Abang [ part 4 ]

Selasa, 07 Juli 2015

Abang [ part 4 ]


Palembang, 2000

Kata siapa malaikat harus punya sayap? Abang tidak punya. Dia tidak bisa terbang. Ia hanya bisa memanjat pohon mangga untuk mengambilkan layang-layang Lana yang tersangkut. Abang tidak bisa ajak Lana terbang. Abang hanya bisa menuntun Lana naik ke atas genteng. Abang tidak bisa tunjukkan kerajaan awan di atas langit. Abang hanya mampu menemani Lana berdoa di bawah gemintang. Tapi bagi Lana, Abang adalah malaikat. Malaikat tak bersayap.



Kata siapa malaikat harus punya lingkaran halo di atas kepalanya? Di atas kepala Abang tidak ada apa-apanya. Abang tidak suka pakai aksesoris di kepala; topi atau apa pun itu namanya. Gatal, katanya. Abang biarkan rambut hitamnya langsung terkena sinar matahari. Berkilau seperti mutiara. Harum seperti permen karet. Tapi bagi Lana, Abang adalah malaikat. Malaikat tanpa lingkaran halo.

Dan kata siapa malaikat harus tampan? Abang memang tampan. Tampan sekali. Mirip David Beckham. Lana suka mata Abang yang menatapnya lembut namun tegas. Lana suka ketika Abang tersenyum, giginya putih bersih, gusinya merah muda. Lana suka hidung Abang yang kembang kempis kalau kelelahan sehabis bermain sepakbola. Kalau kebetulan pun Abang tidak tampan, Abang tetap malaikat bagi Lana.

Saat itu Lana sedang bermain voli di lapangan sekolah. Tiba-tiba, seseorang meneriakan namanya. Membuat ia menelengkan kepala mencari siapa yang baru saja memanggilnya dan tidak melihat bahwa bola melambung ke arahnya. Buk! Bola itu menghantam bahunya keras. Cukup membuat tubuh kurus Lana tersungkur ke tanah.

Dua orang berlari ke arah Lana, Fabian dan Abang. Abang? Jadi Abang yang tadi memanggil Lana? Lana mengurut lututnya yang terasa sakit. Ia cuma melongo. Masih terheran-heran dengan kehadiran Abang di sekolah.

 "Lemah banget sih! Kena bola gitu aja, jatuh! Cemen!" cibir Fabian seraya turut membantu Lana berdiri bersama Abang.

Lana mendengus sebal. Baru akan membuka mulut menimpali Fabian, ketika Abang tiba-tiba menyela. "Lana ambil tas kamu! Kamu harus pulang sekarang juga!" ujar Abang dengan ekspresi tak terbaca.

Lana mengerutkan kening. Pulang? Bukankah ini masih pukul 9? Kenapa ia sudah harus pulang? Dan kenapa Abang yang menjemputnya ke sekolah? Kenapa bukan Ayah atau Ibu saja? Tiba-tiba hati Lana berubah gusar. Anak itu menelan ludah. "Ada apa, Bang?"

Tapi Abang tidak berkata apa-apa selain "Ayo, Lana! Lana harus pulang!" Membuat hati Lana semakin ketar-ketir. Bingung mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tidak pernah ada urusan yang sebegitu mendesaknya sampai-sampai Lana harus dijemput di sekolah segala.

"Abang, sebenarnya ada apa?" tanya Lana, masih belum mau menyerah.

Namun lagi-lagi Abang tidak menjawab pertanyaan Lana. Ia malah menggenggam tangan bocah itu. Seakan menguatkan, Lana bisa merasakannya. Tapi Lana bingung. Untuk apa ia dikuatkan?

Abang masih menggenggam tangan Lana erat ketika mereka sampai di pekarangan rumah Lana yang ternyata dipenuhi oleh orang-orang berpakaian hitam. Lana merasa hatinya mencelos seketika. Ia tahu suasana ini. Suasana berkabung, penuh duka. Anak itu langsung berlari ke dalam rumah. Kasar melepaskan diri dari genggaman tangan Abang. Ia harus segera mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.

 Lana jatuh terkulai ke lantai sesaat setelah melihat penampakan di hadapannya. Ayah terbaring tak berdaya di tengah ruangan. Orang-orang melingkarinya, membacakan doa. Dan Ibu ada di sana. Mendekap tubuh Ayah yang tak lagi bernyawa. Menangis tersedu. Wajahnya basah oleh air mata.

Sekarang semua pertanyaannya terjawab sudah. Sekarang, Lana tahu mengapa ia harus dikuatkan. Karena ternyata kini untuk menghela napas saja ia harus berusaha begitu keras. Dadanya tiba-tiba menyempit. Seperti ada godam raksasa yang memukul ulu hatinya. Sakit sekali rasanya. Kedua mata Lana memanas. Sekejap berikutnya, melompatlah ia memeluk Ayah seiring dengan air mata yang meleleh membelah pipi pualamnya.

"Ayah bangun, Yah! Ayah jangan tinggalin Lana!" Lana mengguncang-guncangkan tubuh Ayah. Berharap ia akan bangun lalu menggelitiki Lana seperti yang selalu ia lakukan dulu setiap kali Lana membangunkannya yang pura-pura tidur saat Lana minta diantar ke suatu tempat. Mungkin sekarang Ayah juga sedang berpura-pura. Hebat sekali aktingnya sampai-sampai semua orang percaya. Tapi Lana tidak. Lana tidak percaya Ayah sudah tidak ada. Jelas-jelas tadi malam Ayah masih menemaninya main ular tangga. Begitu pun tadi pagi, Ayah masih sehat-sehat saja. Duduk di meja makan dan sarapan bubur ayam bersama. Dan sampai sekarang Ayah masih ada. Masih bisa ia peluk tubuhnya. Masih bisa ia cium pipinya. Dan Lana berharap detik itu membeku selamanya.

Tapi kenyataan tidak harus selalu manis. Kenyataan yang harus Lana telan saat ini teramat pahit rasanya. Jauh lebih pahit dari obat apa pun yang pernah diminumnya. Obat yang pahit berkhasiat menyembuhkan. Tapi kenyataan pahit justru membuat Lana sakit. Dan ia tahu, takkan pernah ada obat yang bisa menyembuhkannya. Ia akan sakit selama-lamanya.

Saat detik berdetak terlalu cepat, membawa Lana pada sebuah kesadaran, bahwa kini Ayah memang sudah benar-benar pergi. Jasadnya telah dikubur tanah merah. Kini, Lana dan Ayah sudah berada di tempat berbeda. Tidak bisa lagi Lana memeluknya, menciumnya, mengganduli lengannya, melakukan apa pun yang rasanya selalu menyenangkan jika dilakukan terhadapnya, bersamanya.

Di dekat gundukan tanah merah bertabur bunga itu Lana bersimpuh. Bersedih menangisi kepergian Ayah yang terlalu tiba-tiba. Ayah yang selama ini tidak pernah demam atau sakit kepala, kalah seketika oleh sebuah serangan yang mengenai jantungnya.

Lana tahu Ayah tidak takut pada harimau. Dulu, Ayah yang meyakinkan Lana untuk mau memeluk dan berfoto bersama harimau di kebun binatang. Lana tahu Ayah tidak takut pada ketinggian. Setiap kali genteng rumah bocor, Ayah yang betulkan. Ayah hanya takut pada satu, gelap. Ayah tidak bisa tidur kalau lampunya dimatikan. Untuk itulah Lana tidak mau pulang. Lana ingin terus di sana, bersama Ayah. Supaya Ayah tidak sendirian. Supaya Ayah tidak takut meskipun di dalam tanah sana gelap. Supaya Ayah bisa tidur nyenyak meskipun lampu kamarnya tidak ia bawa serta.

Lana tetap tidak mau pulang. Dibujuk habis-habisan oleh Ibu tidak lantas membuat Lana menurut. Ibu menyerah. Kepalanya pusing sejak tadi. Ia putuskan untuk pulang. Dititipkannyalah Lana pada orang yang bisa dipercaya untuk membawa anak itu pulang, Abang.

Abang terdiam di samping Lana. Ia memilih untuk membiarkan dahulu Lana puas menangis di sana. Ia dengarkan setiap tarikan napas, senggukan tangis, dan segala macam jeritan kesedihan lainnya dari anak manis yang kini terlihat kacau itu. Semakin lama, hatinya pun turut teriris. Abang tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang Ayah. Bahkan ia telah kehilangan sebelum merasa memiliki.

 "Lana mau terus di sini! Lana mau temenin Ayah! Ayah pasti kesepian!" gumam Lana seraya mengusapi nisan ayahnya.

Abang mendesah samar. "Siapa bilang? Ayah Lana ga akan kesepian. Sekarang, Ayah Lana sudah ada di surga. Di surga, dia pasti ketemu papanya Abang. Jadi, dia ga akan sendirian." ujar Abang pelan.

"Lana tetap tidak mau pulang!" ucap Lana keras. Sekali lagi, ia peluk gundukan tanah merah itu. Seakan itu adalah wujud ayahnya, yang tak pernah ia ingin untuk kehilangan selamanya.

 Hari sudah semakin sore. Tidak mungkin Abang membiarkan Lana terus di sana. Lana harus pulang. Ibunya pasti cemas. Anak itu belum makan siang. Jadi, ia putuskan untuk sedikit memaksa Lana. Ia tahu Lana anak yang penurut. Harusnya, tidak sulit untuk dibujuk. Abang menyentuh pipi Lana yang basah dengan kedua telapaknya. Meminta anak itu untuk sejenak balik memandangnya. Dengan bergetar ia berkata, "Abang tahu Lana sedih. Tapi kalau Lana terus di sini, Ayah yang bakalan sedih. Lana mau Ayah sedih?"

Patah-patah Lana menggelengkan kepala. Abang tersenyum tipis.

"Lana sekarang pulang ya! Abang gendong deh!" Abang membalikan tubuh. Memberikan punggungnya pada Lana.

Lana menggigit bibir bawahnya. Sejenak melirik kuburan ayahnya. Abang benar. Sampai kapan pun Lana ada di sana, tetap takkan mengubah apa-apa. Ayah tetap di surga. Dan tertinggal dirinya yang merana.

"Ayo naik!" tukas Abang seraya menepuk punggung.

Lana terkesiap. Gadis kecil itu menghembuskan napas berat. Ragu-ragu bergerak naik ke atas punggung Abang. Kemudian ia lingkarkan kedua tangannya memeluk leher Abang, berpegangan.

Abang mulai bergerak. Membawa Lana menjauh dari tempat peristirahatan terakhir Ayah. Menghantarkan Lana kepada kenyataan bahwa kini dirinya adalah seorang yatim. Tidak ada lagi Ayah yang biasa diganggunya ketika membaca koran. Tidak ada lagi partner terbaik icip-icip kue buatan Ibu. Tidak ada lagi rival paling menantang bermain ular tangga. Tidak ada lagi tempat berlindung paling aman dari kemarahan Ibu kalau Lana pulang terlambat karena keasyikan bermain sepakbola atau berburu layang-layang yang putus.

"Bang, kalau Ayah ga ada, nanti Lana main ular tangga sama siapa?" tanya Lana retoris. Terkulai lesu di atas punggung Abang.

"Abang." jawab Abang singkat.

 "Kalau Lana mau nonton film ke bioskop, Lana minta antar siapa?" Lana bertanya lagi.

"Abang."

"Kalau..."

Abang menurunkan Lana dari punggungnya ketika anak itu hendak melontarkan pertanyaan ketiga yang jawabannya akan selalu sama.

Abang membungkuk, meletakan kedua tangannya di atas bahu Lana. "Abang yang akan lakukan semuanya untuk Lana! Lana mau main ular tangga, nonton bioskop, beli es krim, atau apa pun itu. Jangan takut lagi, Lana! Jangan sedih lagi! Abang mohon!" Abang menghambur memeluk Lana. Tanpa sadar mulai menitikan air mata. Untuk kali pertama ia menangis untuk orang lain. Untuk gadis kecil yang baru saja beberapa bulan dikenalnya. Kesedihan anak itu ternyata jelas sekali bisa ia rasakan. Seperti perasaan anak itu adalah perasaannya pula.

Lana terdiam dalam pelukan Abang. Entah mengapa rasanya tenang sekali. Seperti dadanya melapang kembali. Padahal sejak tadi rasanya sesak sekali. Lana balas memeluk Abang. Erat sekali seakan kalau tidak maka Abang akan menghilang.

Lana bisa mendengar Abang menangis terisak. Tapi ia tidak mau berkomentar apa-apa. Dulu, Lana pernah menangis karena Abang sakit. Sekarang, giliran Abang yang menangis untuk dirinya. Satu sama. Abang melunasi hutangnya.

***

Biasanya, pulang dari kantor, Ayah akan masuk ke kamar Lana. Bertanya apakah PR Lana sudah selesai. Kalau belum, Ayah akan membantunya. Kalau sudah, Ayah akan menggendongnya ke ruang makan untuk makan malam bersama. Setelah selesai makan, Ayah akan menemani Lana menonton TV. Atau kalau sedang bosan, mereka akan bermain ular tangga.

Tapi malam ini berbeda. Malam pertama tanpa kehadiran Ayah. Rasanya hampa sekali. Tidak lagi ia digendong ke ruang makan. Terlalu berat kakinya melangkah ke sana, sampai Ibu mengantar makanan ke kamarnya. Ibu terpaksa menyuapi Lana karena gadis itu susah sekali disuruh makan. Dan semua makanan yang masuk ke dalam mulutnya sama sekali tidak berasa. Semuanya hambar.

Lana tidak menonton TV. Karena tidak ada acara semenyenangkan mendengar dongeng-dongeng Ayah setiap sebelum dirinya tidur. Lana juga tidak bermain ular tangga. Karena tidak ada partner terbaik selain Ayah yang mampu mengimbangi kemampuannya melempar dadu. Lana cuma mau Ayah ada di sisinya. Sekarang juga! Bercerita, atau sekedar diam tak mengucapkan apa-apa.

"Belum sehari Lana ditinggal Ayah, Lana udah sebegini kangennya. Gimana nanti-nanti?" Lana bertanya retoris seraya menatap ke luar jendela. Dilihatnya pemandangan langit malam yang bertabur banyak bintang.

Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Sejurus kemudian si pengetuk bersuara, "Lana, ini Fabian. Boleh masuk?"

Lana melirik pintu kamarnya sepintas lalu. Menghela napas berat. Dan dengan suara parau ia menjawab, "Masuk aja, Bi!" Anak itu kembali memandang ke luar jendela.

Suara berderit pintu yang terbuka mempersilakan Fabian masuk. Anak itu menggigit bibirnya ketika melihat Lana yang duduk termenung di dekat jendela. Sahabatnya itu terlihat murung. Fabian sempat tak percaya bahwa yang dilihatnya sekarang adalah Lana. Gadis itu tidak pernah sesedih ini.

"Lana, maaf ya!" cicit Fabian. "Tadi aku ga bisa nganter Ayah kamu."

Lana tidak bereaksi. Ia masih fokus memandangi langit. Berharap ditemukannya sosok Ayah di sana. Terbang di antara bintang-bintang. Kemudian turun untuk memeluknya.

"Kamu boleh kok manggil Papi aku Papi juga. Maaf! Dulu aku selalu ngambek kalau kamu ikut-ikutan manggil Papi." Fabian mengeluh tertahan. Anak itu menunduk. Menatapi benda beludru di tangannya.

 Lana terkesiap. Entah mengapa hatinya tiba-tiba mencelos. Fabian dulu tidak pernah suka ada yang memanggil Mami Papi terhadap orangtuanya selain dia. Sekarang, ia bahkan rela berbagi papinya dengan Lana. Tapi Lana tidak mau Papi. Yang Lana mau adalah Ayah dan Ayah terus.

"Aku cuma mau balikin ini! Tadi ketinggalan di kelas." Fabian menyimpan sebuah tempat pensil yang terbuat dari kain beludru berwarna coklat di atas tempat tidur Lana. Lalu setelah itu, ia mundur perlahan. "Aku pulang, ya!"

"Makasih ya, Bi!" ucap Lana akhirnya.

Fabian mengangguk. Tersenyum tipis. "Sedihnya jangan lama-lama ya, Lana! Kalau kelamaan, aku bingung." Anak itu menggaruk pelipisnya. Ya, ia bingung. Entah mengapa melihat Lana bersedih, dadanya sakit sekali. Seperti ada yang sedang menusuk-nusuknya dengan jarum suntik. Oh percayalah! Fabian paling tidak bisa disuntik. Tapi semua seperti nyata. Ribuan jarum suntik menusuki dadanya. Ia bahkan tidak tahan untuk tidak menangis melihat kedua mata Lana bengkak. Pasti Lana menangis seharian ini.

Untuk itulah Fabian cepat-cepat kabur dari sana. Bergegas pulang ke rumah dan mengurung diri di kamar. Di sana akhirnya dia bisa menangis. Untuk kali pertama ia menangis bukan karena terjatuh dari sepeda atau digigit serangga sampai kulitnya merah-merah. Tapi untuk perasaan lain yang terlalu asing untuk anak seusianya.

Sementara itu Lana masih bergeming dari tempatnya. Ia masih menatap nanar ke luar jendela ketika samar tiba-tiba dilihatnya seseorang di sana. Lana terhenyak. Segera membuka jendela kamarnya. Mendapati Abang berjalan di atas genteng rumahnya yang tersambung dengan genteng rumah Lana. "Abang?!" pekik Lana.

Abang melambaikan tangannya. Bergerak semakin dekat ke arah Lana. Sementara itu Lana bergidik ngeri melihat Abang berjalan menyusuri satu persatu genteng itu. Khawatir kakinya terpeleset kemudian jatuh.

"Hati-hati, Bang!" tukas Lana. Entah mendapat inisiatif dari mana, anak itu naik ke atas jendela, kemudian duduk di sana. Membiarkan kedua kakinya terjulur keluar. Tersapu angin yang membuat malam semakin syahdu.

Abang mengacungkan jempolnya. Meyakinkan Lana bahwa dirinya tidak akan apa-apa. Dengan merentangkan kedua tangan, Abang menyeimbangkan tubuhnya. Bergerak dari satu genteng ke genteng yang lain. Hingga akhirnya kini ia sudah berada di hadapan Lana.

"Kenapa ga lewat bawah aja ketemu Lananya? Repot banget harus nyebrang genteng segala!" Lana memberengut. Melipat kedua tangannya di depan dada.

 "Biar ada tantangannya. Biar ada perjuangannya. Kalau hidup lancar-lancar aja, ga seru!" tukas Abang. Tersenyum menyeringai.

Lana mendesah kentara. Kembali memandangi langit.

Abang menatapi wajah Lana. Gurat nelangsa masih jelas tergores di sana. Membuat hatinya tertohok seketika. Abang berdehem pelan. "Kesedihan itu salah satu tantangan hidup. Kita harus berjuang biar ga sedih lagi."

 Lana menoleh pada Abang. Dilihatnya Abang tengah tersenyum begitu manis. Tapi hatinya sedang tidak berselera menikmati senyuman itu. Tetesan kesedihan terlalu banyak menetas di sana. Membuat hatinya luber dan tidak mampu menampung perasaan apa pun lagi saat ini. Gadis itu mendengus. "Tapi Lana ga suka kesedihan. Sedih itu sakit, Abang!" Lana mengeluh.

"Kalau Lana ga suka kesedihan, kenapa sekarang Lana sedih terus?" tanya Abang sarkatis.

"Lana cuma ga ngerti sama Tuhan. Kenapa Dia ambil Ayah cepat-cepat? Lana masih butuh Ayah buat ada di sini. Buat nemenin Lana. Lana mau Ayah terus ada." anak manis itu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Menyembunyikan tangis yang sedetik lagi akan pecah.

"Karena Ayah milik Tuhan. Abang, Lana, Ibu, Mamanya Abang, Fabian, dan semua yang ada di dunia ini milik Tuhan. Terus, kenapa Tuhan ga boleh ambil milik-Nya?"

Lana menggeleng. Masih dengan wajah tertangkup pada telapak tangan, dia meracau. "Tuhan egois! Tuhan jahat! Tuhan ga sayang sama Lana!"

"Husss! Ga boleh ngomong gitu! Tuhan sayang sama Lana. Kalau ga sayang, Tuhan ga akan kasih Lana hidup. Ga akan kasih Lana Ayah dan Ibu yang baik."

Lana menurunkan kedua telapaknya. Kini, parit kesedihan yang membelah pipinya itu terlihat jelas. Pantulan dari lampu kamar membuat aliran di parit itu berkilau. Anak itu menangis sesenggukan. Punggungnya bergerak naik turun seiring dengan tangisnya yang tak kunjung mereda. "Kalau gitu, Tuhan ga sayang sama Ayah!" ujar Lana tajam.

"Tuhan justru sayang banget sama Ayah. Buktinya, Tuhan sediakan surga untuk Ayah. Tahu ga, surga itu tempat yang paling indah. Ayah Lana udah bahagia sekarang di sana."Abang memejamkan kedua matanya sejenak.

"Kata siapa?" tanya Lana. Kali pertama sedikit meragukan ucapan Abang.

"Kata Tuhan." tukas Abang singkat.

Lana terhenyak. Menatap wajah Abang dengan mata membeliak. "Abang pernah ngobrol sama Tuhan?"

"Sering. Setiap malam sebelum tidur, atau setelah sembahyang, Abang selalu ngobrol sama Tuhan. Cara ngobrolnya pakai doa. Lewat doa, Abang tahu kabar Papa Abang di surga. Abang jadi ga khawatir lagi." Abang melirik Lana. Tersenyum penuh arti.

Kini tatapan Lana berubah takjub. Dulu, ia selalu bingung mengapa Ayah dan Ibu mengajarinya banyak doa. Doa sebelum makan, sebelum tidur, sebelum berangkat sekolah dan masih banyak lagi. Ternyata yang mereka ajarkan adalah cara berkomunikasi dengan Tuhan.

"Bang, surga itu ada di mana? Jauh ya? Jauhan mana sama langit? Terus, surga itu kayak apa? Di sana terang ga? Banyak bintang?" Lana mendongakan kepala. Menelusuri ratusan gemintang yang menggantung di atas langit. Pertanyaan-pertanyaan tadi tiba-tiba muncul di kepalanya. Datang dari semua kenangan yang membawanya pada sebuah ingatan tentang bagaimana Ayah dan Ibu selalu bilang bahwa ia harus jadi anak yang baik supaya bisa masuk surga. Lana kecil bingung. Kenapa harus masuk surga? Seindah apakah surga? Tidak bisakah ia tetap tinggal di rumahnya untuk selamanya?

Abang tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan Lana. "Surga itu ada di mana-mana. Tapi yang paling dekat, adanya di sini." Abang menyentuh dadanya. "Di hati kita. Jadilah anak yang baik dan selalu bersyukur. Nanti, akan Lana temukan surga Lana sendiri di hati Lana. Akan Lana temukan Ayah ada di sana. Selalu jagain Lana, selalu sayangin Lana." Abang kini turut memandang langit. "Surga itu indah. Lana betul, banyak bintangnya."

Lana menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Tak lagi ia menitikan air mata. Sudah kering pula pipinya. Seiring dengan hatinya yang mulai bisa menerima semua kenyataan itu. Bahwa meskipun Ayah tak bisa lagi dilihat wujudnya, tapi jiwanya tumbuh di sana. Dalam surga terdekatnya.

"Lana sekarang ga khawatir lagi. Di surga kan banyak bintang, terang. Ayah ga akan takut lagi." tukas Lana pada akhirnya.

Abang melirik Lana. Dilihatnya profil wajah Lana dari samping. Bersinar terpapar lampu kamar. Berkilau seperti bintang. Abang tersenyum. Tak didapatinya lagi kesedihan menggurat di sana. Semuanya hilang tersaput lengkungan senyum sebagai bentuk dari sebuah penerimaan.

Lana memegangi dadanya. Ingin merasakan sendiri surganya. Ternyata begini rasanya surga. Berdebar, namun menyenangkan. Ternyata perasaan yang selama ini selalu ia rasakan tiap kali bersama Abang bernama surga. Lana masih tersenyum. Kalau dulu ia cuma punya dua malaikat, Ayah dan Ibu, sekarang ia punya tiga; Ayah, Ibu dan Abang. Tuhan teramat menyayangi Lana. Diberikan kepada Lana tiga malaikat dalam hidupnya, satu di surga, dua di sampingnya.

Kalau ada kompetisi siapa yang paling bahagia di dunia ini, Lanalah juaranya.

***