Mama menyapu wajahku dengan bedak tipis. Ya, tipis saja. Aku tidak suka dandanan yang berlebihan. Aku kan belum tante-tante. Kataku saat merajuk saat Mama hendak memulas wajahku dengan blash on. Mama mengalah. Tersenyum menyeringai.
Mama menyisir rapi rambut panjangku. Rambut hitam legam itu dibiarkan terurai, lurus tanpa gelombang. Lantas Mama menyisipkan sebuah jepitan bunga di antara jumputan rambutku. Tersenyum senang melihat penampilan putrinya kali ini.
Dalam balutan gaun putih indah itu, aku terlihat sangat cantik. Panjangnya hanya selutut. Memperlihatkan kaki mungilku yang mengenakan sepatu pantopel putih beraksen pita berwarna senada juga. Tadi, aku sempat berdebat kecil dengan Mama yang memaksaku untuk memakai sepatu high heels. Namun aku menolak. Aku tidak terbiasa mengenakan sepatu seperti itu. Nanti kalau jatuh terpeleset bagaimana? Kan tidak lucu. Maka Mama mengalah. Memilihkan sepatu yang lebih cantik dan lebih aman untuk menyokong penampilanku malam ini.
Gaun itu tak berlengan. Sehingga apa yang bergelayut di leherku dapat terlihat lebih kentara. Kalung berbandul pelangi. Menyempurnakan penampilanku malam ini. Aku tersenyum memandangi siluet yang terpantul pada cermin itu. Diriku.
“Lihat, kamu cantik sekali sayang!” bisik Mama.
Aku tersenyum. Cantik? Semoga pemuda yang tengah menantiku pun nanti akan mengatakan hal yang sama. Tentu saja. Aku merias diriku hanya untuk pemuda berhati malaikat itu. Aku membalikkan tubuh. Menatap nanar pada Mama.
“Mama beneran ga akan ikut? Papa? Mama sama Papa juga diundang loh sama Gabriel.”
Mama menggeleng. Menjawil dagu runcingku. “Mama sama Papa di rumah aja, nunggu kabar gembira yang akan kamu bawa.” Mengerlingkan mata.
Aku mengulum bibir. Mendelik pada Mama. “Apa banget deh Mama. Centiiilll!!”
Mama tertawa menyeringai. Melihat putri kecilnya kini telah menjelma menjadi gadis yang cantik. Gadis yang malam ini akan menjemput mimpi sederhana. Tentu saja.
“Udah… berangkat gih!” Mama mencium keningku. Mendorong tubuhku pelan. “Mang Ujang udah nunggu di bawah. Harusnya sih, Gabrielnya sendiri yang jemput permaisurinya.” Mama menaik turunkan alisnya. Jahil menggodaku.
Aku menjulurkan lidah. Dongkol juga pada Mama yang sejak aku bercerita bahwa aku akan menghadiri pesta ulang tahun Gabriel tak henti menggodanya. Aku keluar dari kamar. Beranjak menuruni tangga. Bergegas menghampiri Mang Ujang yang sudah bersiap di dalam kereta kudanya. Siaga mengantarku menuju perayaan hari jadi Pangeran hujanku.
***
Aku tersenyum jengah. Mendapati bahwa kini, aku menjadi pusat perhatian sejak turun dari mobil beberapa saat yang lalu. Semua pasang mata menatap terpana padaku. Pada kecantikanku. Dari setiap jengkal langkah kakiku, teriring berjuta decakan kagum pada siluetku. Angin malam menghembus pelan rambutku hingga melambai-lambai mempesona. Dan dengan agak malu-malu, aku tersenyum pada siapa saja yang ku temui, lengkap dengan lesung pipi. Maka setiap yang mendapatkan senyum menawan itu langsung membalas. Menyapa ramah padaku. Bahkan ada seorang pemuda yang mengulurkan tangan, hendak menuntun langkahku. Sayang, pemuda itu harus mengelus dada saat aku menolaknya dengan lembut. Namun pemuda itu tak perlu terlalu kecewa, karena ia mendapatkan ucapan terimakasih dan juga senyum yang lekat menghias wajahku. Aku melengos. Bergegas menemui pemuda yang aku yakini telah menunggu. Bahkan tanpa aku tahu, pemuda itu telah menghabiskan banyak waktu hanya untuk menunggu. Jauh sebelum euporia ini bermula.
Pemuda bertubuh jangkung itu terlihat sangat tampan. Ia gagah mengenakan jas putih berekor. Dengan senyum lebar khas miliknya, ia melangkahkan kaki. Menjemput kedatangan gadis yang telah lama dinantinya. Aku.
Gabriel mengulurkan tangan. Berharap aku bersedia memberikan tanganku untuk dapat leluasa digenggamannya.
Dan Gabriel lebih beruntung dari pemuda yang sebelumnya ditemui olehku, karena tanpa ragu, aku mengambil uluran tangan itu. Tak menolak saat Gabriel menarikku menuju tempat utama digelarnya pesta.
“Kamu cantik Ify. Kamu gadis paling cantik malam ini.” bisik Gabriel. ‘dan selamanya kamu akan menjadi gadis paling cantik buat aku.’ tambahnya dalam hati.
Aku tersenyum. Harapanku kembali terkabul. Pemuda berhati malaikat itu mengatakan hal yang sama dengan apa yang Mama katakan padaku tadi. Aku mengucap syukur dalam hati. Ketentuan itu memang selalu berpihak padaku.
Gabriel membawaku menemui Bunda yang tengah menanti kami di depan meja kecil yang di atasnya terdapat sebuah kue berlilinkan angka 18. Bunda menyambutku dengan ramah. Tersenyum sama lebarnya dengan senyum khas Gabriel. Aku tersenyum. Mengangguk. Satu fakta yang didapat, bahwa Gabriel terbiasa memamerkan senyum lebar karena arahan sang bunda.
“Ify?” tanya Bunda.
Aku mengangguk. Mengambil lengan Bunda. Mencium punggung lengannya.
“Putri Pelanginya Gabriel ya?” Bunda bertanya lagi.
Aku mencelat. Membelalakan kedua mata. Mendelik pada Gabriel yang tengah menggaruk belakang telingan. Tersipu.
“Kamu cantik. Kamu sahabatnya Agni waktu kecil ya? Sahabat Gabriel juga?”
Sekali lagi aku mengangguk. Ah, Bunda Gabriel saja sampai memujiku cantik. Benarkah aku secantik itu sampai setiap orang yang ku temui mengatakan hal yang sama? Aku mengangkat bahu.
Lalu tak lama setelah itu, acara dimulai. Pembawa acara yang berpenampilan sangat heboh itu memanggil-manggil semua tamu undangan untung merapat ke pusat acara. Tempat si empunya hajat berada. Tak butuh waktu lama, semua orang yang hadir berkumpul di tempat yang dimaksud. Lantas pembawa acara heboh itu pun memulai aksinya. Berondongan kata keluar dari mulutnya. Lancar bebas hambatan. Tanpa kesalahan pengucapan satu kata pun.
Dengan gaya khasnya yang ceria, pembawa acara tersebut memandu para tamu untuk bersama-sama menyanyikan sebuah lagu. Lagu tema dari sebuah perayaan ulang tahun. Setelah itu, ia memberikan aba-aba pada Gabriel untuk meniup lilinnya. Namun sebelum itu, Gabriel diminta untuk membuat sebuah permohonan dalam hatinya. Maka Gabriel pun memejamkan mata. Memanjatkan harap pada Tuhan yang maha mendengar. Lalu, apakah isi dari segenggam harap itu? Hanya satu, ia berharap kalau ia dapat sesederhana hujan, sebijak hujan, dan searif hujan. Hujan yang tak pernah memaksakan kehendak hatinya. Hujan yang akan dengan senang hati membiarkan pelangi berlari menyongsong mentari. Hujan yang berlapang dada kala pelangi lebih memilih memendarkan warna-warninya bersama sinar sang surya. Hanya itu. Tidak kurang. Tidak lebih. Setelah pembawa acara ceria itu mengatakan tiga, Gabriel membuka mata. Meniup lilin angka delapan belas itu. Lilin padam. Pembawa acara ceria bersorak kegirangan. Seluruh tamu undangan bertepuk tangan
Beralih ke acara selanjutnya, pemotongan kue. Gabriel dengan bimbingan pembawa acara ceria mengambil sebuah pisau. Perlahan memotong kue ulang tahunnya. Meletakkan potongan pertama di atas sebuah piring kecil yang tersedia. Si pembawa acara ceria bertanya tentang siapakah orang yang beruntung yang akan mendapatkan potongan kue pertama. Dan tentulah Bunda yang menjadi orang beruntung itu. Gabriel menyerahkan potongan kue itu pada Bunda. Memeluk Bunda. Keduanya tersenyum lebar.
Potongan kedua. Pembawa acara ceria itu jahil menggoda. Mengatakan bahwa yang akan mendapatkan potongan itu adalah orang yang istimewa di hati si pemilik acara. Dan tentulah apa yang dikatakan pembawa acara ceria itu benar adanya. Karena Gabriel memilihku untuk ia berikan potongan kue yang kedua. Ah ya, aku istimewa di hati pemuda itu? Bahkan sudah sejak lama. Aku saja yang tak pernah menyadarinya. Ternyata, aku sama tidak pekanya dengan pemuda lain di sana. Aku terperanjat mendapatkan kue itu. Senyumku semakin mengembang. Mataku berbinar tak percaya. Aku membekap mulut supaya tak memuntahkan jutaan kata kebahagiaan yang tengah ku rasakan. Aku telan sendirian. Membiarkannya mengendap dalam hati dan berharap semuanya abadi. Wajahku memerah kala pembawa acara ceria semakin antusias menggoda. Gabriel tersenyum menyeringai. Bunda menepuk bahu putranya. Dan seluruh tamu undangan bertepuk tangan. Ada pula yang bersiul. Riuh sekali.
Setelah prosedur potong kue selesai, acara dilanjutkan kembali. Pembawa acara ceria dengan bersemangat meminta Gabriel untuk naik ke panggung kecil yang berada di ujung. Lantas Gabriel menurutinya. Dan Gabriel memang pemuda dengan yang tak terduga. Ia menarik sebuah kursi. Duduk dihadapan sebuah grand piano. Mendekatkan mulutnya pada micropon.
“Karena malam ini adalah malam yang istimewa buat saya, maka izinkanlah saya untuk memberikan lagu istimewa ini untuk gadis yang istimewa juga buat saya.” Gabriel berdeham. Melirik padaku yang tengah menatapnya terpana. “Keke, boleh bantu saya?” Gabriel tersenyum pada Keke. Mengedikan kepala untuk segera bergabung bersamanya.
Keke mengangguk. Menoleh pada Rio yang setia mendampinginya, meminta izin. Melangkah anggun dengan seksopon di tangannya. Sementara Rio, dengan senyuman melepas Keke menaiki panggung. Kini dua orang hebat berada di atas satu pentas. Pangeran Hujan dan Aurora. Dua lakon utama yang lain memperhatikan dari bawah. Aku menatap tak percaya, mataku berkaca-kaca. Lalu si pemuda tak sabar untuk menyaksikan penampilan gadisnya yang pasti akan selalu membuatnya terpesona. Terjerat lingkaran cinta.
Mulailah Gabriel menekan tust-tust piano. Jarinya menari di atas batang hitam putih itu. Menciptakan alunan indah yang menggelitik hati. Sejurus kemudian, barulah Keke memulai aksinya. Meniup alat musik kesayangannya. Pipi tembemnya kembang kempis menggemaskan. Membuat pemuda bergigi gingsul itu tak hentinya menyimpul senyum. Pipi kembang kempis. Ah, gadis itu terlihat manis. Apalagi dengan gaun malam berwarna hitamnya. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai. Tersaput angin malam yang berhembus membelai sukma.
Gabriel dan Keke sempurna berkolaborasi. Melantunkan instrument yang juga pernah dimainkan oleh pemusik ternama, Kenny G. Forever in love. Semua yang menyaksikan mereka bermain dengan sepenuh jiwa ikut terhanyut. Tanpa diberi aba-aba, mereka mulai berdansa. Para pria mengulurkan tangannya, menanti sambutan dari para gadisnya. Menggerakan kaki-kaki dengan syahdu. Menyentuh pinggang dan bahu pasangannya. Ada pula yang sampai melingkarkan tangan pada tubuh partner dansanya. Dan di antara mereka yang tengah menikmati keindahan cinta, ada sepasang gadis dan pemuda yang meski pun tengah berdansa, masih sempat berdebat. Sivia dan Ray. Gabriel juga mengundang pasangan yang selalu rebut itu. kini, mereka tengah meributkan kaki-kaki mereka yang bergerak liar menyakiti kaki yang lainnya. Tak sengaja menginjak atau sekedar menyenggol. Ah, ini kan kali pertama mereka berdansa. Tapi toh, mereka sangat menyukainya. Ya, walaupun Sivia berkali-kali mengulum bibir dan berulang-ulang meminta maaf. Semua menyenangkan. Semua terbawa suasana. Suasana penuh cinta nan sederhana.
Ada yang tersisa dari semuanya. Dua pelakon utama dari kisah ini tak ikut berdansa. Tentu saja. Masing-masing pasangan tengah berada di atas pentas. Menjadi pemacu utama dari terlahirnya acara berdansa. Lantas kami –aku dan Rio- saling berpandangan sejenak, bingung mau melakukan apa. Akhirnya, dengan satu anggukan dari Rio, kami bersepakat untuk menerobos keramaian lantai dansa. Naik ke atas pentas. Menemani pasangan kami menciptakan lantunan irama.
Aku berdiri di samping Gabriel. Memperhatikan dengan seksama pemuda berhati malaikat itu. Bermain piano dengan sangat hebat. Ia melakukannya dengan hati, hatinya yang tulus. Tuhan, lihatlah! Kau menciptakan malaikat itu. Malaikat yang tanpa sepasang sayap pun mampu mengepakkan harapan di hatiku. Mampu membumbungkan mimpi sampai batas langit tertinggi. Dan pastilah ia juga mampu mewujudkan semuanya. Mengubah harapan dan mimpi menjadi sebuah kenyataan yang membuncahkan bahagia di hatiku. Ah ya, Gabriel adalah pemuda yang ajaib.
Gabriel. Dalam setiap tarian jemarinya yang lincah mempesona, nyatanya ia tak henti mengagumi siluet cantik yang berdiri anggun di sampingnya. Apalah yang dapat membuat Gabriel berhenti mengaguminya? Sedetik saja? Tak ada. Dari awal rasa itu ada, tak pernah ia mendapati hatinya tengah mengacuhkan gadis itu. Bahkan, ia yakin itu takkan terjadi. Walau ia tahu akan salah satu isi dari ketentuan tak terbantahkan itu. Ketentuan itu memaksa hujan bersembunyi kala pelangi menyambut datangnyaa mentari. Akan tetapi, sudahlah. Biarkan pemuda itu mendapatkan balasan atas kebaikan hatinya. Biarlah ia melukis warna-warni pelangi untuk suatu saat nanti akan ia berikan sendiri untuk sang rival abadi.
Rio. Pemuda itu berdiri di samping Auroranya. Merangkul tubuh gadis yang masih meniup seksopon itu. Rio tersenyum. Mengamati perubahan yang terjadi pada pipi tembem itu. Pertama mengembang, lalu mengempis, mengembang kembali, mengempis lagi. Kembang kempis pada tiap kali ia menghela nafas.
Keke. Lakon utama yang terakhir. Berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan simfoni indah dengan seksoponnya. Mengembang kempiskan pipinya dengan begitu menggemaskan. Matanya mengerjap menyenangkan. Menikmati gemuruh perasaannya saat berada dalam rangkulan pemudanya. Berharap ia tak pernah kehilangan saat-saat seperti itu. Kehilangan? Ah, mengapa ia selalu diresahkan dengan harapan itu? Harapan yang wajar bagi seseorang yang mencintai, bukan? Lalu mengapa gadis itu berfirasat bahwa ia akan kehilangan pemuda keren itu? Kehilangan momen menyenangkan di mana ia bisa mengusap lelehan minyak di sudut bibir mungil pemuda itu. Dalam waktu dekat. Delit menatapi dua danau itu. Memohon untuk tetap tinggal di hatinya, dan mengizinkan ia untuk selalu mengisi seluruh hati pemudanya.
Begitu sampai selanjutnya. Semuanya berbaur dalam cinta. Malam yang penuh cinta ini membuat seluruh penghuni langit berseru. Sedangkan ketentuan itu sedang mengawasi. Bersiap membidik target. Ada yang tidak semestinya terjadi.
***
Bersambung
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentari