Tidak Butuh Judul [13]
Kehadiran Gabriel benar-benar menambah semangat untuk Ify. Pagi-pagi Gabriel akan datang ke apartemennya, sarapan nasi goreng buatan Ify atau roti selai coklat. Untuk roti dan selai, Ify dan Gabriel harus berdebat terlebih dahulu karena perbedaan selera antara mereka. Gabriel tidak suka selai nanas karena aromanya yang tidak enak. Sementara itu Ify sangat menyukai selai nanas. Dan untuk menghormati pendapat masing-masing, akhirnya mereka memilih selai coklat sebagai jalan keluar.
Gabriel kemudian akan mengantarnya ke kampus, membuat semua teman-teman yang membullynya diam karena ternyata Ify punya pacar sekeren itu. Gabriel juga dikenalkan pada Alvin, supaya dia tahu bahwa dia tidak perlu khawatir meninggalkan Ify, karena akan selalu ada Alvin yang setia menemaninya.
Jam makan siang Gabriel akan datang ke kampus untuk makan siang bersama Ify di kantin kampus. Kalau sudah tidak ada lagi kuliah, mereka akan makan siang di luar. Kadang Alvin ikut bersama mereka, tapi lebih sering tidak karena ia tahu diri dan tidak mau mengganggu Ify dan kekasihnya.
Sore setelah urusan perkuliahannya selesai, Ify akan mengajak Gabriel menonton di bioskop. Atau kalau sedang tidak ada film yang bagus, mereka akan menonton film-film Disney di apartemen Ify atau kadang juga di rumah Deva.
Hari itu kebetulan Ify dan Gabriel tengah menonton Pocahontas di rumah Deva saat si pemilik rumah tiba-tiba datang. Ia tak sendirian. Seorang perempuan cantik menggelayut manja di sampingnya.
Ify tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat dia mengetahui bahwa Sivia adalah perempuan itu. Ia mengangguk samar. Pantas saja ia merasa pernah bertemu dengan Deva sebelumnya. Ternyata Deva pacarnya Sivia. Seseorang yang telah merebut Sivia dari Rio dan membuat pemuda itu hancur sampai hampir mati malam itu. Ify terkesiap. Kok ia jadi memikirkan Rio ya?
“Gab, Fy, kenalin. Sivia, pacar gue!” ujar Deva memperkenalkan perempuan di sampingnya. “Dan Sivia, ini sepupu aku, Gabriel. Dan pacarnya, Ify.”
Sivia menyalami Gabriel dan Ify satu persatu. Agak kaget bertemu dengan Ify di sana. Lebih kaget lagi dan cenderung tidak percaya ketika mengetahui bahwa Ify adalah kekasih sepupunya Deva yang kata Deva kuliah di Paris.
“Aku udah kenal kok sama Ify. Dia adik tingkat aku. Iya kan, Fy?” Sivia melirik Ify, meminta dukungan. Gadis itu tersenyum penuh arti. Bibirnya yang berwarna merah darah merekah dengan sempurna.
“I-iya Kak Sivia,” ujar Ify dengan agak terbata. Gadis itu merasa canggung harus beramah tamah dengan Sivia, mengingat bagaimana dulu kakak tingkatnya itu bersikap sangat tidak baik padanya, bahkan sampai mengatainya pembantu. Gadis itu mengeluh dalam hati.
“Kalian lagi nonton apa sih?” tanya Deva kemudian duduk di sofa, di samping Gabriel.
“Pocahontas. Hehe.” Gabriel terkekeh.
“Kayak bocah deh kalian! Tapi bolehlah kita ikutan,” Deva melirik Sivia. Perempuan itu tersenyum.
“Biar nontonnya makin seru, aku bikinin es jeruk gimana?” tanya Ify.
“Boleh,” kata Gabriel yang diamini oleh Deva.
Ify mengangguk kemudian melipir pergi ke dapur. Yang ternyata juga diikuti oleh Sivia.
Ify mengeluarkan beberapa buah jeruk peras dan sebotol air dingin dari dalam kulkas. Lalu ia mengambil empat gelas dari rak. Dengan cekatan ia mulai memeras jeruk tadi. Ia belum menyadari bahwa Sivia ada di belakangnya. Berdiri di dekat kulkas.
“Gue pikir lo pacaran sama Rio,” celetuk Sivia yang hampir membuat Ify menjatuhkan botol berisi air dingin yang ada di tangannya. Gadis itu hendak menuangkan air ke dalam gelas berisi perasan jeruk.
Ify melirik Sivia sekilas kemudian melanjutkan pekerjaannya. Ia mengeluh dalam hati. Kok Sivia berpikiran seperti itu sih? Memangnya sedekat apa hubungannya dengan Rio di matanya? “Enggak kok, Kak! Aku udah sama Gabriel dari dulu,” ujar Ify. Sekarang ia tengah mengaduk es jeruk buatannya.
“Bagus deh! Lo ga pantes sama Rio. Gue juga heran kok lo bisa dapat pacar sekeren Gabriel.” Sivia mengetukkan jarinya di dagu, berpura-pura berpikir. “Oh mungkin dulu Gabriel masih cupu. Makanya mau sama lo.”
Ify meneguk ludah. Ia menahan diri untuk tidak menyiramkan jus jeruk buatannya pada wajah Sivia yang berpulaskan make up tebal itu. Meskipun ucapan perempuan itu menyakiti hatinya. Maksudnya apa coba ia tidak pantas bersama Rio? Cinta kan bukan soal masalah pantas atau tidak. Kalau sudah saling mencintai, batas kepantasan itu sudah tidak ada lagi. Dan asal tahu saja ya, Gabriel itu tidak pernah tidak keren! Sejak kali pertama ia mengenal pemuda itu, dia sudah keren. Sampai sekarang dia selalu keren. Dia keren permanen! Ify menggertakan rahangnya. Kesal juga pada Sivia. Lebih kesal pada dirinya. Jadi dia pilih Rio atau Gabriel sih?
Tanpa perasaan bersalah, Sivia mengambil dua gelas es jeruk buatan Ify. Kemudian membawanya pergi. Tanpa permisi atau seutas kata terimakasih.
Ify mengulum bibirnya sebal. Sabar, Ify! Kamu sekarang sedang menumpang di rumah pacarnya nenek sihir itu. Jangan bertingkah bodoh! Nanti Gabriel malu lagi punya pacar sepertimu.
Setelah menenangkan diri, Ify membawa dua gelas es jeruk yang tertinggal dan pergi dari dapur. Ia berharap mood menontonnya tidak rusak oleh kehadiran si nenek sihir itu. Hup!
***
Semenjak pertemuannya dengan Sivia di rumah Deva waktu itu, Ify selalu mencari alasan untuk tidak kembali ke sana. Ia tidak mau lagi berhubungan dengan perempuan bermulut pedas itu. Ify selalu meminta apa pun dilaksanakan di apartemennya saja. Untungnya, Gabriel tidak curiga dan menuruti kemauan Ify.
Sepuluh menit yang lalu Ify dan Gabriel menyelesaikan film Frozen. Entah mengapa, berkali-kali menonton film yang sama, tak membuat Ify dan Gabriel bosan. Selalu menyenangkan menonton tingkah bodoh dan konyol Anna serta Olaf si manusia salju.
Omong-omong soal Frozen, Gabriel jadi teringat sesuatu. “Eh kamu masih ngegambar ga sih? Kangen aku digambarin sama kamu,” celetuk Gabriel.
Ify mendesah samar. Ia mengambil sesuatu dari dalam lemari kaca di dekat pintu kamarnya. Dengan merengut, gadis itu menyerahkan apa yang baru diambilnya pada Gabriel.
Gabriel bergidik ngeri ketika menerima sebuah buku sketsa yang kotor dan rusak. Ia melirik tajam pada Ify. Ini bukannya buku sketsa yang pernah dihadiahkannya untuk Ify?
“Maaf ya, Gab! Bukunya rusak. Waktu itu ga sengaja masuk tong sampah,” ucap Ify dengan nada menyesal.
Gabriel mengeluh tertahan. Ia kemudian membuka buku tersebut. Meskipun bercak kecoklatan nampak mengotori hampir setengah dari jumlah halaman buku itu, tapi Gabriel tahu persis bahwa kebanyakan gambar yang ada di sana adalah gambar dirinya. Ia tersenyum. “Bukunya buat aku ya! Aku suka! Banyak akunya soalnya.” Gabriel terkekeh pelan.
“Tapi itu udah rusak gitu, Gab! Nanti deh aku bikinin lagi yang lebih bagus.”
“Ini juga udah bagus. Ga apa. Nanti bukunya aku beli yang baru buat kamu, terus kamu gambar aku lagi deh. Tapi nanti ga pake ada coklat-coklatnya gini.”
Ify mencubit lengan Gabriel. “Kamu nih emang paling bisa.”
Gabriel membalas Ify dengan mencubit pipi gadis itu yang terlalu menggemaskan di matanya.
Ify mengaduh kesakitan, namun kemudian ia tertawa. Bahagia sekali memiliki Gabriel yang tidak pernah marah atas kesalahannya. Lelaki lain mungkin akan marah atau lebih parah lagi, kecewa kalau hadiah pemberiannya tidak dijaga dengan baik. Tapi Gabriel tidak. Baginya, semua yang telah ia berikan sudah menjadi hak Ify. Mau diapakan juga terserah saja. Dan buku sketsa yang hampir hancur itu justru membuat hati Gabriel berbunga. Bercak coklat tak mampu menghapus goresan indah tangan Ify melukis wajahnya.
Sayangnya, Gabriel tidak tahu bahwa bukan hanya buku sketsa itu yang tidak bisa dijaga Ify. Gadis itu juga telah gagal menjaga hatinya. Ia biarkan hatinya disentuh lelaki lain. Ia buat dirinya bingung hatinya untuk siapa. Bahkan ketika dirinya sedang bersama Gabriel, seringkali terlintas di benaknya lelaki itu. Lelaki yang telah membuat buku sketsanya rusak. Ia berharap bahwa hubungannya dengan Gabriel tidak turut rusak oleh lelaki itu.
***
Rio tidak punya teman untuk dijadikannya konsultan. Makanya ia merancang rencananya sendirian. Ia tidak bisa terus-terusan bersembunyi dan menikmati kesakitannya sendiri. Ify harus tahu karena dialah penyebab semuanya.
Rio sudah tahu situasi di luar sana telah aman. Musuhnya telah pergi sejak satu jam yang lalu. Dengan senjata di tangannya -sebuah kotak beledu yang harusnya sejak dulu sudah ia berikan pada Ify, ia melangkah percaya diri. Menekan bel kamar Ify.
Tak butuh waktu lama, Ify membuka pintu. Terlihat sekali raut wajah terkejut gadis itu. Ia meneguk ludah. Terbata-bata bertanya, “Ada apa, Kak?”
Rio menyerahkan kotak beledu yang dibawanya pada Ify, senjatanya yang pertama. Tanpa permisi ia melintasi Ify dan masuk ke dalam, tempat eksekusinya malam ini.
Ify terkesiap ketika Rio berjalan masuk ke apartemennya. Ia terburu menutup pintu dan berjalan mengikuti Rio. Dalam hati takut juga Rio akan berbuat macam-macam.
Dengan gerakan yang sama sekali tak terbaca, Rio memutar tubuhnya. Kini ia menghadap Ify. Ia menatap Ify dalam-dalam. Bersiaplah untuk senjata berikutnya, Ify! Rio menarik pelatuknya. Anak panah itu siap meninggalkan busurnya.
“Gue sayang sama lo,” ujar Rio. Langsung dan tepat sasaran.
Ify tidak pernah mempersiapkan diri untuk ini. Gadis itu membuka mulutnya. Gelagapan mencari kata-kata namun tak ia temukan jua.
“Gue sayang sama lo dan gue ga peduli sama Gabriel,” lanjut Rio.
Ify menggelengkan kepala. Tanpa sadar ia melangkah mundur, menjauhi Rio. Harusnya tidak begini.
Langkah Rio lebih besar dan lebih cepat. Ia berhasil meraih bahu Ify. Digenggamnya kuat-kuat bahu yang mulai mengejang itu. Ditumpahkannya segala isi hatinya tepat di depan wajah gadis itu. Dia harus tahu. “Ga ada yang gue peduliin lagi sekarang selain lo, Fy! Gue sayang sama lo!”
Sekuat tenaga Ify menghempaskan tangan Rio yang ada di bahunya. Ia menggeleng samar. Menampik segalanya. “Harusnya ga gitu, Kak! Dalam hati aku udah ga ada siapa-siapa lagi selain Gabriel.” Ify menggigit bibirnya, hal yang biasa ia lakukan ketika ia berbohong. Sepenuhnya ia menyadari apa yang baru saja meluncur dari mulutnya adalah sebuah kebohongan. Karena telah ia ketahui bahwa juga ada Rio di sana. Bersembunyi di ruang gelap dalam hatinya. Tak seorang pun yang tahu kecuali dirinya.
Rio tidak bisa terima. Seumur hidupnya, hanya sekali ia mendapat penolakan yaitu dari Sivia. Harusnya tidak pernah ada hitungan setelahnya. “Jangan bohong, Fy! Lo juga sayang sama gue, kan?” tanya Rio dengan penuh percaya diri. Mungkin ia merasa dirinya seorang Cassanova sampai-sampai semua orang mustahil untuk tidak menggilainya.
Rio memang bukan Cassanova. Bagi Ify, Rio adalah lelaki biasa yang diberi kelebihan fisik dan harta. Kelebihan yang tidak pernah dilihat Ify. Yang Ify lihat dari Rio selama ini justru adalah segala kelemahan dan kekurangan pemuda itu. Sifat sombongnya, sikap seenak perutnya, tingkah konyolnya, celetukkan menyebalkannya. Yang sialnya semua itu justru membuat Ify ingin berada di samping Rio, untuk berjalan bersama menuju sesuatu yang lebih baik. Ify mendesah samar. Menghela napas berat.
“Enggak, Kak,” ujar Ify singkat.
Rio frustasi dibuatnya. Pemuda itu menghentakkan kakinya ke lantai. “Terus maksud kebaikan lo selama ini apa? Lo mainin gue?” tanya Rio dengan nada yang mulai meninggi.
“Kalau Alvin atau siapa pun yang ada di posisi Kakak, aku juga bakalan bantu.”
Rio mengumpat dirinya sendiri dalam hati. Ia lupa bahwa Ify tidak sepertinya. Ify adalah perempuan baik yang senantiasa menolong orang lain. Dirinya saja yang kegeeran menanggapi segala bentuk kebaikan gadis itu. Oh sial!
Sekali lagi Ify menggigit bibirnya. Ia lagi-lagi berbohong. Mungkin ia akan mengusir Alvin kalau sahabatnya itu selalu merecokinya di dapur. Mungkin juga ia tidak akan mau diajak ke luar kota dalam keadaan belum mandi. Dan mungkin kalau Rio yang ada di rumah sakit kala itu, kemudian Alvin meneleponnya, ia akan meminta Alvin untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Mengapa? Karena ya itu adalah Rio.
“Gue sayang sama lo, Fy!” ujar Rio sekali lagi, ia masih belum mau menyerah.
“Tapi aku enggak,” ujar Ify dengan wajah datar.
Setelah itu, Rio tidak mau mencoba lagi. Mungkin ia harus berlapang dada dan menerima kenyataan bahwa hidup juga berisi penolakan. Pemuda itu mengangkat tangannya ke udara, tanda menyerah. Ia memutuskan untuk melakukan gencatan senjata. Tanpa sepatah kata pun, ia meninggalkan tempat itu. Medan perang yang telah membuatnya menyerah dan kalah.
Ify menatapi punggung Rio yang perlahan menjauh. Tanpa sadar sedari tadi mendekap kotak beledu yang diberikan pemuda itu. Satu-satunya hal tentangnya yang masih bisa Ify raih. Karena malam itu Ify tahu, ia telah melepaskan sesuatu yang belum sempat ia genggam. Cintanya yang salah.
***
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari