Tidak Butuh Judul [14]
“Kamu oke?” Gabriel menyadari bahwa ada yang berubah dengan gadisnya. Entah sejak kapan, namun Ify kini lebih sering didapatinya tengah termenung. Entah sedang memikirkan apa. Seakan seluruh masalah yang ada di muka bumi ini dibebankan padanya.
Sore ini, di perjalanan pulang selepas berbelanja dari sebuah mall, Gabriel mencoba memberanikan diri untuk bertanya. Ia mengusap punggung tangan Ify.
Ify nampak terkesiap. Sontak ia melirik Gabriel, tersenyum tipis. “Aku baik-baik aja.”
Berbekal rasa percaya dan pengalaman bahwa Ify tidak pernah menyembunyikan apa pun darinya, Gabriel menganggukkan kepala. Mungkin memang semuanya baik-baik saja. Ia mungkin hanya terlalu khawatir.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan ternyata. Gabriel mengendus sesuatu yang tidak beres dengan Ify. Dan ia meyakini perubahan sikap Ify ada hubungannya dengan lelaki yang ia temui di parkiran apartemen Ify tadi, Rio.
Bukan hanya satu atau dua kali. Berkali-kali Gabriel menangkap perubahan ekspresi Ify ketika tidak sengaja mereka bertemu dengan Rio. Ify selalu ingin cepat-cepat pergi. Sebisa mungkin ia menghindar agar tidak terlalu lama bersama Rio.
Dan Rio, yang ia pikir akan menjadi teman baiknya ternyata tidak. Rio selalu menatap Gabriel dengan tajam, seakan mereka adalah musuh lama dan ia menyimpan dendam padanya. Pemuda itu juga tidak pernah membalas sapaannya. Bahkan tersenyum pun tidak. Ia hanya akan mendelik dan kemudian melengos pergi.
Entah seperti apa hubungan Ify dan Rio sesungguhnya. Gabriel belum mau bertindak lebih jauh. Ia masih menunggu. Mungkin memang belum saatnya ia harus tahu.
“Kita langsung pulang ya! Aku capek mau istirahat,” ujar Ify.
Capek yang dirasakan Ify mungkin lebih kepada batinnya. Bagaimana ia begitu tersiksa karena setiap saat bayang-bayang Rio selalu berkelebat jatuh di otaknya. Seperti hantu, pemuda itu membuat hidup Ify sama sekali tidak tenang. Sialnya, setelah kejadian malam itu, ia jadi lebih sering bertemu Rio secara tidak sengaja. Ia bertemu Rio saat tengah bersama Gabriel. Sebisa mungkin ia menyembunyikan semuanya. Berlari dan menghindar dari pemuda itu. Sekarang ia butuh istirahat. Mungkin sampai besok. Ia butuh banyak energi untuk berpura-pura tidak terjadi apa pun esok di pesta ulang tahun Sivia. Berkat berpacaran dengan Gabriel, Ify diundang ke pesta ulang tahun perempuan sombong itu. Entah ia harus beryukur atau tidak untuk itu.
***
Kalau bukan karena Gabriel, demi langit dan bumi Ify tidak akan pernah sudi menghadiri pesta ulang tahun Sivia. Untuk beberapa jam kemudian, Ify harus berpura-pura bahagia di sana. Sebuah pesta meriah yang diadakan di ballroom hotel bintang lima, dipandu mc kondang papan atas ibukota, serta mengundang penyanyi hits yang lagunya hampir setiap saat diputar di banyak radio.
Selain karena ini pesta Sivia, ada beberapa hal yang membuat Ify sangat tidak nyaman berada di sana. Seseorang dengan kemeja putih di ujung sana membuatnya merasa tidak aman. Sedari tadi ia menatap Ify dengan banyak arti.
Orang itu adalah Rio. Entah apa tujuan Sivia mengundang mantan kekasihnya itu. Mungkin ingin menjalin silaturahmi yang sebelumnya terputus, atau jutsru ingin menunjukkan pada mantannya bahwa ia lebih bahagia dan bersinar dengan kekasih barunya. Bukannya berburuk sangka, tapi mungkin alasan kedualah yang mendasari Sivia untuk turut mengundang Rio datang ke pesta ulang tahunnya yang kedua puluh.
“Aku ke toilet dulu ya, Gab!” pamit Ify. Sebelum pergi, ia sempatkan menepuk bahu Gabriel.
Toilet adalah tempat yang dipilih Ify untuk melarikan diri. Untuk mengumpulkan segenap kekuatan yang bisa membuatnya lebih lama bertahan, sebelum nanti mungkin ia merengek minta pulang duluan.
Ify melihat pantulan dirinya dalam cermin. Dalam balutan gaun berwarna biru serta pulasan make up, ia nampak berbeda. Gadis itu menelan ludah. Apa yang sebenarnya dilihat Rio darinya? Untuk urusan cantik, lebih banyak perempuan cantik di luar sana, yang bahkan tak usah ia kejar datang menggilainya. Bahkan dengan penampilannya malam ini, ia merasa tidak lebih cantik dari semua orang yang hadir detik ini, teman-teman Sivia yang populer. Apalagi dibandingkan dengan Sivia. Mungkin seperti pohon beringin dan bonsai. Sivia menjulang menantang langit, dan dirinya meringkuk dalam pot.
Ify merasa terlalu lama ia berada di toilet. Ia harus segera kembali. Gadis itu bergegas keluar.
Ify hampir tersandung ketika ia menemukan Rio tengah menghadangnya. Pemuda itu menatap Ify seperti anak kecil yang tengah memelas pada ibunya meminta dibelikan mainan. “Lo cantik banget malam ini,” cicit Rio.
Ify ingin membalas pujian itu dan mengatakan bahwa malam ini Rio juga tampan. Meskipun tidak memakai jas seperti kebanyakan lelaki yang hadir, meskipun hanya kemeja polos yang menempel di tubuhnya, tetap tak mampu menyamarkan ketampanan pemuda itu. Tapi kemudian Ify mengerjap. Dia yang ada di hadapannya mungkin setampan putra raja, tapi Ify harus ingat bahwa sudah ada yang merajai hatinya.
“Permisi, Kak! Aku mau lewat,” ucap Ify.
Rio tidak mau menyingkir. Pemuda itu malah maju dan meraih tangan Ify, digenggamnya kuat-kuat tangan itu. Tak berniat sedikit pun melepaskan.
Ify mengaduh kesakitan. Ia berusaha untuk membebaskan tangannya. Tapi cengkraman Rio terlalu kuat. Sempat ia berniat berteriak meminta tolong, tapi niat itu diurungkannya karena tidak ingin membuat kegaduhan di pesta orang. Pesta Sivia pula. Cari mati itu namanya.
“Lepasin aku, Kak!” lirih Ify meminta.
“Gue ga bakalan lepasin lo. Ikut gue, Fy!” desis Rio.
Ify hampir menyerah saat tiba-tiba Gabriel datang dan merangsek mendorong Rio hingga membentur tembok.
Tanpa berkata apa pun, Gabriel langsung membawa Ify pergi dari hotel itu. Meninggalkan pesta yang baru berlangsung setengahnya.
***
Gabriel masih belum mau bersuara. Di balik setirnya, ia mengunci rapat mulutnya. Masih bergelut dengan hatinya yang tidak terima. Apa yang dilihatnya tadi sukses membuat dadanya sesak.
Seseorang telah menggenggam tangan itu. Tangan yang sangat mahir menggambar wajahnya. Tangan yang membuatkannya brownies paling enak seluruh dunia. Tangan yang memeluknya erat. Dan Gabriel sempat melihatnya. Bagaimana Ify menatap lelaki itu dalam dan tenang. Potongan-potongan puzzle mengenai hubungan Ify dan Rio yang sesungguhnya pun kini mulai tersusun.
Gabriel belum mau meledak. Ia sudah dewasa dan bukan lagi remaja tanggung yang akan bertingkah drama ketika memergoki gadisnya besama lelaki lain. Ia mau mendengarkan penjelasan Ify.
“Jadi gimana, Fy?” kalimat itulah yang muncul memecah keheningan yang pekat menyelimuti seisi mobil.
Ify meringkuk. Mencari jawaban tepat yang takkan membuat Gabriel marah. Ia mengira-ngira sejak kapan Gabriel ada di sana. Mengamati apa yang sebenarnya terjadi. Gadis itu pun mengingat-ingat bahwa tadi ia tidak meladeni Rio.
“Ga ada,” ucap Ify singkat. Karena memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Rio. Rionya saja yang selalu mengada-ngada.
Gabriel tidak puas dengan jawaban itu. Jawaban yang sama sekali tidak menjelaskan semua yang harusnya sudah jelas.
“Aku dan kamu udah sama-sama dewasa. Orang dewasa kadang ga sejujur anak kecil. Tapi kali ini aku minta sama kamu untuk jujur. Please!”
Ify menggeleng samar. Jujur? Ia harus jujur bahwa selama Gabriel tidak ada, Rio selalu membuntutinya ke mana-mana? Ia harus jujur bahwa hampir setiap malam ia insomnia karena kehadiran Gabriel memaksanya untuk menghindari Rio? Ia harus jujur bahwa ternyata ia juga memiliki perasaan yang sama dengan Rio? Oh jangan gila!
“Ga ada,” lagi-lagi jawaban itu yang keluar dari mulutnya. Ify tidak akan bisa jujur karena hal itu akan melukai Gabriel. Ify tidak akan mampu menjadi jahat untuk Gabriel meskipun kenyataannya sudah. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Terisak di sana.
***
Ify berjalan menuju kamarnya seperti zombie. Untuk kali pertama, Gabriel tidak mengantarnya hingga kamar. Ia menurunkan Ify di depan. Bahkan ia tidak turun dari mobilnya.
Sebelum keluar dari mobil, Gabriel sempat berkata. Sesuatu yang membuat Ify sakit.
“Kita ga usah ketemu dulu ya! Kamu butuh waktu untuk berpikir. Aku juga.” Gabriel menghela napas panjang. “Kamu jangan lupa kalau aku cinta sama kamu.”
Tidak ada pertengkaran dashyat yang terjadi. Tidak tercipta percekcokan hebat tadi. Tapi Ify tahu Gabriel telah mengibarkan bendera perang padanya. Perang tanpa senjata yang justru mampu melumpuhkannya.
Ify bisa menjalani hari-harinya jauh dari Gabriel, dibentang jarak dan waktu. Namun selama itu, Gabriel tidak pernah hilang. Dia selalu hadir. Kini, jarak dan waktu bukan masalah baginya. Sekarang, dirinyalah yang menjadi masalah.
***
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari