Abang [ part 3 ]
Palembang, 2000
Abang adalah dewa. Dan Lana adalah pemujanya.
Abang sudah diperbolehkan pulang ke rumah setelah enam hari dirawat di rumah sakit. Kondisi Abang sudah jauh lebih baik sekarang. Tapi masih perlu banyak istirahat. Belum bisa ikut Lana ke lapangan untuk bermain bola. Kakinya masih agak sakit kalau dipakai berjalan, kepalanya masih dibalut perban.
Abang hanya tinggal berdua dengan mamanya, Tante Lina. Papa Abang meninggal sejak ia masih dalam kandungan sang mama. Setelah itu, Tante Lina tidak pernah menikah lagi. Ia berjuang sendirian membesarkan Abang. Sebelum pindah ke Palembang, Tante Lina adalah seorang guru honorer di sebuah SMA ternama di Medan. Delapan belas tahun barulah ia diangkat menjadi PNS dan dipindahkan tugas ke Palembang. Sekarang, Tante Lina mengajar di SMA terbaik se-Palembang. Abang juga sekolah di sana. Lana nanti juga mau sekolah di sana. Kata Ibu, hanya anak-anak pintar yang sekolah di sana. Lana mau jadi anak yang pintar.
Abang sangat menyayangi Tante Lina, satu-satunya orangtua yang ia kenal selama hidupnya. Dia memperlakukan Tante Lina dengan sangat baik. Abang selalu menuruti semua perintah Tante Lina. Tidak pernah membantah atau mengeluh. Tidak seperti Lana yang suka sekali melawan kalau disuruh Ibu cepat-cepat mandi. Selalu membantah kalau Ibu melarangnya main ke lapangan karena hujan. Padahal Ibu menyuruh Lana mandi dan tidak keluar ketika hujan supaya Lana tidak sakit. Tapi tetap saja Lana selalu mengelak.
Abang tidak pernah mau merepotkan Tante Lina. Jadi, meskipun ia sedang sakit, ia tidak lantas merajuk ketika mamanya pergi mengajar. Malah Abang sendiri yang meminta Tante Lina untuk tidak usah khawatir meninggalkannya sendirian. Ia sudah bisa berjalan ke dapur tanpa dipapah untuk mengambil makanan kalau lapar, sudah bisa ke toilet tanpa terpeleset kalau ingin buang air. Jadilah Abang ditinggal sendiri di rumah.
Berbeda dengan Abang, kalau Lana sakit, anak itu paling tidak mau sendirian. Lana takut sendirian saat sedang sakit. Takut kalau tiba-tiba malaikat pencabut nyawa datang dan tidak ada yang menghalanginya untuk mengambil nyawa Lana. Takut kalau tiba-tiba badannya panas lagi dan tidak ada yang menempelkan kompresan di dahinya. Untung saja Ibu bekerja di rumah, membuat kue-kue bersama beberapa pegawainya untuk nantinya di jual di toko yang tentunya pegawainya yang lain yang menjaga, jadi Ibu bisa tetap bekerja sekaligus menunggui Lana yang sakit.
Karena rasa takut itulah, Lana berinisiatif untuk menemani Abang di rumah sepulang sekolah sampai sore. Kadang sampai malam kalau Ibu tidak berteriak-teriak dari balik pagar menyuruh Lana pulang. Lana meminta izin pada Fabian dan teman-temannya yang lain untuk bolos dulu bermain bola. Menemani Abang lebih penting.
Selama Lana menemani Abang, ia jadi lebih banyak mengenal Abang. Kemarin-kemarin, Lana hanya tahu bahwa Abang jago bermain sepakbola dan pintar matematika-pernah Abang membantu Lana mengerjakan PR matematika dan esoknya ia mendapat nilai 100 untuk PRnya. Sekarang, Lana jadi tahu bahwa Abang pandai dalam segala hal. Abang pintar bernyanyi sambil bermain gitar. Suaranya merdu sekali. Tidak kalah dengan suara penyanyi favorit Ibu yang hampir setiap hari diputar kasetnya untuk mengiringi Ibu dan pegawainya membuat kue. Tangan Abang lihai sekali memetik senar. Menghasilkan nada-nada yang indah. Serasi sekali dengan suara Abang yang lembut. Kalau suara Abang bisa diraba, pasti rasanya seperti sedang menyentuh kapas.
Selain itu, Abang juga mahir sekali menggambar, ditunjukannya beberapa buku berisi gambar-gambar buatannya. Gambar-gambar yang seperti hidup, seperti bercerita. Dari sekian banyak gambar Abang, Lana paling suka dengan gambar seorang anak kecil yang tengah bermain bola di bawah pohon. Coba kalau anak itu perempuan berambut sebahu yang pirang, pasti seperti Lana. Sayangnya yang digambar adalah anak laki-laki dengan rambut jabrik hitam legam.
"Itu Abang waktu kecil, Lana! Di dekat rumah Abang, dulu ada pohon rambutan. Abang suka main bola di bawah pohon itu. Kalau capek, Abang bakalan naik ke atas pohon. Nyari angin sekalian makan rambutan kalau kebetulan sedang berbuah." jelas Abang ketika Lana menunjuk gambar itu.
Kedua mata Lana membeliak mendengar cerita Abang. Satu lagi kelebihan Abang yang ia tahu, memanjat pohon. Nanti kalau Abang sudah sembuh, Lana mau ajak Abang main layangan. Supaya nanti kalau layang-layangnya putus dan tersangkut di dahan pohon, Abang bisa ambilkan. Anak itu tersenyum lebar.
"Abang, bisa gambar Lana ga?" Abang tersenyum mendengar pertanyaan Lana. Pemuda itu meletakan telunjuknya di dagu, pura-pura berpikir.
"Gimana ya?" ia melirik Lana yang kini memasang ekspresi memelas.
"Ayo dong, Bang! Gambarin Lana!" Lana menatap Abang dengan tatapan memohon yang bisa membuat siapa saja tidak akan tega untuk menolak. Lana sering mengeluarkan jurus ini untuk membujuk Ayah agar mau menemaninya nonton film ke bioskop.
"Boleh!" ujar Abang.
Wajah Lana berubah ceria. "Gambarin Lana yang cantik ya, Bang! Kulit Lana diputihin. Jangan kayak begini, gosong. Jelek!" anak itu menunduk, teringat ejekan teman-temannya tentang kulit Lana yang gelap seperti pantat panci. Huh, apa mereka tidak tahu bahwa pantat panci milik Ibu semuanya putih berkilau?
Abang mengerutkan kening. "Kenapa emangnya?"
Lana mendesah samar. "Teman-teman Lana semuanya kulitnya putih. Mereka bilang, Lana jelek. Lana bahkan kalah cantik dari Fabian karena kulit dia lebih putih. Padahal, dia juga panas-panasan bareng Lana." Lanah mengeluh dalam. Hidup memang tidak adil. Fabian main bola terus kulitnya tidak lantas gelap, malah jadi merah seperti kepiting. Sedangkan Lana, seminggu mengurung diri di rumah saja tetap kulitnya tidak memutih.
Abang tersenyum menyeringai. "Tahu ga, Lana itu anak paling cantik yang pernah Abang temui."
Lana memberengut. "Itu karena Abang belum ketemu sama teman-teman Lana."
"Ngapain Abang ketemu sama teman-teman Lana. Toh, meskipun nanti kalau udah ketemu, bagi Abang, Lana tetap yang paling cantik. Kenapa coba?"
"Kenapa?" Lana balik bertanya. Anak itu mendongakan kepala, mendapati wajah Abang yang teduh seperti biasanya.
"Karena cantik itu bukan tentang warna kulit, Lana! Cantik itu ada di dalam sini." Abang menunjuk kepalanya yang diperban, "dan juga di sini." lalu ia meletakan kedua tangannya di dada.
Lana menggaruk pelipisnya. "Maksudnya?"
"Lana anak yang pintar, baik, suka nolong orang, sayang sama Ayah dan Ibu. Dengan begitu, Lana sudah jadi anak yang cantik. Ga pa-pa kulit Lana coklat, kan coklat manis. Lana bersyukur aja sama Tuhan, atas semua yang Lana punya sekarang. Rasa syukur itu salah satu bentuk kecantikan juga."
Lana manggut-manggut. Abang benar. Buat apa kulit putih kalau tidak pintar dan menyebalkan? Teman-teman sekolah Lana salah besar. Mereka pikir, cantik hanya masalah warna kulit. Mereka tidak tahu bahwa yang harus jauh lebih putih itu isi hati.
"Pasti Abang ga pernah lupa bersyukur ya?" tebak Lana.
"Kenapa emang?"
"Abis Abang ganteng! Mirip David Beckham. Hehe..." anak itu terkikik.
"Kamu nih bisa aja!" Abang mencubit pipi Lana pelan, menggeleng-geleng kepala. Lana memang anak pintar. Dia selalu bisa membuat Abang tersenyum. Selalu bisa membuatnya terus bersyukur bisa bertemu dengan Lana, peri kecil yang dulu hanya bisa digambarnya di atas kertas. Sekarang, peri itu hidup. Menjelma dalam diri anak perempuan manis periang bernama Kelana.
Sedangkan bagi Lana, Abang adalah dewa yang bisa melakukan apa saja. Bermain bola, mengerjakan soal matematika, bernyanyi sambil bermain gitar, menggambar, dan yang pasti menyenangkan hatinya.
***
Bandung, 2014
"Heh!"
Seruan yang datang terlalu tiba-tiba itu sukses membuat Fabian melonjak kaget. Ia hampir saja menjatuhkan majalah yang ada di tangannya. Pemuda itu melirik sengit pada gadis yang tanpa permisi masuk ke dalam kamar kostnya. "Ih ngagetin aja!"
"Gitu doang kaget! Payah!" cibir sang gadis, Lana yang memang sudah biasa keluar masuk kamar kost Fabian dengan bebasnya. "Lagi ngapain? " tanya Lana, kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, duduk di samping Fabian.
"Nonton TV." ujar Fabian, segera menyembunyikan majalah yang tadi dipegangnya ke belakang sofa.
Lana membuat huruf O tanpa suara. "Keluar yuk! Pingin martabak, nih!"
"Boleh. Kamu keluar dulu sana! Aku ganti baju dulu."
"Ih sok ganteng banget! Ngapain ganti baju. Kan cuma mau beli martabak. Udah ah ayo! Pake jaket aja!" Lana meraih sebuah jaket yang tergantung di dekat jendela, kemudian memberikannya dengan paksa pada Fabian.
"Kenapa sih ga boleh banget aku ganteng? Takut aku banyak yang naksir ya? Tega banget sih bikin sahabat sendiri jomblo terus gini." dengan ekspresi sebal yang sangat kentara, Fabian mengenakan jaketnya.
"Ingat ya pesan Mama sama Papa kamu! Sebelum jadi dokter, kamu ga boleh main cewek dulu! Hehe." Lana terkekeh pelan. Selalu lucu ketika mengingat satu pesan yang diberikan Mama dan Papa Fabian sebelum anak sematawayangnya itu dilepas untuk kuliah di Bandung.
"Terus aja Mama Papa aku yang dijadiin tameng. Curang!" Fabian merengut. Mendesah pasrah.
"Bodo!" Lana menjulurkan lidahnya jahil. "Ayo ah! Nanti kemalaman. Anak cewek ga baik keluar malam-malam." Lana menarik tangan Fabian.
"Jijik ih dengarnya!" Fabian bergidik geli. Pasrah mengikuti gerakan Lana. Memang dari dulu, Fabian tidak pernah menolak semua pinta Lana. Selalu ia usahakan selama ia bisa. Sesulit apa pun selalu ia coba. Termasuk permintaannya untuk sama-sama mencari Abang. Seseorang yang justru jauh di lubuk hatinya tak pernah ingin ia temukan. Karena ia tahu, setelah Lana berhasil bertemu Abang, tidak akan ada lagi acara Lana dan Fabian makan martabak malam-malam. Tidak akan ada lagi Lana yang nyelonong tanpa permisi masuk dan mengobrak-abrik kamar kostnya. Tidak akan ada lagi tarikan tanganya, cibirannya, bahkan sosoknya saja akan hilang. Bahkan untuk sekadar membayangkannya saja, Fabian tidak pernah bisa.
***