahkan untuknya. Lantas menggoyang-goyangkan lengan Cakka yang
digelayutinya.
Sivia
berbisik pada telinga Cakka. "Kenapa sih mereka liatin kita kaya gitu? Tuh
tuh, ceweknya pada godain kamu." mendelik sinis pada wajah-wajah sumringah
para gadis di sepanjang koridor.
"Tetap
aja ga akan ada yang bisa ngalahin kamu. You're the winner." Cakka menekan
pipi Sivia dengan telunjuknya. Berhasil membuat seluruh pipi Sivia diliputi
semburat merah buah tomat.
Mereka
terus berjalan. Tatapan-tatapan itu tak lagi dihiraukannya. Karena mungkin
memang hal itu akan mempermudah segalanya.
***
Ify
melirik kursi kosong di sampingnya. Lima menit lagi bel masuk berdering. Dan si
empunya kursi belum datang juga? Ify tahu dia tak memiliki hobby terlambat
seperti sahabat kentalnya. Eh? Ify menoleh ke pojok belakang kelas. Di sana Rio
sedang sibuk menyalin PR milik temannya. Ify mendesah. Gabriel kalah cepat oleh
Rio? Si raja telat seantero sekolah? Ck.
Dan
sepuluh menit setelah bel menjerit, barulah Gabriel datang. Untung saja, guru
yang mengajar di jam pertama belum masuk kelas. Pemuda itu melangkah bak dewa.
Sempurna mempesona seluruh penghuni kelas. Tak terkecuali Ify. Mata gadis itu
mengikuti setiap pergerakan sang pemuda. Hingga pada akhirnya, pemuda itu
sampai di kursinya. Duduk.Menyimpan ranselnya di atas meja. Bersandar pada
kepala kursi. Memejamkan mata. Setelah itu, tidak ada.
Kemana?
Ify cuma bisa membentuk huruf A tanpa suara. Kemana basa-basi yang biasa
mengawali perjumpaan mereka? Kata selamat pagi yang diucapkan dengan tegas
namun menyenangkan? Celetukan yang mengejutkan? Senyum miring meremehkan? Atau
bentakan sekalipun? Dimana pemuda itu menyembunyikannya? Masih tertinggal
bersama insiden kemarin sore? Tapi bukankah kalau pemuda itu marah, ia tak
segan meluapkannya? Tapi, kenapa pagi ini dia mengacuhkannya? Ify meneguk
ludah. Mendapati rahang pemuda itu yang mengeras.
Namun
ada satu hal yang tidak Ify tahu. Bahwa ketika Gabriel mendapati wajah polos
Ify yang menyenangkan, hatinya tiba-tiba mencelos. Ia belum tahu harus seperti
apa ia menyikapi Ify. Ia hanya tidak ingin menyakiti hati Ify. Itu saja. Walau
dengan mengabaikannya saja, hati Ify sudah lebih dari sakit.
***
Semuanya
berlaku ketika jam istirahat tiba. Gabriel langsung melejit ke luar kelas,
setelah sebelumnya ia menyeret seorang gadis yang duduk di belakangnya. Oik?
Ify mengerutkan kening? Ada hubungan apa Oik dengan sikap aneh Gabriel?
"Ify
cantik! Hey!" suara bariton menyenangkan itu membuat si pemilik nama
terkesiap. Apalagi dengan diiringi sentuhan lembut pada bahunya. Ify mendongak.
Ada Rio didapatinya.
"Main
bola yuk!" ajak Rio. Mengangkat alisnya.
Ify
mengangguk cepat. Melupakan sejenak tentang sikap aneh Gabriel. "Mau
mau!" ujar Ify antusias. Rio benar-benar memenuhi inginnya yang
disampaikan kala itu. Bermain sepakbola bersama.
Mereka
kemudian bergegas ke lapangan.
***
Oik
menatapi punggung pemuda yang berdiri beberapa meter darinya. Punggung yang
setiap hari diamatinya. Dan dari punggung itulah Oik sedikit banyak dapat
menerka apa yang sedang dirasakan oleh empunya punggung. Dan untuk kali ini, ia
menangkap keresahan yang terkontaminasi rasa kecewa menyeruak lewat gerakan
turun naik punggung itu. Ada apa? Bukankah telah beberapa hari punggung itu
menunjukkan rasa bahagia? Ketika bergerak untuk mengganggu gadis yang selalu
duduk di sampingnya. Atau memang ini semua berkaitan dengan gadis itu? Kalau
benar adanya, Oiklah orang pertama yang akan memberikan pelajaran. Apa
maksudnya mempermainkan sahabatnya; Gabriel?
Tidak.
Gadis itu bukan oknum utama dari keanehan Gabriel. Pelakunya justru adalah
gadis plester yang mati-matin dibela Oik. Dia penjahatnya. Meminta untuk
dinanti, tapi malah melupakan. Ah tidak. Gadis itu tak pernah meminta Gabriel
menantinya. Dia hanya memastikan bahwa dia akan pulang. Walau tak pernah ada
kepastian zaman. Gabriel sendiri yang bebal. Bersikeras menghabiskan waktu
hanya dengan menunggu. Angkuh mengunci pintu hatinya. Walau tak seorang pun
tau, kunci itu telah berhasil dicuri oleh seorang gadis polos.
"Sivia..."
pemuda itu gemetar mengucap sebuah nama.
Oik
terkesiap. Ada apa dengan Sivia? Ia menunggu kelanjutan ucapan Gabriel.
"Gue
kemarin ketemu dia."
Oik
memperbesar pupil matanya. Telinganya tidak keliru, bukan? Gabriel bertemu
dengan Sivia? "Lalu?"
"Dia
ga kenal sama gue." lanjut Gabriel. Matanya tiba-tiba memanas kala
mengucapkan kenyataan menyakitkan itu. Ulu hatinya juga terasa perih. Pemuda
itu menatap lurus ke depan. Warna biru di ujung daya lihatnya.
Oik
menggeleng. Bibir mungilnya bergetar. "Ga mungkin!"
"Kenapa
ga mungkin?" Gabriel memutar tubuhnya hingga menghadap Oik. "Gue
lihat sendiri. Dia... Dia udah bahagia." pemuda itu menunduk dalam.
Oik
mengerenyit. Apa maksudnya? Bahagia bagaimana?
"Kemarin,
gue lihat dia sama cowok. Mungkin, itu yang buat dia lupa sama gue. Dia
benar-benar udah bahagia." Gabriel jatuh terduduk di atas tanah.
Nanar
Oik memandang pemuda rapuh itu. Kalau memang benar semua yang dikatakan
Gabriel, maka Oik bersumpah akan mengutuk dirinya sendiri. Ia yang selama ini
menyemangati Gabriel untuk tetap menunggu Sivia. Ia berusaha menjauhkan Gabriel
dari Ify dengan cara menghasut pemuda itu. Ia yang sungguh menaruh segenap rasa
percayanya untuk Sivia. Apa lagi cara terjahat untuk menyiksa pemuda nelangsa
itu?
"Dia
udah bahagia. Harusnya gue juga. Gue harus bahagia. Dengan atau tanpa
dia."
Demi
kalimat yang diucapkan dengan suara bergetar, menahan rasa sakit. Berujung
dengan jatuhnya setetes kristal bening dari sudut mata. Di mana pun tempatnya
masa lalu, dia selalu menjadi pemicu polemik nomor satu.
***
"Rio
kece, sejak kapan temenan sama Gabriel?" tanya Ify sembari menendang bola
ke mulut gawang. Tepat diterima oleh Rio. Entah mengapa ia merasa harus
membicarakan tentang sikap aneh Gabriel pada Rio.
"Sejak
bayi. Emang kenapa?" Rio balik bertanya. Mengembalikan bola pada penendang
pertama.
Ify
membungkuk untuk mengambil bola. Kemudian duduk di atas rumput. Menatap corak
sang bola. Hitam putih seperti papan catur. "Tahu dong kenapa dia gampang
berubah? Kadang baik banget, kadang jutek banget. Dan hari ini, dia benar-benar
jutek. Dari tadi, Ify dicuekin terus sama dia. Kenapa ya?" Ify menghela
nafas panjang lantas menghembusnya.
"Ify
cantik." Rio turut duduk di samping Ify. "Lo sedih ya dicuekin
Gabriel?" Rio terburu merapatkan mulutnya. Bodoh. Pertanyaan itu hanya
akan menyulut jawaban yang pasti menyundut hatinya. Memedihkan. Terlambat. Ia
membiarkan gadis itu menjawabnya.
"Sedih
banget." Ify memainkan bola yang ada di pangkuannya.
Rio
mencabut sehelai rumput dengan kasar. Mendesah berat -walau tak kentara. Ia
sudah tahu jawabannya. Sebegitu berharganyakah Gabriel untuk Ify? Sehingga
'hanya' diacuhkan saja, Ify merasa sangat sedih.
Tunggu.
Rio belum mendengar kelanjutan ucapan Ify. Mungkin saja, itu bisa melegakan
hatinya. Walau tak seberapa.
"Ify
sedih waktu Gabriel cuekin Ify. Rio jangan ikut cuekin Ify ya! Ify bakalan
makin sedih."
Rio
terkesiap. Menoleh pada Ify. Lantas matanya tertumbuk pada bulatan indah di
balik kacamata itu. Bulatan yang entah mengapa seringkali didapatinya mengerjap
tanpa sebab. Menatap berharap padanya. Rio menyentuh lengan Ify. Hatinya
trenyuh ketika gesture halus kulit kuning langsat gadi itu.
"Selama
ini, Ify ga pernah sendirian. Ada Mama, Papa, temen-temen di Bandung, juga
semua yang ada di sini. Ify ga terbiasa sendirian. Ify... Ify takut
sendirian." Ify meringis. Seperti tengah menahan rasa sakit. Gadis itu
melepaskan kacamata berplesternya. Menampakan dengan kentara pelihatnya yang
berair.
Ada
berbagai rasa yang sungguh membuncahi hati Rio ketika mendengar kalimat yang
terkesan seperti sebuah jeritan hati itu. Bingung. Mengapa pembicaraan Ify
janggal seperti itu? Sendirian? Tentu Ify tidak akan pernah sendirian. Bahkan
ketika Ify hanya sendiri sekalipun. Meskipun wajah Ify tak secantik dewi
aprodith Yunani, meski perawakannya kurus dan tak seideal artis luar negeri,
meski ia hanya siswa pindahan dari sebuah kota di negeri ini, kedatangannya
cukup membuat seantero sekolah gempar. Dua siswa baru yang cantik dan tampan,
kaya, serta datang dari luar negeri pun kalah jauh oleh Ify. Paling tidak, di
hari pertama mereka menjejakan kaki di sekolah itu, belum semuanya mengetahui.
Termasuk orang-orang yang paling krusial dalam kisah ini. Ify benar-benar gadis
yang hebat. Ia hanya menggunakan kepolosannya untuk dapat mendapatkan perhatian
semua penghuni sekolah itu. Bahkan Gabriel, pemuda dingin itu berhasil
ditaklukan Ify. Walau kini pemuda itu seperti sengaja menjauhi Ify, entah
karena apa. Jadi, mana mungkin Ify akan sendirian? Walau Gabriel nanti
benar-benar tak bisa lagi diraihnya, Ify masih punya banyak teman. Harusnya Ify
tidak perlu sekhawatir itu.
Juga
tertohok. Gadis semenyenangkan Ify takut sendirian? Bagaimana itu bisa terjadi?
Rio menggeleng. Tidak akan. Ify tidak akan pernah sendirian selama ada dirinya.
Sungguh.
“Fy…”
Rio menggenggam tangan Ify. “Gue boleh menjanjikan satu hal buat lo?”
Ify
menatap bertanya.
“Gue
ga akan penah biarin lo sendirian. Kalau gue ingkar, jangan segan buat tegur
gue ya!” ucap Rio dengan nada bergurau. Meski ikrar itu tentu saja bukan
semata-mata untuk menghibur Ify. Sebrutal apa pun Rio, pemuda itu takkan sampai
hati mempermainkan perasaan seorang gadis. Terlebih gadis yang dicintainya.
Ify
tersenyum. “Ify percaya kok Rio ga akan ingkar. Rio kan kece.” Ify jahil
mencolek pipi Rio.
“Eh…”
Rio menyentuh pipinya yang tiba-tiba memanas. “Ify centiiillll!” Rio menjawil
dagu runcing Ify. Lalu bergegas melarikan diri.
“Rio
keceeeeeeee!” Ify mengulum bibir. Cepat memasang kembali kacamata berplester
yang tadi sempat dilepasnya. Bangkit berdiri. Membuat bola pada pangkuannya
menghambur ke udara lantas jatuh mencium rumput. Ify tidak peduli. Ia langsung
berlari mengerjar Rio yang sudah menghilang dari pandangannya.
Dan
tanpa Ify tahu, bola itu bergerak menuju seorang pemuda yang telah berteman
sangat lama dengan dunia bola yang entah sejak kapan berdiri di sudut lapangan.
Dari sana, ia menyaksikan adegan-adegan yang ternyata cukup membuat dadanya
sesak. Melihat gadis itu bergurau dengan sahabat kentalnya. Ia menunduk.
Menginjak bole yang tepat berada di ujung sepatunya. Lantas dengan kaki yang
sama, lihai menendang keras sang bola. Si kulit bundar itu melesat bak anak
panah yang dilepaskan dari busurnya. Tepat
menghantam tiang atas gawang. Menimbulkan suara berdentang yang lumayan
kencang. Dengan segala kemelut hatinya, ia masih menjadi arjuna lapangan. Makin
pandai menguasai si kulit bundar.
Namun
hati beserta isi-isinya, tak pernah berhasil ia kuasai. Malah merekalah yang
menjadi pemimpin kendali.
***
Bersambung