HUJAN, Kita Dan Mimpi part 22
“Makasih
ya buat malam ini, Putri Pelangi.” kata Gabriel. Berbinar-binar menatapku.
Aku
tersenyum. Menganggukkan kepala. Lantas tanpa terduga mendekap tubuh tegap
Gabriel. Membisikkan sesuatu tepat pada telinga pemuda berhati malaikat itu.
“Pelangi membutuhkan hujan karena pelangi mencintai hujan.” Melepas dekapanku.
Tersenyum, lantas membalikkan tubuh.
Takjub
Gabriel mendengarnya. Terpana pada kalimat ajaib yang dibisikkan olehku. Aku
belajar banyak darinya. Belajar bagaimana menggetarkan hati seseorang hanya
dengan untaian kalimat sederhana. Aku berhasil. Lihatlah Gabriel yang berubah
gemetar. Giginya bergemeletuk tertahan. Tidak lain dan tidak bukan, itu karena
ia mendengar betapa magisnya kalimat yang diucapkan olehku.
Terkesiap.
Gabriel segera berseru. Menahan sejenak agar aku yang akan segera memasuki
mobil tak lekas bergegas. Ia membalas kalimat ajaibku dengan kalimat yang tak
kalah ajaibnya. Setelah mengusap wajahnya, Aldi bersuara.
“Hujan
selalu mencintai Pelangi, walau ia terpaksa undur diri saat Mentari
menghampiri.”
Aku
tertegun. Tersenyum menyeringai. Entah mengerti atau tidak, sesungguhnya
kalimat itu tercipta dengan makna tersirat didalamnya. Yang hanya Tuhan dan sang
pencipta barisan kata sederhana itulah yang mengetahuinya. Tahu, bahwa
sesungguhnya matahari tak pernah benar-benar meninggalkan bumi. Ia hanya
bersembunyi. Sampai pelangi yang akan memanggilnya kembali.
***
Mobil
mewah itu berhenti di depan sebuah rumah bernuansa klasik. Keke baru saja menyembul
dari dalamnya. Disusul Rio yang keluar dari pintu yang lain. Menghampiri Keke.
“Tiupan
seksopon kamu malam ini keren. Aku makin suka sama pipi kembang kempis kamu.”
Rio menjawil pipi Keke.
Keke
tersenyum. Sudah sangat terbiasa dengan jawilan khas dari Rio. “Makasih!” Keke mendesah.
“aku masuk dulu ya!”
Setelah
melihat anggukan dari Rio dan mendapatkan tepukan pelan pada ubun-ubun
kepalanya, Keke memutar tubuhnya. Meraih gerbang dan hendak membukanya.
Rio
baru saja akan masuk kembali ke dalam mobil, saat tiba-tiba gadis dengan
balutan gaun malam berwarna hitam itu memutar tubuh dan langsung menghambur
memeluk dirinya. Rio terkesiap. Mengerutkan kening.
“Rio…”
Keke tersengal berbicara. Dari pelupuk matanya mengalir parit yang membelah
pipi tembemnya. Tersedu sambil mengeratkan pelukannya.
Rio
balas memeluk Keke. Kenapa? Kenapa gadisnya menangis? Apakah dia telah
menyakitinya? Rio belum mengurai kerutan pada keningnya. Ia mengusap-usap
punggung Keke. Lalu lirih berkata, “Aurora…”
Diam.
Keke tak menjawab. Malah aliran di parit itu kian menderas.
Rio
menarik Keke agar tak lagi menenggelamkan wajahnya. Membiarkan ia untuk melihat
sendiri bagaimana raut wajah gadisnya yang sepertinya sangatlah kacau. Rio
menyimpan telapak tangannya pada pipi Keke. Menatapnya lembut. Mencoba menelaah
apa yang membuat Keke didera kegalauan. Mengurai tentang apa penyebab
terbentuknya parit kenelangsaan itu. “Kenapa?” Rio bertanya lirih.
Keke
berusaha menenangkan dirinya sendiri. Harus. Karena danau yang menohoknya pun
nampak begitu tenang. Memegangi tangan Rio yang masih menapaki pipinya. Berkata
dengan selingan isakan menyedihkan pada tiap kata.
“jangan…
Jangan! Jangan pernah… pergi! Jangan pernah pergi dari hati aku!”
Sungguh,
Rio langsung menarik kembali gadisnya. Mendekapnya kembali, lebih erat dan
hangat dari yang sebelumnya. Meminta gadisnya untuk menenggelamkan wajah
kembali di dadanya. Agar ia tahu, betapa hati mereka teramat dekat untuk dapat
dipisahkan. Masing-masing di hati itu membuncah sebuah rasa yang sama. Rasa
cinta.
Sementara
gadis itu belum berhenti menumpahkan tangis, dengan gemetar ia berujar, “Aku ga
akan ke mana-mana Aurora. Aku tetap disana. Di hati kamu.” Ia mengecup puncak
kepala Keke. Agak lama. Setelahnya berujar kembali, “Jangan nangis! Tolong!”
Rio memelas. Miris mendapati Keke menangis. Ah ya, siapa yang tega melihat
gadis ceria itu berurai air mata? Tak ada.
Gadis
yang masih berada dalam pelukan hangat yang diberikan Rio itu menyeka air matanya.
Terkesiap. Menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Menangis. Mengungkapkan
ketakutan akan kehilangan pemuda itu. Apa yang sebenarnya membuat Keke
melakukan itu semua? Karena rasa takut itu berpendar terlalu liar? Atau karena
apa? Keke bertanya-tanya dalam hati.
Ada
satu hal yang tidak pernah disadari oleh Keke. Rasa takut itu menyeruak bukan
tanpa sebab. Ia tahu, bahwa sesungguhnya tak pernah ada kata abadi di dunia
ini. Tak ada yang bisa memiliki seseorang, baik secara fisik maupun emosional
dengan kekal. Waktu. Waktu selalu menggerogoti semua apa pun yang ada di atas
muka bumi ini. Waktu pulalah yang mengikis habis cinta. Dan Keke tahu, waktunya
akan segera habis. Waktu untuk dapat menikmati
tiap debar menyenangkan dari perasaan asing bernamakan cinta.
Itu
alasan mengapa Keke menangis. Meronta-ronta agar Rio tak pernah pergi dari
hatinya. Lantas, apakah tangis itu bisa membujuk sang waktu agar memberikan
keleluasaan pada sang cinta agar tak tergesa menguap di udara? Kita lihat saja.
***
Aku mengusap-usap lengan. Berdiri dalam
naungan malam dengan gaun tanpa lengan membuat tubuh mungilku harus merasakan
dingin yang menusuk hingga ke tulang. Aku terpaksa turun dan keluar dari mobil.
Kata Mang Ujang, ada masalah dengan mesinnya. Mogok. Jadilah aku harus
menggigil sembari memperhatikan Mang Ujang membetulkan kembali mobil, agar aku
bisa segera pulang. Mama dan Papa sudah menerorku sedari tadi. Mama dan Papa
telah menjadi Mama Papa yang sesungguhnya, sebagaimana yang semestinya.
“Non
pulang naik taksi aja deh! Amang ga pa-pa kok!” ujar Mang ujang, tak tega
melihat Nonanya gemetar menahan dingin.
Aku
mendengus. Menengok ke kanan-kiri. Tak ada taksi. Aku harus bersabar lebih lama
lagi.
Dan
ketentuan itu tengah melakukan rencananya. Alam ikut bekerja sama. Petir
menggelegar. Menorehkan kilatan yang
membelah langit kelam. Langit segera menumpahkan tangisnya. Hujan.
Aku
mendongakan kepala. Hujan, kenapa setelah sekian lama kau tak hadir menyegarkan
hariku, sekarang Kau datang? Kau ingin membuatku mati kedinginan? Aku
menggeleng. Tak mengerti apa rencana hujan. Aku mencoba tersenyum. Tak berburuk
sangka pada hujan. Aku meyakini bahwa hujan baik dan menyenangkan. Ah ya, dari
pengalaman yang aku dapatkan, hujan tak pernah menyakitiku. Sekalipun aku
berulang kali merutuki kedatangan hujan. Dan malam ini pun, aku percaya, hujan
memliki kejutan untukku..
Kepercayaan
itu benar adanya. Tak lama setelah itu, sebuah mobil berhenti di dekat mobil
yang masih diutak-atik Mang Ujang. Menyembul dari dalamnya seorang pemuda tampan
yang tergesa menarikku untuk masuk ke dalam mobil. Aku tak sempat menolak.
Masih menikmati buliran hujan yang menghujami tubuh.
Aku
mengerenyit. Baru sadar telah berada
dalam mobil bersama pemuda yang menyeretku dan sang supir tentu saja. Aku
menepuk bahu pemuda itu. Mengucap namanya pelan. “Rio.” Ya, pemuda yang
membawaku ke dalam mobil adalah Rio. Pemuda bergigi gingsul yang sangat tidak
peka. Pangeran Matahari yang bersahaja.
Rio
melirik sebentar ke arahku yang menatapinya tak percaya. Lantas membuka kaca
jendela.
“Mang,
Ify pulang sama saya ya!” Rio berteriak. Suaranya mengalahkan dendang rintikan
hujan.
Mang
Ujang mengacungkan jempol. Memberi izin.
Sejurus
kemudian, melajulah mobil yang berisikan tiga orang itu. Menerobos hujan.
Membelah malam. Aku masih mengerutkan kening.
“Aduuhh…
kamu ga berubah ya Fy! Paling hobby sama hujan-hujanan. Ini kan udah malam.
Mana kamu pakai pakaian terbuka pula. Kalau masuk angin gimana?” Rio berceloteh
panjang. Diakhiri dengan pertanyaan retoris yang dijawabku dengan mengangkat
bahu. Biar saja, hujan kan baik dan menyenangkan. Aku berujar dalam hati.
Rio
melepaskan jas hitam yang ia kenakan. Lalu membalutkannya pada tubuhku yang
setengah kuyup. Mengusap-usap tetesan hujan yang masih bergelayut lucu pada
wajahku.
Aku
terkekeh. Menggerakkan lengan untuk menyentuh wajah pemuda di hadapanku yang
ternyata jauh lebih kuyup. Tetesan hujan sempurna membingkai wajah tampannya.
Aku menyapu seluruh bagian wajah Rio.
“Kamu
jauh lebih hobby Rio. Buktinya, kamu lebih basah dari aku.” aku menyibak rambut
Rio ke belakang.
Sesungguhnya,
sepanjang tanganku menapaki setiap lekuk pahatan sempurna wajah Rio, tanpa
sadar pemuda itu justru sangat menikmatinya. Dengan jarak yang sedekat itu,
nyatanya Rio tak melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengamati betapa
berbinarnya kedua pelihatku, gadis yang berada tepat di hadapannya. Ia
dilemparkan pada kenyataan bahwa gadis berdagu runcing itu nampak sangat cantik
malam ini. Malam ini saja? Ah, sepertinya tidak. Bukankah bagi matahari, pelangi
selalu nampak cantik? Dan Rio seharusnya ingat, gadis itulah yang pertama
membuat hatinya penasaran. Senang. Berjingkrak di bawah hujan yang paling
dihindarinya. Lalu kecewa. Hanya akulah yang bisa membuat Rio sebegitu
kecewanya, dulu, kala aku bersikap buruk pada Keke. Ah ya, Rio bukan kecewa
karena Auroranya tersakiti, tapi karena Pelangi yang ia sayang tidak menjadi
yang ia mau.
Apa?
Rio terkesiap. Kenapa? Mengerjap. Saat Rio sibuk bertanya-tanya dalam hati, ia
juga ternyata tengah berkutat dengan fantasinya. Fantasi sialan yang sedari
tadi memaksa lengannya untuk bergerak
menjawil dagu runcing yang dulu selalu jahil menggodanya. Ah, sampai
sekarang pun dagu runcing itu masih saja hebat menunjukkan aksinya. Rio
menatapku tajam.
Aku
menyimpan kembali lenganku. Sadar ditatapi setajam itu oleh Rio, jengah. Aku
mengerjap. Menggaruk pipinya salah tingkah. Hah? Aku memalingkan wajah menatap
keluar jendela. Hujan masih turun dengan semarak. Mendendangkan orchestra yang
menggugah jiwa.
Rio
pun ikut mengerjap. Ia tahu, betapa tidak bolehnya ia seperti itu. Terhanyut
pada keindahan dua pelihat itu. Terbuai pada godaan dagu runcing menggemaskan
itu. Rio tahu, ada gadis lain yang berharap lebih padanya, Auroranya. Lalu Rio
pun sudah berjanji akan mewujudkan harap itu. Jadi, jangan sampailah gadis itu
dikecewakan olehnya. Lantas, ia akan membiarkan hatinya sendiri kecewa saat
gadis di hadapannya makin jauh memudar dari pandangannya?
Sudahlah.
Jangan terlalu ambil pusing. Rio mengupahi dirinya sendiri. Toh, nanti setelah
gadis berdagu runcing itu tak lagi di dekatnya, ia tak akan sekacau ini. Rio
menguap. Mendaratkan kepalanya pada bahuku, persis seperti dulu. Terlelap dalam
nafas teratur. Menikmati dentuman hujan yang diiringi buncahan perasaan di
hatinya. Kini, mengepulah sebuah pertanyaan besar di benaknya, siapa
sesungguhnya yang menempati tempat paling istimewa di hatinya? Pemilik seutuhnya
hatinya.
***
bersambung
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari