Abang [ part 1 ]

Jumat, 12 Juni 2015

Abang [ part 1 ]


Palembang, 2000

Lana sering sekali bertanya pada Ayah dan Ibu, mengapa Lana harus jadi anak yang pertama? Mengapa tidak jadi yang kedua saja? Kan Lana jadi bisa punya Kakak. Lana iri pada teman-temannya yang punya kakak. Lana ingin diantar jemput ke sekolah oleh Kakak. Lana mau pekerjaan rumahnya dibantu oleh kakak. Lana bosan sendirian di rumah. Tidak ada yang menemaninya bermain boneka. Ibu sibuk membuat kue-kue pesanan tetangga. Ayah baru pulang ketika malam datang. Itulah mengapa ia lebih sering berada di luar rumah. Bermain sepakbola di lapangan, mengejar layangan, atau hanya menonton kartun di rumah Fabian-sahabatnya sejak masih balita.


Lana berhenti bertanya ketika ia duduk di kelas empat. Saat itu, ia baru pulang sekolah. Sambil mengucapkan salam dengan suara lantang, gadis kecil itu berlari ke dalam rumah. Tidak tahu bahwa di sana, Ibunya tengah menerima tamu. Anak itu langsung menghentikan gerakan kakinya. Ia tersenyum tipis, tersipu malu mendapati seorang wanita seusia ibunya ditemani anak laki-lakinya yang balas tersenyum padanya.

"Lana, sini dulu sayang!" ucap Ibu seraya melambaikan tangan.

Lana kecil menghampiri Ibu dan duduk di sampingnya. Agak canggung bergabung di sana. Meskipun sejujurnya Lana penasaran juga tentang siapa dua orang asing di hadapannya itu.

"Lana, ini tetangga baru kita, Tante Lina dan Abang Bara. Mereka baru pindah dari Medan. Sekarang, rumah di sebelah ga kosong lagi." jelas Ibu. "Ayo salam sama Tante dan Abang!"

Lana mengangguk pelan. Lalu menyalami satu persatu tangan tamunya, seraya berucap 'Kelana' dengan nada khas anak-anak yang ceria.

"Kelana kelas berapa?" tanya Abang Bara. Matanya berbinar menatap Lana.

"Kelas empat, Bang! Panggil Lana aja!" tukas Lana.

Perkenalan singkat itu pun menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Lana. Lana kecil mengerti, bahwa seorang kakak tidak harus hadir dari keluarganya. Hari itu, ia telah bertemu dengan sosok seorang kakak yang tiba-tiba bertamu ke rumahnya. Tetangga baru yang persis tinggal di samping rumahnya. Seorang laki-laki baik hati yang ia panggil Abang.

***

Bandung, 2014

Perempuan itu menyembul dari balik tirai ruang ganti pakaian. Ia berjalan tersaruk dalam balutan kebaya putih yang melekat sempurna pada tubuh langsingnya. Perempuan itu tersenyum miring. Agaknya kurang nyaman dengan apa yang ia kenakan.

Sementara itu, lelaki yang baru selesai mengaitkan semua kancing jasnya membeku di tempatnya. Terpesona pada penampakan indah yang kini berdiri di hadapannya. Seperti bidadari yang tersesat di bumi, perempuan cantik itu mengerenyit bingung. Wajahnya berkilau terkena sorot lampu. Lelaki itu meneguk ludah. Dia tidak pernah seberbeda itu.

"Aneh ya, Bi?" tanya perempuan itu. Menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

Lelaki bernama Fabian itu terkesiap seketika. Ia berjalan mendekati perempuan itu. Ia meraih bahu si perempuan, kemudian membawanya ke depan cermin. "Kamu cantik sekali, Lana! Aku ga nyangka, Lana yang dulu selalu bau keringat dan kucel karena main sepakbola terus bisa tumbuh jadi secantik ini!"

Lana-perempuan itu merengut. "Kamu ngehina apa muji sih?"

"Tergantung penerimaannya kamu aja sih!" Fabian terkekeh pelan. "Tapi percaya deh sama aku, di acara sumpah dokter nanti, kamu bakalan jadi yang paling cantik!"

Lana tersenyum geli. Mana ada dirinya yang paling cantik. Jelas-jelas masih banyak rekan sejawatnya yang jauh lebih cantik. Fabian ini memang paling bisa menyenangkan hatinya. Tapi tiba-tiba wajah Lana berubah murung. Gadis itu menunduk dalam. Seakan beban seisi dunia dibebankan pada punggungnya.

"Kenapa? Kamu ga percaya?" tanya Fabian.

Lana menghela napas berat. "Sebentar lagi, aku bakalan resmi jadi dokter. Tapi sampai sekarang, aku belum bisa ketemu sama Abang. Padahal, aku pingin banget Abang hadir di acara sumpah dokter nanti." Perempuan itu mengeluh tertahan.

Fabian merasa hatinya mencelos seketika. Setiap kali Lana berkeluh kesah tentang pencariannya yang tak kunjung mendapatkan hasil, pencariannya yang dimulai sejak enam tahun lalu, sejak ia merasa bahwa tidak ada gunanya lagi menunggu, Fabian selalu turut merasakan kesedihan Lana. Hampir seumur hidup ia mengenal Lana. Terlalu lama untuk membuat ia tahu bagaimana seorang Lana sesungguhnya. Lana sangat mencintai Abangnya. Dua belas tahun Lana berpisah dengan Abang, perasaan itu tidak sedikit pun berubah, malah sepertinya bertambah.

"Aku merasa, usahaku belum maksimal." tukas Lana pelan.

Fabian memutar tubuh Lana agar menghadap ke arahnya. Lelaki itu menyentuh pipi Lana dengan kedua telapak tangannya. Menatap Lana dalam-dalam. "Kamu berusaha begitu keras, Lana! Kamu sampai di titik ini, karena kamu berusaha. Kalau memang sampai sekarang kamu belum bisa ketemu Abang, mungkin karena belum waktunya. Nanti, kalau Tuhan sudah bilang boleh,  kamu pasti bisa ketemu Abang." ucap Fabian, berusaha menguatkan sahabat kecilnya itu.

Lana tertegun sejenak. Ia pandangi wajah Fabian lekat-lekat. Sahabatnya yang dulu hanya bisa cengengesa tidak jelas kini sudah tumbuh menjadi lelaki tampan yang bijaksana. Yang begitu baiknya hingga mau menemaninya hingga kini. Lana merasa beruntung memiliki Fabian. Selama ini, Fabianlah yang selalu menguatkannya hingga ia bisa bertahan sebegini lama untuk terus mencari Abang, selain tentunya karena dalamnya perasaannya untuk Abang.

Lana mengerjap pelan. Kemudian, ia raih telapak tangan Fabian yang masih menempel di pipinya. Ia genggam erat-erat tangan itu. Tangan yang selalu terulur ketika dirinya jatuh. Tangan yang selalu siap membendung air matanya yang meleleh tiap kali ia merasa lelah dan ingin menyerah.

"Tolong doakan aku terus ya, Bi! Mungkin doaku belum cukup untuk Tuhan. Aku butuh banyak sekali doa!" bisik Lana.

Fabian mengangguk samar. Ujung-ujung bibirnya terangkat ke atas. Dia selalu mendoakan kebaikan Lana. Tidak pernah terlewat namanya ia sebut ketika sedang bercakap-cakap dengan Tuhan. Hanya saja, Lana tak tahu bahwa Fabian juga berdoa agar gadis itu mau melihatnya bukan sebagai Fabian sahabat kecilnya. Sayangnya, di mata Lana, Fabian adalah sahabat sejatinya, untuk cinta ia lebih memilih Abang yang telah dua belas tahun menghilang.

***

Bersambung


Haloooo, ini cerbung baruku. Berbeda dari sebelumnya, sekarang aku bikin cerita dengan pakai nama bukan Idola Cilik. Kenapa? Ya mau aja. Pembaharuan. Biar ga pada ketuker sama ceritaku yg sebelumnya, yang kebanyakan belum kelar._.

Semoga cerita ini bisa selesai seuai target ya! Semoga ga akan berhenti di tengah jalan karena ga ada ide. Sungguh, cerita ini udah aku pikir matang-matang. Jadi, ga akan berhenti karena bingung ngelanjutinnya gimana. Semoga juga mood nulis cerita ini ga ilang. Pokoknya, semua penghancur mood dijauhkan. Hehe

makasih yang masih mau baca tulisanku. Meski seringnya aku kecewain : oh iya, cerita ini cuma aku post di blog ini. Hehe. Silakan kasih komentar kalau berkenan. Atau yang belum kenal, boleh juga kenalan. Sapa aku di twitter, ask.fm atau instagram ya! Semua usernya @sintasnap . Makasih sekali lagi ♥