Pages - Menu

Kamis, 22 Maret 2012

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 22


“Makasih ya buat malam ini, Putri Pelangi.” kata Gabriel. Berbinar-binar menatapku.

Aku tersenyum. Menganggukkan kepala. Lantas tanpa terduga mendekap tubuh tegap Gabriel. Membisikkan sesuatu tepat pada telinga pemuda berhati malaikat itu. “Pelangi membutuhkan hujan karena pelangi mencintai hujan.” Melepas dekapanku. Tersenyum, lantas membalikkan tubuh.

Takjub Gabriel mendengarnya. Terpana pada kalimat ajaib yang dibisikkan olehku. Aku belajar banyak darinya. Belajar bagaimana menggetarkan hati seseorang hanya dengan untaian kalimat sederhana. Aku berhasil. Lihatlah Gabriel yang berubah gemetar. Giginya bergemeletuk tertahan. Tidak lain dan tidak bukan, itu karena ia mendengar betapa magisnya kalimat yang diucapkan olehku.

Terkesiap. Gabriel segera berseru. Menahan sejenak agar aku yang akan segera memasuki mobil tak lekas bergegas. Ia membalas kalimat ajaibku dengan kalimat yang tak kalah ajaibnya. Setelah mengusap wajahnya, Aldi bersuara.

“Hujan selalu mencintai Pelangi, walau ia terpaksa undur diri saat Mentari menghampiri.”

Aku tertegun. Tersenyum menyeringai. Entah mengerti atau tidak, sesungguhnya kalimat itu tercipta dengan makna tersirat didalamnya. Yang hanya Tuhan dan sang pencipta barisan kata sederhana itulah yang mengetahuinya. Tahu, bahwa sesungguhnya matahari tak pernah benar-benar meninggalkan bumi. Ia hanya bersembunyi. Sampai pelangi yang akan memanggilnya kembali.

                                                                        ***

Mobil mewah itu berhenti di depan sebuah rumah bernuansa klasik. Keke baru saja menyembul dari dalamnya. Disusul Rio yang keluar dari pintu yang lain. Menghampiri Keke.

“Tiupan seksopon kamu malam ini keren. Aku makin suka sama pipi kembang kempis kamu.” Rio menjawil pipi Keke.

Keke tersenyum. Sudah sangat terbiasa dengan jawilan khas dari Rio. “Makasih!” Keke mendesah. “aku masuk dulu ya!”

Setelah melihat anggukan dari Rio dan mendapatkan tepukan pelan pada ubun-ubun kepalanya, Keke memutar tubuhnya. Meraih gerbang dan hendak membukanya.
           
Rio baru saja akan masuk kembali ke dalam mobil, saat tiba-tiba gadis dengan balutan gaun malam berwarna hitam itu memutar tubuh dan langsung menghambur memeluk dirinya. Rio terkesiap. Mengerutkan kening.

“Rio…” Keke tersengal berbicara. Dari pelupuk matanya mengalir parit yang membelah pipi tembemnya. Tersedu sambil mengeratkan pelukannya.

Rio balas memeluk Keke. Kenapa? Kenapa gadisnya menangis? Apakah dia telah menyakitinya? Rio belum mengurai kerutan pada keningnya. Ia mengusap-usap punggung Keke. Lalu lirih berkata, “Aurora…”

Diam. Keke tak menjawab. Malah aliran di parit itu kian menderas.

Rio menarik Keke agar tak lagi menenggelamkan wajahnya. Membiarkan ia untuk melihat sendiri bagaimana raut wajah gadisnya yang sepertinya sangatlah kacau. Rio menyimpan telapak tangannya pada pipi Keke. Menatapnya lembut. Mencoba menelaah apa yang membuat Keke didera kegalauan. Mengurai tentang apa penyebab terbentuknya parit kenelangsaan itu. “Kenapa?” Rio bertanya lirih.

Keke berusaha menenangkan dirinya sendiri. Harus. Karena danau yang menohoknya pun nampak begitu tenang. Memegangi tangan Rio yang masih menapaki pipinya. Berkata dengan selingan isakan menyedihkan pada tiap kata.

“jangan… Jangan! Jangan pernah… pergi! Jangan pernah pergi dari hati aku!”

Sungguh, Rio langsung menarik kembali gadisnya. Mendekapnya kembali, lebih erat dan hangat dari yang sebelumnya. Meminta gadisnya untuk menenggelamkan wajah kembali di dadanya. Agar ia tahu, betapa hati mereka teramat dekat untuk dapat dipisahkan. Masing-masing di hati itu membuncah sebuah rasa yang sama. Rasa cinta.

Sementara gadis itu belum berhenti menumpahkan tangis, dengan gemetar ia berujar, “Aku ga akan ke mana-mana Aurora. Aku tetap disana. Di hati kamu.” Ia mengecup puncak kepala Keke. Agak lama. Setelahnya berujar kembali, “Jangan nangis! Tolong!” Rio memelas. Miris mendapati Keke menangis. Ah ya, siapa yang tega melihat gadis ceria itu berurai air mata? Tak ada.

Gadis yang masih berada dalam pelukan hangat yang diberikan Rio itu menyeka air matanya. Terkesiap. Menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Menangis. Mengungkapkan ketakutan akan kehilangan pemuda itu. Apa yang sebenarnya membuat Keke melakukan itu semua? Karena rasa takut itu berpendar terlalu liar? Atau karena apa? Keke bertanya-tanya dalam hati.

Ada satu hal yang tidak pernah disadari oleh Keke. Rasa takut itu menyeruak bukan tanpa sebab. Ia tahu, bahwa sesungguhnya tak pernah ada kata abadi di dunia ini. Tak ada yang bisa memiliki seseorang, baik secara fisik maupun emosional dengan kekal. Waktu. Waktu selalu menggerogoti semua apa pun yang ada di atas muka bumi ini. Waktu pulalah yang mengikis habis cinta. Dan Keke tahu, waktunya akan segera habis. Waktu untuk dapat menikmati  tiap debar menyenangkan dari perasaan asing bernamakan cinta.

Itu alasan mengapa Keke menangis. Meronta-ronta agar Rio tak pernah pergi dari hatinya. Lantas, apakah tangis itu bisa membujuk sang waktu agar memberikan keleluasaan pada sang cinta agar tak tergesa menguap di udara? Kita lihat saja.

                                                                        ***

 Aku mengusap-usap lengan. Berdiri dalam naungan malam dengan gaun tanpa lengan membuat tubuh mungilku harus merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Aku terpaksa turun dan keluar dari mobil. Kata Mang Ujang, ada masalah dengan mesinnya. Mogok. Jadilah aku harus menggigil sembari memperhatikan Mang Ujang membetulkan kembali mobil, agar aku bisa segera pulang. Mama dan Papa sudah menerorku sedari tadi. Mama dan Papa telah menjadi Mama Papa yang sesungguhnya, sebagaimana yang semestinya.

“Non pulang naik taksi aja deh! Amang ga pa-pa kok!” ujar Mang ujang, tak tega melihat Nonanya gemetar menahan dingin.

Aku mendengus. Menengok ke kanan-kiri. Tak ada taksi. Aku harus bersabar lebih lama lagi.

Dan ketentuan itu tengah melakukan rencananya. Alam ikut bekerja sama. Petir menggelegar. Menorehkan kilatan  yang membelah langit kelam. Langit segera menumpahkan tangisnya. Hujan.

Aku mendongakan kepala. Hujan, kenapa setelah sekian lama kau tak hadir menyegarkan hariku, sekarang Kau datang? Kau ingin membuatku mati kedinginan? Aku menggeleng. Tak mengerti apa rencana hujan. Aku mencoba tersenyum. Tak berburuk sangka pada hujan. Aku meyakini bahwa hujan baik dan menyenangkan. Ah ya, dari pengalaman yang aku dapatkan, hujan tak pernah menyakitiku. Sekalipun aku berulang kali merutuki kedatangan hujan. Dan malam ini pun, aku percaya, hujan memliki kejutan untukku..

Kepercayaan itu benar adanya. Tak lama setelah itu, sebuah mobil berhenti di dekat mobil yang masih diutak-atik Mang Ujang. Menyembul dari dalamnya seorang pemuda tampan yang tergesa menarikku untuk masuk ke dalam mobil. Aku tak sempat menolak. Masih menikmati buliran hujan yang menghujami tubuh.

Aku mengerenyit. Baru sadar  telah berada dalam mobil bersama pemuda yang menyeretku dan sang supir tentu saja. Aku menepuk bahu pemuda itu. Mengucap namanya pelan. “Rio.” Ya, pemuda yang membawaku ke dalam mobil adalah Rio. Pemuda bergigi gingsul yang sangat tidak peka. Pangeran Matahari yang bersahaja.

Rio melirik sebentar ke arahku yang menatapinya tak percaya. Lantas membuka kaca jendela.

“Mang, Ify pulang sama saya ya!” Rio berteriak. Suaranya mengalahkan dendang rintikan hujan.

Mang Ujang mengacungkan jempol. Memberi izin.

Sejurus kemudian, melajulah mobil yang berisikan tiga orang itu. Menerobos hujan. Membelah malam. Aku masih mengerutkan kening.

“Aduuhh… kamu ga berubah ya Fy! Paling hobby sama hujan-hujanan. Ini kan udah malam. Mana kamu pakai pakaian terbuka pula. Kalau masuk angin gimana?” Rio berceloteh panjang. Diakhiri dengan pertanyaan retoris yang dijawabku dengan mengangkat bahu. Biar saja, hujan kan baik dan menyenangkan. Aku berujar dalam hati.

Rio melepaskan jas hitam yang ia kenakan. Lalu membalutkannya pada tubuhku yang setengah kuyup. Mengusap-usap tetesan hujan yang masih bergelayut lucu pada wajahku.

Aku terkekeh. Menggerakkan lengan untuk menyentuh wajah pemuda di hadapanku yang ternyata jauh lebih kuyup. Tetesan hujan sempurna membingkai wajah tampannya. Aku menyapu seluruh bagian wajah Rio.

“Kamu jauh lebih hobby Rio. Buktinya, kamu lebih basah dari aku.” aku menyibak rambut Rio ke belakang.

Sesungguhnya, sepanjang tanganku menapaki setiap lekuk pahatan sempurna wajah Rio, tanpa sadar pemuda itu justru sangat menikmatinya. Dengan jarak yang sedekat itu, nyatanya Rio tak melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengamati betapa berbinarnya kedua pelihatku, gadis yang berada tepat di hadapannya. Ia dilemparkan pada kenyataan bahwa gadis berdagu runcing itu nampak sangat cantik malam ini. Malam ini saja? Ah, sepertinya tidak. Bukankah bagi matahari, pelangi selalu nampak cantik? Dan Rio seharusnya ingat, gadis itulah yang pertama membuat hatinya penasaran. Senang. Berjingkrak di bawah hujan yang paling dihindarinya. Lalu kecewa. Hanya akulah yang bisa membuat Rio sebegitu kecewanya, dulu, kala aku bersikap buruk pada Keke. Ah ya, Rio bukan kecewa karena Auroranya tersakiti, tapi karena Pelangi yang ia sayang tidak menjadi yang ia mau.

Apa? Rio terkesiap. Kenapa? Mengerjap. Saat Rio sibuk bertanya-tanya dalam hati, ia juga ternyata tengah berkutat dengan fantasinya. Fantasi sialan yang sedari tadi memaksa lengannya untuk bergerak  menjawil dagu runcing yang dulu selalu jahil menggodanya. Ah, sampai sekarang pun dagu runcing itu masih saja hebat menunjukkan aksinya. Rio menatapku tajam.

Aku menyimpan kembali lenganku. Sadar ditatapi setajam itu oleh Rio, jengah. Aku mengerjap. Menggaruk pipinya salah tingkah. Hah? Aku memalingkan wajah menatap keluar jendela. Hujan masih turun dengan semarak. Mendendangkan orchestra yang menggugah jiwa.

Rio pun ikut mengerjap. Ia tahu, betapa tidak bolehnya ia seperti itu. Terhanyut pada keindahan dua pelihat itu. Terbuai pada godaan dagu runcing menggemaskan itu. Rio tahu, ada gadis lain yang berharap lebih padanya, Auroranya. Lalu Rio pun sudah berjanji akan mewujudkan harap itu. Jadi, jangan sampailah gadis itu dikecewakan olehnya. Lantas, ia akan membiarkan hatinya sendiri kecewa saat gadis di hadapannya makin jauh memudar dari pandangannya?

Sudahlah. Jangan terlalu ambil pusing. Rio mengupahi dirinya sendiri. Toh, nanti setelah gadis berdagu runcing itu tak lagi di dekatnya, ia tak akan sekacau ini. Rio menguap. Mendaratkan kepalanya pada bahuku, persis seperti dulu. Terlelap dalam nafas teratur. Menikmati dentuman hujan yang diiringi buncahan perasaan di hatinya. Kini, mengepulah sebuah pertanyaan besar di benaknya, siapa sesungguhnya yang menempati tempat paling istimewa di hatinya? Pemilik seutuhnya hatinya.

***

 bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentari