HUJAN, Kita Dan Mimpi part 23
Keke
baru saja menjejakkan kaki di rumah. Gadis manis itu langsung dikejutkan oleh
suara isakan yang terhantar udara dari salah satu ruangan dengan pintu yang
setengah terbuka. Ia mendesah. Ini bukan kali pertama. Telah banyak isakan yang
tercipta di rumah mewah itu. dan salah seorang yang rutin menciptakan isakan
menyedihkan itu adalah orang yang sama dengan orang yang kini tengah menangis
sendirian di dalam ruangan bercahaya remang. Keke masuk dan menghampiri pemilik
tangis teriris itu. Wanita hebat yang telah membantunya untuk hadir dan
menikmati bagaimana mengagumkannya hidup. Keke duduk di samping wanita sendu
itu. Mengatakan “Mama” pelan.
Wanita yang dipanggil oleh Keke
dengan
sebutan Mama itu terkesiap. Baru menyadari bahwa bukan hanya dia yang menghuni
ruangan itu. Terburu-buru mengusap pipinya yang basah. Menutupi fakta bahwa ia
baru saja mendapatkan masalah yang besar sampai tak mampu menahan tangis.
Menarik ujung-ujung bibirnya. Tersenyum. Terpaksa.
Keke mendengus. Sudahlah. Ia bukan anak
kecil lagi. Jelas-jelas ia bisa melihat kalau Mamanya menangis. Tersedu-sedu
bahkan. Ia tahu sejak lama, ada yang tidak beres di rumahnya. Terutama menimpa
Mama –dan Papa yang telah lama gemar berada di luar rumah-.
Diam. Beberapa menit mereka lewatkan
dengan mengunci rapat masing-masing mulut mereka. Hanya suara detakan jarum jam
yang tak pernah lelah berputar. Entah mencari apa. Memburu siapa saja yang
lalai. Sampai akhirnya, wanita berwajah sendu itulah yang memulai segalanya.
Mengurai fakta.
“Minggu depan, kita pulang…” Mama
menghela nafas. Menambahkan, “Ke Makassar.”
Keke mencelat. Pulang? Ia
mengerutkan kening. Makassar? Bukankah di sinilah rumahnya? Di kota yang
meskipun tak sesejuk dulu tapi tetap mampu membasuh pilu. Keke menatap Mama
penuh tanya. Apa maksudnya?
“Mama dan Papa sudah resmi berpisah.
Jadi, buat apa kita disini? Ini rumah Papa. Rumah kita di Makassar sayang.”
ujar Mama. Menguatkan hatinya kala diharuskan mengabarkan berita yang tidak
menyenangkan itu pada putrinya.
Dan kali ini Keke benar-benar
mencelat dari duduknya. Ia menggelangkan kepala. Tidak. Keke membekap mulutnya.
Tidak mungkin. Ia tak percaya. Tanpa sadar, tanpa bisa tertahankan, gadis manis
itu menangis. Mengalirlah parit menyedihkan menerabas pipi tembemnya.
“Maafkan Mama, sayang! Mama buat
kamu sedih.” Mama menunduk dalam.
Sementara Keke, masih belum bisa
–atau lebih tepatnya belum tahu harus- melakukan apa-apa. Ia terdiam. Parit itu
kian menderas. Kenyataan menyakitan memukulnya telak. Keke tak sesempurna apa
yang selama ini orang-orang kira. Gadis cantik dengan otak jenius dan berbagai
talenta yang menakjubkan. Lantas, apalah arti semuanya itu dibandingkan dengan
keretakan dalam keluarga kecilnya. Ah, gadis itu tak ingin apa-apa. Hanya ingin
keluarganya tetap utuh, selamanya.
Keke bukanlah gadis yang egois.
Kenyataan pahit itu terjadi karena memang sudah seharusnya. Telah digariskan
oleh ketentuan. Mama tak mungkin terus menerus tinggal dalam keadaan yang tidak
nyaman, menyiksa. Maka akan lebih baik Mama pindah. Pindah dari hati yang lama.
Keke bisa mengerti.
Kepindahan hati itu justru memaksa
untuk terjadinya kepindahan yang lain. Pindah dari kota mereka. Meninggalkan
semua yang ada disana. Kehilangan semua yang disayanginya. Kehilangan?
Sahabat-sahabatnya? Mataharinya? Keke lemas terduduk. Parit itu sempurna
menggenangi lantai.
“Kenapa kita harus pindah dari kota
ini Ma? Kita masih bisa tinggal di kota ini, di rumah yang baru.” Keke
menyuarakan isi hatinya. Ya, sungguh ia tak ingin meninggalkan kotanya. Terlalu
banyak kenangan yang harus ia endapkan. Bersama Papa. Ah, sejahat apa pun Papa
terhadap Mama, lelaki hebat pemilik perusahaan terbesar di kota mereka itu
tetaplah Papanya. Sebab dari adanya dia di dunia. Kenangan bersama
sahabat-sahabatnya. Ify, sahabat hebatnya. Agni, sahabat kuatnya. Gabriel,
sahabat berhati malaikatnya. Dan Rio? Keke menggigit bibir. Mataharinya. Pemuda
pertama yang membuatnya jatuh dalam ranah kebahagiaan. Menjadikannya Aurora
dengan pesona luar biasa. Cinta pertamanya. Ia harus kehilangan itu semua? Ia
menggeleng.
Mama menunduk. Mengangkat Keke
bangkit. Memeluk erat putrinya. “Kota ini terlalu banyak menyimpan kenangan
yang hanya akan membuat mama dijejali rasa sakit. Mama harap, Keke bisa
mengerti.” Mama mengecup hangat ubun-ubun Keke.
Berbaurlah mereka dalam sedu-sedan
tangisan menyedihkan. Ibu dan anak itu dilanda kegaulauan. Kenyataan-kenyataan
pahit yang beruntun harus diterima. Menyudutkan hati mereka pada titik di mana
mereka harus saling mengalahkan ego masing-masing. Entah mana yang akan menang.
***
“Tadi
malam, pestanya seru ya!” ujar Agni. Bercerita dengan hebohnya tentang pesta
hari jadi Gabriel tadi malam. Sedari tadi, gadis berambut pendek itu
bersemangat bercerita pada ketiga sahabatnya, sambil beriringan berjalan menelusuri
koridor menuju kelas.
“Iya. Eh, liat Sivia sama Ray dansa
ga? Sumpah, kaya yang mau tawuran. Kerjaannya berantem terus.” aku menyahuti.
Agni dan Gabriel tertawa menyeringai.
“Oh iya iya! Pinter banget sih Yel
undang mereka. Brutal mament!” Agni memegangi perutnya. Tertawa
terpingkal-pingkal.
“Bukan aku yang undang mereka. Noh…”
Gabriel melirik ke arahku. Tersenyum sinis.
“Abisan, aku suka sama mereka.
Pasangan terajaib yang pernah aku temui. Hahaha…” ujarku. Mendorong pelan bahu
Gabriel.
Agni mengulum bibir. Melipat kedua
tangan di depan dada. “jangan ngomongin pasangan! Cuma aku tahu yang tadi malam
ga ada pasangannya. Kamu sama Gabriel, Keke sama Rio. Lah aku?” Agni menunjuk
dirinya sendiri. Menghembus nafas lemas.
Aku dan Gabriel saling berpandangan.
Melempar senyum menyenangkan. Lalu berpaling menatap Agni. Menyeringai mencibir
gadis tomboy itu. Habis, Agni itu galak. Mana ada cowok yang mau jadi
pasangannya. Pertama kenalan aja langsung dia terkam.
Agni langsung mempelototiku dan Gabriel.
Matanya mengisyaratkan bahwa kami berdua menyebalkan. Kami malah dengan sengaja
menertawakan. Agni mengerucutkan bibirnya.
Pada akhirnya, kami pun diam.
Menyadari bahwa ada satu dari kami yang sedari tak bersuara. Beda dari
biasanya. Keke. Gadis manis itu sama sekali tak mengeluarkan pekikannya yang
menusuk telinga. Tak juga merengek manja atau tertawa renyah. Ia diam. Berjalan
tersaruk. Tatapan matanya yang bulat itu kosong. Hampa.
“Keke…” Agni menyikut lengan Keke.
Hampir saja gadis itu jatuh
terjengkang mendapat sikutan yang nampaknya terlalu bertenaga. Untung Gabriel
sigap menahannya. Keke terkesiap. Menatap satu persatu wajah sahabatnya.
Sahabat yang sebentar lagi akan ia tinggalkan. Ia memalingkan wajah. Tanpa
sepatah kata, melengos pergi.
Aku, Gabriel dan Agni tertegun.
Mengerutkan kening. Berpandangan. Mengangkat bahu. Tak tahu apa yang terjadi
pada gadis manis yang selalu ceria itu. Aku dan Gabriel melanjutkan berjalan
menuju kelas. Sementara Agni tiba di kelasnya lebih awal. Masuk dan berpisah
dengan aku dan Gabriel.
***
Aku mengetukkan jari ke atas meja.
Menggigiti bibir seraya mencuri-curi pandang ke arah Keke yang tengah
menggambar rajutan benang kusut pada bukunya. Sementara lelaki paruh baya di
depan kelas tengah bersemangat menjelaskan tentang bagaimana sulitnya Indonesia
meraih kemerdekaan. Pelajaran sejarah. Ah, Keke kan paling menyukai mata
pelajaran tersebut. Dia akan menjadi siswa terakhir yang menyimak materi yang
disampaikan oleh Pak Kana. Lantas sekarang, gadis itu sama sekali tak berminat
dengan pelajaran favoritnya itu. Aku memicingkan mata. Dan terperanjat kala
mendapati sepasang kantung menggantung pada kedua mata bulat Keke. Ha? Aku
memutar kembali ingatan. Terakhir kali aku melihat kantung mata itu, saat Rio
mengatakan bahwa Keke menangis selamaman. Apakah kantung yang kali ini terlihat
lebih besar itu akibat ia menangis? Semalaman pula?
Sampai bel terakhir tanda pelajaran
usai pun, Keke masih sibuk membuat juntaian benang yang kian berbelit. Dan aku
masih lekat memandangi Keke. Menduga-duga dalam hati mengenai kantung itu. Ah,
Keke pernah mengatakan, memastikan lebih baik dari menduga-duga. Baiklah, aku
akan memastikan sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Aku menanti Keke selesai membereskan
alat tulisnya. Memasukkannya ke dalam ransel. Lantas Gabriel menghampiri kami.
Lalu setelah itu bersama-sama keluar dari kelas.
Kami bertiga sampai di kelas 12 IPA
2. Berhenti sejenak menunggu Agni. Lantas pada saat Agni keluar kelas, kami melanjutkan
berjalan.
Langkah kami seketika terhenti saat
suara baritone khas itu berteriak mengucap satu nama. Nama gadis yang hari ini
dirundung murung. Pemilik suara itu berlari menghampiri kami.
Rio menyapa satu persatu dari kami.
Yang terakhir, ia menyapa riang gadisnya yang seharian tadi tidak ditemuinya
dimana-mana. “Aurora, kamu kemana sih? Tadi aku nyariin kamu. Latihan basketnya
ga semangat ah ga ada kamu. Iya kan, Yel?” Rio melirik Gabriel. Yang dilirik mengangkat
kedua alisnya.
Dan tak ada ekspresi berarti dari
Keke. Ia menatap datar Rio. Melengos pergi.
Maka semuanya terkesiap. Apa yang
tadi dilakukan Keke? Mengacuhkan pemudanya. Sungguh bukan Keke. Gadis itu
ramah. Bahkan kepada orang yang belum dikenalnya saja, ia tak segan melemparkan
senyum termanisnya. Sekarang Keke mengabaikan Rio. Dirasuki setan macam apa
gadis manis itu? Kami semua menatapi punggung Keke yang menjauh.
Aku menggeleng. “Kejar dia Yo!” Mendorong
tubuh Rio untuk sesegera mungkin menyusul Keke sebelum gadis itu beranjak
terlalu jauh.
Rio langsung berlari. Meraih tangan
Keke dan menariknya. Membuat Keke terpaksa memutar tubuhnya menghadap Rio. Ia
masih menatap tanpa ekspresi. Walau hatinya ketar-ketir setengah mati.
“Kamu kenapa?” tanya Rio. Berharap
mendapatkan kejelasan akan sikap aneh Keke hari ini.
Keke melepaskan tangannya yang masih
digenggam Rio. Sesak saat melihat pemuda bergigi gingsul itu menatapnya dengan
ketenangan dua genangan danau itu. Jangan! Teriak Keke dalam hati. Jangan
menatapnya seperti itu. Keke memutar kembali tubuhnya hingga membelakangi Rio.
Tak kuasa mendapat tatapan semenohok itu dari Rio. Juga tak tega dengan
kenyataan yang harus diterimanya. Hari ini, ia hendak menuntaskannya.
Rio tertegun. Kenapa gadisnya itu
menghindarinya? Apa yang salah dari dirinya? Bukankah tadi malam, semuanya
masih baik-baik saja. Tidak. Tadi malam pun, gadis itu sudah tidak merasa baik.
Ingatkah akan isakan menyayat hati yang diciptakan gadis itu? tersungkur dalam
pelukan hangat Rio. Menuntut agar pemuda tampan itu tak akan pernah pergi
darinya. Sesungguhnya, itulah firasat tak mengenakan yang dirasakan Keke. Akan
tiba saatnya, pemuda itu tak lagi tinggal di hatinya. Dan gadis itu tahu, ialah
yang sesungguhnya telah mengusir jauh-jauh siluet itu agar berpaling darinya.
“A-aku ga mau ketemu kamu lagi.” kata Keke.
Ia mengepalkan lengan. Menguatkan.
Kedua alis Rio saling bertautan. “Aku
salah apa?” tanya Rio retoris.
“Kamu jahat Rio…” Keke menghela nafas.
Siap memuntahkan amunisi penghabisan atas tersudutnya ia dalam keadaan yang
sangat tidak menyenangkan itu. “Kamu jahat. Kamu udah buat aku jatuh cinta sama
kamu. Dimana-mana, jatuh itu sakit. Dan aku sakit karena kamu.” Keke memejamkan
mata. “Aku sakit saat aku harus membiarkan kamu memilih sendiri bagaimana akhir
dari kisah ini. Tanpa ada aku di setiap udara yang kamu hela.” lanjutnya dalam
hati.
Terhenyak. Potongan kejujuran menyakitkan
itu melemparkan Rio ke dasar palung terdalam. Tubuhnya gemetar. Giginya
bergemeletuk. Tersendat berkata, “Jadi?”
“Aku mau, kita putus.” Mengalirlah
dari sudut matanya yang bulat kristal bening. “Kisah ini, selesai.” Lantas
setelah Keke mengungkapkan kalimat penuntasan itu, ia menebusnya dengan
menyerahkan kembali cinta yang pernah Rio berikan padanya. Biarlah Rio pergi,
sebelum ia sendiri yang harus pergi. Karena ia tak akan sanggup meninggalkan Rio
jikalau pemuda tampan itu masih menempati hatinya. Maka kini, bebaskanlah matahari menemukan takdirnya yang sesungguhnya.
Keke berlari. Meninggalkan Rio yang
tersungkur bersama kenyataan memilukan. Merasa dirinya sudah tak akan mampu
lagi menggapai indah itu. Hatinya dijejali rasa sakit yang melumpuhkan.
Tubuhnya mengejang. Mematung dan menatap nanar siluet yang semakin samar
dilihatnya. Rio menggigit bibir. Bersamaan dengan hatinya yang perih seperti
tersengat bola api, setetes air mata mendarat sempurna di lantai. Menegaskan
bahwa gadis itu sudah jauh meninggalkannya. Gadis tembemnya. Pemilik tawa
renyah dan pipi kembang kempis itu menghilang. Dari batas penglihatannya. Dari
hatinya. Menguap bersama kecewa yang merajai tiap jengkal perasaannya.
Ya, dan kisah semu antara Aurora dan
Matahari pun berakhir. Final. Aurora hanya kilatan mempesona yang sejenak
singgah dan akhirnya enyah di antah berantah. Itulah ketentuan.
Kami para penonton yang menyaksikan
drama termengenaskan itu menyeret langkah menghampiri lakon yang menjadi
korban. Rio yang masih belum percaya betul akan apa yang dialaminya. Rasa sakit
yang menyesakkan dada. Seakan rongga nafasnya menyempit dan nafasnya pun
berubah tersengal.
Gabriel dan Agni menepuk pundak Rio.
Lantas berjalan menyusul lakon lain yang ternyata dibrondongi dengan rasa sakit
yang jauh lebih hebat dari sang korban.
Aku memegangi dada. Entah mengapa
juga ikut merasakan rasa sakit yang tengah pemuda itu kecap. Aku seperti
melihat siluetku dulu. Yang terpuruk saat mendapatkan torehan luka menganga
dari pemuda yang dulu begitu ku kasihi. Dan kini, pemuda itu ada di hadapanku.
Mengecap rasa yang sama. Luka menganga itu kembali robek. Tercium bau amis yang
membuat relung teriris.
“R-Rio…” aku menyentuh pipi Rio.
Menyapu lembut buliran air mata yang masih bergelayut disana. Jangan menangis!
Pintaku dalam hati.
Dan diluar dugaan, Rio langsung
menghambur merengkuh tubuh mungilku, membuat aku terhenyak beberapa saat. Rio
tanpa segan menumpahkan tangis di bahunya. Tak peduli apa pandangan orang nanti
tentang dirinya. Kini, hanya satu yang diingininya. Ia hanya ingin menangis.
Itu saja. Maka dengan tersengal, Rio berkata, “Jangan pergi! Aku butuh kamu
Pelangi!” melanjutkan kembali tangisnya.
Aku menelan ludah. Sebegitu sakitkah
yang dirasakan Rio sampai ia tak malu lagi mengumbar air mata dihadapanku?
Lebih sakit mana dengan rasa sakit yang aku rasakan saat hatiku tertoreh luka
menganga? Ditambah bubuhan perih yang menyesakan. Atau mungkin sama? Sama-sama
menyiksa. Sama-sama menyedihkan. Maka aku mengusap punggung Rio lembut.
Menenangkan. Sudahlah! Jangan menangis! Rio, kamu bukan satu-satunya tokoh yang
menderita. Aku pun sama. Bahkan aku telah lebih lama menelan kapsul pahit yang
dijejalkan kecewa. Kami memiliki nasib yang sama. Ah, itu ketentuannya.
Seakan kini semua mulai terurai. Menemui titik terang
dari remangnya kisah sederhana ini. Sesungguhnya, dari perjumpaan pertama mereka
pada sore berhujan di halte tua itu, pertandingan basket terpenting sekolah
mereka, ditemukannya gadis berpipi kembang kempis itu di taman, sampai saat
ini, saat Rio tak tahu hendak ditumpahkan kepada siapa tangisnya, tanpa
disadari, ia selalu membutuhkan Ify. Suka atau tidak, sudah jadi ketentuan.
Hanya warna-warni sederhana yang dimiliki pelangi yang dibutuhkan oleh
Matahari, untuk mengembunkan lara, digantikan bahagia.
Perlahan, monster itu terjaga.
Hendak menghentak, menyadarkan kami. Kami yang mengabaikan ketentuan.
Jejak-jejak langkah kami kini dituntun untuk melanjukan kisah sederhana ini
dengan semestinya.
Ternyata,
tanpa pernah mereka tahu, tak jauh dari mereka, seorang pemuda tengah mengintai
dengan seksama dari balik tembok. Ia mendesah kentara. Menyadari bahwa kini ia
telah berhasil menghantarkan gadis dalam radius beberapa meter darinya itu
menemukan kembali siapa yang sesungguhnya menjadi penghuni utama di hatinya.
Kini, ia sampai pada tugas berikutnya. Tugas terberat dalam sejarah hidupnya. Ia
memejamkan mata. Merasa takkan mampu melakukannya.
***
Setelah insiden menyedihkan antara Rio
dan Keke siang itu, perubahan pun
terjadi. Keke yang lebih gemar menyendiri di tempat yang sepi. Sekedar meniup
seksopon atau hanya merenung. Entah apa yang gadis itu pikirkan. Namun
sepertinya, ia memiliki masalah yang sangat pelik. Pernah aku, Gabriel, Agni atau
yang lain memergokinya tengah menangis. Namun terburu ia melengos. Keke menjadi
lebih tertutup. Ia yang selalu cerewet bercerita tentang masalahnya kepada kami
sebagai sahabatnya, kini lebih memilih diam. Diam membingungkan semua orang. Keke
juga terkesan menghindar dari semua orang. Ia juga tak pernah lagi menggubris
apa kata Gabriel. Ah ya, Keke paling tidak bisa menolak perintah Gabriel. Bagi
Keke, Gabriel itu sudah seperti kakak laki-lakinya. Sekarang, setiap kali Gabriel
meminta Keke untuk datang menemuinya atau untuk tetap tinggal dan menceritakan
masalah apa yang tengah dihadapinya, Keke selalu menolak. Pernah suatu waktu ia
sampai membentak pada Gabriel. Keras kepala mengatakan bahwa tidak terjadi
apa-apa dengannya. Omong kosong, jelas-jelas Keke sedang didera masalah yang
berat.
Rio, tentulah ia juga berubah. Ia yang
sudah tidak disibukkan lagi dengan tugasnya sebagai ketua OSIS karena masa
baktinya telah habis, nampak lebih sering berkutat dengan bola basketnya.
Setiap waktu luang yang dimilikinya ia pakai untuk bermain basket. Sayang, ia
bermain basket bukan karena ia menyukainya. Semua itu karena ia ingin meluapkan
emosi yang sudah mendidih di ubun-ubun kepalanya. Lihatlah lemparannya yang
kasar. Tak peduli masuk atau tidaknya bola itu ke dalam ring. Yang penting, ia
bisa melempar bolanya sekencang mungkin, agar emosi dan kecewa di hatinya bisa
ikut terbuang seiring melayangnya bola di udara. Tak jarang, ia ditegur
Gabriel, Debo dan rekan satu tim basketnya yang lain. Dan ia selalu mengabaikan
semua yang dikatakan sahabatnya. Ia tak peduli. Ah, gadis pipi kembang kempis
itu saja tak mempedulikan perasaannya. Reas mengacak rambutnya.
Perubahan yang terjadi pada Keke dan Rio
juga berdampak pada orang-orang di sekelilingnya. Terutama aku. Aku selalu
merasa tertohok melihat Rio yang kalut. Mendapati pemuda itu selalu merutuk dan
menyumpahi dirinya sendiri kala tengah menekuri bola basketnya. Aku tahu apa
yang dirasakan Rio, karena aku pun pernah merasakan hal yang sama. Bagiku, Rio tak
boleh mengecap sakitnya rasa itu. Biarlah aku sendiri saja yang menelan rasa
itu. Jangan Rio. Tapi aku juga tak bisa menyalahkan Keke. Keke pasti punya
alasan kuat mengapa ia sampai melakukan hal itu. Keke bukan gadis jahat atau mencoba
menjadi jahat sepertiku kala itu. Keke gadis yang baik hati. Aku tak tahu harus
melakukan apa Aku harus menemukan orang yang tepat untuk memberikan solusi terbaik
untuk masalah ini.
Dan tak salah lagi, orang yang tepat
itu adalah dia, Gabriel Stevent. Ah, pemuda berhati malaikat itu pasti tahu
bagaimana aku harus bersikap. Menguraikan masalah pelik ini dengan caranya yang
ajaib. Aku jadi teringat betapa saat aku bertarung habis-habisan dengan buasnya
prahara yang mendera, Gabriellah yang selalu hadir pada tiap getar nadiku.
Menyalurkan kekuatan melalui ketulusannya. Pemuda berhati malaikat itulah yang
selalu menuntunku hingga berhasil bangkit lantas patas berlari mengejar mimpi.
Dia yang selalu memberi arahan kemana akan dibawa langkah kecil yang berarti
besar bagi perjalanan hidupku. Maka, pantaslah aku memilih Gabriel untuk
dijadikan orang yang tepat itu.
Aku menghampiri Gabriel yang sedang
berdiri di tepi lapangan basket, menyaksikan satu-satunya siluet yang berada di
tengah lapangan. Menggelangkan kepala. Berdecak.
“Kasihan Rio…” gumamku.
Gabriel terkesiap. Baru menyadari
seseorang sudah berdiri di sampingnya. Ia tersenyum. Mengenal suara khas itu.
“Rio ga pernah sekacau ini…” Gabriel menatap menerawang. Mendesah dan menoleh
padaku. “Kamu yang harus buat Rio kembali.”
Aku mengangkat alis. Kadang, aku
selalu kesulitan mencerna setiap kalimat yang dikatakan Gabriel. Butuh beberapa
saat atau beberapa tambahan penjelasan. Dan kali ini, sepertinya aku
membutuhkan penjelasan. Aku menanti Gabriel melanjutkan ucapannya.
“Hanya kamu yang bisa membuat Rio
menjadi Rio yang dulu. Rio yang kuat seperti matahari. Hanya kamu Ify.” Gabriel
menatap lurus lagi ke depan. Nampak Rio sedang menunduk dalam. Punggungnya
bergerak seiring nafasnya yang terengah-engah. “Selalu kamu.”
Aku menyibak rambutku yang terhembus
angin, seraya mencerna perkataan Gabriel. Ungkapan bahwa hanya diriku yang bisa
membuat Rio kembali. Mengapa harus aku? Bagiku, diriku tak akan memberi pengaruh
apa-apa. Bahkan mungkin, aku hanya akan membuat Rio semakin kacau saja. Keke
yang mampu membuat Rio bangkit kembali. Bukankah Keke yang telah melemparkannya
pada jurang kekecewaan? Maka Keke pulalah yang harus mengangkatnya kembali.
Namun berbeda dengan Gabriel. Bagi pemuda berhati malaikat itu, akulah yang
hebat. Ya, hanya aku yang bisa dan pantas memberikan uluran tangan pada Rio.
Bukan Keke. Teoriku ditolak mentah-mentah olehnya Seorang yang telah tega
menyayat hati yang lain, tak harus menjadi vaksin yang mengobati. Ingatkah
dulu, bahwa Gabriellah yang membasuh jutaan luka menganga di hatiku. Bukan Rio,
bukan pemuda yang menjadi oknum penoreh luka. Bukan. Maka kali ini pun sama.
“Pergilah!” pinta Gabriel. Mendesah.
“Tapi…” aku mengelak. Ragu.
Gabriel menggeleng. Menjawil dagu
runcing milikku. Mengulas senyum khasnya. “Ayo! Sana pergi!” ia mendorong
tubuhku ke tengah lapangan. Menghampiri Rio.
Aku menoleh. Menatap dengan tatapan
memohon. Tolong beri aku kekuatan agar bisa melakukannya. Maka Gabriel tersenyum
makin lebar dan mengangguk mantap. Ah, aku memang selalu merasa lebih kuat
mendapati senyuman khas dan anggukan penuh keyakinan dari Gabriel. Dari
pangeran hujanku. Lantas setelah aku cukup kuat, aku memberanikan diri
mendekati Rio.
Hening. Untuk beberapa saat aku
hanya diam. Bingung harus memulainya darimana. Aku melirik ke belakang, mencari
siluet Gabriel. Ah, pemuda itu sudah raip dari tepi lapangan. Aku mendesah.
Lantas desahanku pun membuat Rio tersadar bahwa ia tak lagi sendiri. Rio
mengangkat wajahnya. Mendapatiku yang tengah berdiri dengan rambut
berkibar-kibar tertiup angin. Rio menatap datar.
“Main basket yuk!” ujarku. Entah
darimana mendapatkan ide cemerlang itu. Aku memulainya dengan baik.
Sebuah bola basket bergulir dan
berhenti di ujung kaki Rio, seakan mendukung. Rio menunduk sebentar. Menatapku
kembali. Tatapannya tetap datar
“Ayo!” aku menggoyang lengan Rio.
Menunduk dan meraih bola basket tersebut. “Ayo dong! Gantian tahu! Dulu kamu
kan yang paksa aku main basket. Sekarang, aku yang paksa kamu main basket. Ayo
temenin aku!” aku berpura-pura melotot. Mencoba menjadi sedikit galak.
Rio tertawa tertahan ketika melihat
ekspresiku yang sok galak. Mengangkat bahu dan merebut bola dari tanganku.
Membawanya berlari menuju ring.
Suara bola yang beradu dengan
lapangan itu membuatku tersenyum. Awal yang baik. Aku memutar tubuh. Berlari
mengejar Rio. Mencoba mengambil kembali bolanya. Jadilah kami bermain basket
dengan sengit. Saling menghadang. Merebut. Berlomba menghasilkan poin paling
banyak. Berkejaran. Tertawa. Melupakan segala masalah yang sedang dibebankan
pada masing-masing kami. Ah, tentu saja. Dari dulu, kami selalu dapat
menyingkirkan masalah-masalah yang kami hadapi dari benak kala sedang
bersama-sama.
Tidakkah
mereka menyadari itu? Sekarang apa lagi? Ketentuan itu sudah sangat jelas.
Apa yang harus diragukan lagi dari Gabriel? Lihat! Semua
apa yang dikatakan pemuda berhati malaikat itu benar. Hanya Ify yang bisa membuat
Rio kembali -meski saat ini belum seutuhnya-. Hanya dia gadis terhebat. Begitu
pula dengan hatinya. Hanya Ify satu-satunya gadis pemilik ruang lapang di
hatinya. Tak ada yang lain. Hanya Ify, selalu Ify.
Ternyata, pemuda berhati malaikat itu belum jauh
meninggalkan mereka. Ia mengintai dari balik gedung aula. Menyaksikan betapa
hebatnya gadis itu. Hanya dengan sedikit sentuhan, ia bisa membuat kekacauan
dalam diri Rio enyah seketika. Hanya dengan sekali tepukan, ia bisa mencipta
gelak tawa. Gabriel menyandarkan tubuh pada dinding gedung di belakangnya.
Memejamkan mata.
“Tugasku sebentar lagi selesai. Maafkan aku Ify. Maaf
karena aku mencintaimu. Dan maaf karena aku hanya bisa jadi hujan untukmu.
Tidak kurang. Juga tidak lebih.”
Bukan hanya Gabriel, ada sosok lain yang juga tengah
menyaksikan dua lakon utama yang tengah ceria bermain basket. Keke. Ia
tersenyum miring, setengah dipaksakan. Lantas berbalik membelakangi lapangan.
Mendesah dan bergumam. “sekarang aku tahu, bukan aku yang selama ini ada di
hatimu Rio. Maka aku yakin, keputusan yang ku ambil ini benar.” Keke melengos
pergi.
Setelah itu, kedekatan mereka yang sempat bersekat itu
pun kembali tercipta. Disadari atau tidak, masing-masing menikmatinya.
Ternyata, mereka tengah membagi endapan rindu yang selama ini hanya bisa mereka
kecap seorang diri.
****
Bersambung