Segenggam Harapan
Lelah.
Rasanya dia ingin berhenti saja dari perjalanan meraih mimpi. Semangat yang
dulu membara kini sirna tak bersisa. Terkikis kecewa yang sering melanda.
Putus
asa. Tak ada lagi setitik cahaya yang selama ini menuntun langkah payahnya
menuju tujuan besarnya. Semuanya pupus. Kegelapan. Dan hilang semua harapan.
Tak tahu arah. Merasa mimpi-mimpi itu takkan bisa terjamah.
Mati
saja. Dia rasa itu akan lebih baik. Setelah mati, ia akan hidup bersama
mimpi-mimpinya yang telah terlebih dahulu terbunuh. Bersama di keabadian. Walau
resikonya dia akan tetap terabaikan.
Namun di
senja itu, di taman belakang sebuah gedung sekolah yang begitu megah, ia hanya
ingin menangis. Rasa sesak yang melesaknya
hingga terpental ke dasar palung
terdalam, mengiris hatinya miris. Ketidaksanggupannya untuk menangkis terjangan
badai prahara membuat hatinya mencelos. Digelungi rasa penyesalan. Tanpa sadar,
terselip kebencian. Benci akan semua yang pernah menggagalkan misinya. Benci
pada dunia yang tak pernah berpihak padanya. Benci pada kehidupan yang selalu
merenggut jatah kebahagiaan. Dia benci pada semuanya. Termasuk dirinya sendiri
yang selalu ambruk hanya dengan sapuan angin hujatan. Dia lemah. Tak bisa
kembali bangkit dari keterpurukan yang terlampau dalam. Dia hanya ingin
menangis tersedu tanpa ada siapa pun yang mengganggu.
Maka ia
terus menerus menangis. Mengalirkan deretan kristal bening yang kini sudah tak
berharga lagi. Menyurukkan kesedihan dan kenelangsaan yang mencekam.
Isakannya
terlalu keras, sampai ia tak menyadari kehangatan yang baru saja tercipta.
Kehangatan yang ditebarkan oleh gadis cantik yang tengah berdiri di hadapannya.
Gadis itu nampak anggun dengan baju terusan putih yang di bagian lengannya
sedikit agak menggembung. Jepitan putih beledu menghiasi rambutnya yang panjang
nan hitam. Gadis itu tersenyum. Senyum yang akan membuat setiap pria mana pun
jatuh cinta.
Sementara
pemuda yang terus menunduk itu kini menyadari bahwa dia tak sendiri. Gabriel
–pemuda itu- melihat sepasang kaki
mungil dengan balutan pantopel hitam beraksen pita berada di ujung sepatunya.
Ia mengangkat wajah. Air mukanya yang
sebelumnya sendu berubah seketika. Gadis itu. Gadis pengubur mimpi besarnya.
Cih. Ia memalingkan muka. Muak melihat wajah sang gadis yang sungguh manis,
namun membuat hatinya semakin teriris.
Ify -gadis
itu- meraih pundak Gabriel. Dengan sigap Gabriel menepisnya. Ia tak sudi tangan
itu menyetuh tubuhnya. Tangan istimewa yang telah menyingkirkan harapannya.
Sang gadis kemudian menunduk. Merasa bersalah atas pencapaiannya.
Mereka
saling diam. Burung yang kebetulan hinggap di pohon mahoni yang tak jauh dari
tempat mereka berada terdengar melenguh. Mengusik keduanya untuk memecah
keheningan. Namun tak ada satu pun dari mereka yang berani bersuara. Tiba-tiba
semua bisu.
Sampai
akhirnya Gabriel menggertakkan rahangnya. Sejurus kemudian ia mendengus lantas
melengos. Hendak meninggalkan gadis cantik itu. Ia tak mau berlama-lama
bersamanya dalam satu tempat. Bisa jadi emosinya akan meledak dan
menumpahkannya pada sang gadis. Bagaimana pun juga, gadis itu tetaplah gadis
yang berpengaruh dalam perjalanan mengejar mimpinya selama ini.
Ify
mendongak cepat. Segera menahan sang pemuda yang kini telah membelakanginya
agar jangan dulu berlalu. Ia bisa merasakan aura penolakan yang kental
menyeruak dari punggung kokoh sang pemuda.
Ify
menghela nafas. “Kita bersaing. Jangan egois! Maaf!” dia menggigit bibir.
Gabriel
tertegun. Bersaing? Egois? Bukankah ia sudah tahu bahwa dirinya memang takkan
sanggup bersaing dengan gadis luar biasa itu? Lalu kenapa pula gadis itu
bersikeras untuk ikut andil dalam persaingan sengit itu? Egois? Bukankah
sebenarnya gadis di belakangnya itulah yang egois. Gadis itu masih punya
kesempatan yang lain untuk mengejar mimpinya ketimbang harus menyingkirkan
dirinya.
“Aku ga
butuh permintaan maafmu. Pergi saja kamu! Biarkan aku tetap di sini. Selalu
tertinggal dari kamu yang selalu berhasil di setiap bidang.” Pemuda itu mengepalkan tangannya. Mencoba
meredam emosinya.
Ify
berdecak. Kesal juga pada sikap Gabriel yang terkesan tak bisa menerima apa
yang Tuhan telah gariskan dalam hidupnya. Inikah pertanda bahwa pemuda yang
selama ini begitu ia kagumi tengah berada pada titik jenuh hidupnya yang penuh
mimpi?
Ify meraih
bahu Gabriel. Memutarnya agar pemuda itu berbalik menghadapnya. Setelah
berhasil, Ify menatap nyalang pada manik mata Gabriel yang kini cahayanya mulai
meredup.
Gabriel
meneguk ludah. Tatapan Ify begitu menohok hatinya. Tatapan menyala penuh bara
yang tak pernah terpancar sebelumnya. Bara apakah itu? Marahkah ia? Atau lebih
menyedihkannya lagi, kecewa kah Ify? Ah, apakah sikapnya telah membuat gadis
behelnya menyesal dengan pengorbanan yang selama ini dilakukan gadis itu untuk
dirinya? Kenapa ia selalu gagal dalam segala hal sih? Termasuk gagal dalam menjaga hati gadisnya. Ia merutuki
dirinya sendiri dalam hati. Menundukkan kepala dalam. Terpekur menemukan letak
keegoisannya.
“Heh!”
Ify menghardik Gabriel. Dasar pengecut. Menatap kedua bola matanya saja Gabriel
tak kuasa, apalagi menghadapi badai prahara yang selalu siap kapan saja untuk
mendera. Ish. Ify mencibir.
Gabriel
terperanjat. Baru kali ini ia mendengar gadisnya yang lembut itu berkata dengan
nada yang keras dan terkesan kasar. Lagi-lagi ia gagal. Ia memang pengecut.
Ify
meletakan jarinya pada ujung dagu milik Gabriel. Lantas perlahan mengangkatnya.
Pemuda itu tak boleh penakut seperti ini. Ify memaku tatapannya pada wajah sang
pemuda yang selalu terlihat menawan baginya. Mengajak pemuda itu untuk
menjelajah dan menemukan makna tak terjerawantah yang ada dibalik suratan yang
ditetapkan Tuhan. Pemuda itu harus tahu. Dia tak boleh terus menerus mengutuk
dirinya sendiri. Menanyakan keadilan Tuhan yang selalu ia anggap tak berpihak
padanya. Membenci apa pun yang telah menghempasnya jatuh hingga terkapar. Itu
tak boleh terjadi. Pemudanya hebat. Pemudanya adalah pejuang sejati yang
semangatnya senantiasa berapi-api. Tak kenal menyerah walau rintangan
bermunculan tak mengikuti curah. Ya, itulah Gabriel.
“Kamu
tahu, aku sudah berjuta kali gagal. Aku sudah sering jatuh. Semua keterpurukkan
pernah aku alami. Namun, setiap saat itu terjadi, aku akan selalu berusaha
kembali bangkit.” ujar Ify. Ia memalingkan wajahnya. Menerawang lebih dalam akan
masa lalunya yang bahkan lebih kelam dari bayangan setiap orang.
Gabriel
memicingkan mata. Ia menggeleng. Seakan tak percaya pada apa yang Ify ceritakan
padanya. Sepengetahuannya, gadis itu tak pernah merasakan pil pahit menyesakkan
dari sebuah kegagalan. Gadis itu selalu berhasil dalam segala hal. Ify terlalu
sempurna untuk terjatuh. Semua mustahil.
“Aku tak
yakin pada ucapanmu. Hanya omong kosong. Kamu gadis yang hebat Ify.”
Ify
menoleh ke arah Gabriel. Tersenyum miring. “Kamu harus yakin!”
Gabriel
menautkan kedua alis. Menunggu bualan apa lagi yang akan dilontarkan gadis
manis itu yang hanya untuk melapangkan hatinya.
Ify
menghela nafas. “Jauh sebelum aku menjadi Ify yang seperti ini, aku adalah Ify
yang lemah.Gadis kecil yang mengidap kanker. Di sini.” Ia meletakkan telapak
tangan pada dadanya. Ia menunduk lemah.
Gabriel
terperanjat. Benarkah semua itu? Ia menyentuh pundak Ify lembut. Lantas
mengusapnya perlahan.
Ify
mengangkat wajahnya. Matanya memanas. Sekumpulan butiran bening telah
berkumpul. Mendorong kelopak mata yang berusaha menahannya. Namun ia hanya
tersenyum. Meyakinkan bahwa ia akan tetap baik-baik saja walau luka lama itu
dibuka olehnya kembali.
“Aku
divonis dokter tidak akan bisa bertahan. Aku terancam kehilangan semuanya. Mama
dan Papa. Sekolah. Sahabat-sahabatku. Dunia ini. Dan aku tentu akan kehilangan
kesempatan untuk bertemu dan mengenalmu, Gabriel.” Tak terasa, sebutir kristal
mengalir dari sudut matanya. Ify menengadah. Menahan agar butiran-butiran yang
lain tak akan mengikuti.
“Papa
yang saat itu sedang mengalami kesulitan ekonomi, berusaha keras untuk
membuatku sembuh. Dia membawaku ke banyak dokter yang hebat. Ia sampai menjual
apa yang ia miliki untuk kesembuhanku. Sampai akhirnya, dengan kuasa Tuhan dan
Papa, juga aku yang tak pernah menyerah, kankerku sembuh. Walau kata dokter,
suatu saat kanker itu bisa jadi muncul kembali. Tapi aku senang. Aku bersyukur.
Karena aku masih diberi waktu untuk bisa mengejar mimpi-mimpiku. Seperti saat
ini.” Ify berhenti sejenak untuk mengusap air matanya yang merembes tak
disadarinya.
Gabriel
membuka mulut. Hendak berbicara. Namun segera Ify sambar dengan lanjutan dari
ucapannya.
“Mimpiku
adalah kuliah di luar negeri. Aku tahu, dengan kondisiku yang sudah terbebas
dari kanker, dan Papa yang sudah terlepas dari kesulitan ekonomi, bahkan kini
ia bisa dibilang sukses, aku bisa meraihnya. Namun, bisa kuliah di luar negeri
tanpa menyusahkan papa adalah mimpi terbesarku.” ia kembali menarik ujung-ujung
bibirnya ke atas. Lalu memegangi dadanya. Sesak terasa setelah ia mengutarakan
bagaimana menyedihkannya ia dulu. Nafasnya tersengal.
“Maaf…”
Gabriel menggigit bibirnya. Merasa menjadi pecundang. Pemuda dengan postur
tinggi tegap itu kalah oleh gadis mungil yang bahkan terlihat ringkih. Ia
memegang bahu gadis itu. Sejurus kemudian menariknya masuk ke dalam pelukannya.
Ify yang
kini tenggelam pada tubuh kekar itu tersenyum. Melingkarkan kedua tangannya
merengkuh si pemuda.
“Maafkan
aku Ify!” Gabriel mengusap lembut puncak kepala gadis behelnya. Menarik gadis itu keluar, lantas menyentuh pipi Ify
yang basah. Menatapnya nanar.
“Aku
malu sama kamu. Aku emang ga pernah salah mencintai seseorang. Kamu gadis yang
hebat Ify! Aku kagum sama kamu.” ujar
Gabriel. Tak terasa, di sudut matanya tergenang buliran air mata.
Ify
terkekeh. Mendorong pelan bahu Gabriel. Pemuda itu mengerenyit bingung.
“Sekarang,
kamu mau apa?” tanya Ify, terdengar seperti sebuah tantangan.
Gabriel
tersenyum miring. Memutar kedua bola matanya yang sudah mengering. Mencibir.
“Tentu aku akan mengalahkan kamu Ify. Di mana pun nanti aku berada.” Kedua
alisnya ia angkat secara bergantian. Matanya mendelik jahil pada Ify.
Dan
ucapan Gabriel tersebut mengindikasikan bahwa semangat Gabriel telah berhasil disulutnya
kembali. Ify tahu, pemuda itu bukan pemuda rapuh yang bobrok hanya dengan
kegagalan tak berarti seperti ini. Bukankah Tuhan masih menyediakan seribu
jalan untuk mencapai puncak mimpi itu? Jadi, tak usahlah ia khawatir bila kali
ini gagal.
Maka Ify
menghambur memeluk Gabriel. Pengganti ucapan selamat atas perjuangannya hingga
detik ini. Juga mewakili bermilyar kata terimakasih atas kehadiran pemuda itu
dalam setiap tahap demi tahap penjejakannya menuju sang mimpi.
Dan
dengan senang hati, Gabriel menyambutnya. Penerimaan tulus atas kekalahannya
terhadap gadis itu untuk saat ini. Namun ia bersumpah, bahwa nanti, gadis itu
akan menangis untuk keberhasilannya.
Setelah
ini, mereka masih akan tetap berlari. Mengejar mimpi yang telah mereka letakan
pada lapisan langit tertinggi.
***
Selesai
Ini cerpen baru tapi lama. Azzzz.... Kalo mau baca silakan, ga juga gapapa! Kalau suka, klik like yang ada di kanan ya! :)