Segenggam Harapan

Jumat, 20 Juli 2012

Segenggam Harapan



Lelah. Rasanya dia ingin berhenti saja dari perjalanan meraih mimpi. Semangat yang dulu membara kini sirna tak bersisa. Terkikis kecewa yang sering melanda.

Putus asa. Tak ada lagi setitik cahaya yang selama ini menuntun langkah payahnya menuju tujuan besarnya. Semuanya pupus. Kegelapan. Dan hilang semua harapan. Tak tahu arah. Merasa mimpi-mimpi itu takkan bisa terjamah.

Mati saja. Dia rasa itu akan lebih baik. Setelah mati, ia akan hidup bersama mimpi-mimpinya yang telah terlebih dahulu terbunuh. Bersama di keabadian. Walau resikonya dia akan tetap terabaikan.

Namun di senja itu, di taman belakang sebuah gedung sekolah yang begitu megah, ia hanya ingin menangis. Rasa sesak yang melesaknya
hingga terpental ke dasar palung terdalam, mengiris hatinya miris. Ketidaksanggupannya untuk menangkis terjangan badai prahara membuat hatinya mencelos. Digelungi rasa penyesalan. Tanpa sadar, terselip kebencian. Benci akan semua yang pernah menggagalkan misinya. Benci pada dunia yang tak pernah berpihak padanya. Benci pada kehidupan yang selalu merenggut jatah kebahagiaan. Dia benci pada semuanya. Termasuk dirinya sendiri yang selalu ambruk hanya dengan sapuan angin hujatan. Dia lemah. Tak bisa kembali bangkit dari keterpurukan yang terlampau dalam. Dia hanya ingin menangis tersedu tanpa ada siapa pun yang mengganggu.

Maka ia terus menerus menangis. Mengalirkan deretan kristal bening yang kini sudah tak berharga lagi. Menyurukkan kesedihan dan kenelangsaan yang mencekam.

Isakannya terlalu keras, sampai ia tak menyadari kehangatan yang baru saja tercipta. Kehangatan yang ditebarkan oleh gadis cantik yang tengah berdiri di hadapannya. Gadis itu nampak anggun dengan baju terusan putih yang di bagian lengannya sedikit agak menggembung. Jepitan putih beledu menghiasi rambutnya yang panjang nan hitam. Gadis itu tersenyum. Senyum yang akan membuat setiap pria mana pun jatuh cinta.
Sementara pemuda yang terus menunduk itu kini menyadari bahwa dia tak sendiri. Gabriel –pemuda itu-  melihat sepasang kaki mungil dengan balutan pantopel hitam beraksen pita berada di ujung sepatunya. Ia mengangkat  wajah. Air mukanya yang sebelumnya sendu berubah seketika. Gadis itu. Gadis pengubur mimpi besarnya. Cih. Ia memalingkan muka. Muak melihat wajah sang gadis yang sungguh manis, namun membuat hatinya semakin teriris.

Ify -gadis itu- meraih pundak Gabriel. Dengan sigap Gabriel menepisnya. Ia tak sudi tangan itu menyetuh tubuhnya. Tangan istimewa yang telah menyingkirkan harapannya. Sang gadis kemudian menunduk. Merasa bersalah atas pencapaiannya.

Mereka saling diam. Burung yang kebetulan hinggap di pohon mahoni yang tak jauh dari tempat mereka berada terdengar melenguh. Mengusik keduanya untuk memecah keheningan. Namun tak ada satu pun dari mereka yang berani bersuara. Tiba-tiba semua bisu.

Sampai akhirnya Gabriel menggertakkan rahangnya. Sejurus kemudian ia mendengus lantas melengos. Hendak meninggalkan gadis cantik itu. Ia tak mau berlama-lama bersamanya dalam satu tempat. Bisa jadi emosinya akan meledak dan menumpahkannya pada sang gadis. Bagaimana pun juga, gadis itu tetaplah gadis yang berpengaruh dalam perjalanan mengejar mimpinya selama ini.

Ify mendongak cepat. Segera menahan sang pemuda yang kini telah membelakanginya agar jangan dulu berlalu. Ia bisa merasakan aura penolakan yang kental menyeruak dari punggung kokoh sang pemuda.
Ify menghela nafas. “Kita bersaing. Jangan egois! Maaf!” dia menggigit bibir.

Gabriel tertegun. Bersaing? Egois? Bukankah ia sudah tahu bahwa dirinya memang takkan sanggup bersaing dengan gadis luar biasa itu? Lalu kenapa pula gadis itu bersikeras untuk ikut andil dalam persaingan sengit itu? Egois? Bukankah sebenarnya gadis di belakangnya itulah yang egois. Gadis itu masih punya kesempatan yang lain untuk mengejar mimpinya ketimbang harus menyingkirkan dirinya.

“Aku ga butuh permintaan maafmu. Pergi saja kamu! Biarkan aku tetap di sini. Selalu tertinggal dari kamu yang selalu berhasil di setiap bidang.”  Pemuda itu mengepalkan tangannya. Mencoba meredam emosinya.

Ify berdecak. Kesal juga pada sikap Gabriel yang terkesan tak bisa menerima apa yang Tuhan telah gariskan dalam hidupnya. Inikah pertanda bahwa pemuda yang selama ini begitu ia kagumi tengah berada pada titik jenuh hidupnya yang penuh mimpi?

Ify meraih bahu Gabriel. Memutarnya agar pemuda itu berbalik menghadapnya. Setelah berhasil, Ify menatap nyalang pada manik mata Gabriel yang kini cahayanya mulai meredup.

Gabriel meneguk ludah. Tatapan Ify begitu menohok hatinya. Tatapan menyala penuh bara yang tak pernah terpancar sebelumnya. Bara apakah itu? Marahkah ia? Atau lebih menyedihkannya lagi, kecewa kah Ify? Ah, apakah sikapnya telah membuat gadis behelnya menyesal dengan pengorbanan yang selama ini dilakukan gadis itu untuk dirinya? Kenapa ia selalu gagal dalam segala hal sih? Termasuk gagal dalam menjaga hati gadisnya. Ia merutuki dirinya sendiri dalam hati. Menundukkan kepala dalam. Terpekur menemukan letak keegoisannya.

“Heh!” Ify menghardik Gabriel. Dasar pengecut. Menatap kedua bola matanya saja Gabriel tak kuasa, apalagi menghadapi badai prahara yang selalu siap kapan saja untuk mendera. Ish. Ify mencibir.

Gabriel terperanjat. Baru kali ini ia mendengar gadisnya yang lembut itu berkata dengan nada yang keras dan terkesan kasar. Lagi-lagi ia gagal. Ia memang pengecut.

Ify meletakan jarinya pada ujung dagu milik Gabriel. Lantas perlahan mengangkatnya. Pemuda itu tak boleh penakut seperti ini. Ify memaku tatapannya pada wajah sang pemuda yang selalu terlihat menawan baginya. Mengajak pemuda itu untuk menjelajah dan menemukan makna tak terjerawantah yang ada dibalik suratan yang ditetapkan Tuhan. Pemuda itu harus tahu. Dia tak boleh terus menerus mengutuk dirinya sendiri. Menanyakan keadilan Tuhan yang selalu ia anggap tak berpihak padanya. Membenci apa pun yang telah menghempasnya jatuh hingga terkapar. Itu tak boleh terjadi. Pemudanya hebat. Pemudanya adalah pejuang sejati yang semangatnya senantiasa berapi-api. Tak kenal menyerah walau rintangan bermunculan tak mengikuti curah. Ya, itulah Gabriel.

“Kamu tahu, aku sudah berjuta kali gagal. Aku sudah sering jatuh. Semua keterpurukkan pernah aku alami. Namun, setiap saat itu terjadi, aku akan selalu berusaha kembali bangkit.” ujar Ify. Ia memalingkan wajahnya. Menerawang lebih dalam akan masa lalunya yang bahkan lebih kelam dari bayangan setiap orang.

Gabriel memicingkan mata. Ia menggeleng. Seakan tak percaya pada apa yang Ify ceritakan padanya. Sepengetahuannya, gadis itu tak pernah merasakan pil pahit menyesakkan dari sebuah kegagalan. Gadis itu selalu berhasil dalam segala hal. Ify terlalu sempurna untuk terjatuh. Semua mustahil.

“Aku tak yakin pada ucapanmu. Hanya omong kosong. Kamu gadis yang hebat Ify.”

Ify menoleh ke arah Gabriel. Tersenyum miring. “Kamu harus yakin!”

Gabriel menautkan kedua alis. Menunggu bualan apa lagi yang akan dilontarkan gadis manis itu yang hanya untuk melapangkan hatinya.

Ify menghela nafas. “Jauh sebelum aku menjadi Ify yang seperti ini, aku adalah Ify yang lemah.Gadis kecil yang mengidap kanker. Di sini.” Ia meletakkan telapak tangan pada dadanya. Ia menunduk lemah.

Gabriel terperanjat. Benarkah semua itu? Ia menyentuh pundak Ify lembut. Lantas mengusapnya perlahan.
Ify mengangkat wajahnya. Matanya memanas. Sekumpulan butiran bening telah berkumpul. Mendorong kelopak mata yang berusaha menahannya. Namun ia hanya tersenyum. Meyakinkan bahwa ia akan tetap baik-baik saja walau luka lama itu dibuka olehnya kembali.

“Aku divonis dokter tidak akan bisa bertahan. Aku terancam kehilangan semuanya. Mama dan Papa. Sekolah. Sahabat-sahabatku. Dunia ini. Dan aku tentu akan kehilangan kesempatan untuk bertemu dan mengenalmu, Gabriel.” Tak terasa, sebutir kristal mengalir dari sudut matanya. Ify menengadah. Menahan agar butiran-butiran yang lain tak akan mengikuti.

“Papa yang saat itu sedang mengalami kesulitan ekonomi, berusaha keras untuk membuatku sembuh. Dia membawaku ke banyak dokter yang hebat. Ia sampai menjual apa yang ia miliki untuk kesembuhanku. Sampai akhirnya, dengan kuasa Tuhan dan Papa, juga aku yang tak pernah menyerah, kankerku sembuh. Walau kata dokter, suatu saat kanker itu bisa jadi muncul kembali. Tapi aku senang. Aku bersyukur. Karena aku masih diberi waktu untuk bisa mengejar mimpi-mimpiku. Seperti saat ini.” Ify berhenti sejenak untuk mengusap air matanya yang merembes tak disadarinya.

Gabriel membuka mulut. Hendak berbicara. Namun segera Ify sambar dengan lanjutan dari ucapannya.
“Mimpiku adalah kuliah di luar negeri. Aku tahu, dengan kondisiku yang sudah terbebas dari kanker, dan Papa yang sudah terlepas dari kesulitan ekonomi, bahkan kini ia bisa dibilang sukses, aku bisa meraihnya. Namun, bisa kuliah di luar negeri tanpa menyusahkan papa adalah mimpi terbesarku.” ia kembali menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Lalu memegangi dadanya. Sesak terasa setelah ia mengutarakan bagaimana menyedihkannya ia dulu. Nafasnya tersengal.

“Maaf…” Gabriel menggigit bibirnya. Merasa menjadi pecundang. Pemuda dengan postur tinggi tegap itu kalah oleh gadis mungil yang bahkan terlihat ringkih. Ia memegang bahu gadis itu. Sejurus kemudian menariknya masuk ke dalam pelukannya.

Ify yang kini tenggelam pada tubuh kekar itu tersenyum. Melingkarkan kedua tangannya merengkuh si pemuda.

“Maafkan aku Ify!” Gabriel mengusap lembut puncak kepala gadis behelnya. Menarik  gadis itu keluar, lantas menyentuh pipi Ify yang basah. Menatapnya nanar.

“Aku malu sama kamu. Aku emang ga pernah salah mencintai seseorang. Kamu gadis yang hebat Ify! Aku kagum sama kamu.”  ujar Gabriel. Tak terasa, di sudut matanya tergenang buliran air mata.

Ify terkekeh. Mendorong pelan bahu Gabriel. Pemuda itu mengerenyit bingung.

“Sekarang, kamu mau apa?” tanya Ify, terdengar seperti sebuah tantangan.

Gabriel tersenyum miring. Memutar kedua bola matanya yang sudah mengering. Mencibir. “Tentu aku akan mengalahkan kamu Ify. Di mana pun nanti aku berada.” Kedua alisnya ia angkat secara bergantian. Matanya mendelik jahil pada Ify.

Dan ucapan Gabriel tersebut mengindikasikan bahwa semangat Gabriel telah berhasil disulutnya kembali. Ify tahu, pemuda itu bukan pemuda rapuh yang bobrok hanya dengan kegagalan tak berarti seperti ini. Bukankah Tuhan masih menyediakan seribu jalan untuk mencapai puncak mimpi itu? Jadi, tak usahlah ia khawatir bila kali ini gagal.

Maka Ify menghambur memeluk Gabriel. Pengganti ucapan selamat atas perjuangannya hingga detik ini. Juga mewakili bermilyar kata terimakasih atas kehadiran pemuda itu dalam setiap tahap demi tahap penjejakannya menuju sang mimpi.

Dan dengan senang hati, Gabriel menyambutnya. Penerimaan tulus atas kekalahannya terhadap gadis itu untuk saat ini. Namun ia bersumpah, bahwa nanti, gadis itu akan menangis untuk keberhasilannya.
Setelah ini, mereka masih akan tetap berlari. Mengejar mimpi yang telah mereka letakan pada lapisan langit tertinggi.


***

Selesai
 
Ini cerpen baru tapi lama. Azzzz.... Kalo mau baca silakan, ga juga gapapa! Kalau suka, klik like yang ada di kanan ya! :)