Abang [ part 2 ]
Palembang, 2000
Wajah Abang tampan, seperti David Beckham. Siapa bilang Abang cuma tampan? Kalau Lana bilang Abang seperti David Beckham, itu artinya Abang juga jago bermain sepakbola.
Sore itu, Lana keluar mengendap-endap dari dalam rumah. Tidak mau ketahuan Ibu kalau dirinya hendak pergi ke lapangan untuk bermain sepakbola bersama teman-teman. Ibu tidak suka kalau Lana main sepakbola. Katanya, sepakbola hanya untuk anak laki-laki. Padahal, kalau dibandingkan dengan Fabian, jelas Lana lebih jago bermain sepakbola.
Ketika Lana baru saja menutup kembali pagar rumahnya, bocah itu dikejutkan oleh sosok Abang yang entah sejak kapan muncul di sana. Lana mengusap-usap dadanya. Memberengut ketika mendapati Abang malah tertawa, menimbulkan suara yang mungkin saja bisa membuat Ibu keluar rumah dan memergoki dirinya.
"Mau ke mana?" tanya Abang.
"Ke lapangan. Main sepakbola." ucap Lana, menunjuk kaos sepakbola timnas Inggris yang dikenakannya.
"Abang ikut dong!" pinta Abang. Memainkan alisnya, membujuk Lana.
"Emang Abang bisa main bola?" tanya Lana sarkatis. Tidak yakin bahwa Abang yang berkulit putih itu bisa tahan berpanas-panasan di lapangan.
"Bisa dong!" tukas Abang dengan begitu yakin.
Akhirnya, Lana izinkan Abang untuk ikut dengannya bermain sepakbola. Dengan satu syarat, Abang harus membuktikan ucapannya. Dia harus membuat tim Lana menang melawan RT sebelah.
Abang menunaikan syarat itu dengan sempurna. Ternyata, Abang memang benar-benar jago bermain sepakbola. Sore itu, ia menggantikan Fabian yang lebih sering jatuhnya daripada menendang bolaya. Abang membuat tim Lana menang telak dari lawan.
"Gimana? Abang keren kan main bolanya?" tukas Abang di perjalanan pulang.
Lana mengangguk cepat. Mengacungkan dua jempolnya. "Keren banget! Abang udah kayak David Beckham. Besok-besok, Abang ikut main lagi ya! Biar tim Lana menang lagi."
Sementara itu, Fabian yang sedari tadi membuntuti mereka dari belakang merengut sebal. Gawat. Kalau Abang ikut main lagi, bisa-bisa posisinya di tim tersingkirkan.
"Yah jangan dong! Kalau Abang main terus, aku kapan mainnya?" ujar Fabian kesal.
"Udah, Bang! Ga usah dengeran Fabian! Aku sebel sama dia! Gara-gara dia, tim Lana kalah terus! Masa nendang bola aja ga bisa! Payah!" cibir Lana seraya mendorong bahu Fabian pelan.
Abang hanya tersenyum menyaksikan pertengkaran Lana dan Fabian yang ternyata berlanjut hingga sampai di rumah.
Esoknya, Abang ikut lagi ke lapangan. Tapi tidak ikut bermain. Habis kasihan Fabian, mengemis-ngemis supaya tidak jadi pemain cadangan. Abang mengalah. Memilih berdiri di pinggir lapangan. Meneriaki nama Lana sepanjang pertandingan. Membuat Lana bersemangat sekali menendang bola. Bocah itu berlari dengan riang, seperti tidak mengenal lelah. Bahkan hingga hari hampir malam, Lana enggan untuk pulang. Ia ingin terus bermain bola. Selama Abang ada di sana, Lana tidak mau berhenti berlari. Meski pada akhirnya, ia pun pulang juga. Disusul Ibu karena khawatir anak sematawayangnya belum juga pulang hingga lewat petang.
Hari-hari berikutnya, kalau sedang tidak ada urusan, Abang selalu menemani Lana bermain sepakbola di lapangan. Meski seringnya Abang hanya berdiri di pinggir lapangan, tapi bagi Lana hal itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bersemangat dan bertekad penuh bermain sebaik mungkin. Ia ingin terlihat hebat di hadapan Abang. Setiap kali Lana berhasil memenangkan pertandingan, ia selalu mendapat pujian dari Abang, atau kalau sedang beruntung ia -dan Fabian akan ditraktir es kelapa muda.
Sore itu, Abang tidak ada di rumah. Dengan perasaan kecewa, Lana pergi ke lapangan bersama Fabian. Sesampainya di lapangan, Lana hanya duduk di pinggir gawang. Tidak tergoda untuk ikut berlarian memperebutkan bola bersama teman-temannya. Ketiadaan Abang di sana membuat bocah manis itu tidak bersemangat bermain bola.
Tiba-tiba Fabian terhuyung-huyung berlari menghampiri Lana. "Lana, ayo ikut main! Tim kita nanti kalah tahu!" ujar Fabian dengan napas tersengal.
"Ga mau!" jawab Lana ketus. Anak itu membuang mukanya sebal.
Tapi Fabian tidak mau menyerah. Ia tarik tangan Lana kuat-kuat. Menyeret sahabatnya itu masuk ke lapangan. Mau tak mau membuat Lana terpaksa untuk ikut bermain juga. Meskipun permainannya tak sesemangat dan selincah biasanya.
Sore itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tim Lana kalah dari tim RT tetangga.
Di perjalanan pulang, Fabian mengomeli Lana habis-habisan. Katanya, tim mereka kalah gara-gara Lana. Lana hanya bisa menggeleng samar. Fabian itu seperti tidak pernah berkaca saja. Selama ini, tim mereka susah menang juga karena Fabian yang tidak bisa menendang bola. Penyebab kalah sekali saja, diomelinya sebegininya. Padahal kan seringnya Lana yang mencetak gol kemenangan. Bocah mungil itu menggerutu dalam hati.
"Lana, Ibu baru aja mau susul Lana." ujar Ibu di depan pagar rumah. Terdengar sekali nada khawatir pada setiap kata yang dituturkannya.
Lana mengerutkan kening. Ada apa? Sekilas menoleh pada Fabian yang sudah berhenti mengomel tepat ketika mendengar suara Ibu.
"Lana cepat mandi! Kita ke rumah sakit." tukas Ibu.
"Rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Lana. Tiba-tiba dadanya sesak, entah karena apa.
"Abang. Abang kecelakaan. Ayo cepat!"
Demi apa pun, itulah kabar terburuk yang pernah didengar Lana selama hampir sepuluh tahun ia hidup di dunia. Ia merasa ada yang mencelos dalam hatinya. Tiba-tiba ia jadi susah sekali untuk bernapas. Seakan ia ditinggalkan sendiri dalam ruang hampa udara. Benar-benar sendiri. Sepi. Teramat sepi sehingga ia bisa mendengar debar jantungnya sendiri.
*
Baru pukul tujuh malam, Ibu, Lana serta Fabian yang tadi merengek minta ikut tiba di rumah sakit. Lana dan Fabian langsung berlari masuk ke ruang di mana Abang dirawat sementara Ibu menemui Tante Lina. Pemandangan pilu langsung menyambut dua bocah itu. Abang, pemain sepakbola idola mereka berbaring tak berdaya dengan perban melilit kepalanya. Tangan Abang penuh baret luka. Wajahnya pucat seperti sedang masuk angin. Lana tahu, rasanya pasti lebih tidak enak dari sekadar masuk angin.
"Lana... Fabian..." Abang menyapa dua adiknya dengan terbata. Berusaha tersenyum seperti biasanya, meski ternyata ia tidak bisa. Senyumnya tidak sama.
Lana bergerak mendekati Abang. Tubuh mungil itu bergetar. Dua matanya yang besar nampak berkaca-kaca. Sedetik berikutnya, mengalir dari sana kesedihan yang tak terkira. Bocah manis itu menangis sesenggukan.
"Lana kenapa nangis?" tanya Abang pelan.
"Tadi, tim Lana kalah. Lana sedih. Tapi Lana lebih sedih lihat Abang sakit." Lana menangkupkan kedua tangannya di wajah. Menangis lebih hebat di balik telapaknya.
Ada sesuatu yang membuat hati Abang berdesir. Mendengar bocah berumur sepuluh tahun itu berkata dengan begitu tulus, begitu polos, memunculkan perasaan tertentu yang entah bagaimana menjabarkannya. Tidak pernah ada yang begitu mengkhawatirkan keadaannya selain Mama yang merupakan orangtua tunggalnya sejak ia masih berbentuk janin. Tidak pernah ada orang yang menangis untuknya. Lanalah yang pertama.
"Abang juga sedih kalau Lana sedih. Abang janji Abang ga akan sakit lagi." Abang mengangkat tangannya yang penuh luka untuk kemudian ia simpan di puncak kepala Lana, mengelusnya lembut penuh sayang.
Lana terkesiap ketika merasakan sebuah usapan halus di kepalanya. Ia kemudian menurunkan kedua tangannya, membuka mata dan ternyata tangan Abanglah yang menapaki puncak kepalanya. Perlahan, Lana menarik ujung-ujung bibirnya. "Lana juga janji Lana ga akan sedih lagi." ucap Lana mantap.
Abang tersenyum. Sekarang sudah seperti biasanya. Senyuman yang sama.
"Abang masih kayak David Beckham ga diperban begini?"
Lana terkekeh pelan. "Bahkan Abang lebih ganteng dari David Beckham."
"Aku juga ganteng!" celetuk Fabian tiba-tiba. Akhirnya anak itu bersuara setelah sebelumnya tidak dianggap ada di sana.
Lana mendelik tajam pada Fabian. "Apanya yang ganteng? Nendang bola aja ga bisa!" tukas Lana ketus. Membuat Fabian mengulum bibir kesal.
Tapi untuk Abang, menyaksikan Lana dan Fabian yang tidak pernah akur tapi anehnya tidak pernah terpisahkan itu adalah hiburan tersendiri. Terapi untuk jiwanya. Pemuda itu tertawa di atas tempat tidurnya. Meski kadang meringis kesakitan, tapi tawanya tetap tak tertahankan.
***
Bandung, 2014
Fabian menekan tombol remote itu beberapa kali, mencari-cari acara yang layak untuk ia tonton selama beberapa saat ke depan. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, pemuda itu meletakan kembali sang remote ke atas meja. Tepat di samping ia simpan remote itu, ada sebuah majalah olahraga dengan cover David Beckham yang menggungah hatinya. Fabian meraih majalah itu. Meniliknya begitu lama. Terlampau lama.
Tiba-tiba, Fabian tertawa pelan. Tawa yang terdengar sangat menyedihkan. Ya, Fabian tahu dirinya teramat menyedihkan.
Majalah yang ada di tangannya itu mengingatkannya pada Lana. Sahabatnya dari sejak ia masih belajar mengucapkan kata-kata hingga kini ia pandai sekali melakukan presentasi di hadapan siapa saja. Sahabatnya yang dulu suka sekali bermain panas-panasan di lapangan hingga kini ia berani bermain di jantung hutan. Sahabatnya yang selalu ia cintai. Sejak dulu ketika dirinya selalu bingung mengapa ada yang sakit di dadanya setiap kali Lana bersama dia, bersama obsesinya. Hingga kini ia beranjak dewasa dan sudah mengerti bagaimana menamai perasaan aneh itu.
Fabian mengenal Lana begitu lama. Terlalu lama untuk ia tahu betapa dalam hidupnya, Lana terobsesi pada dua lelaki, David Beckham dan Abang. Sialnya, kepada Abang, Lana bukan hanya terobsesi, tapi juga cinta mati. Hingga kini. Hingga 12 tahun terlewati tanpa pernah Lana tahu di mana Abang, apa kabar Abang, Abang selalu Lana gilai. Lana dibuatnya frustasi. Bertahun-tahun gadis itu terus mencari cinta matinya yang selalu hidup. Bertahun-tahun ia tutup pintu hatinya rapat-rapat, demi suatu saat kembali ia buka untuk menyambut kedatangan cintanya lagi.
Fabian menghela napas berat. Ia namai perasaannya cinta, tapi ia tidak tahu bahwa ternyata cinta yang dibiarkan tak terbalas bisa membuatnya hampir gila. Eh, atau sudah?
***
Bersambung