Lebih Dari Plester part 11

Jumat, 03 Agustus 2012

Lebih Dari Plester part 11



Keduanya mulai beraksi. Terjun ke jalanan dengan menggunakan baju yang sama. Medan utama mereka adalah area lampu merah dengan target para pengguna jalan raya yang tentu saja tengah berhenti. Mereka memberikan masing-masing satu plester dinosaurus dan selembar brosur kepada setiap pengguna jalan. Brosur ajakan untuk saling mengasihi antar sesama. Saling berbagi. Alangkah indahnya kalau semua penghuni bumi dapat melakoninya. Dengan ketulusan hati dan kebijakan diri.

Ify bersemangat melakukannya. Menghampiri pesepeda motor. Memberikan plester dan brosur. Memberikan senyuman termanisnya. Beralih pada yang lain. Mengetuk jendela mobil. Sang empunya mobil membukanya secara perlahan. Langsung disuguhi plester dinosaurus. Berterimakasih. Lantas berpindah pada mangsa-mangsa lainnya. Begitu terus sampai satu jam ke depan. Tanpa lelah ia membagikan plester-plester menggemaskan itu. Melupakan sejenak keterbatasan yang bersemayam dalam tubuh mungil nan ringkihnya. Ify hanya ingin berbagi kebahagiaan siang ini.

Awalnya Gabriel setengah hati melakukannya. Buang-buang waktu dan tenaganya saja. Begitu pikir Gabriel. Ia malas-malas membagikan plester. Senyum miring pula yang ia suguhkan. Tanpa keikhlasan. Tapi melihat Ify yang begitu bersemangat melakukan gerakan seribu plester dinosaurus yang menurutnya aneh itu, hati Gabriel
merasa tertohok. Bagaimana mungkin ia berbagi tanpa diiringi rasa ikhlas? Sia-sia. Hanya demi agar Ify tidak merajuk padanya? Klise. Kalau begitu, lebih baik tidak usah saja.

Maka Gabriel bertekad melampaui apa yang dilakukan Ify. Ia tak boleh kalah dari gadis aneh itu. Semangat ia melakukannya. Berapi-api menjelaskan tentang gerakan seribu plester dinosaurus pada setiap orang yang penasaran bertanya. Mengembangkan senyum khas lebar kebanggaannya. Ia bahkan hampir mengalahkan Ify pada torehan siapa yang paling banyak membagikan plester. Hanya beda lima buah. Angka yang kecil. Dengan mudah Gabriel akan melalui perolehan angka itu. Apalagi sekarang Ify nampak mengurangi kegesitannya. Ia mulai didera rasa lelah. Deru nafasnya terhela tanpa aturan. Terengah-engah seperti dikejar setan. Ify memutuskan beristirahat. Duduk di trotoar jalanan.

Gabriel mendengus ketika lampu yang menyala kini berganti hijau. Ia harus menunggu lampu merah yang berikutnya agar beberapa plester yang tersisa segera habis. Kasihan Ify. Beberapa kali ia melirik gadis itu. Mendapatinya tengah memegangi dada. Pasti ia sangat kelelahan

Gabriel bukan pengecut yang akan membiarkan seorang gadis -terlebih gadis yang diam-diam berhasil mencuri hatinya itu- terlantar sendirian. Menahan rasa lelah yang ia yakin telah hampir mencapai batas kemampuan. Maka segera ia beranjak menuju warung terdekat. Membeli sebotol air mineral untuk Ify. Ya, air pasti sangat dibutuhkan oleh gadis itu kini. Untuk menghapus dahaga sekaligus meredam rasa lelah.

"Nih!" Gabriel menyodorkan botol air mineral itu pada Ify, sejurus setelah ia duduk di samping gadis itu. Ify menoleh. Tersenyum. Lantas meraihnya.

"Elo capek ya? Ya udah, pulang yuk! Udahan kampanyenya. Gue juga udah capek." ujar Gabriel. Sebenarnya lebih karena mengkhawatirkan kondisi Ify. Terlebih setelah ia melihat wajah Ify yang sangat pucat. Buliran keringat berjatuhan dari pelipisnya. Gabriel cemas Ify kenapa-napa.

"Aku cuma butuh ini kok." Ify mengeluarkan sebuah botol kecil berisi beberapa kaplet obat. Mengeluarkan satu biji. Lantas mencekokannya ke dalam mulut. Ditutup dengan seteguk air mineral yang menyegarkan.

"Itu apa?" Gabriel mengedikan kepala. Penasaran terhadap kaplet-kaplet yang ditelan Ify. Kalau obat, obat apa? Memangnya Ify sakit apa?

Ify menyeringai. "Vitamin." memasukan botol yang konon berisi vitamin itu ke dalam saku rok abu-abunya. Ia menoleh ke arah Gabriel. "Masih ada beberapa plester lagi. Kalau kamu capek, istirahat aja. Aku bisa sendiri kok." Ify mengangkat kedua alisnya secara bergantian.

"Heh! Enak aja! Elo udah paksa gue buat kampanye gila kaya gini. Dan sekarang, elo nyuruh gue istirahat? Demen banget mainin perasaan orang." hardik Gabriel.

Yang dihardik mengerutkan kening. Kenapa Gabriel sekarang suka tiba-tiba jadi cerewet? Dulu saat pertama bertemu, hanya sepatah dua patah kata yang pemuda itu ucapkan. Sisanya lebih banyak diam. Ify bergidik ngeri. Demi melihat kedua mata Gabriel yang memelototinya. Seperti hendak menelannya bulat-bulat.

Pada dasarnya Gabriel memang tipikal pemuda yang cerewet. Suka berceramah panjang lebar. Tentang inilah, itulah, apalah. Terutama yang bersangkutan dengan gadisnya (dulu memang kata ganti gadisnya merujuk pada gadis plester. Sedangkan sekarang mungkin tidak lagi berlaku hukum itu. Gadis dihadapannya boleh jadi mendapatkan sandangan itu). Jadi mulai sekarang, Ify sebaiknya membiasakan diri dengan sikap Gabriel yang seperti itu. Karena nanti, akan ada banyak sekali ceramahan yang dijejalkan padanya. Sedikit saja Ify melakukan kekeliruan, maka telinga, hati, dan otaknya harus siap kala Gabriel memuntabkan sejuta kalimat dewanya yang memiliki kelebihan untuk mengendalikan.

"Jadi?" Ify menunggu apa yang dilakukan Gabriel selanjutnya.

"Sini!" Gabriel merampas beberapa brosur dan plester yang ada di pangkuan Ify. Menyatukannya dengan miliknya. "Elo duduk imut di sini. Biar gue yang beresin semuanya. Setelah itu kita pulang. Ga boleh protes. Oke!" Gabriel menepuk ubun-ubun gadis yang hanya bisa ternganga mendengar celotehannya. Lantas berbalik dan berlari ke jalanan yang tak lagi lengang. Lampu sudah memerah lagi. Memburu setiap mobil dan motor yang memenuhi tiap ruas jalanan.

Ify mengangkat bahu tak acuh. Siapa juga yang mau protes? Ia kan juga lelah. Mana Bunda telah menerornya untuk segera pulang. Jadi masih berniatkah dia untuk melakukan prosedur protes yang tidak penting itu?

Sekembalinya Gabriel ke jalanan, ia mempercepat gerakannya. Ayo! Sedikit lagi. Rapalnya berulang-ulang dalam hati.

Giliran mobil berwarna hitam dengan kaca jendela yang sempurna tertutup yang dihadapi oleh Gabriel. Pemuda itu mengetuk pelan kaca jendela. Lamat-lamat membuka setelah si pengemuda menekan sebuah tombol. Menyembul siluet seorang pemuda berkulit putih yang sebaya dengan Gabriel dari balik jendela. Kepalanya sedikit terjulur. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya pemuda itu dengan halus. Tutur katanya sangat lembut untuk ukuran seorang lelaki.

Gabriel tersenyum. Menyodorkan secarik brosur dan sebuah plester dinosaurus pada pemuda itu.

Lekat pemuda itu mengamati dua benda yang diserahkan padanya. Memindai tulisan yang ada pada brosur itu. Gerakan seribu plester dinosaurus. Unik. Pemuda itu mengangguk-anggukan kepalanya. Memahami. Ternyata, masih tersisa rasa kasih antar sesama di kota kerasnya itu. Kepekaan sosial yang cukup tinggi ditengah sikap individualisme para penduduk kota tercintanya. Pemuda itu sedikit-banyak mencelos hatinya.

"Hoaammm!" seseorang yang duduk di kursi penumpang depan terdengar menguap. Sedikit mengerang. Lantas merentangkan tangannya. Menggeliat. Sepertinya, ia baru saja terjaga dari tidurnya.

Gabriel mengerenyit. Baru sadar, ada siluet lain yang menghuni mobil itu selain daripada pemuda dengan rambut yang lumayan gondrong itu. Gabriel membungkukkan tubuhnya. Berharap dapat melihat siapa yang menguap tadi. Telinganya seperti telah mengenal suara yang manja tadi.

"Kita udah sampai mana, Kka?" si penguap tadi bertanya pada pengemudi yang dipanggilnya dengan 'Kka'. Dia adalah seorang gadis. Setiap orang pasti setuju dengan pernyataan bahwa gadis itu sangatlah manis. Dia nampak mengucek-ngucek matanya. Rambut panjangnya berantakan tak karuan. Tapi tetap saja gadis itu terlihat manis.

Tepat ketika sang gadis menurunkan tangannya, pada saat itu pulalah Gabriel menangkap jelas wajah manis itu. Sepasang bola mata berwarna coklat. Caping hidung yang mungil. Bibir merah dan basah. Gabriel membuka mulutnya. Berbicara benar-benar tanpa suara. Lalu membelalakan mata. Nyatakah apa yang dilihatnya? Gadis itu. Hanya sepelemparan batu saja darinya. Sungguh sulit dipercaya. Bagaimana ini bisa terjadi?

"Itu apa Kka?" gadis itu acuh bertanya. Tak mengindahkan tatapan nanar Gabriel padanya.

Si pengemudi menoleh. "Plester dinosaurus. Mau?"

Cepat gadis itu mengangguk. Tersengat oleh kata 'plester dinosaurus'. Entah mengapa merasa dekat dengan benda itu.

"Mas, boleh minta satu lagi?" si pengemudi menoleh ke arah jendela. Diikuti oleh wajah penasaran gadis di sebelahnya.

Lantas, apa yang terjadi selanjutnya? Gadis itu terhenyak melihat wajah yang melongo dari luar mobilnya. Codetan kecil bekas luka pada kening. Sepasang pelihat elang. Kulit gelap yang memetakan ketegasan. Dua rahang yang begitu kokoh. Semuanya. Seperti sangat dikenalinya.

Keduanya bersitatap dalam diam. Namun siapa yang tahu bahwa masing-masing hati mereka tengah riuh bergemuruh.

Gabriel. Tentu ia sungguh terhenyak ketika melihat wajah polos gadis itu. Setelah tiga tahun, dan itu tak bisa menghapuskan ingatan-ingatan akan gadis plesternya. Ya, gadis dalam mobil itu adalah gadis plester yang beberapa waktu terakhir berusaha diacuhkannya. Ia masih hafal bagaimana wajahnya. Bahkan berapa tahi lalat yang ada di sana, ia masih hafal. Disimpan rapat-rapat dalam memori otaknya. Lalu sekarang, apa yang harus dilakukannya? Bahkan otak jeniusnya tak berfungsi sama sekali. Lupa bagaimana caranya menyapa seseorang yang baru dijumpainya setelah tiga tahun lamanya. Lupa bagaimana harus melonjak gembira ketika melihat sosok penetes rindu di hatinya yang nyatanya saat ini hampir saja mengering. Kerontang ditanduskan masa. Gabriel benar-benar tidak tahu apa yang mesti diperbuatnya. Apalagi melihat lipatan kebingungan pada kening sang gadis? Itu tanda apa? Apa jangan-jangan lipatan itu mengindikasikan bahwa gadis itu sama sekali tak mengenalinya? Tapi, kenapa bisa?

Dan terkaan Gabriel memang benar. Gadis itu tak tahu siapa nama dari pemilik wajah tampan itu. Keras ia mengorek-orek ingatannya. Tapi bukankah ingatan paling krusial itu telah hilang bersama tumornya? Kini, ia hanya menggunakan hatinya. Tentu saja hatinya teramat mengenal siluet itu. Meski untuk mengingat sebuah nama, tetap otaknya yang berperan.

Akhirnya, si pengemudi memecah keheningan. Lampu sudah berwarna kuning. Aba-aba agar para pengendara bersiap melajukan kembali kendaraannya. Ia bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Boleh minta satu lagi?"

Gabriel mengerjap. Gelagapan ia hendak berbicara. Tak sempat. Maka akhirnya, dengan gemetar ia menyerahkan brosur dan plester dinosaurus yang masih tersisa di sana. Lantas berlari menjauh. Langkahnya terseok-seok. Hampir terjatuh. Ia tak peduli. Sungguh kejutan yang terlalu mengejutkan. Ia belum menyiapkan diri beserta hati yang tanpa sadar telah ia tawarkan untuk gadis yang lain.

"Ayo pulang!" tukas Gabriel cepat. Menarik tangan Ify menuju motornya. Mencegah gadis itu untuk jangan dulu bertanya ada apa. Menyuruh Ify naik ke atas motornya. Sebelum akhirnya, Gabriel melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Hampir 140 km/jam. Untung saja Ify berpegangan pada pinggang Gabriel. Jadi tubuh mungilnya tidak akan melayang ke mana-mana.

Mulut Ify sebenarnya sudah gatal ingin bertanya. Apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba Gabriel mengajaknya pulang? Tanpa alasan? Tak membiarkan Ify melontarkan sepenggal kata pun. Tapi Ify mencoba mengerti. Ia bisa merasakan ada sebuah ketidakberesan dalam diri Gabriel. Wajahnya yang pucat serta berlumur keringat. Sengalan nafas yang tanpa aturan. Kenapa? Ify akhirnya menemukan waktu yang tepat. Saat ini. Ketika Gabriel perlahan mengurangi laju motornya. Tak lagi seugal-ugalan beberapa saat sebelumnya.

"Yel, kamu kenapa? Tadi ada yang jahatin kamu ya? Siapa? Bilang sama Ify! Nanti Ify kasih pelajaran deh! Masa..."

Cekittt... Bunyi berdecit akibat gesekan roda depan motor dengan aspal terdengar melengking. Gabriel  menekan rem depannya dengan sangat dalam dan tiba-tiba. Membuat sang motor berhenti mendadak. Tubuh Ify terdorong ke depan. Tak sengaja membentur punggung Gabriel. Ify membenarkan posisi pelindung kepalanya yang agak miring. Mengerenyit bingung.

"Elo kalau ga bisa diam, turun sekarang juga!" bentak Gabriel.

Ify tak bersuara. Bagaimanalah ia akan menjawab, kalau tiba-tiba batang tenggorokkannya seperti teronggok sesuatu. Ify hanya mampu menggeleng lemah. Wajahnya memucat kembali.

Gabriel terkesiap. Ia menyadari akan sikapnya yang terlalu keras pada Ify. Apa ia tak ingat dengan ikrar yang dibuatnya sendiri kala itu? Bersikap baik pada gadis yang teramat baik padanya. Sepanjang sisa perjalanan, Gabriel merutuki dirinya sendiri.

Mereka telah sampai di depan gerbang sebuah rumah bernuansa klasik. Rumah Ify.

Gabriel jeli memandangi Ify. Rasa bersalahnya menggelembung makin besar, kala didapatinya wajah Ify yang pucat pasi. Setelah ia membentaknya tadi, gadis itu bagai jangkrik yang terinjak. Diam tak bersuara.

"Gue ga papa! Selama masih ada lo." Gabriel berbisik. Menenangkan Ify. Dari  rombongan pertanyaan gadis itu padanya tadi, Gabriel bisa menangkap rasa khawatir yang disiratkan gadis itu.

Ify merekahkan senyumnya. Mengerjapkan kedua mata yang tiba-tiba berubah berbinar. Mood gadis itu memang mudah sekali membaik. Tak pernah ia berlama-lama menekuri rasa sedih.

Maka senyum itulah yang juga menghantarkan Gabriel pergi. Mungkin ia bisa membenarkan kekacauan hatinya di tempat lain. Tidak di depan Ify.

Di waktu yang sama, dua penghuni mobil mewah itu kembali melanjutkan perjalanan berkeliling kota tersayang mereka. Si pengemudi melirik gadis di sebelahnya dari sudut matanya. Mengamati ekspresi sang gadis ketika mengamati beberapa plester dinosaurus beraneka warna.

"Kenapa Vi?" tanya si pengemudi dengan fokus tetap pada jalanan di depannya.

"Nothing." gadis itu menggeleng. Melambaikan tangannya. Tidak penting. Mungkin hanya perasaannya saja. Gadis itu mencoba tak menghiraukan kelebatan wajah pemuda yang ditemuinya tadi. Biarkan bayangannya menguap di langit-langit mobilnya.

"Plesternya lucu. Ada dinosaurusnya." gadis itu berseru. Membuat si pengemudi terkekeh pelan.

***

Pemuda itu menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Memejamkan kedua mata. Berharap setengah mati, bahwa peristiwa satu jam yang lalu itu tak pernah terjadi. Terlalu mengejutkan baginya.

Namun ketika ia membuka matanya lagi, ia terpaksa meneguk ludah. Semuanya benar-benar nyata. Ia tak bisa menyangkalnya.

Kalau mengikuti logika, harusnya Gabriel senang dengan kejadian sore tadi. Harusnya, ia merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Mengembalikan setumpuk rindu yang telah ia titipkan selama lebih dari tiga tahun. Rindu yang tersisa beberapa tetes saja. Dikikis habis oleh kepolosan gadis yang lain. Tapi apa? Mengucap namanya saja ia tak mampu. Sampai sekarang ia masih belum mampu. Walau nyatanya, gadis itu sudah tak ada lagi di dekatnya. Bukan. Bukan karena ia lupa akan namanya. Tapi mengingat nama itu saja, cukup membuat dadanya sesak. Apalagi sampai mengucapkannya.

Tapi kalau sudah menyangkut rasa, logika kadang tak ada kaitannya. Ini tentu saja berhubungan dengan hati.

Gabriel melirik sebuah rak berisikan pernak-pernik dinosaurus yang ada di salah satu sudut kamarnya. Tempat khusus dimana ia menyimpan berbagai benda kenangan masa lalunya bersama gadis plesternya. Ia tersenyum menyeringai. Mengapa kehadiran orang yang dinantinya selama tiga tahun, justru membuat keterkejutan yang luar biasa? Padahal sudah sepantasnya Gabriel merasa senang. Itu berarti sikapnya yang bersikukuh menggenggam pesan sederhana itu tidak percuma. Apa? Bukankah dengan ikrar-ikrar yang ia buat untuk gadis aneh itu telah menjadi sebuah pengingkaran atas keangkuhannya selama ini?

Bahwa sekarang, setiap kali Gabriel memikirkan gadis plesternya, justru gadis lain tanpa permisi berlalu lalang dalam benaknya. Ya, keadaannya telah jauh berbeda. Sosok itu kembali, saat ia telah membukakan pintu hatinya untuk sosok yang lain. Dan kini, kedua sosok itu bergantian menjejali pikiran. Membuat kepalanya limbung. Hingga jatuh tersungkur di atas kasur berseprai dinosaurus. Bertemankan guling bergambar dinosaurus

.***

Gabriel mengerjap-ngerjapkan mata. Cahaya datang berpilin menyilaukan. Pemuda itu terbangun dari tidurnya. Sudah pagi. Ia bergegas menuju kamar mandi.

Sehelai handuk baru saja disampirkan ke bahunya, ketika Gabriel menyadari bahwa ia masih mengenakan kaos dari Ify. Ah, mengapa pagi begini, bayangan gadis itu sudah mengusiknya? Gabriel mendesah berat. Entah mengapa, untuk hari ini ia belum siap bertemu dengan gadis itu di sekolah. Walau tanpa sadar, semalaman suntuk ia telah mengumpulkan amunisi rindu.

Lalu bagaimana dengan gadis plesternya? Apakah masih ada rindu tercipta untuk dan karenanya? Sepertinya tidak. Kalaupun benar adanya, Gabriel akan mati-matian menyanggahnya. Ia juga berharap, hari ini dan seterusnya, tak lagi ia jumpai gadis itu. Semoga kemarin adalah kesempatan terakhir mereka bersua. Karena bagi Gabriel, mengetahui keadaan  gadis itu yang -sepertinya lebih dari baik itu pun sudah cukup. Tentulah. Gadis itu sudah berbahagia dengan hidupnya yang sekarang. Lihatlah pipi tirusnya yang telah menghilang. Juga pemuda yang pastinya lebih dari sekedar supir pribadi. Sehingga gadis itu tak merasa penting untuk dapat mengenalinya. Dirinya yang bahkan telah mengorbankan bermilyar debar jantungnya, hanya untuk menjaga pesan itu. Jadi, mengapa tak Gabriel remukkan saja isi pesan itu? Biarkan enyah bersama debu. Dan ia bisa menyongsong masa depan bersama sosok lain yang telah berhasil menyentuh kenelangsaan hatinya. Itu akan lebih baik. Setidaknya untuk hari ini. Tidak tahu esok dan hari-hari menjelangnya.

Di kediaman mewah lainnya, gadis bermata coklat itu terburu menyusuri satu persatu anak tangga. Bergegas menuju ruang makan. Di sana, sudah ada seorang lelaki yang wajahnya tersembunyi dibalik bentangan koran. Wanita berdaster yang menjabat sebagai pembantu di rumah mewah itu terlihat menuangkan susu ke dalam tiga gelas yang tersedia. Gadis itu melompat ke atas kursi. Membuat lelaki tadi menurunkan sejenak koran paginya. Berdecak mendapati siapa yang baru saja membuatnya agak terkejut. Lantas berkutat kembali dengan sang koran.

"Ayah, Cakka mana sih?" tanya gadis itu. Menyendok nasi goreng yang sudah siap di atas piringnya.

"Masih di kamar, sayang." jawab lelaki yang dipanggil 'Ayah' tersebut dengan fokus tetap pada bacaan dalam koran.

"Ish! Cakka kalau dandan lama. Sok ganteng! Mau tebar pesona ya? Awas aja!" gadis itu mendengus. "Cakkaaaaaaa."

Ayah meletakan korannya. Menegur putri tunggalnya dengan pelototan. Tidak baik berteriak seperti itu. Memangnya dia tinggal di hutan?

Gadis itu nyengir. Meminta maaf. "Abisan Cakka lama, Yah. Ini kan hari pertama kami sekolah. Nanti kalau telat gimana? Sivia ga mau dihukum." gadis bernama Sivia itu membela diri.

Ayah tertawa menyeringai. "Ini masih pukul 6, sayang!" Berdecak. Namun beliau sangat memaklumi sikap Sivia yang tidak sabaran. Karena enam bulan lamanya, gadis itu sudah terlalu memegang teguh kesabaran.

Seorang pemuda berpostur tinggi tegap kemudian muncul dan duduk bergabung di meja makan. Wajah tampannya nampak berseri-seri. Tubuhnya pun menyeruakkan aroma farfum yang semerbak mewangi.

"Morning Om! Morning cantik!" sapa pemuda itu ramah.

"Lama banget." Sivia berujar ketus. Memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

Cakka -pemuda itu mengangkat bahu tak acuh. Tak apa. Nanti juga Sivia bersikap manis lagi padanya. Melahap makanan yang sama.

Dan pada jarak beberapa kilo dari sana, gadis yang membuat kisah ini menjadi berbeda tengah bersiap diri di dalam kamarnya. Ify. Memasang jepitan beledu pada dua kuncir rambutnya. Membenarkan posisi kacamata berplesternya yang agak miring. Ia tersenyum mendapati siluetnya di dalam cermin.

Ify tiba-tiba tertegun. Meraba lehernya yang tak dililiti apa pun. Ify mengetukan jemarinya ke ujung dagu runcingnya. Berpikir.

Ting! Ify mengerjapkan mata. Tergesa meraih boneka dinosaurus yang ia letakkan di atas tempat tidur. Lalu melepaskan sebuah kalung perak dari leher sang dino untuk dikenakannya. Senyumnya kian merekah. Kemudian keluar dari kamarnya.

Kalung itu kelak akan membawanya pada sebuah pemahaman. Akan masa lalu yang tak pernah terpisah dari apa yang terjadi sekarang dan masa yang akan datang. Itulah yang diberi nama sejarah.

***

"Wah, sekolahnya keren!" ucap Sivia ketika memasuki pelataran gedung sekolahnya. Salah satu sekolah menengah atas bergengsi di kota tersayangnya. Sengaja dipilihkan oleh Ayah. Karena lelaki itu ingin memberikan sebaik-baiknya usaha untuk putri kecilnya.

Cakka menggamit lengan Sivia, kala Ayah mengedikan kepala. Menyuruh mereka untuk mengikuti langkahnya. Sivia ringan dituntun Cakka. Menikmati harum yang menguar dari tubuh sang pemuda.

Sekolah itu kedatangan dua penghuni baru yang tidak biasa dari segi fisik dan tampilan luarnya. Yang perempuan adalah Sivia Azizah yang berwajah manis. Kulitnya kuning bersinar. Matanya coklat menyala. Tubuhnya tinggi nan langsing. Rambutnya lurus berwarna hitam. Berhiaskan bando dengan aksen bunga berwarna merah muda. Semuanya dibalut benda-benda bermerk. Menunjukkan status sosialnya. Sedang yang lelaki adalah Cakka Nuraga. Pemuda pemilik wajah menawan. Campuran antara Indonesia dan Jerman. Putih bersih kulitnya. Tinggi tegap perawakannya. Gaya rambutnya agak berbau harajuku. Semua yang dikenakannya juga sama; bermerk. Keduanya memang berhubungan satu sama lain. Berangkat dari rumah yang sama. Menumpang mobil yang sama.

Maka tak heran ketika mereka berjalan menyusuri koridor, membuntuti lelaki berkaca mata, tiap pasang mata menatap kagum pada keduanya. Yang perempuan memandangi yang lelaki. Dan sebaliknya. Terpesona.

Sivia menatap risih ke sekelilingnya. Terpaksa membalas setiap senyuman yang dipersembahkan untuknya. Lantas menggoyang-goyangkan lengan Cakka yang digelayutinya.

Sivia berbisik pada telinga Cakka. "Kenapa sih mereka liatin kita kaya gitu? Tuh tuh, ceweknya pada godain kamu." mendelik sinis pada wajah-wajah sumringah para gadis di sepanjang koridor.

"Tetap aja ga akan ada yang bisa ngalahin kamu. You're the winner." Cakka menekan pipi Sivia dengan telunjuknya. Berhasil membuat seluruh pipi Sivia diliputi semburat merah buah tomat.

Mereka terus berjalan. Tatapan-tatapan itu tak lagi dihiraukannya. Karena mungkin memang hal itu akan mempermudah segalanya.

***

Ify melirik kursi kosong di sampingnya. Lima menit lagi bel masuk berdering. Dan si empunya kursi belum datang juga? Ify tahu dia tak memiliki hobby terlambat seperti sahabat kentalnya. Eh? Ify menoleh ke pojok belakang kelas. Di sana Rio sedang sibuk menyalin PR milik temannya. Ify mendesah. Gabriel kalah cepat oleh Rio? Si raja telat seantero sekolah? Ck.

Dan sepuluh menit setelah bel menjerit, barulah Gabriel datang. Untung saja, guru yang mengajar di jam pertama belum masuk kelas. Pemuda itu melangkah bak dewa. Sempurna mempesona seluruh penghuni kelas. Tak terkecuali Ify. Mata gadis itu mengikuti setiap pergerakan sang pemuda. Hingga pada akhirnya, pemuda itu sampai di kursinya. Duduk.Menyimpan ranselnya di atas meja. Bersandar pada kepala kursi. Memejamkan mata. Setelah itu, tidak ada.

Kemana? Ify cuma bisa membentuk huruf A tanpa suara. Kemana basa-basi yang biasa mengawali perjumpaan mereka? Kata selamat pagi yang diucapkan dengan tegas namun menyenangkan? Celetukan yang mengejutkan? Senyum miring meremehkan? Atau bentakan sekalipun? Dimana pemuda itu menyembunyikannya? Masih tertinggal bersama insiden kemarin sore? Tapi bukankah kalau pemuda itu marah, ia tak segan meluapkannya? Tapi, kenapa pagi ini dia mengacuhkannya? Ify meneguk ludah. Mendapati rahang pemuda itu yang mengeras.

Namun ada satu hal yang tidak Ify tahu. Bahwa ketika Gabriel mendapati wajah polos Ify yang menyenangkan, hatinya tiba-tiba mencelos. Ia belum tahu harus seperti apa ia menyikapi Ify. Ia hanya tidak ingin menyakiti hati Ify. Itu saja. Walau dengan mengabaikannya saja, hati Ify sudah lebih dari sakit.

***

Semuanya berlaku ketika jam istirahat tiba. Gabriel langsung melejit ke luar kelas, setelah sebelumnya ia menyeret seorang gadis yang duduk di belakangnya. Oik? Ify mengerutkan kening? Ada hubungan apa Oik dengan sikap aneh Gabriel?

"Ify cantik! Hey!" suara bariton menyenangkan itu membuat si pemilik nama terkesiap. Apalagi dengan diiringi sentuhan lembut pada bahunya. Ify mendongak. Ada Rio didapatinya.

"Main bola yuk!" ajak Rio. Mengangkat alisnya.

Ify mengangguk cepat. Melupakan sejenak tentang sikap aneh Gabriel. "Mau mau!" ujar Ify antusias. Rio benar-benar memenuhi inginnya yang disampaikan kala itu. Bermain sepakbola bersama.

Mereka kemudian bergegas ke lapangan.

***

Oik menatapi punggung pemuda yang berdiri beberapa meter darinya. Punggung yang setiap hari diamatinya. Dan dari punggung itulah Oik sedikit banyak dapat menerka apa yang sedang dirasakan oleh empunya punggung. Dan untuk kali ini, ia menangkap keresahan yang terkontaminasi rasa kecewa menyeruak lewat gerakan turun naik punggung itu. Ada apa? Bukankah telah beberapa hari punggung itu menunjukkan rasa bahagia? Ketika bergerak untuk mengganggu gadis yang selalu duduk di sampingnya. Atau memang ini semua berkaitan dengan gadis itu? Kalau benar adanya, Oiklah orang pertama yang akan memberikan pelajaran. Apa maksudnya mempermainkan sahabatnya; Gabriel?

Tidak. Gadis itu bukan oknum utama dari keanehan Gabriel. Pelakunya justru adalah gadis plester yang mati-matin dibela Oik. Dia penjahatnya. Meminta untuk dinanti, tapi malah melupakan. Ah tidak. Gadis itu tak pernah meminta Gabriel menantinya. Dia hanya memastikan bahwa dia akan pulang. Walau tak pernah ada kepastian zaman. Gabriel sendiri yang bebal. Bersikeras menghabiskan waktu hanya dengan menunggu. Angkuh mengunci pintu hatinya. Walau tak seorang pun tau, kunci itu telah berhasil dicuri oleh seorang gadis polos.

"Sivia..." pemuda itu gemetar mengucap sebuah nama.

Oik terkesiap. Ada apa dengan Sivia? Ia menunggu kelanjutan ucapan Gabriel.

"Gue kemarin ketemu dia."

Oik memperbesar pupil matanya. Telinganya tidak keliru, bukan? Gabriel bertemu dengan Sivia? "Lalu?"

"Dia ga kenal sama gue." lanjut Gabriel. Matanya tiba-tiba memanas kala mengucapkan kenyataan menyakitkan itu. Ulu hatinya juga terasa perih. Pemuda itu menatap lurus ke depan. Warna biru di ujung daya lihatnya.

Oik menggeleng. Bibir mungilnya bergetar. "Ga mungkin!"

"Kenapa ga mungkin?" Gabriel memutar tubuhnya hingga menghadap Oik. "Gue lihat sendiri. Dia... Dia udah bahagia." pemuda itu menunduk dalam.

Oik mengerenyit. Apa maksudnya? Bahagia bagaimana?

"Kemarin, gue lihat dia sama cowok. Mungkin, itu yang buat dia lupa sama gue. Dia benar-benar udah bahagia." Gabriel jatuh terduduk di atas tanah.

Nanar Oik memandang pemuda rapuh itu. Kalau memang benar semua yang dikatakan Gabriel, maka Oik bersumpah akan mengutuk dirinya sendiri. Ia yang selama ini menyemangati Gabriel untuk tetap menunggu Sivia. Ia berusaha menjauhkan Gabriel dari Ify dengan cara menghasut pemuda itu. Ia yang sungguh menaruh segenap rasa percayanya untuk Sivia. Apa lagi cara terjahat untuk menyiksa pemuda nelangsa itu?

"Dia udah bahagia. Harusnya gue juga. Gue harus bahagia. Dengan atau tanpa dia."

Demi kalimat yang diucapkan dengan suara bergetar, menahan rasa sakit. Berujung dengan jatuhnya setetes kristal bening dari sudut mata. Di mana pun tempatnya masa lalu, dia selalu menjadi pemicu polemik nomor satu.

***

"Rio kece, sejak kapan temenan sama Gabriel?" tanya Ify sembari menendang bola ke mulut gawang. Tepat diterima oleh Rio. Entah mengapa ia merasa harus membicarakan tentang sikap aneh Gabriel pada Rio.

"Sejak bayi. Emang kenapa?" Rio balik bertanya. Mengembalikan bola pada penendang pertama.

Ify membungkuk untuk mengambil bola. Kemudian duduk di atas rumput. Menatap corak sang bola. Hitam putih seperti papan catur. "Tahu dong kenapa dia gampang berubah? Kadang baik banget, kadang jutek banget. Dan hari ini, dia benar-benar jutek. Dari tadi, Ify dicuekin terus sama dia. Kenapa ya?" Ify menghela nafas panjang lantas menghembusnya.

"Ify cantik." Rio turut duduk di samping Ify. "Lo sedih ya dicuekin Gabriel?" Rio terburu merapatkan mulutnya. Bodoh. Pertanyaan itu hanya akan menyulut jawaban yang pasti menyundut hatinya. Memedihkan. Terlambat. Ia membiarkan gadis itu menjawabnya.

"Sedih banget." Ify memainkan bola yang ada di pangkuannya.

Rio mencabut sehelai rumput dengan kasar. Mendesah berat -walau tak kentara. Ia sudah tahu jawabannya. Sebegitu berharganyakah Gabriel untuk Ify? Sehingga 'hanya' diacuhkan saja, Ify merasa sangat sedih.

Tunggu. Rio belum mendengar kelanjutan ucapan Ify. Mungkin saja, itu bisa melegakan hatinya. Walau tak seberapa.

"Ify sedih waktu Gabriel cuekin Ify. Rio jangan ikut cuekin Ify ya! Ify bakalan makin sedih."

Rio terkesiap. Menoleh pada Ify. Lantas matanya tertumbuk pada bulatan indah di balik kacamata itu. Bulatan yang entah mengapa seringkali didapatinya mengerjap tanpa sebab. Menatap berharap padanya. Rio menyentuh lengan Ify. Hatinya trenyuh ketika gesture halus kulit kuning langsat gadi itu.

"Selama ini, Ify ga pernah sendirian. Ada Mama, Papa, temen-temen di Bandung, juga semua yang ada di sini. Ify ga terbiasa sendirian. Ify... Ify takut sendirian." Ify meringis. Seperti tengah menahan rasa sakit. Gadis itu melepaskan kacamata berplesternya. Menampakan dengan kentara pelihatnya yang berair.

Ada berbagai rasa yang sungguh membuncahi hati Rio ketika mendengar kalimat yang terkesan seperti sebuah jeritan hati itu. Bingung. Mengapa pembicaraan Ify janggal seperti itu? Sendirian? Tentu Ify tidak akan pernah sendirian. Bahkan ketika Ify hanya sendiri sekalipun. Meskipun wajah Ify tak secantik dewi aprodith Yunani, meski perawakannya kurus dan tak seideal artis luar negeri, meski ia hanya siswa pindahan dari sebuah kota di negeri ini, kedatangannya cukup membuat seantero sekolah gempar. Dua siswa baru yang cantik dan tampan, kaya, serta datang dari luar negeri pun kalah jauh oleh Ify. Paling tidak, di hari pertama mereka menjejakan kaki di sekolah itu, belum semuanya mengetahui. Termasuk orang-orang yang paling krusial dalam kisah ini. Ify benar-benar gadis yang hebat. Ia hanya menggunakan kepolosannya untuk dapat mendapatkan perhatian semua penghuni sekolah itu. Bahkan Gabriel, pemuda dingin itu berhasil ditaklukan Ify. Walau kini pemuda itu seperti sengaja menjauhi Ify, entah karena apa. Jadi, mana mungkin Ify akan sendirian? Walau Gabriel nanti benar-benar tak bisa lagi diraihnya, Ify masih punya banyak teman. Harusnya Ify tidak perlu sekhawatir itu.

Juga tertohok. Gadis semenyenangkan Ify takut sendirian? Bagaimana itu bisa terjadi? Rio menggeleng. Tidak akan. Ify tidak akan pernah sendirian selama ada dirinya. Sungguh.

“Fy…” Rio menggenggam tangan Ify. “Gue boleh menjanjikan satu hal buat lo?”

Ify menatap bertanya.

“Gue ga akan penah biarin lo sendirian. Kalau gue ingkar, jangan segan buat tegur gue ya!” ucap Rio dengan nada bergurau. Meski ikrar itu tentu saja bukan semata-mata untuk menghibur Ify. Sebrutal apa pun Rio, pemuda itu takkan sampai hati mempermainkan perasaan seorang gadis. Terlebih gadis yang dicintainya.

Ify tersenyum. “Ify percaya kok Rio ga akan ingkar. Rio kan kece.” Ify jahil mencolek pipi Rio.

“Eh…” Rio menyentuh pipinya yang tiba-tiba memanas. “Ify centiiillll!” Rio menjawil dagu runcing Ify. Lalu bergegas melarikan diri.

“Rio keceeeeeeee!” Ify mengulum bibir. Cepat memasang kembali kacamata berplester yang tadi sempat dilepasnya. Bangkit berdiri. Membuat bola pada pangkuannya menghambur ke udara lantas jatuh mencium rumput. Ify tidak peduli. Ia langsung berlari mengerjar Rio yang sudah menghilang dari pandangannya.

Dan tanpa Ify tahu, bola itu bergerak menuju seorang pemuda yang telah berteman sangat lama dengan dunia bola yang entah sejak kapan berdiri di sudut lapangan. Dari sana, ia menyaksikan adegan-adegan yang ternyata cukup membuat dadanya sesak. Melihat gadis itu bergurau dengan sahabat kentalnya. Ia menunduk. Menginjak bole yang tepat berada di ujung sepatunya. Lantas dengan kaki yang sama, lihai menendang keras sang bola. Si kulit bundar itu melesat bak anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Tepat  menghantam tiang atas gawang. Menimbulkan suara berdentang yang lumayan kencang. Dengan segala kemelut hatinya, ia masih menjadi arjuna lapangan. Makin pandai menguasai si kulit bundar.

Namun hati beserta isi-isinya, tak pernah berhasil ia kuasai. Malah merekalah yang menjadi pemimpin kendali.

***

Bersambung