Selapang Sang Rembulan part9
Gabriel
melemparkan sebuah helm untuk segera dipakai oleh Sivia. Gadis itu mengulum
bibir. Meskipun ia sudah resmi menjadi gadisnya Gabriel, tetap saja pemuda itu
bersikap menyebalkan. Apa tidak ada sikap yang lebih manis yang bisa ia
tunjukan pada saat menyerahkan helm berwarna kuning itu? Atau paling tidak,
biasa saja. Jangan sampai dilempar seperti itu. Kalau terkena kepala Sivia
bagaimana? Bisa benjol nantinya. Lantas membuatnya tidak cantik lagi. Sivia
ingin selalu terlihat cantik di hadapan pemudanya. Cantik dengan dua kuncirnya.
Namun
bagi Gabriel, apapun keadaan Sivia, gadis berlesung pipi itu selalu terlihat
cantik. Bahkan ketika ia masih memakai piama. Belum sempat mandi, membersihkan
diri. Ingatkah insiden rujak dulu? Bukankah penampilan Sivia tidak ada
cantik-cantiknya? Ah, tapi
bagi Gabriel, Sivia selalu terlihat cantik. Hatinya. Hati yang dimiliki Sivia terlalu cantik untuk disia-siakan. Hatinya selapang sang rembulan.
bagi Gabriel, Sivia selalu terlihat cantik. Hatinya. Hati yang dimiliki Sivia terlalu cantik untuk disia-siakan. Hatinya selapang sang rembulan.
Sivia
melompat ke atas vespa antik milik Gabriel. Baru setelah itu, Gabriel menancap
gas. Suara khas motor antik itu menyeruak seiring asap yang mengepul dari
knalpot motor. Pertanda, vespa tua itu telah melaju. Menerabas jalanan. Pulang.
Tempat
tujuan mereka masih beberapa kilo lagi jaraknya. Namun, keantikan vespa milik
Gabriel itu sudah tak bisa dikompromi lagi. Lamat-lamat, laju motor melambat.
Sivia
terperanjat, kala beberapa kali kepalanya membentur punggung Gabriel. Gaya
untuk mempertahankan keadaan yang dihasilkan karena adanya sesuatu yang tidak
beres dengan mesin motor tua itu. Sivia mengerenyit. Memukul punggung Gabriel.
"Yang
bener dong! Ish! Kaya odong-odong!" rutuk Sivia, seraya membenarkan
helmnya yang agak miring.
Sementara
Sivia terus menggerutu, Gabriel berusaha bersikap tenang menghadapi rajukan
motornya yang sudah kelewat sering. Ia telah terbiasa.
Dan
entah untuk yang keberapa kali, kepala Sivia kembali membentur punggung
Gabriel. Kali ini lebih keras. Tentu saja. Karena sekarang, tak ada lagi suara
berisik khas motor vespa. Ya, vespa tua itu mogok. Di daerah yang jauh dari
bengkel pula.
"Kok
mati? Mogok ya Yel? Yel? Huaaaaa!" ujar Sivia histeris. Ia menarik kemeja
pemuda di depannya.
"Tenang
ya becakku sayang! Udah biasa kok!" ujar Gabriel. Masih dengan gaya
tengilnya. Ia tersenyum.
Sivia
melongo. Sudah biasa katanya? Lantas, mengapa sampai sekarang, Gabriel masih
mempertahankan vespa bangkotannya itu? Vespa itu sudah pantas masuk museum
barang antik. Sivia tahu, Gabriel masih mampu membeli motor yang lebih layak
pakai. Atau bahkan mobil sekaliber jaguar dan sebangsanya. Orang tua Gabriel
pasti tak akan keberatan memenuhi semua itu apabila Gabriel meminta. Bukankah
papanya adalah pemilik perusahaan terbesar di kotanya? Ck. Sivia berdecak.
"Terus
gimana?" retoris Sivia bertanya.
"Tenang
princess becakku. Kamu duduk yang cantik aja." ujar Gabriel seraya
bergerak turun dari vespanya.
Sivia
menatap Gabriel bingung. Lalu selanjutnya? Begitu makna dari tatapannya.
"Aku
dorong deh! Biar enak, kamu majuan dikit duduknya." Gabriel mengedikan
kepala.
Sivia
mengangguk. Menggeser tubuhnya agar lebih ke depan. Menatap Gabriel lagi. Lalu?
Lalu
Gabriel menjulurkan tangan kanan untuk meraih pegangan vespa dari belakang.
Membuat dirinya kini dalam posisi mengurung Sivia. Setelah itu, mendorong sang
vespa.
Sivia
hanya bisa ternganga. Terhenyak dengan apa yang dilakukan Gabriel. Pemuda itu
bahkan membiarkan dirinya sendiri yang kelelahan. Demi agar Sivia tetap merasa
nyaman.
Nyaman?
Ah, tidak juga. Mana mungkin ia merasa nyaman dengan cara merepotkan orang
lain. Tak terkecuali Gabriel, pemudanya.
Maka
Sivia menatap lekat-lekat wajah Gabriel. Jelas didapatinya bulir-bulir keringat
bergelayut pada beberapa bagian dari wajah tampan itu. Sivia menggigit bibir.
Sebuah
sapu tangan dikeluarkan Sivia dari sakunya. Lantas menggunakan sapu tangan itu
untuk membersihkan keringat dari wajah Gabriel. Ia melakukannya sembari
tersenyum. Ikhlas.
Sementara
Gabriel menikmati setiap usapan yang diberikan gadisnya. Seraya terus mendorong
vespanya. Biarkan. Ia juga ikhlas.
Setelah
keringat pada wajah Gabriel tak lagi kentara, Sivia memasukkan kembali sapu
tangannya ke dalam saku. Lantas benaknya kembali bertanya. Tentang Gabriel yang
masih mempertahankan vespa tuanya.
Sekali
lagi. Gabriel bisa membeli kendaraan yang lebih layak. Paling tidak, kendaraan
barunya nanti tak akan mogok lagi seperti saat ini.
Bukan.
Sivia bukan matrealistis sehingga menginginkan Gabriel untuk menanggalkan
vespanya, dan menggantinya dengan yang lain. Sivia juga tidak malu ketika ia
harus naik vespa tua itu. Tapi, yang ia pedulikan adalah Gabriel. Masakah
setiap hari, dia harus mendorong vespanya. Ditambah dengan berat badan Sivia yang ternyata lebih
sedikit dari angka ideal seorang wanita. Kasihan Gabriel.
"Kenapa
masih pake vespa ini sih Yel?" hati-hati Sivia bertanya. Takut menyinggung
hati lawan bicaranya.
Gabriel
mendelik jahil. "Kalau ga pakai vespa, ga ada tuh adegan romantis kaya
gini. Oh ya, tadi juga. Yang pas kamu lap-in muka aku. Kan so sweet!"
Sivia
meneguk ludah. Bisa-bisanya Gabriel berkelakar dalam suasana seperti ini.
Padahal, Sivia hendak berbicara serius. "Centil banget sih!"
Gabriel
hanya bisa terkekeh. Tak lantas menimpali ujaran Sivia. Maka Sivia, mulai
menggerutu. Menceramahi Gabriel agar mengurangi kadar kecentilannya. Sivia kan
agak risih. Walau diam-diam, ia juga suka sifat Gabriel yang seperti itu.
Dan sisa
perjalanan mereka dihabiskan dengan obrolan ringan yang muncul sesaat setelah
Sivia kehabisan kata-kata untuk merutuki Gabriel. Untung saja gadis itu pandai
mengalihkan pembicaraan. Semoga tidak dengan hatinya.
***
"Gue
tunggu di cafe biasa ya! Ada hal penting."
Berulang
kali Sivia membaca pesan singkat yang ditulisnya itu. Tinggal menekan satu
tombol, dan pesan itu akan segera terkirim kepada dua nomor yang berbeda. Sivia
mendesah. Semoga kali ini berhasil. Kemudian... Klik. Terkirim. Sivia tersenyum
kecut.
"Kira-kira,
Rio bakalan marah ga ya? Dua kali lho gue bohongin dia. Aduuh! Bodo ah!"
Sivia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Mengambil remote, dan menyalakan
televisi. Hendak menonton kartun yang biasa meramaikan layar kaca, setiap sore
hari.
Di
tempat lain, pemuda bertubuh jangkung itu tengah mondar-mandir di balkon
kamarnya. Memainkan ponsel dengan tangan kanannya. Apa yang harus dilakukannya
sekarang? Setelah ia menerima pesan singkat dari Sivia? Pesan yang sepertinya
setipe dengan pesan yang beberapa hari lalu juga didapatnya dari Sivia. Hanya
akal-akalan gadis itu saja. Untuk mengerjainya? Apa pula maksudnya? Hendak
membalas dendam atas kenakalan dirinya semasa kanak-kanak? Kalau seperti itu
adanya, dia tidak akan menjalankan isi dari pesan itu. Enak saja.
Pemuda
itu akhirnya mendengus kesal. Bagaimana mungkin ia mengabaikan pesan dari
Sivia? Bisa saja, kali ini Sivia memang benar-benar ingin bertemu dengannya.
Lagi pula, Sivia tidak memiliki kebiasaan berbohong.
Maka
setelah menghentakan kakinya ke atas lantai balkon, pemuda itu bergegas ke
dalam kamarnya. Berganti pakaian. Bersiap menemui Sivia. Tentu saja.
***
"Baru
kali ini lho gue tahan nyimpen rahasia lama-lama. Hampir dua bulan.
Ckck..." ujar Pricilla. Berkutat dengan laptopnya. Ia tengah asyik
menjelajahi dunia maya.
Gadis
yang duduk berselonjor kaki di atas hamparan karpet yang sama langsung
menghentikan kegiatannya, membaca sebuah majalah. Gadis itu mendelik pada
Pricilla. Sejurus berikutnya, memalingkan muka.
Pricilla
menoleh pada sahabatnya itu. Berdecak samar. "Ayolah Ify! Lo pikir, gue ga
tahu apa yang lo rasain? Gue tahu kali." Pricilla terkekeh. Mencibir.
Gadis
pemilik nama Ify itu kembali menekuri majalahnya. Beberapa kali, ia nampak
membuka halaman per halaman. "Tapi lo ga tahu perasaan orang lain selain
gue sama Rio." Ify berujar santai. Berusaha bersikap biasa saja. Seakan
tak terjadi apa-apa.
"Maksud lo?" Pricilla mencelat.
Mengubah posisinya menjadi duduk dan menghadap Ify. Gadis berponi itu memasang
ekspresi ingin tahu dan memelas. Berharap Ify, akan bercerita lebih jauh
tentang kisah cintanya.
"Lo
masih bisa nampung satu rahasia lagi, kan? Kalau enggak, maaf!" Ify
kembali memindahkan halaman majalahnya.
"Umm..."
Pricilla menggigit bibir. "Iya deh. Bisa."
Desahan
berat Ify cipta sedetik sebelum ia membeberkan rahasia besar yang lain. Rahasia
yang memaksa dirinya menyembunyikan kisah cintanya dari khalayak, terkecuali
untuk Pricilla. Gadis itu punya satu keistimewaan. Karena di antara sahabat Ify
yang lain, Pricilla yang paling dekat dengannya.
"Oke,
gue ngerahasiain hubungan gue sama Rio, karena Shilla suka sama Rio." ucap
Ify datar. Berbanding terbalik dengan hatinya yang merasakan sakit yang begitu
menyesakkan. Kenyataan itu, begitu menamparnya. Bagaimana bisa, ia dan Shilla
mencintai pemuda yang sama, Rio.
"HAH?"
Pekikan
Pricilla hampir saja membuat Ify melempar majalahnya. Ify mengelus dada.
Meredakan keterkejutannya karena mendengar pekikan hebat Pricilla. Lantas
menggelengkan kepala samar.
"Lo
serius Fy? Tahu dari mana? Ah, enggak kali. Itu pasti cuma dugaan lo doang.
Shilla bukannya suka sama Cakka ya? Terus kan..."
Ify
merasa telinganya berdenging ketika ucapan Pricilla berjejal dalam rongga
pendengarannya. Sahut-menyahut meneriakan satu nama. Rio. Rio. Rio. Walau
sebenarnya, apa yang dikatakan Pricilla bukan tentang Rio. Namun apa daya, kini
yang dapat didengar Ify hanya nama itu. Maka Ify memutuskan untuk beranjak dari
tempat duduknya. Ia melempar majalah ke sembarang tempat. Melengos.
Dan
gadis yang ditinggalkan Ify itu mogok
berbicara, walau mulutnya masih saja membuka. Terhitung lima detik ia dalam
posisi tersebut. Sebelum akhirnya, ia menghembuskan nafas. "Masalah rasa,
emang selalu jadi masalah yang paling ribet di seluruh dunia." gumamnya.
***
Untuk
yang ke-dua kalinya, Shilla memanggil Mas pelayan berdasi kupu-kupu hitam untuk
memesan minuman. Satu gelas moccachino telah dihabiskannya. Kini, ia meminta
Mas pelayan untuk memberikannya satu gelas lagi, untuk menghilangkan rasa
gugup. Ah, bagaimana tidak. Bukankah malam ini ia akan bertemu pemuda itu?
Pemuda yang meneteskan sebuah rasa yang selalu diistimewakannya.
Sejak
tadi Sivia mengiriminya pesan singkat itu, hatinya tak berhenti bertalu. Shilla
tak cukup bodoh untuk dapat mengetahui makna tersirat dari pesan singkat Sivia.
Itu adalah satu lagi upaya Sivia untuk membuatnya dan pemuda itu bersatu. Walau
ternyata, peran kecil Sivia tak berdampak banyak.
Sekarang,
Mas pelayan telah kembali dengan nampan yang terdapat segelas moccachino di
atasnya. Mas pelayan menaruhnya di atas meja. Mengangguk takzim. Setelah ucapan
terimakasih terlontar dari Shilla, Mas pelayan pun undur diri.
Shilla
melanjutkan penantiannya. Ditemani setiap tetes moccachino. Diriuhi debam-debum
sang rasa istimewa.
***
Rio
membanting pintu mobilnya dengan lumayan keras. Mengulas senyuman tipis ketika
mendapati bangunan cafe di depannya. Ia ingat, pernah suatu waktu ia bersama
gadisnya kencan di sana. Kencan untuk yang pertama kalinya. Kencan yang lucu.
Karena mereka harus pergi secara sembunyi-sembunyi, ketika mengetahui bahwa
Sivia ada di sana. Ternyata, cafe itu cafe
favorit Sivia.
Cukup
sekilas Rio bernostalgia. Segera ia masuk ke dalam cafe. Ia tak mau membuat
Sivia terlalu lama menunggu. Bisa-bisa, dompetnya terkuras habis untuk menyogok
Sivia agar tak marah lagi.
Rio
sudah berada di dalam cafe. Matanya ia arahkan ke setiap sudut cafe. Berharap
dengan segera ia menemukan siluet Sivia.
Tak
dinyana, bukan Sivia yang tertangkap oleh indra penglihatannya. Namun seorang
gadis dengan balutan gaun malam tanpa lengan. Rio kenal gadis itu. Teman
sekelasnya. Juga sahabat dari gadisnya. Rio mengangkat bahu. Menghampiri gadis
itu.
"Shil..."
Rio berseru.
Shilla
-gadis itu- terkesiap. Mengalihkan pandangan ke arah pemuda yang baru saja
menyapanya. Matanya berbinar ketika mengetahui siapa pemuda itu. Rio. Sejenak
membuatnya terpana. Telah lama, ia terpesona.
"Lihat
Sivia ga?" tanya Rio. Menoleh ke kanan dan kiri. Masih belum menyerah
untuk menemukan Sivia.
Shilla
meneguk ludah. Bagaimana ini? Shilla memutar otaknya. Mencari ide. Lalu... Yap!
Shilla tahu. Ia hanya harus tenang. Santai. Tarik nafas, tahan sebentar sebelum
akhirnya ia hembuskan secara perlahan.
"Emm...
Yo!" ucap Shilla dengan suara tertahan. Rio berhenti celingukan mencari
Sivia. "Lo bisa tunggu Sivia di sini..." Shilla menggigit bibir.
"Sama gue." lanjutnya pelan.
"Emm..."
Rio menggaruk kepala bagian belakang. "Oke deh!" katanya seraya duduk
di kursi yang ada di seberang Shilla. Kursi yang memang dari awal disediakan
untuknya. Seperti rasa itu. Disediakan amor untuk mereka kecap berdua. Walau
pada kenyataan, salah satunya sama sekali tak menginginkan.
Dalam
segala macam suara yang bersahutan, Rio dan Shilla bungkam. Rio, pemuda itu
lebih tertarik menikmati penampilan sang penyanyi cafe, daripada berbincang apa
saja dengan gadis yang berada satu meja dengannya. Shilla juga tak berani
memulainya. Padahal, ia ingin bertanya banyak hal. Rasa takut telah mendahului
segala keinginannya. Takut Rio menjawab dengan jawaban paling dingin sedunia.
Masih mending dijawab. Kalau ia hanya mendapat tatapan tanpa ekspresi
bagaimana? Bisa-bisa, Shilla langsung melengos mencari tali. Hendak menggantung
diri. Shilla sudah sangat hafal bagaimana dinginnya Rio. Terkecuali pada Sivia.
Mas
pelayan berdasi kupu-kupu datang. Ia bak malaikat penyelamat bagi Shilla.
Ketika ia bingung harus melakukan apa, Mas Pelayan datang. Membawa nampan
berisi dua porsi makanan. Makanan? Shilla mengerutkan kening. Bukankah ia belum
memesan makanan apa pun? Shilla melirik Mas pelayan yang hati-hati memindahkan
piring ke atas meja.
Drrttt...
Ponsel Shilla bergetar. Pertanda bahwa pesan singkat baru saja diterimanya.
Dari Sivia. Shilla membaca pesan itu. Lantas mengembanglah senyumnya, ketika ia
selesai membaca pesan itu. Sivia yang telah merancang semua ini. Bahkan makanan
yang harus mereka makan, Sivialah yang menentukan. Maka sepatutnyalah Shilla
memberikan sejuta terimakasih untuk Sivia.
Terimakasih
pun Shilla tujukan kepada Mas pelayan. Karena sejak kedatangannya ke cafe itu,
Mas pelayan berdasi kupu-kupu itu tak bosan memenuhi pintanya. Mas Pelayan
mengangguk. Melengos pergi.
"Yo,
makan yuk!"
Rio
mengalihkan pandangannya pada Shilla. Shilla tersenyum. Mengedikan kepala ke
arah meja. Rio melirik meja. Baru sadar, di sana sudah ada makanan yang siap
disantap. Rio bertanya-tanya, kapan datangnya semua makanan itu? Ah, sepertinya
ia terlalu serius menonton penampilan sang penyanyi cafe yang kini telah sampai
pada lagu selanjutnya.
"Ga
deh! Biar gue nanti makan sama Sivia. Bisa ngamuk dia kalau tahu gue udah makan
duluan." Rio memerhatikan lagi sang penyanyi.
Shilla
mendengus. Kecewa saat Rio menolak ajakannya. Bukan itu saja. Bahkan untuk
duduk menghadap padanya saja, Rio enggan. Entah apa yang dimiliki penyanyi cafe
itu sampai bisa memikat Rio untuk lekat-lekat menatapnya. Padahal, penyanyi itu
lelaki. Tidak mungkin kalau Rio menyukainya.
"Yo..."
Hanya
gumaman pelan yang diberikan Rio untuk menanggapi seruan Shilla. Lagi-lagi,
Shilla mendengus. Kenapa Rio sama sekali tidak tertarik padanya sih? Paling
tidak, untuk mengobrol saja.
Baiklah.
Kalau Rio memang tak mau berurusan dengannya karena embel-embel Sivia, Shilla
akan jujur pada Rio. Bahwa sebenarnya, Sivia tak akan datang malam ini. Mungkin
dengan Rio tahu itu, Rio tak keberatan menemaninya makan. Ya, seperti itu.
Shilla
berdeham terlebih dahulu.Lantas bercicit pelan, "Soal Sivia."
Mendengar
nama Sivia, Rio langsung mengerjap. Menatap Shilla. Ada apa dengan Sivia?
Shilla
menggerakkan kakinya yang berada di kolong meja. Bagaimana ini? Apakah
itikadnya untuk jujur, akan dilanjutkan? Atau, kebohongan ini dibiarkan
mengembang?
"Kenapa
sama Sivia?" tanya Rio lagi. Aksen suaranya terdengar menggertak.
Shilla
mengerutkan kening. Apa yang harus ia katakan? Akankah ia mengatakan bahwa
Sivia mengiriminya SMS yang berisi bahwa semua ini hanyalah rekayasa? Sivia
sedang belajar menjadi sutradara.
SMS? Ya,
SMS. Sivia juga pasti mengirim SMS yang sama pada Rio. Shilla yakin itu.
"Yo,
lo bisa cek Hp lo?" pinta Shilla.
"Hah?"
Rio menatap Shilla. Gadis itu meyakinkan Rio. Rio mengangkat bahu. Baik.
Akhirnya, ia mengecek ponselnya.
Satu
pesan belum dibaca langsung menyambutnya. Cepat Rio membacanya.
Rio
langsung membelalakan kedua mata. Apa lagi ini? Rio menggertakan rahangnya.
Hampir saja ia hendak memukul meja. Untung saja, ia masih bisa menahannya.
Nafas
Rio berubah memburu. Ia seperti tengah dikejar hantu. Pertanda bahwa emosinya
akan segera meledak. Hanya tinggal menungu waktu. Rio memelototi Shilla tajam.
Nampak jelas dari wajahnya, Rio tengah dikuasai oleh amarah yang kian
membuncah. Ia bagaikan seekor singa yang hendak menerkam mangsanya.
Shilla
meneguk ludah. Kedua matanya ia pejamkan. Untuk pertama kalinya, ia tidak mau
melihat wajah itu. Wajah yang ternyata sangat menyeramkan kala si empunya
tengah ditunggangi emosi.
Rio
bangkit berdiri. Rahangnya semakin mengeras. Nafasnya masih memburu. Dengan
suara baritonenya, ia mendesis.
"Maksud
Sivia apa? Jadi ini semua rekayasa dia? Terus, buat apa gue di sini dari tadi?
Ga penting tahu!"
Seluruh
penghuni cafe, menatap ke arahnya. Terkecuali sang penyanyi yang tetap
konsisten menghibur semua tamu, walau tak jarang ia diacuhkan. Beberapa orang
di antara mereka saling berbisik. Membicarakan Rio. Pemuda kasar yang berani
membentak teman kencannya di depan umum. Kencan? Bukan. Enak saja.
Namun
Rio tidak peduli. Ia tidak suka dibohongi. Kalau tahu begini jadinya, ia tak
akan membuang hampir 60 menit waktu berharganya. Ia bisa menggunakan waktu itu
untuk mengerjakan PR, menonton sinetron, atau bahkan tidur sekalian. Cih. Rio
mencibir.
"Gue
pulang!" ujar Rio. Nada bicaranya terdengar lebih rendah.
Shilla
buru-buru membuka matanya. Ia berdiri. Menahan langkah Rio. Rio menoleh.
Menatap tajam pada lengan yang tengah menggapai lengannya.
"Lepasin!"
Rio menghempaskan tangan Shilla dengan kasar. Memulai langkahnya kembali.
Shilla
masih belum menyerah. Sekali lagi ia meraih lengan Rio. Dipegangnya erat lengan
Rio. Sehingga, ketika Rio hendak
melepaskannya, tangan itu masih tetap bertahan di sana.
Rio
menatap Shilla. Melihat wajah memelas gadis itu, ia jadi teringat akan wajah
manis gadisnya. Ah, Rio telah berdosa padanya.
"Apa
lo ga bisa ngehargain usaha Sivia buat kita?" Shilla bertanya sarkatis.
Lantas melepaskan tangannya dari tangan Rio. Bersamaan dengan pelupuk matanya,
yang telah membiarkan setetes air mata meninggalkan muasalnya. Tetes yang lain
satu-persatu menyusul. Ada rasa ngilu dalam dada, kala tetes air mata
pertamanya sempurna membelah pipi pualamnya.
"Ga
bisa!" ujar Rio datar. Namun telak membuat dada Shilla sesak.
"K-kenapa?"
Shilla masih memaksakan untuk bertanya. Walau ia telah bisa menerka, jawabannya
akan tetap sama. Menyakitkan. Shilla mulai sesenggukan.
Rio
mendesah. "Karena itu tuh ga penting!"
Shilla
memegangi dadanya yang semakin sesak. Gadis itu merasa rongga pernafasannya
semakin sempit, saat ia mendapati wajah tegas tanpa ekspresi itu. Kakinya
kemudian bergetar. Entahlah. Seluruh persendiannya merapuh. Shilla sudah merasa
tidak kuat lagi untuk hanya sekedar berdiri.
Namun
gadis itu adalah gadis pejuang yang pantang menyerah. Dalam keadaannya yang
sudah payah, ia masih berusaha berbicara. Walau setengah mati ia mengucapnya.
Biarkan. Biar ini jadi penghabisan.
"Apa
itu berarti gue... Gue juga ga penting buat lo?" isakan Shilla semakin
terdengar nyata ketika ia selesai mengucapkan kata penghujung kalimatnya.
Dan Rio
sudah terlatih menjadi pemuda yang angkuh. Ia sama sekali tidak merasa iba
dengan rintihan Shilla. Toh, bukan salahnya juga. Siapa suruh melakukan itu
semua.
Maka
kini, Rio semakin memperparah keadaan Shilla dengan perkataan sedingin
antartika miliknya.
"Kalau
lo tahu itu, kenapa masih berusaha mengingkarinya?"
Rio
membalikan tubuhnya. Akan segera pergi. Namun sebelum itu, ia memberikan
peringatan keras pada Shilla. Dalam posisi membelakangi gadis itu, Rio semakin
tega mencerca.
"Ini
yang terakhir ya Shil! Udah cukup lo permainin gue dan Sivia. Lebih baik, lo
cari mainan yang lebih seru!" setelah itu, Rio benar-benar pergi.
Menghilang dari batas penglihatan mata Shilla yang berair.
Maka
pada akhirnya, sekuat apa pun gadis itu bertahan, ia akan tetap tersingkirkan
ketika cintanya tak terbalaskan. Shilla jatuh tersungkur. Ia membiarkan air
matanya menggenang membasahi gaun malamnya. Ia tak peduli. Juga pada tatapan
iba dari setiap pasang mata penghujung cafe. Masa bodoh. Ia sedang patah hati.
***
Bersambung
**
Oke
ya, ngaretnya ga ketulungan! Karena sekarang udah dipost, puas-puasin
deh maki-maki saya *eh Ga papa. Ikhlas kok :) See you!