Lebih Dari Plester part 13B

Jumat, 28 September 2012

Lebih Dari Plester part 13B



Rio menginjak pedal rem kuat-kuat. Menghentikan laju mobil mahalnya di depan sebuah bangunan rumah bernuansa klasik. Itu rumah Ify. Sebelumnya, ia baru saja mengantarkan Oik pulang. Gadis itu pingsan lagi. Sekarang, ia menyambangi rumah Ify. Menjenguk gadis itu. Semoga sakitnya tidak terlalu parah. Hanya berkisar demam atau flu saja.

Yang belum Rio tahu, semuanya hanya berujung pada makna semoga. Tidak lebih satu inci pun.

“Oh, jadi ini Rio kece ya? Ify sering cerita tentang kamu. Katanya, kamu raja telat ya?”



“Eh…” Rio meneguk ludah. Berhenti sejenak untuk melangkah, lalu kembali melanjutkan seraya bersungut-sungut dalam hati. Kenapa coba malah keburukannya yang diceritakan Ify pada Zahra (Mama Ify). Aduh! Sebengal apa pun Rio, ia juga kan masih bisa berprestasi. Dia jago sepakbola, jago memanjat gerbang sekolah yang tinggi menjulang, jago menyelinap masuk kelas tanpa ketahuan satpam gendut, jago tidur di kelas tanpa ketahuan, jago mencontek saat ulangan. Eh? Prestasi dari mana?

“Ify di dalam. Kamu masuk aja! Kata Ify, kamu sering bikin Ify senyum. Jadi, Tante percaya kamu ga akan apa-apain Ify. Tante tinggal dulu ya!” Zahra undur diri.

Selepas Zahra pergi, Rio langsung meraih kenop pintu dihadapannya. Memutarnya. Barulah pintu terbuka. Dilihatnya Ify tengah terlelap di belakang selimut bergambar Dora. Tanpa menimbulkan suara apa pun, Rio masuk ke ruangan itu. Tak mau kedatangannya mengusik Ify dari tidurnya.

Kemudian, Rio mengambil tempat di tepi ranjang yang tengah ditiduri Ify. Dari sana, Rio menatapi ekspresi wajah Ify. Gadis itu seperti sedang tidak sakit. Hela nafasnya teratur sebagaimana biasanya. Dia nampak baik-baik saja. Polos apa adanya. Ah, dalam keadaan tidur atau pun tidak, gadis itu selalu nampak polos. Dan menggemaskan tentu saja.

"Cepat sembuh ya Ify cantik! Cepat sekolah juga! Biar gue ga duduk di depan terus. Tadi aja, gue terpaksa melotot pas pelajaran matematika. Bete tauuu!" Rio bermonolog. Lantas terkekeh pelan. Garing juga ternyata. Bakat menyenangkannya sama sekali tidak berguna jika yang diajak bicara diam saja. Tidur. Ah, mana bisa orang tidur menertawakan lawakannya. Kalau bisa, ngeri juga kali.

Daripada diacuhkan terus oleh Ify yang tengah lelap mendengkur, Rio memilih melakukan hal lain. Mengamati satu persatu foto berbingkai yang memenuhi dinding ruangan. Ada foto Ify bersama Mama dan Papa. Foto Ify saat bayi, lucu memeluk botol susu. Foto Ify ketika kanak-kanak, ceria menaiki sepeda beroda tiga. Foto Ify ketika bangga memegang piala, dikerubuti teman-temannya yang juga turut bangga. Dan masih banyak lagi, entah berapa jumlahnya. Rio malas menghitungnya. Dia kan tidak suka berhubungan dengan angka-angka. Pusing. Makanya, nilai matematikanya selalu tepat di angka standar kelulusan minimal.

Pemuda itu menganggukan kepalanya. Fakta yang tak seorang pun tahu tentang kegemaran Ify baru saja didapatkannya. Ah, itu karena Ify tak pernah menonjolkan kegemaran uniknya itu. Juga, karena Rio adalah orang pertama yang bisa leluasa masuk ke kamar Ify (karena bisa jadi, untuk hal yang lainnya, ia tidak akan bisa menempati posisi pertama). Bahwa Ify gemar bergaya di depan kamera. Gadis itu banci kamera. Narsis luar biasa. Dilihat dari beberapa fose yang cukup nyentrik. Mungkin, Rio bisa meminta Mami untuk membelikannya sebuah kamera. Agar dia bisa mengabadikan setiap gerak tubuh Ify. Ah, Mami kan wanita paling baik sedunia. Rio minta dibelikan kapal terbang pun, sepertinya akan langsung dipenuhi.

Lengang. Suara-suara menguap di langit-langit kamar. Rio diam. Kembali menatap nanar wajah Ify. Ayo bangun Ify! Rio berteriak dalam hati. Segeralah buka kedua matamu! Ayo lekas sembuh! Biar bisa bermain sepakbola bersama lagi. Rio janji, nanti akan ia jepret Ify kalau sedang menendang bola. Nanti, kalau Mami sudah membelikannya kamera. Makanya, cepat bangun Ify!

Samar Rio mendecakkan lidahnya. Mana mungkin Ify bangun kalau ia hanya berteriak dalam hati. Bodoh! Bukan, Rio hanya ingin Ify terjaga dengan sendirinya. Bukan karena ia yang mengusik.

Rio masih memaku tatapannya pada wajah Ify. Lalu baru menyadari, posisi Ify saat itu tengah memeluk sebuah boneka. Rio menyipitkan sepasang pelihatnya. Kini, ia tahu boneka apa yang tengah didekap begitu erat oleh Ify. Boneka dinosaurus berkaus merah muda. Rio memejamkan mata. Merasa ada yang tidak beres bergelung di hatinya. Sesak mencekat ruang di dadanya.

Rio hafal betul riwayat boneka dinosaurus itu. Dibeli Sivia di suatu pusat perbelanjaan ketika dirinya, Oik, dan Sivia jalan-jalan. Sivia mengorbankan uang jajannya selama seminggu untuk membeli boneka itu. Lantas keesokan harinya, Sivia menghadiahkan boneka menggemaskan itu pada Gabriel. Katanya, imbalan karena sudah mau menerima banyak sekali plester darinya. Tiga tahun berlalu, entah dirasuki setan apa, Gabriel memberikannya pada Ify. Sungguh, Rio tak habis pikir, mengapa Gabriel melakukannya. Gabriel bisa memberikan boneka yang lain pada Ify. Bukan malah pemberian Sivia ia berikan pada gadis lain. Mengapa otak jenius itu tak digunakan Gabriel dengan baik? Kalau memang ia sudah tidak mau berurusan dengan semua tetek bengek yang berhubungan dengan Sivia, ia bisa membuangnya. Bakar sekalian menjadi abu. Semoga saja dengan itu, perasaannya ikut berubah. Terkikis menjadi butiran debu. Dasar ceroboh! Kalau sampai riwayat sang boneka terungkap, sudah dipastikan bahwa dua hati akan terluka. Sivia. Juga Ify.

Sivia. Gadis itu pasti akan menjadi pemilik hati yang paling dipecundangi. Boneka yang untuk mendapatkannya saja, Sivia harus merelakan uang jajannya, diberikan begitu saja oleh Gabriel pada seorang gadis asing. Asing karena mereka belum lebih dari tiga bulan saling mengenal. Lancang sekali. Kini, Sivia kembali. Tadi siang, Rio melihat Sivia tengah berduaan dengan Gabriel. Menunaikan janji yang dulu ia titipkan pada Gabriel. Lalu bagaimana kalau Sivia tahu tentang Ify? Hubungan Gabriel dan Ify yang sudah sebegitu akrab (Rio juga selalu cemburu melihat keakraban itu). Ify yang berhasil 'mencuri' plester dinosaurus terakhir yang didapat Gabriel dari Sivia. Ify yang melonggarkan genggaman Gabriel dari masa lalu, membuat sang masa lalu lolos melalui sela-sela jemari. Ify yang mungkin tak secantik Sivia, tapi berhasil membuat Gabriel melakukan segalanya. Bahkan hal memalukan, seperti turun ke jalanan. Apakah Sivia akan marah? Atau mungkin kecewa? Karena Rio tahu betul, Sivia gadis terlembut yang pernah dikenalnya.

Ify. Ify cantiknya. Itu pun kalau memang Rio masih berhak memanggilnya dengan sebutan yang manis itu. Bagaimana kalau ia tahu bahwa boneka yang dipeluknya dengan sayang itu tabu untuk dimilikinya? Bagaimana kalau ia tahu siapa Sivia? Sadar, kalau ternyata dia telah merebut Gabriel secara halus dari Sivia. Apakah ia akan mengutuk dirinya yang polos itu? Mengingat, Ify tak pernah menyalahkan siapa pun atas masalah yang menimpanya. Semua ia limpahkan teruntuk dirinya sendiri. Lalu sebenarnya, apa yang dirasakan Ify pada Gabriel? Mungkinkah ia menyayangi pemuda itu? Sama seperti halnya ia menyayangi boneka dinosaurus itu. Lantas, apakah Ify akan mendekap erat Gabriel kalau pemuda itu hendak kembali pada Sivia? Atau malah membiarkannya. Menjadikan itu hukuman atas kelalaiannya. Kalau pilihan pertama yang diambilnya, lantas bagaimana dengan Rio? Rio tidak pernah merasakan patah hati karena seorang gadis. Semenjak ia mengakhiri hubungannya dengan Oik hampir satu tahun yang lalu, ia justru menjadi pedang bermata dua untuk setiap gadis yang mendekatinya. Kini, ia menjadi bumerang untuk hatinya sendiri. Bersiaplah hati itu patah oleh perasaan yang mendekam di dalamnya.

"R-Rio..."

Suara serak itu hampir saja membuat Rio mencelat. Ia terkejut bukan main. Maklum, pemuda itu tengah sibuk melamun. Saking sibuknya, Rio sampai tidak menyadari bahwa Ify telah terjaga sejak lima menit yang lalu. Memerhatikan wajah Rio yang aneh ketika melamun.

"Lo udah bangun Fy?" Rio menggaruk tengkuknya. Aduh, kenapa ia jadi salah tingkah?

Ify mengubah posisinya menjadi duduk. Menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Boneka dinosaurusnya tetap ia pegang, seperti enggan kehilangan. "Sejak kapan di kamar Ify? Udah lama ya? Kenapa ga bangunin Ify? Kan kasian Rionya nunggu lama. Nanti ga kece lagi dong!"

Rio sempat mengerutkan kening. Keadaannya sungguh tidak menghambat kecerewetannya. Gadis itu tetap riang berceloteh. Walau kali ini, Rio jelas mendengar suara Ify yang agak serak. Tapi sejurus berikutnya, ia menimpali celotehan Ify dengan gaya tengilnya. "Kece gue kan permanen Fy! Nunggu ampe lumutan pun, kece gue ga akan hilang."

"Huuu!" sebuah bantal melayang menghantam wajah Rio. Refleks dilempar Ify. Tapi berhasil ditepis Rio. Hingga bantal tanpa dosa itu jatuh tersungkur di atas lantai. Ify terkikik pelan. Rio mengulum bibir.

"Fy, lo sakit apa sih?"

Bungkam. Ify mendesah kentara. Menggelengkan kepala, seraya menyingkirkan sejumput rambut yang entah kenapa bisa menempel di bibirnya. Ify juga tidak tahu nama penyakit yang ia derita. Tapi kata dokter, mata Ify sakit parah. Gadis itu nanar memandang wajah ingin tahu Rio.

"Well!" Rio mengubah air mukanya. Ia simpan dulu rasa penasarannya. "Cepat sembuh ya Ify cantik! Merana gue kalau ga ada lo di sekolah." Rio mengusap ubun-ubun Ify dengan lembut.

"Sebenarnya, Ify sudah sembuh. Tapi dokternya aja yang rese. Nyuruh Ify istirahat selama seminggu." Ify melipat tangannya di depan dada. Mengulum bibir lucu.

Rio tertawa menyeringai. Geli melihat lubang hidung Ify yang mengembang dan mengempis secara bergantian. Ah, lihat! Bahkan penyakit Ify tak nampak oleh kasat mata. Ia terlihat jauh lebih sehat dari orang sehat sekalipun.

Rio kemudian menghentikan gelak tawanya. Menyadari apa yang Ify ucapkan tadi. Bahwa minggu depan Ify baru bisa masuk sekolah lagi. Rio berkata "Yahh" lemas. Itu berarti, satu pekan penuh dirinya harus duduk di depan kelas. Ya Tuhan! Eh, Rio mengerjap. Teringat suatu hal.

"Fy, minggu depan ada pertandingan sepakbola di sekolah. Lo bisa nonton, kan?" Rio memasang tampang berharap. Mengangkat kedua alisnya.

Cepat Ify mengangguk. Tentu saja ia bisa. Ia kan suka menonton sepakbola. Ah, bermainnya saja Ify suka. Kemarin, dia juga bermain sepakbola bersama Gabriel, Ray dan kawan-kawan di lapangan pinggir kota. Lagipula, minggu depan masa rehat gadis itu telah berakhir. Ha? Ify menggigit bibirnya. Nanar melirik boneka dinosaurus yang manis bertengger di pangkuannya. Pikirannya melayang jauh mengingat seseorang. Gabriel. Di mana dia sekarang? Apakah pemuda itu tak khawatir pada Ify? Tahukah ia apa alasan Ify tidak sekolah? Kalau seandainya tidak, mengapa ia tak berusaha mencari tahu? Dia kan jenius. Dan kalau memang tahu, mengapa ia tidak hadir menjenguk Ify? Malah Rio yang datang. Padahal Ify sangat berharap Gabriel menjadi orang pertama yang datang menengok keadaannya. Sebagaimana ia yang telah menjadi pemuda pertama yang berhasil menyentuh hati sederhana itu. Tapi sekarang, pemuda itu di mana? Ify butuh dia. Ify takut 'sendiri'.

"Fy..."

Suara baritone itu mengaburkan lamunan Ify. Gadis berhidung mancung itu terkesiap. "Eh... Iya. Maksud Ify, buku PR Ify mana ya?" Ify melontarkan pertanyaan yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan apa yang dilamunkannya. Ah, barusan Ify asal bertanya. Apa saja yang lidahnya kehendaki.

Rio mengerenyit bingung. Aduh Ify! Kenapa gadis itu jadi sok jenius seperti Gabriel? Kalau Rio sakit, Rio sih malas memikirkan PR. Mending juga tidur. Terus, minta Mami membuatkannya sup wortel. Bukan apa-apa, Mami memang hanya bisa memasak sup wortel saja. Mentang-mentang Dokter mata. Eh, tapi bukankah sakit atau tidak, Rio tetap malas mengerjakan PR? Pemuda itu berdecak.

"Rio kece, buku PR Ify mana?" Ify merengut. Menarik lengan kemeja Rio.

"Aduh Ify cantik!" Rio meringis sok kesakitan. "Buku lo ada di Gabriel."

Gabriel? Ify kembali tergugu mendengar nama itu. Kalau buku PRnya ada di tangan Gabriel, sudah pasti pemuda itu akan datang ke rumahnya, untuk menyerahkan buku PR. Ify tersenyum. Ia selalu berprasangka baik pada setiap orang. Terkhusus pada Gabriel. Bagi Ify, apa yang dilakukan Gabriel selalu baik. Kalaupun buruk, selalu ada pemahaman baik di belakangnya.

Entah karena apa, detik berikutnya, Ify melayangkan kembali sebuah bantal empuk ke arah wajah Rio. Membuat pemuda itu mencelat, dan berlaga sok marah. Galak mengembalikan bantal itu. Jadilah mereka saling melempar bantal. Seru bermain perang-perangan.

Hingga waktu serasa cepat habis termakan. Pukul setengah enam sore. Rio harus segera pulang. Dia ada janji dengan Mami. Makan malam bersama beberapa rekan Mami sesama dokter mata. Semoga saja, menu makanannya tidak terbuat dari wortel. Masa cowok sekeren Rio makan wortel terus. Memangnya Rio kelinci?

Maka sepeninggal Rio, Ify menyendiri di kamar. Tidak apa, ada boneka dinosaurus. Alasan untuk menolak Mama yang hendak menemani. Ia memilih berkutat dengan buku-buku koleksinya. Membaca diiringi lantunan lagu dari penyanyi favoritnya -Gita Gutawa yang mengalun melalui mp3nya.

Namun disela kesibukannya, Ify sempat berkali-kali mengintip ke luar dari balik jendela. Rutin dilakukan, ketika sayup terdengar suara mesin kendaraan berhenti di depan gerbang rumahnya. Berharap, bahwa Gabriellah yang menyambangi rumah. Mengembalikan buku PRnya sekaligus menemuinya. Memberikan jawilan khas pada caping hidung mancungnya. Atau apa saja. Asal ia bisa melihat siluet Gabriel. Cukup itu saja. Tapi ternyata keinginan sesederhana itu pun tak kunjung terkabulkan. Hingga larut malam, pemuda yang diharapkan Ify tidak juga datang. Entah dimanalah ia. Ify lelah menunggu. Ia memejamkan mata. Tertidur pulas hingga pagi menjelang.

Ify tidak tahu, bahwa ketika ia terlelap, pemuda itu datang. Meletakan buku PRnya di meja belajar. Menjawil pelan caping hidungnya. Lalu merapalkan segunung doa untuk kesembuhannya. Setelah itu, ia melengos pergi. Meminta Zahra untuk tidak memberitahukan datangnya ia ke rumah. Biarkan. Ify tidak perlu tahu. Karena Gabriel belum tahu, apa masih bisa ia mencurahkan segala bentuk perhatiannya pada Ify, ketika gadis itu sadarkan diri.
Tapi Ify akhirnya tahu. Ia akan selalu tahu.

***

Apa perlu Gabriel terjun dari lantai teratas gedung pencakar langit untuk meyakinkan dirinya bahwa ia sedang tidak bermimpi? Karena hanya dengan menampar pipinya sendiri, ia masih merasa seperti tengah bermimpi. Mengigau bertemu kembali dengan gadis plesternya. Menyentuh kelopak mata dan pipi pualam sang gadis. Mengapa Gabriel sangat sulit memercayainya? Karena ternyata, gadis itu kembali ketika ia hampir sepenuhnya merelakan. Berpaling memilih gadis lain yang lebih membutuhkan (tanpa sadar, gadis itu juga dibutuhkan Gabriel).

Lalu bagaimana urusannya? Bagaimana kalau nanti ia terlena untuk menutup celah-celah menganga yang hampir menghapus segala bentuk cerita masa lalunya? Karena ketika itu benar-benar terjadi, tak ada lagi ruang yang tersisa untuk menampung rasa lain. Ia hanya akan mengecap satu rasa. Satu-satunya dari gadis yang sama dengan yang ada di masa lalunya. Gadis plester yang berwajah bidadari. Masa bodoh dengan gadis polos yang aneh itu. Dia aneh. Dia seperti alien.

Tapi semua ternyata berbeda. Kalau saja gadis plesternya lebih cepat beberapa bulan saja, tidak akan begini jadinya. Kurang dari tiga bulan silam, genggaman itu masih Gabriel jaga dengan ketat. Gadis aneh itu juga belum mencuri perhatiannya. Bahkan ia membenci tingkah anehnya. Sudah dikatakan, gadis itu seperti alien.

Ah, justru kini, tingkah alien itulah yang mengawali setiap langkah yang ia susuri. Menapaki setiap jejak menuju masa depan.

Ya, Ify adalah bagian dari masa depan yang dijanjikan kehidupan. Sedangkan Sivia adalah bagian dari sepenggal masa lalu yang semestinya ia onggok sampai mati.

Ini hanya masalah waktu. Karena kini, hati itu masih ragu. Nanti, ketika ia sudah berhasil menguraikan rajutan kisah masa lalu yang  lancang mengganggu masa depannya. Ketika itu, hatinya benar-benar yakin pada siapa seharusnya ia mempercayakan hatinya. Mengucurkan segala bentuk kasih sayangnya.

Gabriel butuh waktu. Mungkin seminggu. Selama Ify tidak berkeliaran di sekitarnya. Ia hendak menguji hatinya. Apakah akan ketar-ketir hingga hampir mati kalau Ify tidak rusuh mengganggu dirinya, minta bercerita tentang dinosaurus yang ditukar. Apakah juga ia akan risau, kalau Ify tidak lagi genit mengerjapkan mata padanya. Dan apakah ia akan merasa kehilangan yang mendalam, ketika ia tidak bisa menjawil caping hidung yang menggemaskan milik Ify. Maka setelah rasa ketar-ketir, risau dan sakit itu bersatu padu, ragu pun akan lenyap tertelan. Menyembul kepercayaan, bahwa yang menyesaki seluruh ruang yang ada di hatinya hanya Ify. Wajah polos Ify, caping hidung menggemaskan Ify, kerjapan mata genit Ify, tingkah alien Ify, dan semua tentang Ify.

Begitulah Gabriel menyimpulkan. Bersabarlah untuk seminggu saja. Tidak kurang. Tapi mohon, kalau sampai melewati jatuh tempo, jangan berhenti bersabar. Karena sabar yang tak berujung, akan membuahkan kebaikan.

***
Banyak sekali yang terjadi dalam rentang satu pekan pada hampir semua lakon dalam kisah ini.

Ify. Tak ada yang berubah darinya. Ia tetap gadis polos nan ceria. Tak peduli ia kehilangan dunia luar yang menyenangkan selama seminggu penuh. Karena tanpa ia harus melihat semuanya secara langsung pun, ia masih bisa mendengar. Setelah itu hatinya akan ikut andil dalam prosedur merasakan. Jadi, melihat atau tidak, Ify akan tetap bahagia. Gadis itu sungguh tidak boleh takut. Setelah waktu itu Rio datang menjenguknya, keesokan harinya, Rio kembali datang. Tapi ia tidak sendiri. Oik turut serta. Gadis itu langsung menghambur merengkuh tubuh Ify. Histeris menangis. Tersaruk meminta maaf atas sikap aniayanya. Ify sempat bingung mengapa Oik melakukan itu. Oik kan tidak pernah jahat padanya. Kalau Oik sering mendelik padanya, itu kan memang karena watak Oik yang agak jutek. Ify bisa maklum. Selain itu, Oik tidak pernah sekalipun menyakitinya. Mana pernah Oik mencubitnya. Jadi, mengapa dia meminta maaf.

"Oik tidak usah minta maaf. Oik kan tidak punya salah. Kalaupun memang punya, Oik tetap tidak usah minta maaf. Oik kan temannya Ify. Ketika Oik melakukan kesalahan, Ify akan langsung memaafkannya. Teman itu adalah orang yang tak pernah segan memberikan maaf tanpa diminta."

Menceloslah hati Oik ketika mendengar betapa polosnya Ify ketika mengucapkan itu. Bagaimanalah ia tidak perlu meminta maaf? Kalau dari jauh-jauh hari Ify sudah menganggap dirinya teman. Sementara ia? Menyukai keberadaan Ify saja tidak. Apalagi berteman. Oik malu pada dirinya sendiri. Mengapa bisa ia sehina itu? Ah, semuanya karena Sivia. Gadis itulah yang membuat Oik buta oleh segala macam kepercayaan yang sesungguhnya tak bertuan. Oik benci Sivia.

Maka setelah itu, Oik rajin datang ke rumah Ify sepulang sekolah. Tak perlu diantar Rio. Ia selalu membawa banyak hadiah setiap harinya untuk Ify. Lolypop jumbo, kupluk lucu, cupcake dengan hiasan krim yang cantik, jepitan rambut beledu, satu kotak pisang keju. Dan di hari keenam, Oik membawakan satu set alat gambar; pensil, buku gambar, dan crayon. Kata Oik, Ify harus merasakan sensasi menggambar. Seru dan menyenangkan. Ah, itu kan karena Oik hoby menggambar. Tapi Ify tak pernah protes. Ia menerima semua pemberian dari Oik dengan senang hati, berterimakasih. Kesediaan Oik untuk menemani Ify setiap hari saja, sudah sangat membahagiakan. Ditambah dengan hadiah-hadiah itu. Ah, buncahlah hatinya oleh bahagia.

Oik. Gadis itu pada awalnya mengutuk dirinya sendiri. Tapi ia lalu sadar, bahwa itu semua tak pernah ada gunanya. Selain hanya membuatnya semakin terpuruk. Harusnya, ia melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Maka ia membujuk Rio agar mau mengantarkannya ke rumah Ify. Membuat pemuda itu terpaksa bolos berlatih sepakbola. Ia hendak meminta agar Ify memberikannya sepucuk maaf atas segala khilaf. Tapi Ify justru menjejalinya dengan segudang maaf. Melebihi semua yang dipintanya. Ah, jadilah Oik menebus semua itu dengan menemani Ify setiap hari. Bercerita tentang semua yang terjadi di sekolah. Meminjamkan catatan pelajaran, menjelaskan ketika ada materi yang belum dimengerti oleh Ify. Membawa beberapa benda untuk dihadiahkan pada Ify. Lalu berfoto. Ah, Oik ternyata sama narsisnya seperti Ify. Mereka berdua banci kamera. Menggila ketika sebuah lensa hendak membekukannya. Sungguh sepasang teman yang serasi.

Rio. Bagi pemuda itu, jangka waktu seminggu tak jauh beda dengan sewindu. Lama. Lama sekali. Ah, Rio merana. Hampir tiga bulan ia enak duduk di pojok ruangan. Tidak ketahuan kalau tidur atau mencontek. Dan sekarang, ia terpaksa duduk lagi di tempatnya yang dulu bersama Gabriel yang menyebalkan atas dasar hukuman. Ah, hukuman apa pula ini? Tidak seru. Kalau disuruh mengepel, baru seru. Rio kan jadi bisa bermain air. Ah, tapi bukan Rio namanya kalau ia bersedih dan meratapi nasibnya yang -menurutnya buruk. Rio tetap menjadi Rio yang santai. Terlalu santai bahkan. Rio mengikuti latihan sepakbola setelah jam pelajaran terakhir usai. Bersama rekan-rekan satu timnya, Rio mempersiapkan diri untuk pertandingan yang akan segera digelar di sekolah mereka. Itulah sebabnya ia alfa menjenguk Ify. Padahal, ia ingin sekali bermain perang bantal lagi bersama gadis itu. Ah, Rio rindu Ify. Namun rindu itu ditekan kuat-kuat oleh Rio. Semuanya demi pertandingan sepakbola. Bukankah nanti, Ify akan melihat penampilannya ketika beraksi di tengah lapangan? Jadi, Rio wajib berlatih semaksimal mungkin.

Tapi ternyata, yang paling keras berlatih sepakbola bukanlah Rio, melainkan Gabriel. Ia seperti sedang mengalihkan perhatiannya dari berbagai masalah pelik kisah romansanya. Pikirannya melulu tentang sepakbola, sepakbola, dan sepakbola. Tidak ada yang lain. Tapi ternyata, itu semua hanya berlaku ketika ia berada di tengah lapangan. Ketika kakinya tidak menjejak rumput, maka hukum itu tidak ada artinya. Kembali kisah cintanya yang merajai. Tentang Ify, dan Sivia. Dua gadis yang membuat otaknya seakan dihantam sebuah godam. Hampir hancur berantakan. Dua gadis yang berusaha ia hindari. Ify, sengaja Gabriel menjenguk Ify hanya sekali, itu pun ketika Ify sudah tidur. Esok, esoknya lagi, hingga kini, ia belum pernah melihat wajah polos Ify lagi. Ia belum siap. Dan kalau Sivia, karena gadis itu satu sekolah dengannya, maka kemungkinan mereka bertemu tidaklah sedikit. Oleh karena itu, Gabriel sangat berhati-hati. Sebisa mungkin ia tidak berkeliaran di sekolah. Diam di kelas, berlatih di lapangan. Dan kalau memang ia diharuskan berkeliaran, lalu kebetulan berpapasan dengan Sivia, ia akan cepat-cepat kabur. Melarikan diri kemanalah. Asal tidak didapatinya gadis wajah bidadari itu di sekitarnya. Karena ternyata, wajah bidadari itu masih menyisakan sedikit banyak magisnya. Apalagi sepasang bola coklat yang sangat disukainya. Sungguh menggoda. Ia sedang bermain kucing-kucingan.

Dan apa yang terjadi dengan Sivia? Ah. Selepas pertemuan keduanya dengan Gabriel, perubahan mulai muncul dari dirinya. Ia jadi lebih pendiam. Beberapa kali dipergoki sedang termenung sendirian. Menopang dagu seraya menatap menerawang. Sentuhan lembut pada kelopak matanya tempo lalu, ternyata berdampak begitu besar untuknya. Otak dan hatinya serasa dikoyak. Menimbulkan pusing dan mual yang luar biasa. Tapi mengapa? Memangnya apa hubungan dirinya dengan pemuda itu? Bukankah tahu namanya saja, ia tidak. Lalu mengapa hatinya sangat amat hapal dengan gesture sentuhan itu? Seperti sering didapatinya di suatu waktu. Apakah mungkin pemuda yang tanpa sadar ia panggil ‘ceroboh’ itu adalah sosok pengisi masa lalu yang hilang bersama tumornya? Itu sebabnya ia sama sekali tidak bisa mengingat sedikit pun tentangnya? Hanya alam bawah sadar yang masih menyimpan ingatan itu dalam ruang yang hanya dapat dijamah oleh sebuah keniscayaan. Maka Sivia mengorek segala informasi tentang pemuda itu. Patton narasumbernya. Sivia bertanya banyak pada teman sekelasnya yang ramah itu. Nama pemuda itu adalah Gabriel Stevent. Dia seorang kapten sepakbola sekolah. Juara umum semester lalu. Salah satu dari sekian banyak siswa jenius yang sekolah di sana. Hanya informasi itu yang didapatkannya dari Patton. Patton hanya kenal sepintas, jadi dia tidak tahu-menahu tentang yang lainnya, seperti kehidupan pribadi dan masa lalunya. Sivia berterimakasih pada Patton, walau tak seberapa banyak membantu. Tapi paling tidak, ia sudah tahu siapa dia. Gabriel. Salah satu nama yang selalu diceritakan dalam e-mail yang diterimanya dari gadis bernama Oik. Lantas Sivia membaca ulang semua e-mail-e-mail itu. Semua yang dikatakan Patton, sama dengan apa yang tertulis pada e-mail. Bahwa Gabriel terpilih menjadi kapten sepakbola, menyabet gelar juara umum, dan mengikuti beberapa perlombaan fisika dan matematika; dia benar-benar jenius. Lalu mungkinkah Gabriel yang ia temui di sekolah, adalah Gabriel yang ada pada e-mail? Kalau iya, berarti pemuda itu adalah Gabrielnya.

Dan kalau Sivia berubah, maka dampaknya akan  terjadi juga pada Cakka. Cakka merasa bahwa akhir-akhir ini, Sivia terkesan menjauhinya. Padahal dulu, mana pernah Sivia bersikap seperti itu. Malah, ia suka merajuk ketika Cakka dekat dengan orang lain selain dirinya. Berlaga sok cemburu. Cakka curiga dengan perubahan sikap Sivia. Apalagi tak jarang ia memergoki Sivia tengah berduaan dengan Patton. Ah tapi ketika ia bertanya pada Patton, mereka tidak ada hubungan apa-apa. Kalau sering mereka terlihat berdua, itu karena Sivia ingin mengetahui banyak tentang sekolah barunya. Sivia tahu kalau Patton pencerita yang baik. Ya, pemuda itu sama sekali tidak menyinggung perihal Gabriel. Sivia sudah mewanti-wanti agar merahasiakan tentang Gabriel pada Cakka. Sivia tahu Cakka akan marah dan kecewa padanya. Ia takkan sampai hati.

Dan seminggu kini telah berlalu. Masing-masing lakon harus melanjutkan kembali kisah klasik yang sangat sederhana ini. Menapaki setiap jejak yang akan membawa mereka pada penghujung kisah yang telah menanti mereka pada suatu masa.

***

Lapangan sepakbola menjadi tempat paling favorit di sekolah mereka hari ini. Sejak tadi pagi, hampir semua penghuni sekolah sudah memadati tempat itu. kesebelas pemain init, ditambah pelatih dn beberapa pemain cadangan tengah melakukan persiapan terakhir, sebelum akhirnya pertandingan persahabatan dengan SMA yang selalu menjadi menjadi saingan sekolah mereka dalam segala bidang dihelat. Seraya menunggu kedatangan tim lawan yang dikabarkan akan tiba sekitar lima belas menit lagi. Sisanya berjejalan di bangku penonton, mencari tempat paling strategis untuk menyaksikan pertandingan yang pasti akan menyenangkan sekaligus menyenangkan.

Sementara itu, Ify baru saja tiba di kelas yang ternyata kosong-melompong. Celingak-celinguk Ify mencari teman-temannya. Aduh, mereka kemana? Ify kira ia sudah terlambat. Dikarenakan tadi ia harus memeriksakan kondisi tubuhnya pada dokter Keke dahulu. Dan setelah dokter cantik itu memastikan bahwa tubuh Ify sudah cukup kuat, barulah ia berangkat sekolah. Lengkap diantar Mama dan Papa. Tapi kenapa ruang kelasnya lengang? Bu Winda juga tidak ada. Padahal, Ify kan rindu matematika.

Apa jangan-jangan hari ini libur ya? Tapi di kalender yang sempat diliriknya sepintas tadi, tanggalnya tidak merah. Lagipula, tempat parkir juga penuh oleh mobil dan motor –sepeda juga ada milik para siswa. Jadi tidak mungkin libur.

Ck. Ify menghentakkan kakinya ke lantai. Mereka kemana sih? Tega benar mengerjai Ify. Ah, atau bahkan mereka lupa pada Ify? Mentang-mentang seminggu penuh ia tidak sekolah. Menyebalkan.

Gadis itu mengulum bibir. Awas saja kalau sampai nanti bertemu, Ify jitak satu-satu.

Saat Ify sibuk mengumpat, tiba-tiba ponselnya bergetar. Panggilan masuk. Ify merogoh tasnya. Mengeluarkan ponsel yang langsung ia tekan tombolnya. Mulai berbicara.

“Ha…”

Ify baru saja akan membuka perbincangan, ketika si penelepon yang entah dimanalah langsung menyambar tanpa ampun. Cerewet berceloteh.

“aduh! Ify! Lo dimana sih? Pertandingan sepakbolanya kan udah mau mulai. Sebentar lagi pemain lawan sampai. Pasti pada kece. Ah, tapi kan elo udah punya Gabriel. Atau Rio? Ahaha… Oh ya, ada penampilan dari…”

Ponsel yang sebenarnya sudah lumayan jadul itu dijauhkan dari telinga tepat beberapa jurus setelah ia mendengar dua nama pemuda yang mengisi hatinya beberapa terakhir. Namun nyatanya, nama pemuda pertamalah yang membuat hatinya berdesir. Mungkin pemuda itu menghabiskan hampir semua ruang yang ada di hatinya. Besar dan lapang pula. Gabriel. Ify tersenyum. Malu-malu menangkupkan telapak tangan pada wajahnya yang menyemburat merah. Lah, kenapa harus malu? Ify kan sedang sendiri.

“IFY? IFY? IFYYYYY!!! Aduh, elo masih disana, kan? IFYYY!!! WOOOYY!!”

Ify terkesiap mendengar suara yang menjerit-jerit dari ponsel jadulnya. Baru sadar, sambungan telepon belum diputuskannya. Ify nyengir tanpa dosa. Menempelkan kembali sang ponsel pada daun telinganya.

“Oik, Ify segera kesanaaaa…” Ify berteriak dengan suara cemprengnya. Langsung menekan tombol berwarna merah. Berlari keluar kelas. Bergegas menuju lapangan sepakbola.

Ketika Ify melangkah dengan cepat, Ify kembali mengumpat. Kini, teruntuk dirinya sendiri. Aduh! Kenapa Ify bisa lupa akan pertandingan sepakbola hari ini ya? Padahal, Rio sudah memberitahunya jauh-jauh hari. Bukankah tadi malam ia sampai susah tidur, karena tak sabar ingin menonton pertandingan sepakbola? Yang lebih utama, ia tak sabar untuk bertemu Gabrie;. Menghempaskan bermilyar liter tetes rindu yang meluberi hatinya. Ah, ternyata apa yang dikatakan dokter Keke tadi berdampak negative bagi kerja otaknya. Harusnya ia tidak pernah tahu saja. Biarkan ‘kejutan’ itu datang tanpa sepengetahuannya. Seperti ia yang tak pernah tahu, mengapa ia bisa jatuh pada cinta seorang yang tak pernah sepintas pun terbersit dalam benaknya. Pemuda paling galak seluruh dunia.

Dan oleh karenanya, Ify tidak ingin ada orang lain lagi yang mengetahuinya. Biarlah hanya Mama, Papa dan dokter Keke saja yang tahu. Yang lain tidak –atau belum berhak.

***

Ify sampai di lapangan bertepatan dengan kehadiran para pemain lawan. Jadilah suasananya makin ramai. Ditambah dengan sekelompok gadis-gadis yang lincah beraksi di tengah lapangan, sebagai sambutan atas kedatangan tim lawan. Jungkir balik, melompat, membuat piramid, dan entah apalah yang lainnya. Mereka anggota cheers. Ify pernah bermimpi menjadi salah satu dari mereka. Berdiri di puncak paling tinggi dari pormasi. Ah, tapi Ify sadar diri. Tubuhnya sama sekali tidak lentur. Jadi, Ify lupakan mimpinya itu. Lagipula, tanpa harus bersalto ria, ia sudah menjadi pusat perhatian banyak orang. Kepolosan yang alami itulah yang tak pernah disadari menjadi daya tarik Ify.

Dan ketika Ify sudah hampir mencapai lapangan, samar dilihatnya siluet Gabriel dibalik kerumunan. Ify hendak menghampirinya. Merangsek menerobos kerumunan. Seraya berteriak dengan suara cempreng memekakan telinga. Sayang, ia tidak cukup kuat  untuk membelah jejalan manusia itu. Ia malah terjerembab jatuh. Hampir saja terinjak kaki-kaki yang antusias menghapus jarak menuju lapangan. Ify mengulum bibir. Lantas bangkit dan menyingkir.

"Gabrieeelll!" sekali lagi Ify berteriak. Tapi hasilnya sama. Gabriel tetap tidak mendengarnya.

Maka Ify memutar tubuhnya. Sudahlah. Nanti saja menemui Gabrielnya, setelah pertandingan usai. Lagipula, Ify ngeri melihat teman-temannya berjejalan. Enggan merangsek lagi. Takut terbanting lagi. Ify akhirnya memutuskan mencari Oik saja. Bersama gadis itu ia akan menyaksikan pertandingan sepakbola. Pasti seru. Pikirnya.

Namun sungguh, Gabriel bukan tidak mendengar. Itulah salah satu fungsi dari hati. Selain merasakan, hati juga bisa mendengar. Menangkap suara yang tak dapat ditangkap gelombangnya oleh gendang telinga. Sungguh, Gabriel mendengarnya.

Lantas sirna sudah segala kegelisahan yang sebelumnya menggantung di langit-langit hatinya. Sebab dari ketidakhadiran Ify. Ah, bukankah tenggang waktunya mengasingkan diri telah habis? Seminggu telah berlalu. Harusnya, Ify ada di sini. Apa gadis itu tidak ingin melihatnya beraksi di tengah lapangan hijau? Padahal, ia telah menyiapkan berbagai macam tendangan agar si kulit bundar dapat bersarang di gawang lawan. Atau jangan-jangan, Ify belum sembuh? Masih harus beristirahat beberapa hari. Kalau hipotesis keduanya benar, Gabriel bersumpah akan mengutuk dirinya sendiri.

Tapi kedua prediksinya terpatahkan. Sudah pasti Ify ingin sekali melihat Gabriel bermain sepakbola. Gabriel mestinya tahu itu. Tak pernah ada satu gerakan pun dari Gabriel yang tak ingin dilihat Ify. Sungguh, Ify ingin 'melihat'. Terus-menerus 'melihat'. Dan jelas-jelas Ify sudah 'sembuh'. Malah, sudah dari dua hari yang lalu. Dokter Keke saja yang menyebalkan. Lancang mencegah Ify untuk sekolah.

Itu beberapa jurus yang lalu. Kini, hati Gabriel telah cukup lega. Ah, bahkan tidak melihat caping hidung bangir dan kerjapan mata menggemaskan itu saja, Gabriel masih bisa merasakan kehadiran Ify. Atmosfir hangat kini menyelimutinya. Seminggu ia bersemedi, mencari berbagai macam pembenaran. Dan kini, ia memahami satu hal. Dua Gunung rindu yang tercipta di hatinya berketinggian hampir sama. Walau pada kenyataannya, satu gunung tercipta tidak terbilang dalam waktu yang lama.

Gabriel entah mengapa yakin sekali bahwa Ify ada di tempat itu. Ia percaya, dari sekian banyak siswa yang memadati bangku penonton, ada Ify diantaranya. Ia tidak ragu akan hal itu. Ada keraguan yang lain yang sesungguhnya merayapi hatinya.

Maka ketika para anggota cheers selesai mempertunjukan aksinya, yang itu berarti pertandingan akan segera dimulai, Gabriel tak gentar melangkah memasuki lapangan. Gagah memimpin kesepuluh rekannya yang lain.

Hari ini, ia sungguh tampan. Tubuh jangkungnya berbalutkan kaos berwarna putih. Di lengan kanannya melingkar ban kapten. Dan ketampanannya kian menguar selepas peluit tanda dimulainya pertandingan ditiup oleh wasit kepala. Sempurna ia menjadi arjuna lapangan. Berlari paling depan saat menyerang. Berteriak lantang memerintahkan kawannya bertahan. Merebut bola dengan satu-dua sentuhan. Oper sana-oper sini. Kembali menggiring bola. Lantas berujung di kotak pinalti lawan. Tendang. Gol. 1-0 untuk tim mereka. Gabriel bermain dengan sangat cemerlang.

Dan bagi Ify, Gabriel tidak sekedar tampan. Pemuda itu istimewa. Bahkan ketika rambut jabrik Gabriel bergoyang terhembus angin seiring gerak tubuhnya, masih bisa membuat Ify berdecak kagum. Baginya, pemain sepakbola paling keren seluruh dunia adalah Gabriel. Ronaldo saja kalah kerennya. Ah, tentu saja. Mana bisa Ronaldo membuatnya menangis? Lantas membuatnya langsung tertawa. Membuatnya lebih berani memanjat harap pada zat yang Maha berhak. Karena hanya dengan mengharapkan sedikit saja kebaikan-Nya adalah satu hal yang masih tersisa untuk dirinya. Dan dari sana, Ify menyaksikan begitu mempesonanya seorang Gabriel. Menjadi pemain yang paling menonjol di antara yang lain. Ify bahagia. Sungguh.

Dan bukankah ketika seseorang begitu bahagia, ia akan meluapkannya dengan menangis? Maka saat ini buncahan rasa bahagia itu berakumulasi menjadi sesuatu yang membuat matanya memanas. Satu detik kemudian, berkaca-kaca.

Lalu barulah ketika Oik menyikutnya, Ify tersadarkan diri. Gadis polos itu terkesiap. Berusaha tersenyum pada Oik. "Ada apa?"

Oik menatap menyelidik. Wajahnya ia dekatkan pada wajah Ify. Membuat Ify jengah dan menjauhkan wajahnya. "Kenapa sih, Ik?" Ify memalingkan mukanya. Agak cemberut.

"Heran aja, kenapa lo ga heboh? Yang main Gabriel sama Rio lho." Oik sengaja mengucap dua nama pemuda itu. Karena ia belum tahu, pada siapa sebenarnya hati gadis itu berlabuh.

Ify tidak terkejut mendengar pertanyaan Oik barusan. Wajar saja diperuntukan padanya yang memang selalu heboh. Ia juga tidak tersentak ketika nama Gabriel dan Rio diucapkan sekaligus. Karena ia yakin, Oik tak tahu oleh siapa hatinya dibuat berbunga, diperkenalkan pada rasa yang belum pernah dikecapnya. Tapi demi apa pun, ia telah tahu. Ia tahu untuk siapa rasa asing yang mengepung hatinya. Ia tahu karena siapa rasa itu setiap detik semakin membengkak volumenya. Tentu saja hanya untuk dan karena satu pemuda. Tidak ada duanya. Namun, ia belum mau mengungkapnya. Ia jaga betul-betul kehormatan perasaan itu. Ditekannya kuat-kuat hingga tidak bisa memberontak. Sampai suatu saat nanti ia sudah berhak.

Dan untuk pertanyaan mengapa Ify tidak seheboh biasanya, karena ia sedang hikmat menikmati betapa menyenangkannya melihat sang pembuka pintu hatinya itu bermain sungguh cantik di tengah lapangan. Sebab nanti, pekerjaan sesederhana 'melihat' saja, tak akan bisa dilakukannya. Entah sempat atau tidak, ia melihat layang-layang dinosaurus keren itu. Ah ya, bagaimana kabar layang-layang itu? Masihkah si pengukir janji mengingatnya? Tentu saja. Ify tidak akan meragukannya. Seperti ia yang tak pernah meragukan perasaan yang dititipkan Tuhan untuk dijaga harganya.

"Oik..." tiba-tiba Ify melonjak. Gelak tawa pecah seketika. Tanpa ampun, mendorong Oik hingga terjengkang. Untungnya, seorang pemuda sigap menahannya. Oik benar. Harusnya, Ify heboh mendukung Gabriel dan Rio -terlepas dari siapa yang terukir pada bongkah inti hatinya. Maka ia riang melompat. Kembali menjadi Ify yang heboh.

"GABRIEEEELLL! Go Gabriel go Gabriel go! Go go go!" Ify berteriak di tengah riuh sorak penonton.

Dan ternyata, suara cempreng Ify cukup membuat pemuda yang ia teriakan namanya menoleh. Ah, seramai apa pun di sana, indra pendengarannya masih saja peka terhadap sedikit saja suara khas menyenangkan itu. Gabriel menyipitkan mata. Awas mencari si pemilik suara.

Maka sepasang pelihat elang itu langsung membelalak, berbinar ceria. Ketika bayangan siluet yang ia cari jatuh tepat di retinanya. Gadis polos itu. Tengah gembira meneriakan kalimat dukungannya. Heboh melompat di tempat. Hingga membuat orang-orang yang ada di sekitarnya harus agak menyingkir. Supaya tidak terkena imbas dari kebrutalan Ify.

Gabriel mengangkat tangannya ke udara. Melambai-lambai.

Tanpa diberitahu, Ify sudah tahu bahwa lambaian itu diperuntukan kepada dirinya. Maka memerahlah pipinya. Ia tersenyum. Berdadah-dadah ria pada Gabriel. Semangat ya! Ify berujar dalam hati.

Seperti bisa mendengar apa yang Ify utarakan dalam hati, Gabriel mengangguk. Kalau ada Ify, ia pasti semangat. Nanti, ia akan bermain sekeren mungkin. Mencetak gol yang banyak. Menghantarkan timnya menjadi juara. Kalau Gabriel gagal, ia bersedia mendapat jitakan dari seluruh penghuni sekolah. Pegang saja janjinya.

Maka Gabriel menunaikan janjinya. Sejak peluit tanda dimulainya pertandingan, ia langsung menunjukan aksinya. Meliuk-liuk menggiring bola. Menghindari hadangan lawan. Oper sana. Kembali lagi padanya. Satu-dua sentuhan. Akhirnya, namanya pun terngiang di setiap penjuru lapangan. Gol pembuka aksi-aksinya yang lebih menakjubkan. Ia benar-benar menjadi arjuna lapangan. Menjadi factor yang menjadikan pertandingan tersebut lebih menyenangkan. Tentu saja tanpa mengesampingkan kesekian pemain lainnya.

Dari pinggir lapangan, Ify kian heboh memberikan dukungan untuk Gabriel. Paling kencang teriakannya kala pemuda itu menyarangkan bola ke gawang lawan. Dalam hati, merapal segunung syukur. Ia bisa melihat pemuda itu bermain sepakbola. Sungguh, sekedar melihat pemuda itu mengibaskan rambut saja, telah cukup membuat Ify bahagia. Ah ya. Ify hanya ingin melihat Gabriel. Selalu.

***

Bersambung.

***