Selapang Sang Rembulan part9

Rabu, 11 Juli 2012

Selapang Sang Rembulan part9


Gabriel melemparkan sebuah helm untuk segera dipakai oleh Sivia. Gadis itu mengulum bibir. Meskipun ia sudah resmi menjadi gadisnya Gabriel, tetap saja pemuda itu bersikap menyebalkan. Apa tidak ada sikap yang lebih manis yang bisa ia tunjukan pada saat menyerahkan helm berwarna kuning itu? Atau paling tidak, biasa saja. Jangan sampai dilempar seperti itu. Kalau terkena kepala Sivia bagaimana? Bisa benjol nantinya. Lantas membuatnya tidak cantik lagi. Sivia ingin selalu terlihat cantik di hadapan pemudanya. Cantik dengan dua kuncirnya.

Namun bagi Gabriel, apapun keadaan Sivia, gadis berlesung pipi itu selalu terlihat cantik. Bahkan ketika ia masih memakai piama. Belum sempat mandi, membersihkan diri. Ingatkah insiden rujak dulu? Bukankah penampilan Sivia tidak ada cantik-cantiknya? Ah, tapi
bagi Gabriel, Sivia selalu terlihat cantik. Hatinya. Hati yang dimiliki Sivia terlalu cantik untuk disia-siakan. Hatinya selapang sang rembulan.

Sivia melompat ke atas vespa antik milik Gabriel. Baru setelah itu, Gabriel menancap gas. Suara khas motor antik itu menyeruak seiring asap yang mengepul dari knalpot motor. Pertanda, vespa tua itu telah melaju. Menerabas jalanan. Pulang.

Tempat tujuan mereka masih beberapa kilo lagi jaraknya. Namun, keantikan vespa milik Gabriel itu sudah tak bisa dikompromi lagi. Lamat-lamat, laju motor melambat.

Sivia terperanjat, kala beberapa kali kepalanya membentur punggung Gabriel. Gaya untuk mempertahankan keadaan yang dihasilkan karena adanya sesuatu yang tidak beres dengan mesin motor tua itu. Sivia mengerenyit. Memukul punggung Gabriel.

"Yang bener dong! Ish! Kaya odong-odong!" rutuk Sivia, seraya membenarkan helmnya yang agak miring.

Sementara Sivia terus menggerutu, Gabriel berusaha bersikap tenang menghadapi rajukan motornya yang sudah kelewat sering. Ia telah terbiasa.

Dan entah untuk yang keberapa kali, kepala Sivia kembali membentur punggung Gabriel. Kali ini lebih keras. Tentu saja. Karena sekarang, tak ada lagi suara berisik khas motor vespa. Ya, vespa tua itu mogok. Di daerah yang jauh dari bengkel pula.

"Kok mati? Mogok ya Yel? Yel? Huaaaaa!" ujar Sivia histeris. Ia menarik kemeja pemuda di depannya.

"Tenang ya becakku sayang! Udah biasa kok!" ujar Gabriel. Masih dengan gaya tengilnya. Ia tersenyum.

Sivia melongo. Sudah biasa katanya? Lantas, mengapa sampai sekarang, Gabriel masih mempertahankan vespa bangkotannya itu? Vespa itu sudah pantas masuk museum barang antik. Sivia tahu, Gabriel masih mampu membeli motor yang lebih layak pakai. Atau bahkan mobil sekaliber jaguar dan sebangsanya. Orang tua Gabriel pasti tak akan keberatan memenuhi semua itu apabila Gabriel meminta. Bukankah papanya adalah pemilik perusahaan terbesar di kotanya? Ck. Sivia berdecak.

"Terus gimana?" retoris Sivia bertanya.

"Tenang princess becakku. Kamu duduk yang cantik aja." ujar Gabriel seraya bergerak turun dari vespanya.

Sivia menatap Gabriel bingung. Lalu selanjutnya? Begitu makna dari tatapannya.

"Aku dorong deh! Biar enak, kamu majuan dikit duduknya." Gabriel mengedikan kepala.

Sivia mengangguk. Menggeser tubuhnya agar lebih ke depan. Menatap Gabriel lagi. Lalu?

Lalu Gabriel menjulurkan tangan kanan untuk meraih pegangan vespa dari belakang. Membuat dirinya kini dalam posisi mengurung Sivia. Setelah itu, mendorong sang vespa.

Sivia hanya bisa ternganga. Terhenyak dengan apa yang dilakukan Gabriel. Pemuda itu bahkan membiarkan dirinya sendiri yang kelelahan. Demi agar Sivia tetap merasa nyaman.

Nyaman? Ah, tidak juga. Mana mungkin ia merasa nyaman dengan cara merepotkan orang lain. Tak terkecuali Gabriel, pemudanya.

Maka Sivia menatap lekat-lekat wajah Gabriel. Jelas didapatinya bulir-bulir keringat bergelayut pada beberapa bagian dari wajah tampan itu. Sivia menggigit bibir.

Sebuah sapu tangan dikeluarkan Sivia dari sakunya. Lantas menggunakan sapu tangan itu untuk membersihkan keringat dari wajah Gabriel. Ia melakukannya sembari tersenyum. Ikhlas.

Sementara Gabriel menikmati setiap usapan yang diberikan gadisnya. Seraya terus mendorong vespanya. Biarkan. Ia juga ikhlas.

Setelah keringat pada wajah Gabriel tak lagi kentara, Sivia memasukkan kembali sapu tangannya ke dalam saku. Lantas benaknya kembali bertanya. Tentang Gabriel yang masih mempertahankan vespa tuanya.

Sekali lagi. Gabriel bisa membeli kendaraan yang lebih layak. Paling tidak, kendaraan barunya nanti tak akan mogok lagi seperti saat ini.

Bukan. Sivia bukan matrealistis sehingga menginginkan Gabriel untuk menanggalkan vespanya, dan menggantinya dengan yang lain. Sivia juga tidak malu ketika ia harus naik vespa tua itu. Tapi, yang ia pedulikan adalah Gabriel. Masakah setiap hari, dia harus mendorong vespanya. Ditambah  dengan berat badan Sivia yang ternyata lebih sedikit dari angka ideal seorang wanita. Kasihan Gabriel.

"Kenapa masih pake vespa ini sih Yel?" hati-hati Sivia bertanya. Takut menyinggung hati lawan bicaranya.

Gabriel mendelik jahil. "Kalau ga pakai vespa, ga ada tuh adegan romantis kaya gini. Oh ya, tadi juga. Yang pas kamu lap-in muka aku. Kan so sweet!"

Sivia meneguk ludah. Bisa-bisanya Gabriel berkelakar dalam suasana seperti ini. Padahal, Sivia hendak berbicara serius. "Centil banget sih!"

Gabriel hanya bisa terkekeh. Tak lantas menimpali ujaran Sivia. Maka Sivia, mulai menggerutu. Menceramahi Gabriel agar mengurangi kadar kecentilannya. Sivia kan agak risih. Walau diam-diam, ia juga suka sifat Gabriel yang seperti itu.

Dan sisa perjalanan mereka dihabiskan dengan obrolan ringan yang muncul sesaat setelah Sivia kehabisan kata-kata untuk merutuki Gabriel. Untung saja gadis itu pandai mengalihkan pembicaraan. Semoga tidak dengan hatinya.

***

"Gue tunggu di cafe biasa ya! Ada hal penting."

Berulang kali Sivia membaca pesan singkat yang ditulisnya itu. Tinggal menekan satu tombol, dan pesan itu akan segera terkirim kepada dua nomor yang berbeda. Sivia mendesah. Semoga kali ini berhasil. Kemudian... Klik. Terkirim. Sivia tersenyum kecut.

"Kira-kira, Rio bakalan marah ga ya? Dua kali lho gue bohongin dia. Aduuh! Bodo ah!" Sivia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Mengambil remote, dan menyalakan televisi. Hendak menonton kartun yang biasa meramaikan layar kaca, setiap sore hari.

Di tempat lain, pemuda bertubuh jangkung itu tengah mondar-mandir di balkon kamarnya. Memainkan ponsel dengan tangan kanannya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Setelah ia menerima pesan singkat dari Sivia? Pesan yang sepertinya setipe dengan pesan yang beberapa hari lalu juga didapatnya dari Sivia. Hanya akal-akalan gadis itu saja. Untuk mengerjainya? Apa pula maksudnya? Hendak membalas dendam atas kenakalan dirinya semasa kanak-kanak? Kalau seperti itu adanya, dia tidak akan menjalankan isi dari pesan itu. Enak saja.

Pemuda itu akhirnya mendengus kesal. Bagaimana mungkin ia mengabaikan pesan dari Sivia? Bisa saja, kali ini Sivia memang benar-benar ingin bertemu dengannya. Lagi pula, Sivia tidak memiliki kebiasaan berbohong.

Maka setelah menghentakan kakinya ke atas lantai balkon, pemuda itu bergegas ke dalam kamarnya. Berganti pakaian. Bersiap menemui Sivia. Tentu saja.

***

"Baru kali ini lho gue tahan nyimpen rahasia lama-lama. Hampir dua bulan. Ckck..." ujar Pricilla. Berkutat dengan laptopnya. Ia tengah asyik menjelajahi dunia maya.

Gadis yang duduk berselonjor kaki di atas hamparan karpet yang sama langsung menghentikan kegiatannya, membaca sebuah majalah. Gadis itu mendelik pada Pricilla. Sejurus berikutnya, memalingkan muka.

Pricilla menoleh pada sahabatnya itu. Berdecak samar. "Ayolah Ify! Lo pikir, gue ga tahu apa yang lo rasain? Gue tahu kali." Pricilla terkekeh. Mencibir.

Gadis pemilik nama Ify itu kembali menekuri majalahnya. Beberapa kali, ia nampak membuka halaman per halaman. "Tapi lo ga tahu perasaan orang lain selain gue sama Rio." Ify berujar santai. Berusaha bersikap biasa saja. Seakan tak terjadi apa-apa.

 "Maksud lo?" Pricilla mencelat. Mengubah posisinya menjadi duduk dan menghadap Ify. Gadis berponi itu memasang ekspresi ingin tahu dan memelas. Berharap Ify, akan bercerita lebih jauh tentang kisah cintanya.

"Lo masih bisa nampung satu rahasia lagi, kan? Kalau enggak, maaf!" Ify kembali memindahkan halaman majalahnya.

"Umm..." Pricilla menggigit bibir. "Iya deh. Bisa."

Desahan berat Ify cipta sedetik sebelum ia membeberkan rahasia besar yang lain. Rahasia yang memaksa dirinya menyembunyikan kisah cintanya dari khalayak, terkecuali untuk Pricilla. Gadis itu punya satu keistimewaan. Karena di antara sahabat Ify yang lain, Pricilla yang paling dekat dengannya.

"Oke, gue ngerahasiain hubungan gue sama Rio, karena Shilla suka sama Rio." ucap Ify datar. Berbanding terbalik dengan hatinya yang merasakan sakit yang begitu menyesakkan. Kenyataan itu, begitu menamparnya. Bagaimana bisa, ia dan Shilla mencintai pemuda yang sama, Rio.

"HAH?"

Pekikan Pricilla hampir saja membuat Ify melempar majalahnya. Ify mengelus dada. Meredakan keterkejutannya karena mendengar pekikan hebat Pricilla. Lantas menggelengkan kepala samar.

"Lo serius Fy? Tahu dari mana? Ah, enggak kali. Itu pasti cuma dugaan lo doang. Shilla bukannya suka sama Cakka ya? Terus kan..."

Ify merasa telinganya berdenging ketika ucapan Pricilla berjejal dalam rongga pendengarannya. Sahut-menyahut meneriakan satu nama. Rio. Rio. Rio. Walau sebenarnya, apa yang dikatakan Pricilla bukan tentang Rio. Namun apa daya, kini yang dapat didengar Ify hanya nama itu. Maka Ify memutuskan untuk beranjak dari tempat duduknya. Ia melempar majalah ke sembarang tempat. Melengos.

Dan gadis yang ditinggalkan Ify itu  mogok berbicara, walau mulutnya masih saja membuka. Terhitung lima detik ia dalam posisi tersebut. Sebelum akhirnya, ia menghembuskan nafas. "Masalah rasa, emang selalu jadi masalah yang paling ribet di seluruh dunia." gumamnya.

***

Untuk yang ke-dua kalinya, Shilla memanggil Mas pelayan berdasi kupu-kupu hitam untuk memesan minuman. Satu gelas moccachino telah dihabiskannya. Kini, ia meminta Mas pelayan untuk memberikannya satu gelas lagi, untuk menghilangkan rasa gugup. Ah, bagaimana tidak. Bukankah malam ini ia akan bertemu pemuda itu? Pemuda yang meneteskan sebuah rasa yang selalu diistimewakannya.

Sejak tadi Sivia mengiriminya pesan singkat itu, hatinya tak berhenti bertalu. Shilla tak cukup bodoh untuk dapat mengetahui makna tersirat dari pesan singkat Sivia. Itu adalah satu lagi upaya Sivia untuk membuatnya dan pemuda itu bersatu. Walau ternyata, peran kecil Sivia tak berdampak banyak.

Sekarang, Mas pelayan telah kembali dengan nampan yang terdapat segelas moccachino di atasnya. Mas pelayan menaruhnya di atas meja. Mengangguk takzim. Setelah ucapan terimakasih terlontar dari Shilla, Mas pelayan pun undur diri.

Shilla melanjutkan penantiannya. Ditemani setiap tetes moccachino. Diriuhi debam-debum sang rasa istimewa.

***

Rio membanting pintu mobilnya dengan lumayan keras. Mengulas senyuman tipis ketika mendapati bangunan cafe di depannya. Ia ingat, pernah suatu waktu ia bersama gadisnya kencan di sana. Kencan untuk yang pertama kalinya. Kencan yang lucu. Karena mereka harus pergi secara sembunyi-sembunyi, ketika mengetahui bahwa Sivia ada di sana. Ternyata, cafe itu cafe  favorit Sivia.

Cukup sekilas Rio bernostalgia. Segera ia masuk ke dalam cafe. Ia tak mau membuat Sivia terlalu lama menunggu. Bisa-bisa, dompetnya terkuras habis untuk menyogok Sivia agar tak marah lagi.

Rio sudah berada di dalam cafe. Matanya ia arahkan ke setiap sudut cafe. Berharap dengan segera ia menemukan siluet Sivia.

Tak dinyana, bukan Sivia yang tertangkap oleh indra penglihatannya. Namun seorang gadis dengan balutan gaun malam tanpa lengan. Rio kenal gadis itu. Teman sekelasnya. Juga sahabat dari gadisnya. Rio mengangkat bahu. Menghampiri gadis itu.

"Shil..." Rio berseru.

Shilla -gadis itu- terkesiap. Mengalihkan pandangan ke arah pemuda yang baru saja menyapanya. Matanya berbinar ketika mengetahui siapa pemuda itu. Rio. Sejenak membuatnya terpana. Telah lama, ia terpesona.

"Lihat Sivia ga?" tanya Rio. Menoleh ke kanan dan kiri. Masih belum menyerah untuk menemukan Sivia.

Shilla meneguk ludah. Bagaimana ini? Shilla memutar otaknya. Mencari ide. Lalu... Yap! Shilla tahu. Ia hanya harus tenang. Santai. Tarik nafas, tahan sebentar sebelum akhirnya ia hembuskan secara perlahan.

"Emm... Yo!" ucap Shilla dengan suara tertahan. Rio berhenti celingukan mencari Sivia. "Lo bisa tunggu Sivia di sini..." Shilla menggigit bibir. "Sama gue." lanjutnya pelan.

"Emm..." Rio menggaruk kepala bagian belakang. "Oke deh!" katanya seraya duduk di kursi yang ada di seberang Shilla. Kursi yang memang dari awal disediakan untuknya. Seperti rasa itu. Disediakan amor untuk mereka kecap berdua. Walau pada kenyataan, salah satunya sama sekali tak menginginkan.

Dalam segala macam suara yang bersahutan, Rio dan Shilla bungkam. Rio, pemuda itu lebih tertarik menikmati penampilan sang penyanyi cafe, daripada berbincang apa saja dengan gadis yang berada satu meja dengannya. Shilla juga tak berani memulainya. Padahal, ia ingin bertanya banyak hal. Rasa takut telah mendahului segala keinginannya. Takut Rio menjawab dengan jawaban paling dingin sedunia. Masih mending dijawab. Kalau ia hanya mendapat tatapan tanpa ekspresi bagaimana? Bisa-bisa, Shilla langsung melengos mencari tali. Hendak menggantung diri. Shilla sudah sangat hafal bagaimana dinginnya Rio. Terkecuali pada Sivia.

Mas pelayan berdasi kupu-kupu datang. Ia bak malaikat penyelamat bagi Shilla. Ketika ia bingung harus melakukan apa, Mas Pelayan datang. Membawa nampan berisi dua porsi makanan. Makanan? Shilla mengerutkan kening. Bukankah ia belum memesan makanan apa pun? Shilla melirik Mas pelayan yang hati-hati memindahkan piring ke atas meja.

Drrttt... Ponsel Shilla bergetar. Pertanda bahwa pesan singkat baru saja diterimanya. Dari Sivia. Shilla membaca pesan itu. Lantas mengembanglah senyumnya, ketika ia selesai membaca pesan itu. Sivia yang telah merancang semua ini. Bahkan makanan yang harus mereka makan, Sivialah yang menentukan. Maka sepatutnyalah Shilla memberikan sejuta terimakasih untuk Sivia.

Terimakasih pun Shilla tujukan kepada Mas pelayan. Karena sejak kedatangannya ke cafe itu, Mas pelayan berdasi kupu-kupu itu tak bosan memenuhi pintanya. Mas Pelayan mengangguk. Melengos pergi.

"Yo, makan yuk!"

Rio mengalihkan pandangannya pada Shilla. Shilla tersenyum. Mengedikan kepala ke arah meja. Rio melirik meja. Baru sadar, di sana sudah ada makanan yang siap disantap. Rio bertanya-tanya, kapan datangnya semua makanan itu? Ah, sepertinya ia terlalu serius menonton penampilan sang penyanyi cafe yang kini telah sampai pada lagu selanjutnya.

"Ga deh! Biar gue nanti makan sama Sivia. Bisa ngamuk dia kalau tahu gue udah makan duluan." Rio memerhatikan lagi sang penyanyi.

Shilla mendengus. Kecewa saat Rio menolak ajakannya. Bukan itu saja. Bahkan untuk duduk menghadap padanya saja, Rio enggan. Entah apa yang dimiliki penyanyi cafe itu sampai bisa memikat Rio untuk lekat-lekat menatapnya. Padahal, penyanyi itu lelaki. Tidak mungkin kalau Rio menyukainya.

"Yo..."

Hanya gumaman pelan yang diberikan Rio untuk menanggapi seruan Shilla. Lagi-lagi, Shilla mendengus. Kenapa Rio sama sekali tidak tertarik padanya sih? Paling tidak, untuk mengobrol saja.

Baiklah. Kalau Rio memang tak mau berurusan dengannya karena embel-embel Sivia, Shilla akan jujur pada Rio. Bahwa sebenarnya, Sivia tak akan datang malam ini. Mungkin dengan Rio tahu itu, Rio tak keberatan menemaninya makan. Ya, seperti itu.

Shilla berdeham terlebih dahulu.Lantas bercicit pelan, "Soal Sivia."

Mendengar nama Sivia, Rio langsung mengerjap. Menatap Shilla. Ada apa dengan Sivia?

Shilla menggerakkan kakinya yang berada di kolong meja. Bagaimana ini? Apakah itikadnya untuk jujur, akan dilanjutkan? Atau, kebohongan ini dibiarkan mengembang?

"Kenapa sama Sivia?" tanya Rio lagi. Aksen suaranya terdengar menggertak.

Shilla mengerutkan kening. Apa yang harus ia katakan? Akankah ia mengatakan bahwa Sivia mengiriminya SMS yang berisi bahwa semua ini hanyalah rekayasa? Sivia sedang belajar menjadi sutradara.

SMS? Ya, SMS. Sivia juga pasti mengirim SMS yang sama pada Rio. Shilla yakin itu.

"Yo, lo bisa cek Hp lo?" pinta Shilla.

"Hah?" Rio menatap Shilla. Gadis itu meyakinkan Rio. Rio mengangkat bahu. Baik. Akhirnya, ia mengecek ponselnya.

Satu pesan belum dibaca langsung menyambutnya. Cepat Rio membacanya.

Rio langsung membelalakan kedua mata. Apa lagi ini? Rio menggertakan rahangnya. Hampir saja ia hendak memukul meja. Untung saja, ia masih bisa menahannya.

Nafas Rio berubah memburu. Ia seperti tengah dikejar hantu. Pertanda bahwa emosinya akan segera meledak. Hanya tinggal menungu waktu. Rio memelototi Shilla tajam. Nampak jelas dari wajahnya, Rio tengah dikuasai oleh amarah yang kian membuncah. Ia bagaikan seekor singa yang hendak menerkam mangsanya.

Shilla meneguk ludah. Kedua matanya ia pejamkan. Untuk pertama kalinya, ia tidak mau melihat wajah itu. Wajah yang ternyata sangat menyeramkan kala si empunya tengah ditunggangi emosi.

Rio bangkit berdiri. Rahangnya semakin mengeras. Nafasnya masih memburu. Dengan suara baritonenya, ia mendesis.

"Maksud Sivia apa? Jadi ini semua rekayasa dia? Terus, buat apa gue di sini dari tadi? Ga penting tahu!"

Seluruh penghuni cafe, menatap ke arahnya. Terkecuali sang penyanyi yang tetap konsisten menghibur semua tamu, walau tak jarang ia diacuhkan. Beberapa orang di antara mereka saling berbisik. Membicarakan Rio. Pemuda kasar yang berani membentak teman kencannya di depan umum. Kencan? Bukan. Enak saja.

Namun Rio tidak peduli. Ia tidak suka dibohongi. Kalau tahu begini jadinya, ia tak akan membuang hampir 60 menit waktu berharganya. Ia bisa menggunakan waktu itu untuk mengerjakan PR, menonton sinetron, atau bahkan tidur sekalian. Cih. Rio mencibir.

"Gue pulang!" ujar Rio. Nada bicaranya terdengar lebih rendah.

Shilla buru-buru membuka matanya. Ia berdiri. Menahan langkah Rio. Rio menoleh. Menatap tajam pada lengan yang tengah menggapai lengannya.

"Lepasin!" Rio menghempaskan tangan Shilla dengan kasar. Memulai langkahnya kembali.

Shilla masih belum menyerah. Sekali lagi ia meraih lengan Rio. Dipegangnya erat lengan Rio. Sehingga, ketika Rio  hendak melepaskannya, tangan itu masih tetap bertahan di sana.

Rio menatap Shilla. Melihat wajah memelas gadis itu, ia jadi teringat akan wajah manis gadisnya. Ah, Rio telah berdosa padanya.

"Apa lo ga bisa ngehargain usaha Sivia buat kita?" Shilla bertanya sarkatis. Lantas melepaskan tangannya dari tangan Rio. Bersamaan dengan pelupuk matanya, yang telah membiarkan setetes air mata meninggalkan muasalnya. Tetes yang lain satu-persatu menyusul. Ada rasa ngilu dalam dada, kala tetes air mata pertamanya sempurna membelah pipi pualamnya.

"Ga bisa!" ujar Rio datar. Namun telak membuat dada Shilla sesak.

"K-kenapa?" Shilla masih memaksakan untuk bertanya. Walau ia telah bisa menerka, jawabannya akan tetap sama. Menyakitkan. Shilla mulai sesenggukan.

Rio mendesah. "Karena itu tuh ga penting!"

Shilla memegangi dadanya yang semakin sesak. Gadis itu merasa rongga pernafasannya semakin sempit, saat ia mendapati wajah tegas tanpa ekspresi itu. Kakinya kemudian bergetar. Entahlah. Seluruh persendiannya merapuh. Shilla sudah merasa tidak kuat lagi untuk hanya sekedar berdiri.

Namun gadis itu adalah gadis pejuang yang pantang menyerah. Dalam keadaannya yang sudah payah, ia masih berusaha berbicara. Walau setengah mati ia mengucapnya. Biarkan. Biar ini jadi penghabisan.

"Apa itu berarti gue... Gue juga ga penting buat lo?" isakan Shilla semakin terdengar nyata ketika ia selesai mengucapkan kata penghujung kalimatnya.

Dan Rio sudah terlatih menjadi pemuda yang angkuh. Ia sama sekali tidak merasa iba dengan rintihan Shilla. Toh, bukan salahnya juga. Siapa suruh melakukan itu semua.

Maka kini, Rio semakin memperparah keadaan Shilla dengan perkataan sedingin antartika miliknya.

"Kalau lo tahu itu, kenapa masih berusaha mengingkarinya?"

Rio membalikan tubuhnya. Akan segera pergi. Namun sebelum itu, ia memberikan peringatan keras pada Shilla. Dalam posisi membelakangi gadis itu, Rio semakin tega mencerca.

"Ini yang terakhir ya Shil! Udah cukup lo permainin gue dan Sivia. Lebih baik, lo cari mainan yang lebih seru!" setelah itu, Rio benar-benar pergi. Menghilang dari batas penglihatan mata Shilla yang berair.

Maka pada akhirnya, sekuat apa pun gadis itu bertahan, ia akan tetap tersingkirkan ketika cintanya tak terbalaskan. Shilla jatuh tersungkur. Ia membiarkan air matanya menggenang membasahi gaun malamnya. Ia tak peduli. Juga pada tatapan iba dari setiap pasang mata penghujung cafe. Masa bodoh. Ia sedang patah hati.

***

Bersambung

**

Oke ya, ngaretnya ga ketulungan! Karena sekarang udah dipost, puas-puasin deh maki-maki saya *eh Ga papa. Ikhlas kok :) See you!